Kamis, 16 Agustus 2007

Selamatkan Lingkungan


by. HENDRIKUS ADAM BR
Melakukan yang terbaik pada hari ini akan membawa anda ketempat terbaik di masa depan. Demikian ungkapan bijak Oprah Winfrey, pembawa acara termasyur. Gagasan Winfrey setidaknya membuka mata kita untuk bisa melihat ’warisan’ generasi terdahulu yang boleh dinikmati generasinya saat ini. Seperti bencana demi bencana yang mengalir tiada hentinya beberapa tahun terakhir. Disisi lain, statemen Winfrey dapat menjadi catatan refleksi untuk generasi saat ini yang diberi kesempatan melanjutkan warisan pendahulunya atas kondisi lingkungan dewasa ini.


Bencana banjir yang melanda sejumlah tempat di tanah air seperti wilayah Sambas dan Mempawah di bumi Kalimantan Barat dalam beberapa waktu lalu misalnya, kemudian terakhir banjir pula melanda beberapa wilayah Ambawang dan sekitarnya adalah satu dari sekian banyak bencana alam yang selama ini kerap kali menghiasi wajah bumi ini. Tidak hanya itu, pencemaran air karena penggunaan mercuri (air raksa) tidak pada tempatnya yang dilakukan secara serampangan, kabut asap dan kemarau yang berkepanjangan juga turut mewarnai perjalanan kondisi lingkungan kita dari hari kehari di bumi Khatulistiwa ini khususnya. Perdebatan wacana seputar bencana sebagaimana dimaksud, pun kerap kali dimunculkan dalam berbagai media. Bahkan beberapa waktu terakhir, isu mengenai pro-kontra pembukaan kebun kelapa sawit masih terus mengalir tiada ujung.

Saat terjadi kondisi memprihatinkan tersebut, pernahkah kita berpikir untuk mencari solusi sehingga kedepan kemungkinan terburuk sebagai ekses dari kondisi diatas dapat dikurangi? Ataukah kita tetap diam diri, dengan tetap berkomitmen dengan ego kita untuk serta menyumbangkan derma untuk meringankan beban (membantu) saudara-saudari kita, tanpa disertai upaya real (tindakan nyata) untuk menghentikan/mencegah permasalahan lingkungan yang pernah maupun akan terjadi? Dan ataukah perlu diselamatkan?

Bila kita merasa perlu, maka tentunya tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai. ”Mulailah saat ini, Mulai dari hal yang kecil dan Mulailah dari diri sendiri”, demikian pesan AA Gym melalui rumus 3Mnya. Bukankah sesungguhnya upaya menjaga keutuhan lingkungan untuk tetap lestari telah diserahkan kepada kita sebagai makhluk ciptaanNya? Maka tanggungjawab kita sebagai orang yang dipercaya untuk menjaga keberlangsungannya patut dipertanyakan. Mari kita refleksikan, sudahkah kita yang mengakui peduli terhadap lingkungan membuat hal nyata ”penyelematan” lingkungan?

Tentunya kita juga masih ingat, bagaimana akibat yang ditimbulkan sejumlah bencana yang ada akhir-akhir ini terjadi. Karena banjir, banyak rumah warga dan bahkan fasilitas umum tergenang dan tidak dapat melangsungkan aktivitas. Seperti banjir yang melanda di daerah sektar Sambas, dan di Jakarta beberapa waktu lalu. Karena pennggunaan air raksa (merkuri) yang kurang bijaksana melalui aktivitas pertambangan emas, kebutuhan sumber air bersih untuk MCK jadi terbatas. Bahkan penyakit kulit pun turut menyertai sebagai akibat pengaruh senyawa jenis ini seperti yang terjadi pada kasus mina mata dan lainnya.

Demikian pula akibat kabut asap yang setiap tahunnya sejak 1997 selalu muncul hingga kini. Karena kabut asap beberapa waktu lalu, berbagai aktivitas jadi terganggu. Sekolah diliburkan, arus transportasi seperti bandara penerbangan terkendala, penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA) pun meningkat diderita warga. Bahkan karena kabut asap, peladang berpindah (petani tradisional) yang dikenal dengan kaerifan lokalnya melakukan pembukaan lahan pertanian sejak dahulu kala selalu menerima getahnya, justeru selalu dikambinghitamkan. Padahal harus diakui pula, bahwa maraknya kabut asap yang berawal sekitar tahun 1997 sebagian besar bersumber dari pembakaran lahan skala besar sebagai akibat dari adanya pembukaan lahan perkebunan (sawit, HPH dan sejenisnya). Lihat saja awal Maret lalu misalnya, kabut asap muncul lagi meski tidak berlarut, padahal bukan musim pembukaan lahan bagi peladang berpindah, tapi sebaliknya musim panen.

Hal sama juga terjadi pada tataran kebijakan pengembangan perkebunan sawit yang masih menuai pro-kontra, namun tetap ”dipaksakan” oleh pemegang/pembuat kebijakan (decesion maker). Dengan demikian, asas kedaulatan rakyat sebagai pemegang kekuasaan dinegara republik ini jadi seakan terabaikan. Padahal konon, bukankah mereka refresentasi dari rakyat?

Tidak sedikit persoalan sebagai akibat negatif dari perkebunan jenis ini boleh dinikmati warga. Ketidakadilan muncul, perampasan hak dan tanah rakyat mengemuka. Hutan dengan sumber keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya telah mengalami degradasi, sementara sumber air jernih turut tercemari (misal Kasus Manis Mata, Ketapang, sungai kapuas dan sekitarnya di Kalbar ). Sebagai respon kesadaran atas kondisi seperti ini, maka tidak heran bila akhirnya warga (masyarakat adat) dibeberapa daerah seperti informasi data yang dihimpun beberapa lembaga sosial (NGO), menyatakan menolak atas ekspansi sawit didaerahnya.

Meski sering pula terdengar alasan klasik dari berbagai kalangan yang mengkleim diri sebagai pengamat bahwa kesalahan bukan pada tanaman sawitnya, namun pada pengelolaannya. Statemen ini memang telah biasa muncul, namun pertanyaannya; bila memang permasalahannya pada sistem manajemennya yang perlu diperbaiki, kenapa hingga kini persoalan tersebut terus berlanjut dan dialami? Pertanyaan ini patut kita refleksikan, bila di cermati lebih jauh, maka permasalahannya memang sangat logis terletak pada sistem manajemennya, yakni manajemen yang sengaja dikondisikan pihak yang berkompeten baik investor maupun pihak pemerintah sebagai pihak pemberi ijin. Disamping itu, satu alasan yang menguat berdasarkan pengamatan penulis disaat pihak pemerintah bersama investor bersikeras mempertahankan perkebunan sawit di beberapa daerah, karena harus diakui sawit sangat menggiurkan. Sawit sangat menjanjikan dan menguntungkan, khususnya bagi investor dan pemerintah daerah setempat. Karenanya tergiur keuntungan, maka tidak heran muncul manajemen yang menguntungkan secara sepihak. Sementara masyarakat, hanya bisa pekerja upahan dinegerinya sendiri dan gigit jari seakan ditakdirkan. Seperti halnya kasus sawit yang kini mencuat saat ini yang dialami warga Sebunga dan beberapa wilayah di kabupaten Sambas.

Alasan yang selalu logis kerap kali seringkali diimingi oleh pihak perusahaan misalnya bagaimana dengan kehadiran kebun sawit, dapat membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Disamping itu dapat mensejahterakan rakyat, serta pembangunan infrastruktur (sarana jalan) dapat terbuka lebar. Sementara dampak dari sisi negatifnya tidak pernah diberitahukan kepada masyarakat. Ini merupakan kesalahan fatal yang semestinya terpikirkan sebelum melakukan ekspansi. Namun kenyataannya masyarakat tidak pernah dididik untuk mengetahui lebih dalam mengenai persoalan dari sisi negatifnya.

Semestinya apa yang disampaikan tidak diterima mentah-mentah, namun perlu dipahami bersama dimana tentu saja tidak semua apa yang disampakan itu benar. Sangat jelas misalnya, dengan adanya bentuk usaha apapun tentu membutuhkan tenaga. Karena kalau tidak, maka usaha tersebut tidak akan jalan (berlanjut). Termasuk perkebunan sawit. Mengenai kesejahteraan, tentu saja sangat relatif ukurannya. Dalam jangka pendek mungkin saja benar adanya, dapat memberikan kesejahteraan bagi petani. Disamping itu dampak hal demikian juga mendidik masyarakat berpikir instan. Namun pantas dipertanyakan, siapa yang bisa memberikan jaminan dengan membuka perkebunan sawit warga masyarakat dilingkungan setempat bisa sejahtera bagi setiap generasi? Untuk pembangunan infrastruktur, juga bukan alasan yang mendasar sehingga dapat dikatakan membenarkan (melegalkan) dibukanya perkebunan sawit, terutama bagi warga kampung yang menginginkan agar lingkungan mereka tetep terjaga. Karena sesungguhnya adalah menjadi kewajiban pemerintahlah untuk mengupayakan pembangunan bagi warganya termasuk sarana infrastruktur jalan tanpa harus ”merampas” kekayaan SDA yang ada. Dan menjadi hak warga untuk terpenuhinya kebutuhan dasarnya sebagai warga negara seperti pendidikan dan kesehatan, termasuk pengadaan sarana infrastruktur lainnya.

Melihat kondisi lingkungan dengan berbagai gejala dan akibat yang menyertainya, maka semestinya upaya reflektif dan rekonsiliasi bagi lingkungan perlu terus dilakukan. Gerakan penyadaran dan penyelamatan atas lingkungan hidup hendaknya tidak hanya disandarkan pada lembaga sosial (NGO, masyarakat adat, mahasiswa dan sejenisnya) maupun masyarakat sebagai kontrol, namun pihak eksekutif maupun legislatif seharusnya memulai menjadi inisiator dalam meletakkan fondasi kebijakan secara bijaksana untuk lingkungan dan warganya. Disampaing itu, semestinya aspirasi mengenai lingkungan yang disuarakan tidak membuat berbagai pihak menjadi alergi untuk meresponnya.

Upaya perumusan kebijakan dengan mendasarkan kepentingan warga banyak diatas kepentingan perorangan tanpa mengesampingkan aspirasi rakyat yang berkembang akan menjadi lebih baik dalam mewujudkan upaya penegakan dan penyelamatan lingkungan kita mulai hari ini. Dimana, bukan hanya warga masyarakat yang aktif merangkul berbagai pihak, namun pihak eksekutif, legslatif serta kalangan elit pun semestinya dapat berbuat lebih, dalam kerangka menggalang dukungan bersama untuk penyelamatan lingkungan. Bila tidak bisa dilakukan, maka ungkapan isnpiratif Winfrey akan tetap menjadi impian semu yang tidak akan pernah terwujud. *


Hendrikus Adam BR
Sekretaris Jenderal PMKRI Santo Thomas More Cabang Pontianak ,
Anggota Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat (SALAK),
Pegiat Kelompok Diskusi MATUK Asrama SEPAKAT

Martir

Santo Thomas More
Tegas dan Teguh dalam Pendirian

by. Hendrikus Adam BR
Thomas More adalah seorang martir Inggris, negarawan dan pengacara terkenal. Ia menjadi lambang kebanggaan para pengacara. Ia lahir di London pada tanggal 6 februari 1478. Ayahnya Sir John Moore adalah seorang pengacara dan hakim pada mahkamah Kerajaan. Ibunya Agnes Granger adalah seorang ibu yang saleh. Ketika memasuki usia remaja, Thomas memulai pendidikannya di Sekolah Santo Antonius di London. Kira-kira pada tahun 1490, ia menjadi pelayan Kardinal John Morton, Uskup Agung Carterbury. Di sana ia mendapat pelajaran bahasa Yunani dibawah bimbingan William Grocyn. Setelah itu ia memasuki pendidikan dalam bidang hukum di London. Setelah menyelesaikan studi ilmu hukum itu, ia menjadi anggota parlemen pada tahun 1504.


Minatnya pada sastera klasik sangat besar. Oleh karena itu ia belajar lagi karya-karya klasik dari Aristoteles dalam bahasa Yunani. selain mahir dalam bahasa Yunani, Thomas pun mahir berbahasa Latin dan Perancis, serta ahli dibidang sejarah, ilmu pasti dan musik. Keahlian-keahliannya ini membuat dia menjadi seorang pengacara yang populer tetapi juga orang yang ragu-ragu akan penggilan imamat yang sudah lama bergolak dalam batinnya.

Atas nasihat Pastor John Colet, pembimbing rohaninya, Thomas akhirnya mengambil keputusan untuk tetap menjadi awam Katolik yang berkecimpung dalam bidang politik. Ia kemudian menikah dengan Jane Colt pada tahun 1505. Tuhan mengaruniakan kepadanya tiga orang puteri dan seorang putera. Sepeninggal isterinya Jane Colt pada tahun 1511, Thomas menikah lagi dengan Alice Naddleton, seorang janda.

Thomas benar-benar seorang awam Katolik yang beriman. Hidupnya sangat sederhana. Ia tidak pernah menerima uang semir untuk semua perkara yang ditanganinya. Ia bahkan berhasil memberantas korupsi dan kemalasan di dalam kantor pengadilan kerajaan. Sampai akhir hidupnya, ia tetap setia menjalankan tapa, doa dan renungan setiap hari. Seluruh anggota keluarganya setiap pagi diajaknya berdoa pagi dan malam. Pada waktu makan siang, mereka mendengarkan bacaan kitab suci atau riwayat orang-orang kudus. Dia sendiri setiap hari jumat merenungkan sengsara Tuhan serta berbuat amal kepada orang-orang yang berkesesahan.

Keahliannya dibidang hukum dan sastera klasik membuat dia dikenal banyak orang hingga diluar negeri. Rumahnya ramai dikunjungi orang dan menjadi tempat pertemuan para ilmuwan dan seniman dari berbagai negara. Rakyat jelata sangat menyenangi dan menghormatinya. Oleh karena itu, demi keberhasilan usahanya untuk memisahkan Gereja Inggris dari pengaruh Roma, Raja Henry VIII mengangkat dia menjadi Kanselir kerajaan. Demi menunjukkan kepatuhannya kepada raja, Thomas menerima tugas ini. tetapi tiga tahun kemudian ia mengundurkan diri sebagai protes terhadap tindakan raja Henry VIII yang ingin kawin lagi secara tidak sah dan ingin mengangkat dirinya sebagai kepala Gereja di Inggris. Ia mengasingkan diri ke pedalaman. Karena tidak menghadiri perkawinan raja dengan selirnya, maka Thomas ditangkap. Namun beberapa hari berikutnya ia dibebaskan lagi. Ia dipanggil untuk mengucapkan sumpah setia kepada raja dan semua tindakannya, terutama sumpah untuk mengakui raja sebagai Kepala Gereja di I(nggris. Ia bersama Uskup John Fischer menolak untuk bersumpah.

Bersama Uskup John Fischer, Thomas dipenjarakan lagi. Harta milik keluarganya disita. Keluarganya sangat menderita karena peristiwa itu. mereka meminta Thomas agar mengikuti saja kehendak raja seperti dilakukan banyak Uskup. tetapi Thomas menolak permintaan keluarganya itu dan tidak mau ikut main sandiwara. Ia dengan setia mengikuti bisikan suara hari dan keyakinannya.

Atas pertanyaan hakim: “Apakah engkau menganggap dirimu lebih bijaksana dan jujur daripada uskup-uskup dan pembesar-pembesar kerajaan ini?”, Thomas dengan tegas menjawab: “Meski Uskup-uskup tidak sependapat dengan aku, ada ratusan orang kudus yang mendukung aku; meski parlemenmu tidak sependapat dengan aku, aku didukung oleh konsili-konsili umum yang telah berkali-kali diadakan; meski seluruh kerajaan tidak sependapat dengan aku, seluruh kerajaan Kristen sependapat dengan aku”.

Karena ketegasannya dan pendiriannya itu, kepalanya di penggal pada tanggal 6 juli 1935. Ia mati sebagai seorang martir, seorang awam katolik yang beriman kokoh.

Sumber: Mgr. Nicolaas Martinus Schneiders, CICM
Dalam karyanya “Orang Kudus Sepanjang Tahun

Apakah Kamu di Cintai Seseorang?

Seseorang yang mencintai kamu, tidak bisa memberikan alasan mengapa ia mencintaimu. Dia hanya tau,di mata dia kamulah satu2nya.
Seseorang yang mencintaimu, sebenarnya selalu membuatmu marah / gila / jengkel / stres.Tapi ia tidak pernah tau hal bodoh apa yang sudah ia lakukan.Karna semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikanmu.
Seseorang yang mencintai kamu, jarang memujimu, tetapi di dalam hatinya kamu adalah yang terbaik hanya ia yang tau.


Seseorang yang mencintai kamu, akan marah2 atau mengeluh jika kamu tidak membalas pesannya atau tlp nya, karna ia peduli dan ia tidak ingin sesuatu terjadi pada kamu.
Seseorang yang mencintai kamu, hanya menjatuhkan air matanya di hadapanmu,ketika kamu mencoba untuk menghapus air matanya, kamu telah menyentuh hatinya.
Seseorang yang mencintai kamu, akan mengingat setiap kata yang kamu ucapkan, bahkan yang tidak sengaja dan ia akan selalu menggunakan kata2 itu tepat waktunya.
Seseorang yang mencintai kamu, tidak akan memberikan janji apapun dengan mudah, karena ia tidak mau mengingkari janjinya. Ia ingin kamu untuk mempercayainya dan ia ingin memberikan hidup yang paling bahagia dan aman selamanya.
Seseorang yang mencintai kamu, mungkin tidak bisa mengingat kejadian/kesempatan istimewa seperti hari ulang tahunmu, tapi ia tau bahwa setiap detik yang ia lalui, ia mencintaimu. Tidak peduli hari apakah hari ini.
Seseorang yang mencintai kamu, tidak mau berkata ” Aku Mencintaimu ” dengan mudah, Karna segalanya yang ia lakukan untuk kamu adalah untuk menunjukan bahwa ia siap mencintaimu, tetapi hanya ia yang mengatakan I LOVE U pada situasi yang spesial, karna ia tidak mau kamu salah mengerti. Dia mau kamu mengetahui bahwa ia mencintai dirimu.
Seseorang yang benar2 mencintaimu, akan merasa bahwa sesuatu harus dikatakan sekali saja. Karena ia berpikir bahwa kamu telah mengerti dirinya.
Seseorang yang mencintai kamu, tidak tau apakah ia harus menelponmu ketika kamu marah, tetapi ia akan mengirim pesan beberapa jam kemudian. Jika kamu menanyakan: Mengapa ia telat menelepon, ia akan berkata: ketika kamu marah penjelasan dari dirinya hanyalah sampah. Tetapi ketika kamu sudah tenang, penjelasan baru akan benar2 berguna !!
sumber: http://krenungan.org

Membangkitkan Kemerdekaan


By. HENDRIKUS ADAMM BR

Setiap orang dinegeri ini tentu tahu bahwa tanggal 17 Agustus adalah moment penting yang kerapkali dikenang. Peristiwa yang menjadi tonggak awal berdirinya republik ini sejak 61 tahun silam senantiasa menjadi agenda tahunan yang tidak pernah terlewatkan warga negeri ini. Semarak dari berbagai kegiatan dan perlombaan bahkan umbul-umbul, spanduk dan warna merah-putih senantiasa hadir disetiap sudut yang turut menyemarakkan suasana. Peringatan hari kemerdekaan dinegeri ini telah menjadi rahasia umum untuk terus dimeriahkan. Bahkan warga negeri ini yang berada diluar pulau Indonesia pun tidak luput merayakan hari bersejarah yang di proklamasikan sejak 17 Agustus 1945 silam. Segenap anak negeri ini seakan diajak untuk melupakan sejenak akan „problem“ bangsa, dan larut dalam kegembiraan.


Namun dengan bergulirnya sang waktu, „wajah gembira“ itu harus sirna lantaran tidak sedikit persoalan yang mau tidak mau menjadi home work besar sekaligus sebagai bagian tanggungjawab yang diemban bangsa ini, yang telah terlanjur mengaku sebagai negara yang berdaulat (baca;merdeka) dan harus dikerjakan. Meski terlihat ironis dan „pahit“, namun apalah daya, nasi telah menjadi bubur. Yang mau tidak mau harus dihadapi pula. Kehadiran berbagai problem bangsa seakan terlegitimasi dinegeri merdeka yang mengagungkan demokrasi ini. Kabut asap sebagai akibat dari aktivitas pembakaran lahan misalnya, adalah bagian dari problem tersebut, yang konon selalu hadir sebagai „tamu istimewa“ setiap merayakan Dirgahayu Kemerdekaan dinegara republik ini. Ditambah lagi berbagai persoalan lainnya seperti; kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sedang pupuler sekarang, Illegal logging, traffiking, perampasan SDA serta berbagai persoalan bangsa dewasa ini. Singkat kata, sedianya segudang PR itu menjadi pantas sebagai KADO tersendiri bagi setiap peringatan HUT RI yang hendaknya direfleksikan bersama dan pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dalam lingkungan masing-masing.

Tulisan Dr. Leo Sutrisno seperti dimuat salah satu media di Kalbar (17/8) tahun lalu dengan topik „Kita Belum Merdeka“ menarik bagi penulis untuk direfleksikan. Betapa tidak, dinegara yang „merdeka“ saja ternyata masih banyak problem-problem yang mengidentifikasikan bahwa sesungguhnya kita masih belum merdeka. Gambaran rill seperti yang disampaikan adalah bentuk dari fenomena tersebut. Apakah ini semua (segala problem yang ada) baru hadir pasca Inoonesia merdeka, sehingga tidak layak dijadikan alasan untuk menyatakan „kita belum merdeka?“ dan ataukah fenomena-fenomena yang ada dapat menjadi bukti suatu kemunduran bagi kemerdekaan yang telah 62 tahun diraih bangsa ini? Lalu, bagaimana dengan keberadaan negara di dunia ini yang tidak pernah sama sekali mendeklarasikan kemerdekaan, namun mampu tampil sebagai layaknya negara yang benar-benar merdeka? Bahkan lebih merdeka dari sebuah negara yang katanya merdeka dari penjajahan? Berbagai persoalan tentu saja tidak hanya menjadi dilematisme semata, namun lebih penting dari itu adalah bagaimana fenomena tersebut dapat ditemukan jawaban dan jalan keluar dari segenap anak negeri ini.

Satu hal barangkali dapat dilakukan sebagai jawaban dan solusi atas persoalan itu yakni bagaimana membangkitkan kemerdekaan yang selama ini tersembunyi dalam setiap pribadi warga negeri ini. Kemerdekaan yang dimaksudkan adalah Kemerdekaan untuk dengan jujur menyuarakan hati nurani dan mewujudkannya dalam setiap tindakan rill sesuai peran masing-masing dimasyarakat, bangsa dan negara. Dengan suara hati nurani, tentunya kita dapat membedakan dan mencari celah terbaik yang idealnya dilakukan (terbaik). Suara dari kemerdekaan dimaksud tentu saja yang konstruktif dan positif. Kemerdekaan seperti ini cenderung tersembunyi dalam setiap diri pribadi dan jarang terinterprestasi dalam tindakan nyata, terutama bagi kalangan yang mengaku para elit pun juga bisa jadi juga berlaku bagi penulis. Hanya sedikit diantara kita yang mau mengakui dan mewujudkannya. Suara kemerdekaan tuntutan hati nurani kerap kali disuarakan oleh kalangan masyarakat yang selalu merasa dirampas haknya, sementara teriakan itupun terkadang berlalu begitu saja.

Dari pemahaman kemerdekaan untuk menyuarakan dengan jujur hati nurani dan melaksanakannya dalam tindakan rill, penulis sependapat dengan kemandirian moral dan keberanian moral seperti yang dikemukakan Dr. Leo Sutrisno dalam artikelnya „Kita Belum Merdeka“.

Menurut Leo Sutrisno, kemandirian moral merupakan kekuatan batin untuk untuk mengambil sikap dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Kekuatan batin untuk tidak mau bekerja sama dengan yang kita anggap tidak baik, tidak jujur, KKN. Sementara dikatakan bahwa pribadi yang memiliki kemandirian morallah sesungguhnya intelektual sejati. Dimana kemandirian moral menunjukkan diri dalam tekad tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban meskipun terkadang bertentangan dengan pendapat kebanyakan. Dikatakan, orang yang memiliki keberanian moral berarti mempunyai kesetiaan dengan suara hati.

Uraian kemerdekaan dan kemandirian serta keberaniam moral sebagaimana ulasan diatas kiranya tidaklah berlebihan. Fakta logisnya adalah ;bagaimana mungkin seseorang pencuri mau melakukan pencurian bila seandainya ia mau menuruti suara hatinya yang mengetahui tindakannya salah? Bagaimana mungkin kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan stakeholder lainnya (khususnya yang terbukti bersalah) akan melakukan kejahatan bila kemerdekaan suara hati nuraninya sungguh-sungguh didengarkan dan diwujudkan dalam sikap dan tindakannya? Hampir setiap tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan hukum umumnya seperti kasus pencurian dan kriminalitas, KKN, human traffiking, kasus illegal logging dan berbagai kasus yang tidak terpuji lainnya yang dilakukan oleh pelaku kejahatan (termasuk oleh kalangan elit) bila kita amati satu persatu cukup menyadari tindakan seperti dimaksud salah adanya. Terkesan, kemerdekaan suara hati dan kemauan untuk mewujudkannya dalam bentuk real action seakan menjadi mimpi semu yang tidak perlu terjadi. Bila kondisi seperti ini terus dibiarkan dan hanya dapat menjadi mimpi saja, maka jangan pernah bermimpi untuk menyelesaikan problem bangsa ini dari keterpurukan mentalitas yang ada.

Melihat fenomena yang ada, penulis melihat wacana kemerdekaan seperti ini menjadi menarik untuk dikaji, terlebih dalam menyongsong dan memetakan figur calon pemimpin daerah ini yang tidak lama lagi akan digelar di Bumi Khatulistiwa ini. Karenanya, saatnya bagi segenap anak bangsa dinegeri ini mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan Membengkitkan Kemerdekaan yang selama ini terpendam dalam diri masing-masing untuk mewujudkan negeri yang sungguh-sungguh merdeka. Semoga!

Catatan Perjalanan dari Negeri Cendrawasih


By. Hendrikus Adam BR

Panas terik sang surya Sabtu kala itu terasa menyengat. Saat dimana angka tanggal dibulan November masih dipertengahan lewat tiga hari (18 November 2006). Tepat pukul 14.50 Wib, dua orang diantara para penumpang pesawat Sriwijaya Airlines jurusan Pontianak-Jakarta meluncur meninggalkan Bandara Supadio menuju kota Metropolitan, Jakarta. Jarak yang begitu jauh, bukanlah menjadi halangan bagi Si Burung Besi untuk menjangkau Ibu Kota Negara dengan waktu yang relatif singkat, hanya berselang sekitar 1 jam 15 menit. Pukul 16.05 wib, dua sosok yang adalah aktivis salah satu OKP yang berkantor di Jalan Imam Bonjol Nomor 338 Pontianak tersebut tiba dibandara Sukarno-Hatta bersama penumpang lainnya.


Dalam waktu yang bersamaan, keduanya lantas keluar bandara mencari alat angkot. Dalam perjalanan keluar bandara, keduanya sempat bersua dengan salah satu pejabat teras Negeri Intan (Adrianus Asia Sidot), yang pada saat itu juga menumpang dalam pesawat yang sama. Tangan kamipun sempat bersalaman. Sambil berjalan, diluar bandara para penyedia jasa angkutan tampak siap menyambut setiap orang yang akan meninggalkan bandara. Kedua pemuda yang sedari tadi akhirnya keluar juga. Dari kejauhan senyum manis dengan gaya sopannya, tampak dari seorang bapak paruh baya yang adalah penyedia jasa angkut menghampiri dan menawarkan jasa. Tanpa banyak “bacot”, keduanya lantas mengiyakan menerima tawaran karena tak mau menunggu lama, lalu keduanya dibawa menuju kendaraan angkut. Bersama mobilnya, sosok bapak yang belakangan adalah orang Manado menghantar dua sosok pemuda asal West Borneo menuju kawasan Menteng, Jakarta Pusat, tempat persis dimana Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) bermarkas. Pukul 16.45 Wib, mobil sewaan itu pun terparkir, persis didepan Yayasan Margasiswa Jalan Samratulangi No. 1, Jakarta Pusat.

Ditempat tersebut, rupanya para rekan yang juga aktivis organisasi yang sama diantaranya telah tiba beberapa hari sebelumnya. Tempat ini menjadi tempat transit para kader “pengemban amanat rakyat” dalam perjalanannya yang akan mengikuti kegiatan skala nasional di bagian Timur Tanah Air, yakni Negeri Cendrawasih, Provinsi Papua.

Sambil mengupayakan tiket keberangkatan selanjutnya, keduanya harus tinggal selama 2 hari tiga malam. Sehari setelah kedatangan di Jakarta, dua pemuda (Anong-Danus) yang juga dari bumi Khatulistiwa, Delegasi PMKRI cabang Sintang pun datang. Keesokan harinya, kembali datang dua orang berikutnya Oce dan Dodik, yang juga dari Bumi Khatulistiwa, satu induk organisasi dengan kedua aktivis yang belakangan adalah delegasi PMKRI Sanctus Thomas More, Cabang Pontianak.

Selasa (21/11) pukul 04.00 Wib, keempat orang delegasi asal West Borneo (kecuali Oce-Dodik) harus bangun lebih awal mempersiapkan diri menuju Bandara Soekarno-Hatta. Bersama para kader perhimpunan lainnya, tepat pukul 05.00 wib si Burung Besi milik groupnya Merpati Airlines yang ditumpangi pun meluncur menuju Tanah Papua. Dalam perjalanan tiga jam kemudian, tepatnya pukul 10.00 WITA (08.00 WIB) pesawat yang ditumpangi mendarat untuk transit sejenak yang pertama kalinya di Bandara Sultan Hassanudin, Makasar. Selang 40 menit beristirahat, dengan pesawat yang sama rombongan kembali terbang dan kembali mendarat untuk transit di Bandara Timika, Papua sekitar pukul 11.30 WITA. Di Timika, para penumpang rehat selama kurang lebih tiga puluh menit di dalam pesawat. Dari bandara Timika, si Burung Besi kembali terbang “menggendong” para penumpang selama 50 menit menuju Jayapura. Tepat pukul 14.50 WITA (12.50 Wib), akhirnya keempat delegasi Kalbar bersama anggota perhimpunan lainnya tiba di Bandara Sentani, Tanah Papua.

Dibandara Sentani, rombongan aktivis kala itu harus menunggu jemputan panitia. Selang tiga puluh menit kemudian, dua buah kendaraan roda empat yang dibawa Panitia siap menjemput. Rombongan yang adalah peserta yang akan mengikuti Kongres Nasional dan Majelis permusyawaratan anggota (MPA) PMKRI akhirnya tiba dilokasi kegiatan (Gedung Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan/LPMP) sekitar pukul 16.05 WITA setelah melewati 45 menit perjalanan. Dalam perjalanan menujud gedung LPMP, pemandangan alami disekitar tepian Danau Sentani terlihat indah. Di lokasi kegiatan, rupanya telah tiba para delegasi lainnya. Kedatangan delegasi Kalbar dan rombongan memang sedikit terlambat, karena pada saat itu pula adalah hari pertama kegiatan pembukaan Kongres yang dijadwalkan hingga enam hari kemudian (26/11) sesuai jadwal panitia. Di Gedung LPMP, kedua rombongan khusus PMKRI cabang Pontianak di tempatkan pada lantai II atas ruang GURU, kamar ke empat sebelah kanan arah kiri.

Usai istirahat, mandi dan makan malam, pertemuan untuk kongres dengan materi seminar kembali dimulai setelah sebelumnya juga digelar ditempat yang berbeda pasca pembukaan Kongres dan MPA. Kongres dimalam pertama terasa kurang menarik, karena memang sepertinya panitia kurang siap. Namun setelah keesokan harinya dan seterusnya, kegiatan kongres boleh berjalan lancar. Hari ketiga setelah kongres, kemudian dilanjutkan dengan agenda baru yakni sidang Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA) PMKRI yang ditandai dengan Sidang Kehormatan oleh Pengurus Pusat PMKRI Santo Thomas Aquinas periode 2004/2006 yang akan menyudahi masa jabatannya.

Pasca sidang pembukaan, pengurus pusat mengambil alih acara guna memandu jalannya sidang MPA. Pembahasan tatib sidang menjadi agenda awal saat itu, kemudian menyusul pembahasan agenda berikutnya seperti pembahasan agenda sidang, pleno komisi, ... LPJ KP PMKRI 2004-2006, laporan Badan Pemeriksa keuangan (BPK), pemilihan BPK dan pemilihan Mandataris RUAC, Penetapan tempat Rakernas dan Tempat MPA berikutnya.

Selesai pembahasan agenda, sidang terus berlanjut dengan diwarnai penggantian pimpinan sidang pada setiap pergantian agenda sidang. Menjelang agenda penyampaian LPJ KP, dilakukan pemilihan panitia Ad Hoc sebagai unsur pimpinan sidang yang memutuskan Anong (Cabang Sintang, Sebastianus (Cabang Denpasar) dan Agustinus(Cabang Sorong) masing-masing sebagai anggota, ketua merangkap anggota dan sekretaris merangkap anggota.

Dalam sidang yang dikomandoi kawan-kawan Ad Hoc, berbagai agenda seperti LPJ dan laporan BPK sempat terlewati dengan lancar meski diwarnai dengan perdebatan yang cukup alot. Demikian pula dalam pertengahan pemilihan Mandataris MPA. Pada proses ini, pemilihan dilakukan dengan voting tertutup melalui dua tahapan pemilihan yang dilakukan oleh sedikitnya 55 Cabang memberi hak suara, termasuk cabang yang dimandatkan. Jumlah suara diputaran pertama diperebutkan oleh tujuh kader perhimpunan yang memastikan diri maju sebagai kandidat diantaranya Lamhot Simanulang (cabang Bogor), FX. Aripadi Budiarjo (cabang Semarang), Bartolomeus Jematu (Cabang Jakarta Timur), Hironimus Hilapok (cabang Jayapura), Marvin Sadipun Komber (Cabang Fak Fak), F. Asisi Sutan Bonamora (Cabang Palembang) dan Bonivasius Jebarus (cabang Sumedang). Dari ke-55 suara, masing-masing kandidat memperoleh suara; 3, 8, 14, 15, 9, 4, dan 1 suara untuk calon terakhir. Untuk satu suara di putaran pertama dinyatakan abstain.

Karena pada putaran pertama, tidak satu pun diantara kandidat yang berhasil memperoleh diatas 28 suara sebagaimana disepakati sebelumnya oleh forum MPA, maka akhirnya dilanjutkan dengan putaran kedua dengan dua orang kandidat (Hironimus Hilapok dan Bartolomeus Jematu) pemilik suara pertama dan kedua terbanyak dinyakan berhak maju untuk bersaing pada putaran selanjutnya.

Saat-saat yang menegangkan pada putaran kali ini bagi para kandidat, yang akhirnya harus dimenangkan oleh Bartolomeus Jematu dengan perolehan suara persis sama sebagaimana putaran pertama dengan selisih satu suara, masing-masing 28 suara dan 27 suara. Pada saat bersamaan, belum sempat disyahkan dalam sebuah ketetapan siding MPA oleh pimpinan sidang, kemenangan Tomi (sapaan akrab Bartolomeus Jematu) diharuskan menghadapi ujian. Massa pendukung Hironimus Hilapok seketika meluapkan aspirasi sebagai bentuk rasa kurang puas atas kekalahan tipis kandidat yang mereka jagokan. Ruang siding seketika ‘pambar’/chaos dan terhenti sementara. Meja, kursi dan berkas tampak masih berserakan, sementara diantara peserta sidang panik berusaha menghindari kericuhan. Ad Hoc pun kabur tanpa kabar dalam beberapa waktu, sementara Tomi turut diamankan untuk menghindari hal yang kurang diinginkan. Saat itu, penulis setidaknya dapat menyaksikan secara langsung pemandangan langka diperhimpunan ini.

Pada saat bersamaan, ketua Panitia Vitalis Dambi bersama Pastor Moderator PMKRI Jayapura (penulis lupa namanya), dan rekan panitia lainnya mencoba menetralisir kondisi, namun demikian forum yang dikomandoi panitia ad-hoc belum bisa menerbitkan ketetapan atas pengesahan ketua terpilih. Dengan demikian, pesta demokrasi yang berakhir deadloc kali ini juga belum bisa memutuskan dua agenda sidang lainnya, yakni Penetapan tempat pelaksanaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PMKRI dan Kongres- Nasional XXV-MPA XXVI berikutnya. Karena tidak adanya kepastian dari panitia, sementara batas waktu penyelenggaraan Kongres dan MPA telah lewat, maka pada tanggal 27 November 2006 malam peserta di ungsikan di tempat penginapan di Wisma Bina. Tanggal 28 November 2006 pagi hingga siang, para peserta Kongres lantas pulang menuju tempat asal masing-masing. Sementara diantaranya, Tomi, PP Demisioner (beberapa diantaranya) masih tetap tinggal di Papua. Khusus delegasi cabang Pontianak, Sintang dan mempawah tepat pukul 14.00 WITA meluncur menuju Jakarta. Dua malam terdampar di Jakarta, kemudian tanggal 30 sore rombongan sudah sampai di tanah kelahiran, Bumi Khatulistiwa.

Untuk informasi kelanjutan dari MPA, penulis tidak mengikuti lebih lanjut sehingga catatan ini tidak bisa disampaikan secara lebih gamblang. Namun demikian, pasca deadlock-nya MPA di Papua, undangan MPA sempat dikeluarkan dalam dua versi masing-masing oleh Panitia Ad Hoc dan Panitia Kongres dan MPA cs (termasuk PP PMKRI demisioner). Dari undangan versi Ad Hoc kegiatan MPA lanjutan diteruskan di Jakarta dengan pertimbangan netralitas dan letak yang strategis. Sementara, undangan versi Panitia Kongres dan MPA, kegiatan tetap dilanjutkan di Papua dengan landasan Ketetapan sebelumnya (Saat di Manado) yang menggariskan penyelenggaraan Kongres dan MPA di Jayapura-Papua.

Namun demikian perlu diketahui beberapa keputusan saat MPA di Papua khusus cabang Pontianak (sebagaimana diusulkan) di tetapkan sebagai cabang pendamping kota jajakan Singkawang dan Landak. Sementara, informasi terakhir yang penulis ketahui bahwa berdasarkan hasil pelaksanaan sidang (lanjutan MPA) di Jakarta atas undangan panitia Ad Hoc menetapkan Cabang Jakarta Pusat sebagai tuan rumah Rapat Kerja Nasiona (Rakernas) dan Cabang Sintang (Kalbar) sebagai tuan rumah Kongres dan MPA tahun 2008 mendatang. Untuk undangan sidang MPA lanjutan versi Panitia, hingga saat ini belum ada kepastian. Kita berharap, apapun yang terjadi kiranya perhimpunan yang telah ada sejak puluhan tahun ini tetap eksis dan mampu melahirkan kader yang solid dan berkomitmen membesarkan perhimpunan. Pro ecclesia et patria...Semoga!!!

*) Penulis adalah Sekretaris jenderal PMKRI Cabang Pontianak 06/07

Topeng Topeng Kehidupan

by. Hendrikus Adam BR

Cara pandang setiap orang memaknai kerhidupan tentunya sangat beragam. Terlebih di era sekarang yang syarat dengan dinamika dan kepura-puraan. Suara hati dan keyakinan serta nilai-nilai moralitas seakan menjadi tabu untuk dijadikan pertimbangan dalam menjalani hidup. Singkat kata, pola interaksi dan tingkah laku manusia yang seharusnya, bila dibandingkan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya begitu ironis. Pertentangan realitas hidup masa kini menarik untuk cermati dan menjadi permenungan. Bagaimana tidak? Ungkapan paradoks berikut sedianya mengupas realitas pertentangan dimaksud; Kita mempunyai gedung tinggi, tetapi kesabaran yang semakin rendah. Jalan yang semakin lebar, tapi sudut pandang yang semakin sempit. Semakin banyak membeli, tetapi semakin sedikit yang dinikmati. Semakin banyak pengetahuan, tetapi semakin sedikit kebijaksanaan. Semakin banyak bicara, tetapi sedikit mencinta dan memberi. Kita berhasil sampai kebulan, tapi tidak sanggup pergi mengunjungi tetangga. Punya penghasilan yang besar, tapi moralitas yang semakin rendah. Selalu berusaha membersihkan lingkungan, tetapi membiarkan jiwa terus kotor. Semakin banyak hiburan, tetapi semakin sedikit kebahagiaan. Semakin banyak rumah indah, tetapi semakin banyak rumah tangga yang pecah. Demikian, tidak sedikit kenyataan tindakan kita yang cenderung berlawanan dengan yang seharusnya. (Paradox Masa Kini, Diktat LK Pentis).


Ungkapan pertentangan dimaksud, disadari atau tidak sungguh telah merasuk dalam setiap diri kita. Hanya saja, barangkali tingkat kadarnya yang membedakan. Dimana, respon terhadap perubahan pada jaman edan sekarang ini kian menjadi, hal ini dapat terlihat disaat begitu banyak orang yang mampu menyulap diri dengan cara yang rapih hingga akhirnya mampu mengelabui orang lain. Pemandangan seperti misalnya; bagaimana kasus penipuan, jual beli dan penggunaan ijasah palsu karena gila titel, menyulap diri hingga tampak saleh (sok suci), gaya hidup mewah dengan menggunakan materi secara berlebihan, memilih-milih teman dalam pergaulan, suka publisitas memamerkan kehebatan diri, suka membangga-banggakan jabatan (gila pangkat), menggunakan daya tarik fisik (seks) untuk memanipulasi orang lain, tindakan menghalalkan segala cara adalah sebagian kecil dari fenomena sosial yang nampak semakin mewabah.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemandangan seperti itu kerapkali kita jumpai. Tindakan memanipulasi pandangan masyarakat berdasarkan ego diri atau kelompok yang pada akhirnya mengorbankan orang lain menjadi senjata ampuhnya. Gambaran kemampuan menyulap diri melalui tindakan-tindakan manipulasi pandangan publik terhadap dirinya inilah menurut Anthony Dio Martin, dikenal dengan istilah Topeng Kehidupan.

Topeng Kehidupan menurut Martin senantiasa digunakan seseorang untuk menutupi kekurangan, ketakberdayaan, identitas diri yang gelap dan atau ancaman perasaan tak aman. Sehingga tidak heran bila orang yang terus menerus mengenakan topeng itu selalu tampat selayaknya perkembangan jaman kekinian yang penuh dengan ‘kegilaan’. Seseorang tersebut akan tampak tidak sewajarnya (amnormal), karena mental dan keaslian dirinya telah terkontaminasi (hilang).

Karena itu, Anthony Dio Martin dalam bukunya Emotional Quality Management, menyebutkan sedikitnya ada tujuh (7) jenis topeng kehidupan yang selalu digunakan setiap orang, meliputi; Pertama, Topeng Kepemilikan. Topeng jenis ini biasanya digunakan karena ketakutan tidak diterima, takut dihina, takut dicap negatif dan merasa tidak aman apabila tidak memiliki benda-benda tertentu. Guna menutupinya, maka digunakanlah benda/materi secara berlebihan (pakaian, perhiasan, rumah, mobil, barang mewah, dsb), rela berhutang demi gengsi dan lebih suka bila orang lain mengenathui harga barang yang dimilikinya. Kedua, Topeng Intelektualitas. Topeng jenis ini dilatarbelakangi oleh karena rasa takut kelihatan bodoh dalam berpikir dan bicara, merasa tak aman dengan kemampuan dan pengetahuannya serta merasa takut tak dihormati sebagai orang cerdas. Biasanya tipe orang yang menggunakan topeng ini lebih suka menggunakan titel atau embel-embel pendidikan secara menyolok, rela membeli titel, suka menggunakan istilah asing tidak pada tempatnya, tidak mau hadir memenuhi undangan bila salah atau tidak ditulis titelnya secara lengkap. Ketiga, Topeng Sosial. Ciri dari pengguna topeng jenis ini diantaranya; merasa terobsesi membangun status sosial tinggi, memilih-milih dan hanya mau berteman dengan orang yang berstatus sosial lebih tinggi, selalu berusaha masuk dalam kelompok yang bergengsi, suka membanggakan rekan yang berpangkat tinggi. Topeng ini dikenakan karena takut akan status sosial rendah, takut ditolak kelompok tertentu, takut dianggap memiliki level pergaulan yang pantas, tidak percaya diri dengan identitas sosialnya.

Keempat, Topeng Moral. Ciri pengguna topeng jenis ini adalah berusaha tampak saleh (sok suci), suka bersembunyi dibalik ayat-ayat suci padahal perilakunya sehari-hari bertentangan dengan itu dan suka berkotbah padahal dirinya sendiri tidak melaksanakannya. Biasanya ini dilakukan karena takut ditolak oleh kelompok yang mementingkan nilai-nilai religius dlsb. Kelima, Topeng Impresif. Dengan menggunakan topeng ini, biasanya orang berusaha memberikan kesan positif dengan berusaha tampil hebat, berpura-pura murah hati, suka mengumbar janji, suka publisitas, pandai bersandiwara untuk memberikan kesan hebat, memberi kesan sebagai penolong atau teladan, dan gelisah bilamana kesan hebat itu hilang. Hal ini disebabkan adanya rasa cemas bila tak dicintai orang banyak, takut akan kesan negatif dari orang lain, terobsesi jadi terkenal sebagai figur pulik, takut bilamana tidak mendapatkan pujian atau sanjungan dari orang lain.

Keenam, Topeng Jabatan. Pengguna jenis topeng ini lebih suka membangga-banggakan jabatan yang dimilikinya, berusaha mendapat perlakuan khusus didepan umum, berusaha tampil superior, suka membagi-bagikan kartu nama, menyepelekan orang yang jabatannya lebih rendah dari dirinya, minta dipatuhi, suka menghalalkan segala cara, tidak suka bergabung dengan orang yang berpangkat lebih tinggi daripada dirinya dan suka mendominasi pembicaraan. Sikap ini ditampilkan karena merasa kerdil (minder), merasa tak berharga tanpa jabatan dan trauma bilamana diabaikan oleh orang diatasnya. Ketujuh, Topeng Seksualitas. Pengguna jenis toprng ini tampak seperti; suka memperalat seks untuk pemenuhan egonya, menggunakan daya tarik seksual untuk memanipulasi orang lain dan akhirnya mengorbankan orang tersebut. Hal ini disebabkan karena merasa tidak aman dengan kondisi fisik dan non fisik dirinya, minder akan tubuhnya, kesulitan untuk mencintai tanpa syarat, tidak percaya akan ketulusan orang lain, curiga bahwa orang lain akan mengambil keuntungan dari dirinya, terobsesi menguasai orang lain dengan daya tarik fisiknya dan kehausan dipuji karena sensualitas fisik yang dimilikinya.

Gambaran topeng seperti ini seringkali tercermin dalam realitas hidup setiap orang. Namun demikian, dengan menggunakan topeng-topeng itu kita seakan telah lupa dengan sang pemberi kehidupan, yang telah menciptakan manusia menurut Citra-Nya. Kebanyakan dari diri kita lebih suka menjadi seperti orang lain, ketimbang menjadi diri sendiri. Karenanya pantas menjadi permenungan bersama atas topeng-topeng kehidupan yang sekiranya baik secara sadar atau tidak, kita gunakan. Intropeksi dengan menyadari segala kekurangan yang dimiliki serta mau menerima diri kita apa adanya, mungkin lebih baik untuk menangkal topeng kepura-puraan yang senantiasa menutupi keaslian diri. Sehingga kesenjangan realitas kehidupan (paradoks) dengan yang semestinya dapat terjawab tanpa harus memanipulasi pandangan orang lain atas diri sendiri. Semoga!!!

*) Penulis adalah Mahasiswa FISIP Untan, aktif di PMKRI Cabang Pontianak, Sahabat Lingkungan Kalbar dan Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP)


Jl. Sepakat 2, Blok P. 123 (Asrama Santo Bonaventura) Pontianak Selatan 78124
(081345279003)