by. Hendrikus Adam BR
Cara pandang setiap orang memaknai kerhidupan tentunya sangat beragam. Terlebih di era sekarang yang syarat dengan dinamika dan kepura-puraan. Suara hati dan keyakinan serta nilai-nilai moralitas seakan menjadi tabu untuk dijadikan pertimbangan dalam menjalani hidup. Singkat kata, pola interaksi dan tingkah laku manusia yang seharusnya, bila dibandingkan dengan kenyataan hidup yang sebenarnya begitu ironis. Pertentangan realitas hidup masa kini menarik untuk cermati dan menjadi permenungan. Bagaimana tidak? Ungkapan paradoks berikut sedianya mengupas realitas pertentangan dimaksud; Kita mempunyai gedung tinggi, tetapi kesabaran yang semakin rendah. Jalan yang semakin lebar, tapi sudut pandang yang semakin sempit. Semakin banyak membeli, tetapi semakin sedikit yang dinikmati. Semakin banyak pengetahuan, tetapi semakin sedikit kebijaksanaan. Semakin banyak bicara, tetapi sedikit mencinta dan memberi. Kita berhasil sampai kebulan, tapi tidak sanggup pergi mengunjungi tetangga. Punya penghasilan yang besar, tapi moralitas yang semakin rendah. Selalu berusaha membersihkan lingkungan, tetapi membiarkan jiwa terus kotor. Semakin banyak hiburan, tetapi semakin sedikit kebahagiaan. Semakin banyak rumah indah, tetapi semakin banyak rumah tangga yang pecah. Demikian, tidak sedikit kenyataan tindakan kita yang cenderung berlawanan dengan yang seharusnya. (Paradox Masa Kini, Diktat LK Pentis).
Ungkapan pertentangan dimaksud, disadari atau tidak sungguh telah merasuk dalam setiap diri kita. Hanya saja, barangkali tingkat kadarnya yang membedakan. Dimana, respon terhadap perubahan pada jaman edan sekarang ini kian menjadi, hal ini dapat terlihat disaat begitu banyak orang yang mampu menyulap diri dengan cara yang rapih hingga akhirnya mampu mengelabui orang lain. Pemandangan seperti misalnya; bagaimana kasus penipuan, jual beli dan penggunaan ijasah palsu karena gila titel, menyulap diri hingga tampak saleh (sok suci), gaya hidup mewah dengan menggunakan materi secara berlebihan, memilih-milih teman dalam pergaulan, suka publisitas memamerkan kehebatan diri, suka membangga-banggakan jabatan (gila pangkat), menggunakan daya tarik fisik (seks) untuk memanipulasi orang lain, tindakan menghalalkan segala cara adalah sebagian kecil dari fenomena sosial yang nampak semakin mewabah.
Dalam kehidupan sehari-hari, pemandangan seperti itu kerapkali kita jumpai. Tindakan memanipulasi pandangan masyarakat berdasarkan ego diri atau kelompok yang pada akhirnya mengorbankan orang lain menjadi senjata ampuhnya. Gambaran kemampuan menyulap diri melalui tindakan-tindakan manipulasi pandangan publik terhadap dirinya inilah menurut Anthony Dio Martin, dikenal dengan istilah Topeng Kehidupan.
Topeng Kehidupan menurut Martin senantiasa digunakan seseorang untuk menutupi kekurangan, ketakberdayaan, identitas diri yang gelap dan atau ancaman perasaan tak aman. Sehingga tidak heran bila orang yang terus menerus mengenakan topeng itu selalu tampat selayaknya perkembangan jaman kekinian yang penuh dengan ‘kegilaan’. Seseorang tersebut akan tampak tidak sewajarnya (amnormal), karena mental dan keaslian dirinya telah terkontaminasi (hilang).
Karena itu, Anthony Dio Martin dalam bukunya Emotional Quality Management, menyebutkan sedikitnya ada tujuh (7) jenis topeng kehidupan yang selalu digunakan setiap orang, meliputi; Pertama, Topeng Kepemilikan. Topeng jenis ini biasanya digunakan karena ketakutan tidak diterima, takut dihina, takut dicap negatif dan merasa tidak aman apabila tidak memiliki benda-benda tertentu. Guna menutupinya, maka digunakanlah benda/materi secara berlebihan (pakaian, perhiasan, rumah, mobil, barang mewah, dsb), rela berhutang demi gengsi dan lebih suka bila orang lain mengenathui harga barang yang dimilikinya. Kedua, Topeng Intelektualitas. Topeng jenis ini dilatarbelakangi oleh karena rasa takut kelihatan bodoh dalam berpikir dan bicara, merasa tak aman dengan kemampuan dan pengetahuannya serta merasa takut tak dihormati sebagai orang cerdas. Biasanya tipe orang yang menggunakan topeng ini lebih suka menggunakan titel atau embel-embel pendidikan secara menyolok, rela membeli titel, suka menggunakan istilah asing tidak pada tempatnya, tidak mau hadir memenuhi undangan bila salah atau tidak ditulis titelnya secara lengkap. Ketiga, Topeng Sosial. Ciri dari pengguna topeng jenis ini diantaranya; merasa terobsesi membangun status sosial tinggi, memilih-milih dan hanya mau berteman dengan orang yang berstatus sosial lebih tinggi, selalu berusaha masuk dalam kelompok yang bergengsi, suka membanggakan rekan yang berpangkat tinggi. Topeng ini dikenakan karena takut akan status sosial rendah, takut ditolak kelompok tertentu, takut dianggap memiliki level pergaulan yang pantas, tidak percaya diri dengan identitas sosialnya.
Keempat, Topeng Moral. Ciri pengguna topeng jenis ini adalah berusaha tampak saleh (sok suci), suka bersembunyi dibalik ayat-ayat suci padahal perilakunya sehari-hari bertentangan dengan itu dan suka berkotbah padahal dirinya sendiri tidak melaksanakannya. Biasanya ini dilakukan karena takut ditolak oleh kelompok yang mementingkan nilai-nilai religius dlsb. Kelima, Topeng Impresif. Dengan menggunakan topeng ini, biasanya orang berusaha memberikan kesan positif dengan berusaha tampil hebat, berpura-pura murah hati, suka mengumbar janji, suka publisitas, pandai bersandiwara untuk memberikan kesan hebat, memberi kesan sebagai penolong atau teladan, dan gelisah bilamana kesan hebat itu hilang. Hal ini disebabkan adanya rasa cemas bila tak dicintai orang banyak, takut akan kesan negatif dari orang lain, terobsesi jadi terkenal sebagai figur pulik, takut bilamana tidak mendapatkan pujian atau sanjungan dari orang lain.
Keenam, Topeng Jabatan. Pengguna jenis topeng ini lebih suka membangga-banggakan jabatan yang dimilikinya, berusaha mendapat perlakuan khusus didepan umum, berusaha tampil superior, suka membagi-bagikan kartu nama, menyepelekan orang yang jabatannya lebih rendah dari dirinya, minta dipatuhi, suka menghalalkan segala cara, tidak suka bergabung dengan orang yang berpangkat lebih tinggi daripada dirinya dan suka mendominasi pembicaraan. Sikap ini ditampilkan karena merasa kerdil (minder), merasa tak berharga tanpa jabatan dan trauma bilamana diabaikan oleh orang diatasnya. Ketujuh, Topeng Seksualitas. Pengguna jenis toprng ini tampak seperti; suka memperalat seks untuk pemenuhan egonya, menggunakan daya tarik seksual untuk memanipulasi orang lain dan akhirnya mengorbankan orang tersebut. Hal ini disebabkan karena merasa tidak aman dengan kondisi fisik dan non fisik dirinya, minder akan tubuhnya, kesulitan untuk mencintai tanpa syarat, tidak percaya akan ketulusan orang lain, curiga bahwa orang lain akan mengambil keuntungan dari dirinya, terobsesi menguasai orang lain dengan daya tarik fisiknya dan kehausan dipuji karena sensualitas fisik yang dimilikinya.
Gambaran topeng seperti ini seringkali tercermin dalam realitas hidup setiap orang. Namun demikian, dengan menggunakan topeng-topeng itu kita seakan telah lupa dengan sang pemberi kehidupan, yang telah menciptakan manusia menurut Citra-Nya. Kebanyakan dari diri kita lebih suka menjadi seperti orang lain, ketimbang menjadi diri sendiri. Karenanya pantas menjadi permenungan bersama atas topeng-topeng kehidupan yang sekiranya baik secara sadar atau tidak, kita gunakan. Intropeksi dengan menyadari segala kekurangan yang dimiliki serta mau menerima diri kita apa adanya, mungkin lebih baik untuk menangkal topeng kepura-puraan yang senantiasa menutupi keaslian diri. Sehingga kesenjangan realitas kehidupan (paradoks) dengan yang semestinya dapat terjawab tanpa harus memanipulasi pandangan orang lain atas diri sendiri. Semoga!!!
*) Penulis adalah Mahasiswa FISIP Untan, aktif di PMKRI Cabang Pontianak, Sahabat Lingkungan Kalbar dan Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP)
Jl. Sepakat 2, Blok P. 123 (Asrama Santo Bonaventura) Pontianak Selatan 78124
(081345279003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar