Senin, 28 Maret 2011

Usia Emas Perhimpunan


Sebuah refleksi….

By. Hendrikus Adam*


Usia dan Emas. Kedua kata ini sungguh berbeda satu sama lain dalam sisi pengucapan maupun dari sisi makna dibaliknya. Usia mencerminkan umur, rentang waktu pertumbuhan atau lamanya waktu bagi suatu benda dari mulai ada hingga saat ini. Sedangkan emas nama bahan galian atau logam hasil dari penambangan di perut bumi. Kata Emas menggambarkan sesuatu yang memiliki nilai tinggi, berharga. Umumnya berwarna kekuningan. Istilah emas juga melambangkan kejayaan. Semisal kita bisa temui makna dari kata “masa keemasan” dalam suatu dinasti atau pemerintahan kerajaan di masa lampau. Lantas apa yang ada dalam benak Anda bila mendengar perpaduan dari kedua kata tersebut (Usia Emas)?

Ilustrasi mengenai Usia Emas ini bisa kita temui dalam lingkungan masyarakat kita. Beberapa tahun silam misalnya, saya turut menghadiri acara syukuran “Pesta Emas” kehidupan berkeluarga (pernikahan) di Gg. Tani 4 Sungai Jawi Pontianak. Di lingkungan para imam, seringkali kita temui juga istilah ini dengan sebutan “Pesta Emas Imamat”. Dan pastilah banyak istilah lain. Sekalipun tidak pernah ada patokan standar nominal angka yang ditetapkan secara resmi atas istilah ini, tetapi seakan telah termaterai dengan sendirinya limit waktu dari perayaan emas dimaksud yang menerminkan masa 50 tahun. Artinya bahwa bila terkait dengan perkawinan, maka usia emas menggambarkan bahwa kedua pasang suami-istri telah menjalani kehidupan rumah tangga selama 50 tahun atau setengah abad. Demikian pula seorang imam yang memasuki usia emas imamat, ini berarti ia telah mengabdikan diri sebagai pelayan umat sebagai Imam selama 50 tahun.

Ada banyak istilah lain lagi sebetulnya yang menggunakan sebutan dengan meminjam istilah dari nama logam lainnya, seperti Pesta Perak yakni menggambarkan masa 25 tahun atau ¼ abad. Istilah emas dan perak dalam konteks ”usia” tentu berbeda dengan penggunaannya di bidang olahraga seperti medali emas dan atau medali perak serta medali perunggu yang biasa berikan sebagai penghargaan kepada para atlet yang berprestasi. Agak aneh memang kenapa harus menggunakan ketiga nama logam tersebut, kenapa tidak juga menggunakan nama yang lainnya seperti ”pesta intan” atau ”medali intan”? Eits..., saya nggak mau pusing dengan istilah terakhir, karena bukan ini yang akan diurai dalam tulisan ini.

Kembali ke Usia Emas atau masa setengah abad. Hari ini (Sabtu) tepatnya tanggal 26 Maret 2011 menjadi momentum penting bagi sebuah organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Kota Pontianak ini khususnya dan di Kalimantan Barat umumnya. Menjadi moment penting, karena wadah kaderisasi dan perjuangan berbasis mahasiswa Katolik ‘yang terseleksi’ (terbuka untuk mahasiswa non Katolik) di propinsi ini genap memasuki Usia Emas (50 tahun). Menjadi penting juga karena hadirnya wadah ini adalah cikal bakal lahirnya beberapa tiga cabang PMKRI lainnya di provinsi ini. Sebuah usia yang sangat mumpuni dan idealnya banyak makan garam ibaratkan usia manusia. Bapak Justinus Mardi dan delapan rekan lainnya serta seorang Pastor ( A. A. Mujiono, Tan Un suah, Yustina Theresia Ariany, Frans Kam Soo Nyong, B. Pami, Sabinen Ada, Johny Liem, RF. Herry Harjono) yang dibantu oleh Pastor Marius OFM Cap) saat itu menjadi pelopor awal lahirnya wadah ini yang dirintis sejak 26 Maret 1961 dengan pelindung Santa Katarina saat itu. Dua tahun setelah berdiri, tepatnya pada tanggal 13 Februari 1963 baru terbentuk secara legal kepengurusan periode 1963 – 1966 dengan ketua umum (sekarang Ketua Presidium) saat itu J. Mardi dan Sekretaris umum (sekarang Sekretaris Jendral) yakni A. A. Mudjiono, Bendahara umum yakni Tan Un Suah, serta sebagai Pastor Moderator perdana PMKRI Pontianak adalah Marius A.P. OFM Cap. Usia PMKRI Pontianak memang terpaut jauh dengan lahirnya PMKRI nasional (PMKRI Santo Thomas Aquinas) pada 25 Mei 1947 silam yang bertepatan dengan peringatan turunnya Roh Kudus atas para Rasul (Pantekosta).

Seperti halnya organisasi massa (Ormas) lain pada umumnya, PMKRI Pontianak dengan pelindungnya saat ini Santo Thomas More beralamat di Jalan Imam Bonjol Nomor 338 Pontianak telah melewati berbagai macam dinamika baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal. Suka dan duka mewarnai dinamika para kader dalam menjalani proses bersama dari waktu ke waktu hingga saat ini tentunya. Di masing-masing periode kepengurusan pun tentu beragam dinamika dan ceritanya. Terlepas dengan berbagai dinamika keorganisasian dalam perjalanannya dimasa pergantian estafet generasi penerus, tentu perjuangan para perintis awal untuk menghadirkan wadah ini jauh lebih ekstra karena namanya juga memulai baru. Hasil kerja pendahulu yang meletakkan “batu pertama” bangunan perhimpunan (PMKRI) tentu layak diapresiasi.

Bila telah menginjak masa setengah abad, apa yang telah dicapai PMKRI Pontianak dengan usia emasnya saat ini? Sebuah pernyataan yang tentunya layak menjadi refleksi bersama. Upaya untuk melihat diri ke dalam terkait dengan arah dan garis organisasi menjadi penting. Sebagai sebuah wadah belajar (kaderisasi) dan perjuangan, (para kader) PMKRI Pontianak diberi mandat untuk konsisten membumikan spirit perjuangannya dengan berkaca pada Visi organisasi ”terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan dan persaudaraan sejati” dan Misi-nya “Berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas melalui kaderisasi intelektual populis yang dijiwai nilai-nilai kekatolikan untuk mewujudkan keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.”

Dalam hal ini, arah dan orientasi gerakan PMKRI dimaksud sebagai pilihan wilayah gerakan dan keberpihakan, sebagai upaya keterlibatan dalam mendorong proses perubahan dan transpormasi struktur sosial budaya, ekonomi dan politik. Termasuk pula dalam wilayah ini terkait dengan lingkungan hidup tentu menjadi tidak tabu untuk menjadi mainstream isu gerakan organisasi ini seperti yang telah dilakukan beberapa tahun terakhir. Karakteristik yang ingin dicapai dari misi PMKRI diatas menyiratkan bahwa dengan segenap kekuatan berperan aktif dan menjadi bagian dari masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan dan melakukan proses dialogis untuk mengembangkan pengetahuan, nalar, ketrampilan dan sikap anggota sehingga menjadi seseorang yang mengabdikan segenap pengetahuan dan kemampuannya melalui keterlibatan bersama masyarakat untuk melakukan perubahan dengan dijiwai nilai-nilai (1) cinta kasih (2) bonum comune (3) ber-iman (4) pengharapan (5) universal.

Dengan demikian arah dan orientasi gerakan PMKRI ditujukan kepada upaya membangun tatanan demokrasi yang memungkinkan terwujudnya cita-cita perjuangan organisasi sebagaimana ditegaskan dalam Visi-Misi. Dengan demikian positioning PMKRI adalah sebagai sebuah organisasi kader intelektual populis yang dijiwai nilai-nilai kekatolikan dengan garis perjuangan terlibat pada pusat-pusat persoalan sosial.
Disamping itu tiga benang merah menjadi dasar spiritualitas yang menjadi penting menyemangati para kader PMKRI yakni Kristianitas, intelektualitas, fraternitas. Makna Krintianitas dalam hal ini adalah keberpihakan kepada kaum tertindas (preferential option for the poor) dengan menempatkan Yesus sebagai teladan gerakan. Kemudian Fraternitas, memiliki makna dimana para kader diharapkan mampu memberi perngharagaan yang sama kepada sesama umat manusia sebagai wujud persaudaraan sejati dalam solidaritas kemanusiaan yang menembus sekat-sekat primordial. Sedangkan spirit Intelektualitas menyiratkan makna bahwa penguasaan ilmu pengetahuan oleh kader perhimpunan harus diabdikan bagi kesejahteraan umat manusia. Ketiga unsur inilah yang seharusnya selalu mengarahkan dan menyemangati segenap kader PMKRI dalam segala pola aktivitasnya dan yang akhirnya menjadi nilai pembeda, nilai lebih, nilai pengikat, serta menjadi nilai penguji dalam tataran kompetisi dengan mahasiswa lain yang non PMKRI.

Dalam hal pembinaan, pada dasarnya ditujukan untuk membantu membentuk para anggota PMKRI mencapai keunggulan kader dengan integritas pribadi yang utuh. Integritas pribadi yang utuh yakni yang memiliki Sensus Cristi yang hendak dicapai bercirikan; a) sensus chatolicus (rasa Kekatolikan), b) semangat man for others (panggilan hidup misioner yang menuntut sikap siap sedia. Bahwa setiap kegiatan hidup tidak hanya didasarkan pada kepentingan diri sendiri melainkan sejauh mungkin diabdikan pada kepentingan sesama yang lebih besar), c) sensus hominis (rasa kemanusiaan, terdapat kepekaan terhadap segala unsur manusiawi yang meliputi solidaritas pada setiap pribadi manusia), d) pribadi yang menjadi teladan (kemampuan untuk menjadi pribadi yang menjadi garam dan terang dunia, dalam pola pikir, sikap, dan tingkah laku, e) universalitas yakni sikap siap sedia untuk memasuki celah-celah dan dimensi kehidupan masyarakat yang paling membutuhkan dan menerobos tembok-tembok diskriminasi dalam bentuk apapun, f) magis semper (semangat lebih dari sebelumnya yang hanya dapat dicapai dengan kerja keras, mutu, magis, dan profesional).

Melalui segala upayanya, PMKRI dalam seluruh orientasi dan kegiatannya berasaskan Pancasila, dijiwai Kekhatolikan, disemangati oleh Kemahasiswaan. Hal ini menegaskan bahwa setiap kader perhimpunan menjunjung tinggi semangat dan nilai-nilai Pancasila sebagai spirit kehidupan berbangsa dan bernegara yang dijiwai nilai-nilai keyakinan dengan kemahasiswaan sebagai bagian penting dari eksistensi diri sebagai sebuah organisasi kader. Dalam aktivitasnya, PMKRI menjadi penting dipahami oleh multistakeholders. Bahwa PMKRI bukanlah sebuah organisasi yang ditujukan untuk terlibat dalam ranah politik praktis (alat politik atau alat kepentingan individu), namun dalam hal kamasyarakatan menuju kesejahteraan bersama (bonum commune) menjadi penting dan mutlak bagi PMKRI untuk mempunyai sikap politik terhadap permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara. Tentu pemahaman ini sangat familiar bagi mereka yang pernah berproses di PMKRI pada umumnya, sehingga menjadi tanggungjawab bersama juga agar arah perjuangan organisasi tetap terjaga.

Sebagai sebuah organisasi skala nasional dengan memiliki jaringan bahkan hingga ke tingkat internasional, PMKRI selayaknya memiliki posisi tawar yang strategis dalam perjuangannya untuk turut mewarnai dan memberi kontribusi pada persoalan sosial dan pembangunan di Tanah Air khususnya. Penghayatan atas spirit dan nilai-nilai perjuangan mutlak menjadi dasar yang harus dipahami dan dihidupi serta mengakar dalam diri setiap kader. Karena dengan sikap konsisten dan kontinue dalam menjaga nilai-nilai perjuangan yang disertai sikap kader yang idealis, akan menjadikan posisi organisasi mendapat tempat berharga di mata publik. Konsistensi sikap dalam menjaga nilai-nilai dan spirit perjuangan tersebut hendaknya tidak kalah oleh karena sikap dan pemikiran pragmatis kader yang cenderung berpikir instan (praktis) hanya untuk kepentingan jangka pendek.

Penting dipahami pula bahwa PMKRI adalah wadah kaderisasi dan perjuangan, bukan wadah untuk memuaskan kepentingan individu (pribadi) anggota semata. Sehingga dengan demikian, selayaknya para kader perhimpunan tidak gampang tergiring dalam pola pikir yang dangkal dalam memaknai keterlibatan dirinya sebagai bagian dari organisasi. Pilihan sikap untuk mengkotak-kotakkan diri dalam bingkai yang sempit misalnya terkait upaya menonjolkan identitas diri berdasarkan later belakang dengan sendirinya telah mengkerdilkan spiritualitas kader dan berpotensi mengoyak pondasi dan cita-cita organisasi. Sikap profesional akan sangat membantu setiap anggota untuk tidak terlarut pada persoalan individu yang terbaur dengan urusan organisasi. Keberanian setiap kader untuk mau membiasakan diri membuka ruang otokritik dalam diri dan internal perhimpunan akan semakin memberikan celah yang positif (sinyal) bagi eksistensi diri kader maupun organisasi. Adalah sangat keliru bila dalam benak kader PMKRI ada pemikiran bahwa sumber daya finansial (uang) sebagai faktor utama untuk “membesarkan” keberadaan organisasi yang bermartabat. Karena, konsistensi idealisme dalam menjaga spirit dan nilai perjuangan organisasi akan menjadi jauh lebih penting dan mutlak dari hanya sekedar menghambakan “meteri” untuk eksistensi organisasi agar bisa mendapat tempat di mata publik. Terlebih PMKRI juga bukanlah sebuah organisasi profit, tetapi mengusung misi sosial dan pelayanan. Penting diketahui pula bahwa dalam kaitannya dengan Hierarkhi Gereja secara organisatoris kelembagaan, posisi PMKRI setara (sama). Namun demikian sebagai anggota gereja, PMKRI berada dibawah koordinasi Gereja.

Apakah nilai-nilai ke-PMKRI-an tersebut telah membumi bagi setiap kader? Dan apakah kehadiran PMKRI telah berkontribusi maksimal dalam turut mewujudkan situasi masyarakat yang kondusif, berkeadilan, humanis dan egaliter dalam dinamika persoalan kemasyarakatan untuk terwujudnya keadilan sosial-kemanusiaan-persaudaraan sejati? Kedua pertanyaan ini kiranya pantas menjadi bahan permenungan bersama dalam momen bersejarah yang tidak akan pernah terulang di Usia Emas ini. Semoga semboyan spiritual “Religio Omnium Scientarium Anima” (Agama adalah jiwa segala ilmu pengetahuan) dan semboyan misioner “Pro Ecclesia Et Patria” (Untuk Gereja dan Tanah Air) yang ada selama ini masih dihidupi, tidak sekedar bergaung tanpa makna. Menjadi tantangan dan tanggungjawab bersama komponen perhimpunan untuk tetap menjaga garis perjuangan organisasi ini agar tetap pada jalurnya.

Selamat Ulang Tahun ke-50 kepada PMKRI Pontianak Santo Thomas More yang memasuki Usia Emas. Kiranya kehadiran PMKRI Pontianak semakin dekat di hati publik oleh karena perjuangannya yang murni dan konsisten diarahkan untuk kepentingan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. PETRA-ROSA. Semoga. []

*) Penulis; Anggota biasa PMKRI Pontianak (Ketua Presidium periode 2008-2009).
Hp. 085245251907,
Email. borneodamai@yahoo.com
Blog. www.inspirasi-hendrikusadam.blogspot.com

Catatan: Nama para pendiri telah diperbaiki sesuai usulan Pak Justinus Mardi (Ketua PMKRI Pontianak Pertama) kepada penulis.

Diterbitkan dalam Harian Borneo Tribune Pontianak pada Minggu, 27 Maret 2011.