Senin, 01 Juli 2013

Bencana itu Bernama Kabut Asap


By. Hendrikus Adam
(Ini naskah kedua soal Kabut Asap. Naskah sebelumnya silahkan lihat di
KABUT ASAP 1)

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan menjadi fenomena yang seringkali terjadi di pulau Kalimantan, khususnya di provinsi Kalimantan Barat. Kejadian ini menyisakan banyak persoalan karena memberi dampak pada sejumlah aspek kehidupan sosial, ekonomi, lingkungan hidup dan juga aspek politik. Pada aspek sosial berdampak pada sejumlah kegiatan seperti pendidikan dan tingkat kesehatan warga yang begitu rawan terganggu oleh karena polusi asap yang menyelubungi atmosfer.. Sedangkan pada aspek ekonomi, kabut asap memberi dampak pada terganggunya sarana transportasi dan aktivitas ekonomi maupun kegiatan produktif masyarakat lainnya melalui sejumlah usaha yang digeluti. 

Disamping itu pada aspek lingkungan hidup, fenomena kabut asap menjadi sumber polusi bagi udara bersih yang seharusnya bisa dihirup setiap orang. Dampaknya dapat menyebakan gangguan radang pernafasan yan menyebabkan penyakit ISPA. Selanjutnya pada sisi politik, kabut asap yang kerapkali terjadi di daerah kita telah melahirkan persepsi negatif pihak luar negeri terhadap kinerja pemerintah dalam mengendalikan fenomena yang tidak menguntungkan ini. Dalam hal ini, posisi negara cenderung berada pada posisi lemah.

Pada Juni 2012 lalu misalnya, kabut asap yang disinyalir berasal dari Indonesia menyelimuti gedung menara kembar ‘pencakar langit’ Petronas setinggi 88 tingkat di Kuala Lumpur, Malaysia. Kejadian ini menjadi perhatian banyak pihak khususnya melalui pemberitaan media massa betapa buruknya kondisi udara dan Indonesia mendapat predikat kurang menguntungkan yakni sebagai negeri penghasil asap. Kabut asap yang terjadi sekitar Juni 2012 lalu setidaknya telah memberi dampak pada sejumlah aspek kehidupan seperti terganggunya jalur transportasi udara, aktivitas warga maupun gangguan kesehatan karena polusi udara. Sedikitnya sebanyak sepuluh maskapai penerbangan di Bandara Supadio saat itu yang mengalami gangguan penerbangan sekitar 1,5 jam dengan jarak pandang yang hanya berkisar  hingga 50 meter.

Fenomena kabut asap telah melahirkan sejumlah upaya untuk mendeteksi sejumlah kejadian yang berhubungan dengan akar persoalan yang sedang terjadi. Stasiun Meteorologi Supadio mencatat bahwa pada 18 Juni 2012 misalnya, titik api berdasarkan pantauan satelit NOA hingga mencapai 90 titik. Daerah yang terpantau meliputi; Sambas 13 titik, Kubu Raya 5 titik, Bengkayang dan Kabupaten Pontianak 4 titik, Kapuas Hulu dan Ketapang 3 titik, Landak dan Kayong Utara 2 titik. Selanjutnya berdasarkan data BLHD Kalimantan Barat per Juni 2012 sedikitnya terdapat 392 titik api yang tersebar di 13 kabupaten/kota Kalimantan Barat minus kota Pontianak.

Masih menurut data BLHD Kalimantan Barat, sepanjang Januari hingga Oktober 2012, titik api yang terjadi di 14 kabupaten/kota Kalimantan Barat sebanyak 6.028 titik yakni Ketapang (1.757 titik), Sanggau (954 titik), Sintang (819 titik), Landak (522 titik), Kapuas Hulu (483 titik), Sekadau (405 titik), Melawi (326 titik), Sambas (269 titik), Bengkayang (171 titik), Kayong Utara (150 titik), Kabupaten Pontianak (148 titik), Kota Singkawang (21 titik) dan Kota Pontianak (3 titik).

Walhi Kalimantan Barat per 31 Juli 2012 turut merilis titik api (hotspot) yang terjadi di Kalimantan Barat sebanyak 61 titik. Sebanyak 34 titik api diantaranya berdasarkan analisis terdapat di 31 konsesi usaha perkebunan besar di sembilan kabupaten yakni Bengkayang (2 perusahaan), Landak (5 perusahaan), Sanggau (4 perusahaan), Sekadau (1 perusahaan), Sintang (9 perusahaan), Ketapang (2 perusahaan), Kubu Raya (5 perusahaan), Kapuas Hulu (2 perusahaan) dan Kayong Utara (3 perusahaan). 

Persoalan lingkungan yang dikenal dengan kabut asap ini, sebetulnya bukan fenomena baru.  Sejak tahun 1997/1998 silam, kabut asap hebat telah menjadi bencana nasional yang juga tidak luput dari perhatian pihak luar. Data World Bank tahu 2001 menyebutkan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh 34% akibat konversi lahan (untuk perkebunan dan HTI), 25% pertanian, 17% perkebunan, 8% transmigrasi, 14% kebakaran lainnya dan 1% akibat bencana alam.

Sekitar tahun 2005/2006, kabut asap juga menyita perhatian publik. Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dibawah pimpinan Rachmat Witoelar pada Jumat (1/9/2006) mengumumkan sebanyak 697 perusahaan terindikasi membakar hutan dan lahan meliputi wilayah pulau Sumatera dan Kalimantan khususnya selama periode bulan Juni hingga Agustus 2006. Langkah pemblokiran oleh pihak Kementrian Lingkungan Hidup terhadap sejumlah lahan konsesi yang terbakar saat itu merupakan terobosan baik. “Mungkin (pemblokiran) ini kontraversial, tetapi itulah salah satu cara menghentikan pembakaran. Cara ini digunakan untuk mencabut motif ekonomi dibalik pembakaran hutan dan lahan,” [Rachmat Witoelar, dikutif dalam KR edisi 2006].

Fenomena kabut asap menyelimuti sejumlah daerah di pulau Kalimantan dan khususnya di Kalimantan Barat memang biasa terjadi. Berdasarkan catatan WALHI Kalimantan Barat, sepanjang tahun 2012, kabut asap setidaknya terjadi mulai bulan Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober.

Menarik dari fenomena kabut asap yang terjadi sekitar Juni 2012, tidak bertepatan dengan musim membuka lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar oleh masyarakat lokal. Kenyataan ini menjelaskan kuat dugaan ada sebab lain yang menjadi biang kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan terjadinya kabut asap. Umumnya fenomena ini terjadi ulah manusia, baik yang dilakukan disengaja maupun tidak disengaja. Sangat kecil kemungkinan terjadi karena faktor alam. Kenyataan bahwa pengungkapan pelaku kabut asap selama ini belum pernah membuahkan hasil. Kondisi demikian berimbas pada mandulnya penegakan hukum lingkungan hidup atas pelaku pembakar hutan dan lahan. 

Dalam banyak pandangan, masyarakat lokal di pedesaan yang membuka lahan untuk pertanian gilir balik seperti berladang, kerapkali diposisikan sebagai pihak ‘tertuduh’ biang kabut asap. Peladang gilir balik sering mendapat sorotan negatif. Pada peristiwa kebakaran lahan yang mengakibatkan bencana kabut asap Juni 2012 lalu misalnya, tuduhan terhadap peladang sebagaimana diberitakan harian lokal yang disampaikan pihak Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalimantan Barat memberatkan peladang sebagai penyebabnya.

Dalam kutipan sebagaimana diberitakan (Pontianak Post, 19 Juni 2012), Wuyi Bardani selaku Kabid Pengendalian dan Konservasi BLHD Kalbar menyatakan; ”Sekarang memasuki musim kemarau dan sudah tidak turun hujan beberapa hari belakangan. Setiap musim kemarau biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membakar hutan untuk membakar lahan baru”. Sementara disatu sisi, khususnya pada bagian awal berita berjudul ”ISPU Rusak Kadar Asap Tak Menentu,” tertulis bahwa “Badan Lingkungan Hidup Kalimantan Barat sampai saat ini belum mengetahui penyebab pelaku pembakar lahan yang mengakibatkan kabut asap pekat. Namun kuat dugaan hal tersebut dilakukan oleh masyarakat saat membuka ladang.” Penyataan yang diberitakan media massa lokal ini menyiratkan bahwa sekalipun BLHD belum mengetahui secara pasti penyebabnya, namun tuduhan terhadap peladang sebagai penyebab kabut asap tersirat jelas.

Bila melihat rotasi pembukaan lahan pertanian ladang yang biasanya ada di masyarakat lokal, maka ‘tuduhan’ terhadap peladang sebagai penyebab kabut asap berpotensi kurang baik. Hal ini dkarenakan bahwa sekitar bulan Juni biasanya bukanlah masa membersihkan lahan dengan cara bakar bagi petani. Bulan Juni justeru biasanya dimanfaatkan untuk memulai menyiangi dan atau menebas kawasan yang akan dibuka untuk lokasi ladang. Tuduhan terlalu dini yang cenderung negatif bagi peladang tersebut seharunya tidak perlu terjadi bila rotasi tahapan perladangan dapat dipahami secara menyeluruh.
           
Kenyataan lain bahwa indikasi penyebab kebakaran lahan skala luas yang selanjutnya menghasilkan bencana kabut asap dari kegiatan pembersihan lahan oleh perusahaan perkebunan maupun sejenisnya seringkali tidak tersentuh aparat penegakan hukum. Pelajaran dari tuntutan hukum atas kasus kebakaran lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terjadi sekitar tahun 2006 di PT. Buluh Cawang Plantation (BCP) dan PT. Wilmar Sambas Plantation (WSP) berakhir kandas. Selanjutnya di sejumlah lokasi perkebunan lainnya pada tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan sawit meliputi; PT. Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak. Ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran di arealnya. Bahkan kebakaran lahan sawit di kampung Engkuning malah menjorok hingga merusak perkebunan karet produktif warga.

Terkait dengan pembakaran lahan yang berakibat pada terjadinya kabut asap, kepala BLHD Kalimantan Barat, Dr. Ir. H. Darmawan, M.Sc, pernah menyampaikan bahwa ”Pihak ketiga yang diduga melakukan pembakaran sering berdalih, faktanya land clearing disub kontrakkan. Disamping itu, undang-undang lingkungan hidup yang lama memang sulit menjerat pelaku, namun dengan UU yang baru (UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup), mereka (pihak perusahaan) bisa dijerat. Kami pernah memperkarakan PT. Wilmar Sambas Plantation atas kebakaran lahan yang terjadi di lokasi kebunnya, tetapi kita saat itu kalah”

Menurut Darmawan, pihak BLHD sejauh ini akan menindaklanjuti apa bila ada pengaduan dari masyarakat yang merasa dirugikan. Karena kendalanya terkait dengan luas wilayah, rentang kendali dan sumber daya, maka pihaknya lebih memilih untuk mengutamakan pembinaan. Soal perizinan usaha, pihak BLHD lebih menekankan agar aturan-aturan yang dipersyaratan ditaati pihak perusahaan.

”Kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah aspek lingkungan dalam usahanya, salah satu yang dilakukan BLHD melalui pembinaan terlebih dulu. Karena ada aspek lain yang dipertimbangkan yakni iklim investasi. Kalau mau melakukan tindakan hukum bisa saja semuanya kena, tetapi kita tidak ingin menimbulkan iklim yang tidak baik. Karena justru dapat menimbulkan kondisi yang tidak diharapkan. Tugas kita semua, setiap investasi yang masuk mesti bisa memastikan ada manfaat yang didapat masyarakat dari apa yang dilakukan,” [Wawancara bersama Darmawan].

Pengalaman dari (hukum) adat capa molot terhadap Kadis Kehutanan Kalbar (Ir. Karsan Sukardi) ditahun 1997 karena menuduh peladang berpindah sebagai penyebab kebakaran hutan dan bencana kabut asap menarik untuk menjadi pelajaran. Dari kasus ini bisa dipetik pengalaman berharga, betapa tuduhan miring sebagai biang kabut asap yang cenderung dialamatkan pada warga pedesaan khususnya peladang masih terlalu dini dan kurang beralasan.  Pada sisi lain, kegiatan petani yang membakar ladang untuk lahan pertaniannya tidak menjadi persoalan sejak dulu. Terlebih dalam membuka lahan mereka biasanya hanya semampu mereka dan dikelola berdasarkan kearifan yang dimiliki. Sebaliknya, pihak perusahaan dalam membuka lahan memerlukan hamparan yang luas dan tentu saja manakala terjadi kebakaran baik disengaja maupun tidak (karena kelalaian misalnya) akan sulit untuk dipadamkan.

Terlepas dari aspek politis, komplain dunia internasional melalui pemerintah negara setempat dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab sosial suatu rezim memberi perlindungan bagi warganya dari potensi situasi lingkungan yang buruk akibat polusi yang sudah dianggap mengganggu. Pada sisi aspek pemenuhan hak dasar (HAM), rasa keberatan yang dilakukan dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab kemanusiaan. Respon dunia internasional tentu tidak mesti dinilai negatif. Sebaliknya mestinya dapat direspon secara bijak, sekaligus boleh dijadikan refleksi dan pelajaran berharga untuk berbenah guna menumbuhkan komitmen maupun sinergi bersama agar negeri ini dipulihkan dari (sebagai) sumber dan bencana kabut asap.   Sebaliknya, sikap diam warga atas fenomena kabut asap selama ini sedianya juga tidak dijadikan legitimasi negara melalui pemerintah dan multi pihak lainnya untuk tidak berbuat sesuatu demi lingkungan yang baik dan sehat. Sebagai hal yang dianggap biasa, harus disadari bahwa kabut asap telah berkontribusi mempengaruhi kondisi lingkungan dan tingkat kesehatan, sosial budaya, ekonomi dan transportasi maupun situasi politik di masyarakat.

Bila melihat sejumlah kejadian kebakaran sejak 1990an hingga kini, faktor penting yang berkontribusi menjadi penyulut kabut asap selama ini adalah pembersihan lahan yang terjadi di sejumlah areal konsesi perkebunan skala besar dengan cara membakar. Memang dalam satu sisi, pembukaan lahan dengan cara membakar bagi korporasi adalah cara yang sangat murah. Sejumlah kasus dan kejadian pembakaran lahan yang berkontribusi menyebabkan kabut asap di areal perkebunan skala besar selama ini belum tersentuh hukum.

Di Kalimantan Barat misalnya, hingga saat ini belum ada sanksi tegas terhadap pelaku pembakar lahan (korporasi) dalam membuka konsesi. Terjadinya kebakaran lahan di perkebunan menjelaskan bahwa memang hukum masih belum menjadi panglima yang dapat diandalkan untuk memberikan efek jera atas pembakar lahan penyebab kabut asap.

Peran pemerintah untuk melakukan antisipasi hingga pada proses penanganan kebakaran lahan lebih bersifat reaktif. Fenomena ini juga sebagai bukti masih lemahnya komitmen pihak perusahaan mengelola managemen yang baik khususnya dalam upaya antisipasi kebakaran lahan. Lemahnya penegakan hukum atas pelaku kebakaran lahan adalah wujud dari tidak optimalnya peran negara. Hal ini pula menjadi indikasi bahwa upaya maupun komitmen proteksi untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran masih sangat lemah dalam managemen pengelolaan perusahaan.  

Sesungguhnya, landasan hukum melalui Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan Provinsi Kalimantan Barat dan Pergub Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (PROTAP) Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalbar telah mengatur hal tersebut. Demikian halnya dalam UU Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Pertanian nomor: 26/permentan/ot.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Keputusan Menteri Pertanian nomor 357/kpts/hk.350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan  juga tidak membenarkan adanya pembukaan lahan dengan cara pembakaran. Ancaman sanksi 10 tahun penjara dengan denda 10 milyar sebagaimana diurai pasal 26 Undang-undang 18 tahun 2004 tentang Perkebunan menanti. 

Melihat lemahnya tindakan tegas terhadap pelaku penyebab kabut asap yang terus terjadi, barangkali aparat penegak hukum kita perlu belajar dari proses penanganan dan penegakan hukum terhadap perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan pembakaran lahan di Riau tahun 2000. Dalam hal ini, dua perusahaan perkebunan yaitu PT. Jatim Jaya Perkasa dan PT. Adei Plantation divonis bersalah oleh pengadilan.  

Kabut asap kerap membuat sejumlah pihak kalang kabut, bahkan saling lempar tanggungjawab. Upaya optimal dan sinergisitas antar komponen memang sangat penting untuk mengatasi fenomena ini. Demikian pula komitmen maupun upaya penegakan hukum untuk menghentikan bencana kabut asap mesti menjadi perhatian bersama semua pihak karena akhirnya yang menjadi korban dan dirugikan adalah khalayak ramai.

 *) Penulis, aktivis Walhi Kalimantan Barat