Senin, 18 Agustus 2008

Gagasan

Spirit Merah Putih
By. Hendrikus Adam*
Merah dan putih. Setiap orang mengenal warna ini. Merah putih (bendera) kembali berkibar akhir-akhir ini. Merah artinya berani dan putih artinya suci. Demikian kira-kira pemaknaan setiap warga secara umum atas warna dimaksud. Warna merah-putih akhir-akhir ini memang mendominasi disetiap sudut dan ruang khususnya di seantaro Nusantara. Merah dan Putih yang menjadi warna dasar Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah harga mati yang tidak bisa diganggu gugat. Lirik lagu; Berkibarlah Benderaku “…siapa berani menurunkan engkau, serentak rakyatmu membela…” membuktikan itu.

Hari ini (kemarin), tepatnya 17 Agustus 2008, 63 tahun sudah berlalu. Kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 atas nama rakyat Indonesia kala itu pantas disambut baik. Warna merah dan putih memang bukan hanya ada pada bendera sang saka yang seringkali dikibarkan saat dirgahayu kemerdekaan RI.Merah dan putih bersama warna lainnya juga turut digunakan pada berbagai tempat dan oleh berbagai stakeholder. Para kalangan elit politik melalui partainya juga diantaranya menggunakan warna merah dan putih. Warna merah dan putih tidak selalu sama maknanya seperti pandangan umum seperti diatas. Latar belakang pihak yang membuatnya serta kepentingan yang beragam menjadikan pemaknaan atas warna tersebut menjadi tidak sama persis antara satu dengan lainnya. Namun apa artinya yang seungguhnya dari warna merah dan putih bagi bangsa Indonesia seperti yang tersirat pada bendera merah putih? Cukupkah bila hanya dimaknai sebagaimana disebutkan terdahulu, yakni bermakna keberanian dan kesucian semata?



Warna merah dan putih adalah simbol sejarah masa lalu yang digunakan untuk warna bendera kita. Jas Merah yang menurut Bung Karno jangan pernah dilupakan. (Bendera) Merah putih adalah identitas bangsa Indonesia, simbol perjuangan dan simbol pengorbanan para founding father (peletak dasar negara). Sebagai identitas, merah putih (bendera) mendapat tempat tersendiri. Besarnya peran (bendera) merah putih mengilhami sebutan ‘agung’ baginya yakni Sang Saka Merah Putih. Penghinaan dan perlakuan yang melecehkan merah-putih akan mendapatkan perlawanan dari para pewaris negeri ini. Demikian halnya merah putih sebagai simbol perjuangan dan pengorbanan. Perjuangan tanpa mengenal lelah dan pengorbanan tanpa pamrih menjadi semangat yang tidak pernah lekang, merasuk dalam setiap diri generasi terdahulu. Perjuangan panjang yang mengorbankan cucuran darah dan keringat. Semangat ini pula yang menjadikan mereka (para pejuang kemerdekaan) kuat dalam kondisi dan situasi apapun untuk satu tujuan yakni Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan. Dari perjuangan masa lalu, segenap rakyat dari berbagai latar belakang etnis, suku, agama bersatu. Sekalipun berbeda-beda, namun tidak ada pengkotak-kotakan. Semangat keberagaman dan kebersamaan sungguh mengakar dalam hati sanubari para leluhur bangsa ini.

Merah putih juga adalah sebuah keberanian dan kesucian dengan dasar makna yang mendalam. Keberanian dapat dimaknai sebagai bagian dari kesanggupan menghadapi seberat apapun rintangan atas dasar niat thulus (suci) untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan harga diri bangsa. Keberanian dan kesucian yang dilakukan tanpa mengenal syarat, namun keberanian dan kesucian yang dilakukan sungguh alamiah yang muncul dari lubuk hati sebagai manusia yang sama dimata-Nya.

Lebih dari sekedar simbol, hal yang mendasar pada merah putih adalah sejatinya terkandung spirit yang mendalam. Spirit yang adalah sebuah kekuatan besar dengan tujuan mulia. Spirit merah putih dengan muatan nilai-nilai ‘agung’ yang mestinya dapat mengakar dalam setiap derap langkah anak negeri hari ini melalui beragam aktivitasnya dalam meneruskan cita-cita pejuang bangsa. Spirit merah putih sesungguhnya adalah kemerdekaan dan perdamaian sejati. Kemerdekaan dan perdamaian sejati sebagai mimpi akhir bersama yang menuntut suluh hati nurani untuk senantiasa menyertainya. Kemerdekaan dan perdamaian yang sesungguhnya hanya dapat dicapai dengan tuntunan hati nurani. Hal ini tidak mudah, terlebih banyak kepentingan seringkali tidak seragam antara satu dengan lainnya. Hanya keyakinan dan kemauan yang kuat tanpa prasangka untuk kepentingan bersama (bonum commune) yang dapat bertahan. Bagaimana kondisi negeri kita saat ini yang kembali mengenang kemerdekaannya yang ke-63 tahun? Dan bagaimana pula semangat “kemerdekaan dan perdamaian sejati” melandasi gerak dan langkah setiap anak negeri ini, termasuk para elit yang tengah sibuk “merancang” akan dikemanakan nasib bangsa ini kedepan?

Ada hal yang aneh namun lazim dinegeri ini. Kala begitu banyak bencana demi bencana (tsunami, banjir, tanah longsor, lumpur lapindo dan sejumlah bencana alam lainnya) melanda sebagai ujian bagi bangsa ini, riak sumber bencana lainnya seperti kasus korupsi melibatkan sejumlah elit, suap menyuap, trafficking, pembalakan liar serta sejumlah “kejahatan” sejenis mengemuka. Dikalangan elit politik hari ini pula wacana jual beli perahu menjadi lazim. Setiap kandidat dituntut harus mampu pasang badan menyiapkan sejumlah “amunisi” untuk bebas melanggeng sebagai calon champion dalam pemilihan kepala daerah. Demi rupiah, tidak sedikit elit partai harus “menggadaikan” idealisme dan nilai-nilai fundamental dari partainya. Pada kondisi ini, sosok kandidat yang akan diusung tidak lagi menjadi hal yang esensi. Kesepakatan bersama yang telah terbangun, ternyata dengan mudah dapat dirombak secara bersama dengan berupaya mencari pembenaran sebagai alasan pemilihan kandidat yang akhirnya diusung. Pandangan umum mengemuka; setiap kandidat yang telah membayar mahal “perahu demokrasi” cenderung berpikir untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan secepatnya. Syukur-syukur kali ini, kesempatan untuk kandidat perorangan dibuka. Pun demikian, tidak menjadi jaminan sebagai refresentasi dari warga secara keseluruhan.

Menghalalkan segala cara menjadi paradigma lazim dalam dunia perpolitikan di negeri ini. Perilaku seperti ini adalah bagian kecil dari upaya yang sesungguhnya turut menciderai apa yang dikenal dengan politik. Hakikinya politik itu baik adanya. Para elit yang bergelut didalamnya menjadikannya demikian sinis dimata publik. Sehingga banyak orang akhirnya alergi dengan politik. Tidak sedikit orang telah muak dengan sikap dan prilaku para politisi, terlebih dengan beragam tingkah yang diperagakan para elit yang tersandung masalah hukum. Sikap pesimistis warga atas para elit terlalu besar kini. Anti politisi busuk yang beberapa waktu menggema adalah bagian dari bentuk protes sekaligus harapan warga yang menginginkan pemimpinnya untuk lebih baik. Kristalisasi sikap pesimistis itu bukan tidak mungkin memuncak dengan tingginya tingkat golput pada pemilu mendatang. Bila demikian, sepertinya memilih untuk tidak memilih adalah sebuah pilihan yang juga mesti harus dihargai bukan? Dari beberapa catatan suram dimaksud, masih adakah harapan untuk lebih baik?

Disinilah nilai spirit itu menjadi penting. Dalam kondisi sabagaimana diuraikan, peran dan penghayatan atas spirit merah putih menjadi layak mendapat prioritas. Spirit merah putih mestinya menjadi penuntun sekaligus menjiwai setiap diri para elit kita hari ini. Spirit merah putih yang menghargai suara hati nurani untuk bertindak dan berbuat. Keberagaman dan perbedaan jangan pernah dijadikan persoalan untuk melangkah. Satu untuk Indonesia. Adakah yang mau memulai? Indonesia sejak 63 tahun silam memang telah merdeka. Merdeka dari penjajahan secara fisik oleh penguasaan bangsa asing. Namun perjuangan untuk merebut kemerdekaan atas “penjajahan baru” yang berakibat pada upaya pemiskinan dan marginalisasi belum berakhir. Spirit merah putih para pendahulu menjadi layak untuk ditumbuhkan bagi para elit hari ini untuk merebut kemerdekaan. Merdeka dari persoalan sosekpolhankam dan tidak terjebak pada persoalan sentiment atas suku, agama, ras dan lainnya.

Kesempatan Dirgahayu Kemerdekaan ke-63 dengan “Spirit Merah Putih” kiranya boleh menjadi kado berharga bagi Republik ini untuk disematkan dalam setiap sanubari anak bangsa dalam menjalani kehidupan mengisi kemerdekaan. Spirit ini pula menjadi sangat penting dan prioritas bagi para elit, politisi dan para pihak yang sadang dan akan menjadi “perancang” nasib masyarakat, bangsa dan negara ini, kini dan akan datang. Sekecil apapun upaya yang dilakukan atas dasar niat baik tentu jauh lebih baik. Prioritas sangat urgen dan mendesak untuk kondisi saat ini. Bila tidak, maka bersiaplah selalu untuk menerima hujatan warga di republik ini, karena akan sempurnalah bencana yang menimpa bangsa ini ditambah dengan “gegap gempita” tingkah dan polah para elit yang kian banyak tersandung persoalan hukum sebagai akibat dari pengingkaran hati nuraninya. Gelorakan spirit merah putih dengan Pancasila sebagai dasar negara, Dirgahayu Indonesia.

*) Penulis Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untan,

Ketua Presidium PMKRI Santo Thomas More Pontianak periode 2008-2009.

Gagasan

RUU BHP dan Ketidakkonsistenan Pembuat Kebijakan
By. Hendrikus Adam*
Hadirnya pemerintahan negera Indonesia sebagaimana amanat yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yakni “…mencerdaskan kehidupan bangsa…” Dalam UUD tersebut pula ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 1-2). Apa yang tersurat sebagaimana dijelaskan adalah sebuah realitas yang dipertegas oleh sebuah konstitusi di negara republik ini. Telah jelas Bahwa kesempatan untuk mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara adalah hak dasar yang dijamin oleh negara melalui penyelenggara pemerintahan (birokrat).


Selanjutnya, disadari pula bahwa nasib pendidikan dinegeri ini adalah tanggungjawab bersama segenap komponen bangsa. Namun dalam pelaksanaannya, terutama dalam upaya pengelolaan dan bagaimana agar bisa dinikmati oleh segenap anak bangsa tanpa pilih kasih adalah sebuah kewajiban Negara untuk memenuhinya. Hal ini pula telah menjadi konsensus bersama yang diperkuat dengan ditegaskannya dalam UUD 1945.

Bagaimana nasib pendidikan dinegeri ini? Tentunya menjadi PR bersama ibarat benang kusut yang hingga kini ini tidak pernah berujung (tuntas) dan malah semakin tambah rumit. Benarkah? Lihat saja realisasi alokasi 20% dari APBD/APBN untuk sektor pendidikan yang digariskan UUD 1945 dan turut dijabarkan dalam UU Sisdiknas, belum ada titik terang. Kemudian, lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 sebagai amanah dari UUD 1945 setidaknya telah membuka diri bagi munculnya Undang-Undang baru dengan limit waktu yang ditentukan.
Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah satu produk kebijakan politis yang kini masih mewacana dan telah masuk pada ranah “uji publik.” RUU BHP muncul sebagai amanah dari pasal 53 UU Sisdiknas yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan formal oleh pemerintah dan masyarakat berbentuk BHP serta ketentuan tentang BHP diatur dengan UU tersendiri. Dalam ayat 3 pasal ini juga menyebutkan bahwa BHP akan dikelola dengan prinsip nirlaba.

Lantas bagaimana wujud dari RUU BHP yang kini tetap menuai kontraversi dikalangan khalayak ramai? Yang dimaksud dengan BHP dalam RUU ini adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. RUU ini memuat sebanyak 13 bab dan 58 pasal. Berdasarkan jenisnya, BHP dijelaskan terdiri dari; BHP Penyelenggara, BHP satuan pendidikan, serta BHP gabungan keduanya (BHP Penyelenggara dan satuan pendidikan). Sedangkan bentuknya terdiri dari; BHPP, BHPPD dan BHPM yang masing-masing dapat
Didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), Paraturan Daerah (Perda) dan berdasarkan akta notaris. Dalam rancanagan ketentuan ini, BHP pengelola memiliki batas waktu masa berlaku sebagaimana ditetapkan melalui ketentuan berupa anggaran dasar, dan jika masa berlaku habis, artinya BHP tersebut dinyatakan bubar. Kalau bubar, lantas bagaimana nasib pendidikan berikutnya?

Dalam konsideran menimbang pada point a RUU tersebut menjelaskan bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional diperlukan otonoomi dalam pengelolaan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, termasuk di perguruan tinggi (kampus). Dalam hal ini pengelolaannya dimaksudkan secara mandiri. Pasal 2 dan 3 dalam rancangan kebijakan ini menjelaskan fungsi dan tujuan dari BHP yakni memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik dan memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah dan otonomi pergutuan tinggi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengelolaan pendidikan formal dalam RUU BHP memiliki delapan prinsip (pasal 4 ayat 2) diantaranya akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, keberkelanjutan, partisipasi atas tanggungjawab Negara, otonomi, layanan prima, akses berkeadilan, keberagaman. Dua asas terakhir misalnya layak direfleksikan. Dengan mengharapkan pengelolaan secara mandiri, ruang tanggungjawab Negara secara halus coba dilepaskan secara perlahan. Pengelola dengan sendirinya diberi kewenangan mutlak untuk menentukan berbagai kebijakan ooperasional pendidikan termasuk biaya operasional yang akan dibebankan bagi peserta didik, dan ini akan sah berdasarkan kacamata hukum.

Demikian halnya dengan keinginan memberikan pelayanan terbaik bagi warga, akan menjadi bias dengan sendirinya bila ekses dari ketentuan ini berpeluang memberikan pembatasan bagi diaksesnya pendidikan oleh rakyat yang ‘kurang mampu’. Memberikan pelayanan prima boleh saja dijadikan harapan, namun bila tidak didukung dan atau bertentangan dengan draf naskah yang ada maka tentu akan menjadi bias. Lembaga pendidikan asing (LPA) yang terakreditasi atau yang diakui negaranya sebagaimana tersurat pada pasal 12 RUU ini, dapat mendirikan BHP di Indonesia dengan bekerjasama dengan BHP di Indonesia. Bila LPA sungguh elit dengan modal besar, bagaimana dengan nasib lembaga pendidikan di dalam negeri yang tidak punya banyak modal? Tentu nasibnya akan menyedihkan. Tentunya tidak sedikit catatan yang harus dikaji terkait dengan akan diterbitkannya RUU BHP menjadi undang-undang. Ruang privatisasi dan komersialisasi pendidikan terlihat kental dalam semangat RUU ini. Meskipun dipertegas
dengan bahasa halus yang menjelaskan pengelolaannya dilakukan dengan prinsip tanpa mencari keuntungan (nirlaba), namun penting untuk dianalisis lebih dalam.

Lebih dari itu, akan lahirnya RUU BHP setidaknya juga dapat dilihat sebagai bentuk dari ketidakkonsistenan pembuat kebijakan (lebislatif dan eksekutif). Mengapa? Munculnya RUU BHP ini bila dicermati justeru menunjukkan sisi lemah komitmen dan kredibelitas dari para pembuat kebijakan yang mungkin tidak pernah diperhitungkan mereka. Dalam Bab 12 ketentuan Penutup UU Sisdiknas pasal 75 misalnya cukup mempertegas bagaimana produk politis ini terkesan “prematur” dan tidak begitu mendasar untuk dimunculkan kepermukaan. Pasal dalam UU Sisdiknas ini menyebutkan dengan rinci bahwa semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini (UU Sisdiknas), harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini (UU Sisdiknas).

Seperti dikatahui, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disahkan dan atau diundangkan tahun 2003 dan dianggap berlaku sejak tanggal diundangkan, tepatnya pada 8 Juli 2003. Maka dalam kaitannya dengan RUU BHP bila dianalisis jelas begitu paradoks. Ketidaksesuaian limit waktu yang seharusnya telah usai selama dua tahun pasca disahkannya (2005). Sebagaimana tersurat dalam pasal 75 diatas memperjelas bahwa peran pemerintah dan legislatif tidak optimal dan cenderung mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya. Maka menjadi pantas pula bilamana pada akhirnya muncul stigma bahwa para pembuat kebijakan tidak serius menjalankan amanah dan merealisasikan produk hukum sebelumnya dalam bentuk aksi nyata khususnya kebijakan bidang pendidikan. Pada akhirnya, persoaalan ini berujung sebagai bentuk tidak seriusnya pemerintah menangani sector ini (pendidikan) sedari awal.

Dibalik kompleksnya persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan dalih “untuk kepentingan bersama” yang lebih baik, berbagai produk kebijakan seakan menjadi keharusan untuk di munculkan. Namun ironisnya, dari produk kebijakan yang telah ada saja masih melum benar-benar diwujudnyatakan dalam realisasinya di masyarakat. Konsensus sector pendidikan dengan 20% anggaran yang diamanatkan undang-undang adalah salah satu bentuk ketimpangan dari lemahnya komitmen pemerintah.

Mengkaji lebih dalam atas berbagai produk hukum yang cenderung “mandul” dan cenderung tidak memihak bagi rakyat sebaiknya menjadi prioritas yang harus dituntaskan oleh pembuat kebijakan, karena dengan munculnya kesan “tumpang tindihnya” produk kebijakan yang ada justeru semakin menambah rumit dan kompleksnya persoalan dimasyarakat. Dengan demikian, BHP bukanlah kebijakan mendesak yang harus diwujudkan dengan kondisi carut-marutnya persoalan bangsa kita saat ini. Nasib pendidikan ada ditangan segenap komponen bangsa. Quo vadis pendidikan negeriku?

*)Penulis Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.