Oleh
Hendrikus Adam[1]
Tanggal
16 Desember 2014 lalu, komunitas Masyarakat Dayak Iban di Semunying Jaya
melalui penasehat hukumnya menyampaikan berkas gugatan terhadap pihak
perusahaan kelapa sawit PT. Ledo Lestari dan pemerintah daerah kabupaten
setempat kepada PN Bengkayang. Meski proses sidang mediasi telah dilakukan,
namun proses hukum gugatan yang disampaikan warga tetap berlanjut. Sidang
perdana gugatan warga berlangsung pada Selasa, (24/2) di Pengadilan Negeri
Bengkayang. Lantas apa artinya gugatan yang dilakukan oleh warga di perbatasan
tersebut?
Bila
melihat perjalanan kasus yang dialami warga, maka upaya yang dilakukan hingga
menempuh jalur hukum mengkonfirmasi bahwa hingga kini kepastian penyelesaian
masalah yang melahirkan ketidakadilan yang dialami belum berujung. Kehadiran
perusahaan yang tanpa pernah dikehendaki warga namun memperoleh izin dari
Kepala Daerah Bengkayang pada masa itu telah menimbulkan gejolak di masyarakat
sekitar.
Permasalahan
yang berawal sekitar tahun 2005 ketika perusahaan (dianggap) masuk tanpa
permisi dan melakukan penyerobotan hutan dan kebun di sekitar wilayah warga
Semunying Jaya. Bahkan dua tokoh masyarakat setempat menjadi korban
kriminalisasi pihak perusahaan melalui tangan aparat ketika bersama warganya
melakukan pembelaan hak-hak di tahun 2006. Kehadiran perusahaan terus diperkuat
oleh pemerintah daerah setempat dengan terus memberi izin perluasan lahan baru
bagi perusahaan sekalipun penggarapan hutan adat dengan luas sekitar 1.420
hektar saat itu terus berlangsung.
Praktik
Buruk dan Alpanya Kehadiran Negara
Perusahaan
perkebunan kelapa sawit melalui legalitas pemerintah daerah faktanya telah
berhasil menyerobot lahan dan hutan adat dalam wilayah masyarakat setempat.
Perusahaan disamping terindikasi mengkonversi kawasan hutan untuk perkebunan
tersebut, juga telah memicu lahirnya konflik antar warga, menyebabkan sejumlah
sungai sumber air bersih yang digunakan warga tercemar, menyebabkan terjadinya
kriminalisasi dan hutan masyarakat sekitar menjadi rusak. Bahkan, pihak
perusahaan juga berhasil “memindahkan” pemukiman warga di kampung Semunying
Bungkang ke tempat baru, sementara perkampungan lama selanjutnya ditanami
kelapa sawit pada setiap eks bangunan rumah.
Melihat
catatan historisnya, maka kehadiran perusahaan PT. Ledo Lestari terindikasi
tidak memiliki itikad yang sungguh baik. Hal ini terlihat dalam praktiknya
justeru mengabaikan keberadaan komunitas Masyarakat Adat di daerah setempat.
Hadir tanpa permisi dan tanpa persetujuan masyarakat. Juga telah
mengabaikan adat dan kearifan lokal serta mengabaikan konstitusi dalam
upayanya membuka lahan untuk perkebunan. Pada sisi yang lain, perusahaan telah
menghancurkan sumber kehidupan masyarakat atas akses terhadap sarana
infrastruktur yang memadai, hutan adat yang lestari, sungai dan sumber air
bersih yang akhirnya rusak. Selain itu, juga terjadi konversi hutan alam
menjadi perkebunan sawit skala besar atas hutan produksi tanpa pelepasan
kawasan. Sejumlah tempat penting diantaranya kawasan pemakaman, tembawang,
kebun karet dan tanam tumbuh lainnya turut digusur perusahaan.
Ketika
berlangsung pengukuhan kawasan hutan adat 15 Desmeber 2010 oleh Bupati
Bengkayang kala itu, aktivitas pernggusuran pada hutan yang dikukuhkan oleh
perusahaan masih berlangsung. Bahkan pasca dikeluarkannya Surat Keputusan 30A
tertanggal 2 Februari 2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan Adat Desa Semunying
Jaya sebagai Hutan yang dilindungi untuk Sumber Benih seluas 1.420 hektar,
pihak perusahaan masih terus menyerobot kawasan tersebut. Pada sisi yang lain
sehubungan dengan kejadian dimaksud, pemerintah daerah justeru terkesan diam
dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ada kesan bahwa pihak pemerintah daerah yang
telah memberikan izin bagi perusahaan justeru tidak ada apa-apanya di mata
pihak perusahaan.
Dengan
kata lain, pemerintah terkesan tunduk pada korporasi. Hal ini pula terlihat
dengan lambatnya surat yang diberikan oleh pihak pemerintah daerah (disampaikan
tahun 2009) kepada perusahaan terkait dengan masa izin lokasi yang telah
berakhir sejak Desember 2007. Dengan demikian, selama dua tahun berjalan
sebagaimana tahun dalam surat Bupati Bengkayang (Nomor 400/0528/BPN/VI/2009,
tertanggal 12 Juni 2009), perusahaan ini terus melakukan ekspansi secara
illegal (merambah hutan) dan secara sengaja melanggar hukum.
Gugatan
yang dilakukan warga juga mengkonfirmasi bahwa negara belum sungguh-sungguh
hadir guna memastikan kewajiban asasinya dalam menghormati, melindungi,
memajukan dan menegakkan hak dasar warganya sendiri. Negara belum
sungguh-sungguh memberikan rasa aman, nyaman dan kepastian solusi atas
permasalahan yang dihadapi warganya sendiri.
Mengembalikan
dan Memulihkan Hak Warga?
Ketidakpastian
penyelesaian kasus yang dihadapi komunitas Dayak Iban di Semunying Jaya atas
hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit sempat melahirkan rasa trauma,
dimana warga saat itu pernah mendapat ancaman dari pihak aparat. Mencermati
praktik dan kenyataannya, sulit menyangkal bahwa terjadinya “pembiaran” yang
dilakukan oleh negara terhadap hadirnya perusahaan yang pernah melakukan pembersihan
lahan dengan cara tersebut.
Keluarnya
izin konsesi perkebunan sawit bagi PT. Ledo Lestari tanpa persetujuan
masyarakat sekitar menegaskan dengan sendirinya terjadi ”pemaksaan” kebijakan
kepada warga Semunying Jaya. Konsekuensi dari realitas ini menyebabkan
terjadinya pembiaran atas indikasi pelanggaran yang dilakukan korporasi.
Kondisi ini menegaskan telah terjadinya kejahatan lingkungan hidup dan
kemanusiaan atas praktik operasional kelapa sawit PT. Ledo Lestari yang
menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, rusaknya tatanan sosial warga dan
ekologi.
Temuan
awal Dengar keterangan umum (DKU) Inkuiri Nasional Komnas Hak Asasi Manusia RI
di Pontianak Oktober tahun 2014 lalu yang mengingatkan pemerintah daerah
Bengkayang agar meninjau ulang status hukum keberadaan PT. Ledo Lestari di
kabupaten tersebut penting menjadi perhatian. Karenanya, upaya penegakan hukum
serius terhadap praktik buruk korporasi maupun aparatur terkait penting
ditegakkan. Pengembalian dan pemulihan hak warga terhadap rasa keadilan atas
segala kerugian (materil dan moril) dinantikan. Selain itu permohonan maaf
secara terbuka pemerintah kepada warga Semunying Jaya karena telah mengabaikan
keberadaan Masyarakat Adat juga penting dilakukan.
Pada
sisi yang lain, pemerintah pusat perlu melakukan kajian ulang terhadap
kebijakan pembangunan sawit di wilayah perbatasan, khususnya di wilayah
Masyarakat Adat Semunying Jaya yang telah menyebabkan rusaknya lingkungan dan
tatanan sosial, pelanggaran HAM serta terjadinya praktek illegal logging.
Gugatan yang dilakukan warga sedianya menjadi ruang strategis untuk mendapatkan
keadilan bagi komunitas dalam meraih kepastian solusi. Karenanya, gugatan yang
disampaikan warga penting mendapat perhatian serius segenap komponen dengan
memberi dukungan atas apa yang dilakukan. Pada sisi yang lain, jaminan
pemenuhan kewajiban asasi negara untuk perlindungan hak-hak
komunitas/masyarakat dinantikan.
[1]
Penulis, Aktivis WALHI Kalimantan Barat.
Naskah ini sebelumnya terbit di Harian Kapuas Post, pada Minggu, 1 Maret 2015.