Selasa, 03 Maret 2015

Ketika Warga Semunying Menggugat

Oleh Hendrikus Adam[1]

Tanggal 16 Desember 2014 lalu, komunitas Masyarakat Dayak Iban di Semunying Jaya melalui penasehat hukumnya menyampaikan berkas gugatan terhadap pihak perusahaan kelapa sawit PT. Ledo Lestari dan pemerintah daerah kabupaten setempat kepada PN Bengkayang. Meski proses sidang mediasi telah dilakukan, namun proses hukum gugatan yang disampaikan warga tetap berlanjut. Sidang perdana gugatan warga berlangsung pada Selasa, (24/2) di Pengadilan Negeri Bengkayang. Lantas apa artinya gugatan yang dilakukan oleh warga di perbatasan tersebut?

Bila melihat perjalanan kasus yang dialami warga, maka upaya yang dilakukan hingga menempuh jalur hukum mengkonfirmasi bahwa hingga kini kepastian penyelesaian masalah yang melahirkan ketidakadilan yang dialami belum berujung. Kehadiran perusahaan yang tanpa pernah dikehendaki warga namun memperoleh izin dari Kepala Daerah Bengkayang pada masa itu telah menimbulkan gejolak di masyarakat sekitar.

Permasalahan yang berawal sekitar tahun 2005 ketika perusahaan (dianggap) masuk tanpa permisi dan melakukan penyerobotan hutan dan kebun di sekitar wilayah warga Semunying Jaya. Bahkan dua tokoh masyarakat setempat menjadi korban kriminalisasi pihak perusahaan melalui tangan aparat ketika bersama warganya melakukan pembelaan hak-hak di tahun 2006. Kehadiran perusahaan terus diperkuat oleh pemerintah daerah setempat dengan terus memberi izin perluasan lahan baru bagi perusahaan sekalipun penggarapan hutan adat dengan luas sekitar 1.420 hektar saat itu terus berlangsung.

Praktik Buruk dan Alpanya Kehadiran Negara
Perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui legalitas pemerintah daerah faktanya telah berhasil menyerobot lahan dan hutan adat dalam wilayah masyarakat setempat.  Perusahaan disamping terindikasi mengkonversi kawasan hutan untuk perkebunan tersebut, juga telah memicu lahirnya konflik antar warga, menyebabkan sejumlah sungai sumber air bersih yang digunakan warga tercemar, menyebabkan terjadinya kriminalisasi dan hutan masyarakat sekitar menjadi rusak. Bahkan, pihak perusahaan juga berhasil “memindahkan” pemukiman warga di kampung Semunying Bungkang ke tempat baru, sementara perkampungan lama selanjutnya ditanami kelapa sawit pada setiap eks bangunan rumah.

Melihat catatan historisnya, maka kehadiran perusahaan PT. Ledo Lestari terindikasi tidak memiliki itikad yang sungguh baik. Hal ini terlihat dalam praktiknya justeru mengabaikan keberadaan komunitas Masyarakat Adat di daerah setempat. Hadir tanpa permisi dan tanpa persetujuan masyarakat. Juga telah mengabaikan  adat dan kearifan lokal serta mengabaikan konstitusi dalam upayanya membuka lahan untuk perkebunan. Pada sisi yang lain, perusahaan telah menghancurkan sumber kehidupan masyarakat atas akses terhadap sarana infrastruktur yang memadai, hutan adat yang lestari, sungai dan sumber air bersih yang akhirnya rusak. Selain itu, juga terjadi konversi hutan alam menjadi perkebunan sawit skala besar atas hutan produksi tanpa pelepasan kawasan. Sejumlah tempat penting diantaranya kawasan pemakaman, tembawang, kebun karet dan tanam tumbuh lainnya turut digusur perusahaan.

Ketika berlangsung pengukuhan kawasan hutan adat 15 Desmeber 2010 oleh Bupati Bengkayang kala itu, aktivitas pernggusuran pada hutan yang dikukuhkan oleh perusahaan masih berlangsung. Bahkan pasca dikeluarkannya Surat Keputusan 30A tertanggal 2 Februari 2010 tentang Penetapan Kawasan Hutan Adat Desa Semunying Jaya sebagai Hutan yang dilindungi untuk Sumber Benih seluas 1.420 hektar, pihak perusahaan masih terus menyerobot kawasan tersebut. Pada sisi yang lain sehubungan dengan kejadian dimaksud, pemerintah daerah justeru terkesan diam dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ada kesan bahwa pihak pemerintah daerah yang telah memberikan izin bagi perusahaan justeru tidak ada apa-apanya di mata pihak perusahaan.

Dengan kata lain, pemerintah terkesan tunduk pada korporasi. Hal ini pula terlihat dengan lambatnya surat yang diberikan oleh pihak pemerintah daerah (disampaikan tahun 2009) kepada perusahaan terkait dengan masa izin lokasi yang telah berakhir sejak Desember 2007. Dengan demikian, selama dua tahun berjalan sebagaimana tahun dalam surat Bupati Bengkayang (Nomor 400/0528/BPN/VI/2009, tertanggal 12 Juni 2009), perusahaan ini terus melakukan ekspansi secara illegal (merambah hutan) dan secara sengaja melanggar hukum.

Gugatan yang dilakukan warga juga mengkonfirmasi bahwa negara belum sungguh-sungguh hadir guna memastikan kewajiban asasinya dalam menghormati, melindungi, memajukan dan menegakkan hak dasar warganya sendiri. Negara belum sungguh-sungguh memberikan rasa aman, nyaman dan kepastian solusi atas permasalahan yang dihadapi warganya sendiri.

Mengembalikan dan Memulihkan Hak Warga?
Ketidakpastian penyelesaian kasus yang dihadapi komunitas Dayak Iban di Semunying Jaya atas hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit sempat melahirkan rasa trauma, dimana warga saat itu pernah mendapat ancaman dari pihak aparat. Mencermati praktik dan kenyataannya, sulit menyangkal bahwa terjadinya “pembiaran” yang dilakukan oleh negara terhadap hadirnya perusahaan yang pernah melakukan pembersihan lahan dengan cara tersebut.

Keluarnya izin konsesi perkebunan sawit bagi PT. Ledo Lestari tanpa persetujuan masyarakat sekitar menegaskan dengan sendirinya terjadi ”pemaksaan” kebijakan kepada warga Semunying Jaya. Konsekuensi dari realitas ini menyebabkan terjadinya pembiaran atas indikasi pelanggaran yang dilakukan korporasi. Kondisi ini menegaskan telah terjadinya kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan atas praktik operasional kelapa sawit PT. Ledo Lestari yang menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, rusaknya tatanan sosial warga dan ekologi.

Temuan awal Dengar keterangan umum (DKU) Inkuiri Nasional Komnas Hak Asasi Manusia RI di Pontianak Oktober tahun 2014 lalu yang mengingatkan pemerintah daerah Bengkayang agar meninjau ulang status hukum keberadaan PT. Ledo Lestari di kabupaten tersebut penting menjadi perhatian. Karenanya, upaya penegakan hukum serius terhadap praktik buruk korporasi maupun aparatur terkait penting ditegakkan. Pengembalian dan pemulihan hak warga terhadap rasa keadilan atas segala kerugian (materil dan moril) dinantikan. Selain itu permohonan maaf secara terbuka pemerintah kepada warga Semunying Jaya karena telah mengabaikan keberadaan Masyarakat Adat juga penting dilakukan.

Pada sisi yang lain, pemerintah pusat perlu melakukan kajian ulang terhadap kebijakan pembangunan sawit di wilayah perbatasan, khususnya di wilayah Masyarakat Adat Semunying Jaya yang telah menyebabkan rusaknya lingkungan dan tatanan sosial, pelanggaran HAM serta terjadinya praktek illegal logging. Gugatan yang dilakukan warga sedianya menjadi ruang strategis untuk mendapatkan keadilan bagi komunitas dalam meraih kepastian solusi. Karenanya, gugatan yang disampaikan warga penting mendapat perhatian serius segenap komponen dengan memberi dukungan atas apa yang dilakukan. Pada sisi yang lain, jaminan pemenuhan kewajiban asasi negara untuk perlindungan hak-hak komunitas/masyarakat dinantikan.



[1] Penulis, Aktivis WALHI Kalimantan Barat.

Naskah ini sebelumnya terbit di Harian Kapuas Post, pada Minggu, 1 Maret 2015.