Rabu, 04 Februari 2009

gagasan

Menyulam Wajah Pluralisme?

Oleh Hendrikus Adam*

Tahun 2008 sudah berlalu. Kali ini kita memasuki masa peralihan di tahun yang baru yakni 2009. Dipastikan tidak akan terjadi perubahan jumlah lamanya waktu (jam-hari-minggu-bulan). Namun perubahan dalam berbagai aspek kehidupan sebagai bagian dari fenomena sosial kemasyarakatan tentu pasti akan mengalami warna dan dinamikanya tersendiri yang beragam. Setiap perubahan yang terjadi pada masa sekarang merupakan hasil rekonstruksi dari proses perjalanan kehidupan sebelumnya. Demikian pula perubahan dimasa yang akan datang, tentunya menjadi bagian dari sebuah proses rekonstruksi dimasa kini, yang sedang kita jalani. Sebuah perubahan akan terjadi. Itu pasti. Pertanyaannya, perubahan seperti apa yang kita mau? Lambat laun akan dijawab seiring dengan bergulirnya sang waktu. Namun demikian harus diingat, perubahan yang diharapkan hasilnya baik tidak datang dengan sendirinya. Perubahan untuk tatanan kehidupan bermasyarakat yang pada kenyataannya hadir dalam keberagaman bahasa, adat istiadat, budaya, keyakinan dan lainnya juga layak dicermati bersama. Bila retak, maka harus ”disulam” kembali.

Kita sadari, keberadaan suku, agama, ras, dan lainnya sebagai identitas setiap warga dinegeri ini, dan warga Kalimantan Barat khususnya adalah sebuah fenomena yang tidak dapat dibantah oleh siapapun. Dipastikan tidak seorangpun dimasa lahirnya memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang memiliki identitas tertentu. Kehendak-Nya sungguh sebuah kemutlakan. Siapa yang berani membantah?

Dalam beberapa kasus, seringkali tanpa kita sadari bahwa sikap maupun perbuatan kita dalam beberapa kondisi justeru menapik apa yang telah menjadi kodrat dari Sang Pencipta itu. Hasil karya-Nya justeru seringkali diperdebatkan. Padahal mestinya kita juga patut merenungi maksud perbedaan yang diberikan oleh Tuhan pada setiap makhluk dimuka bumi ini. Tidak lantas mengambil tindakan berdasarkan keegoan diri dan atau keegoan kelompok/komunitas.

Pepatah tua masyarakat Cina seperti disampaikan pada acara Refleksi (di) Awal Tahun PMKRI Pontianak beberapa waktu lalu oleh DR. Yusriadi ”Ketika kita ingin merobohkan tembok, kita harus memikirkan dulu kenapa tembok itu dibangun?”, agaknya relefan dengan kondisi kita saat ini yang hidup bersama ditengah keberagaman untuk direnungi sebelum memperdebatkan hal tersebut. Perbedaan yang muncul oleh karena kehendak-Nya tentu punya maksud lain. ”Kita tidak bisa seragam, karena tugas dan peran memang berbeda. Tetapi ketika kita memilih berbeda (pilihan pasca dilahirkan), maka kita harus siap dengan perbedaan itu. Kita memang sering memilih berbeda dengan orang lain,” sambungnya.

Perbedaan etnisitas dan agama misalnya, seringkali dianggap sebagai trigger (pemicu) ketidakharmonisan ditengah keberagaman. Juga banyak laku dalam kancah pergulatan kepentingan dikalangan elits politik. Akhir-akhir ini, dapat diamati bagaimana hal tersebut sungguh menjadi komoditas untuk menuju cita-cita politik para elits yang syarat kepentingan. Simbol-simbol etnistias dan agama dapat dijumpai dari atribut para caleg yang pada kenyataannya juga berasal dari latar belakang yang beragam. Bila demikian, haruskah kita mengkambinghitamkan perbedaan yang adalah pemberian-Nya sebagai biangkerok persoalan sosial yang cenderung menyeret etnisitas dan agama selama ini? Bagi saya, jawabannya tentu tidak layak!

Perbedaan sesungguhnya suatu hal yang lumrah. Berbeda itu biasa dan indah. Dalam keluarga saja, perbedaan itu terjadi. Perbedaan juga ada pada orang kembar sekalipun. Perbedaan akan menjadi masalah jika diperdebatkan dan dibeda-bedakan, atau diperlakukan tidak semestinya oleh yang namanya manusia itu sendiri. Perbedaan sedianya dimuliakan sebagai bentuk syukur pada-Nya yang telah menciptakan seisi bumi. Perbedaan akan menjadi ”mulia” ketika ada semangat penghargaan atas keberagaman yang diwujudnyatakan oleh setiap orang dalam bentuk cara yang beragam pula.

Sepanjang satu tahun terakhir (Januari-November 2008), wajah suram pluralisme seperti dilaporkan The Wahid Institut melalui catatan Zuhairi Misrawi (Koran Jakarta, 30 Desember 2008) sungguh pantastis. Pemetaan terhadap tantangan pluralisme, terutama mengenai fakta terhadap kelompok minoritas ada delapan bentuk; Pertama, terjadi 50 kasus pengecapan sesat terhadap kelompok yang dianggap berbeda atau tidak sepaham. Kedua, sebanyak 55 kasus kekerasan bernuansa agama yang menyebabkan kelompok minoritas menjadi korban aksi kekerasan oleh sebuah kelompok yang kerapkali menganggap diri ”penjaga akidah” dan refresentasi kalangan mayoritas. Ketiga, sebanyak 28 masalah merupakan bentuk regulasi bernuansa agama. Keempat, konflik tempat ibadah sedikitnya ada 21 kasua. Kelima, ada 20 kasus terkait dengan kebebasan berpikir dan berekspresi. Keenam, ada tujuh kasus terkait dengan (retaknya) hubungan antar umat beragama. Ketujuh, fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI, dan kedelapan, soal moralitas dan pornografi ada 17 kasus. Setidaknya fatwa tentang pluralisme oleh MUI kala itu turut menjadi tantangan bagi keberagaman itu sendiri. ”Sejak MUI mengeluarkan fatwa pengharaman pluralisme, relasi antar kelompok, khususnya antara kalangan mayoritas dan minoritas, baik dalam intra-agama, maupun antar-agama, mengalami keretakan dan guncangan yang cukup serius,” aku Zuhairi, Ketua Moderat Muslim Society dalam artikelnya.

Di Bumi Khatulistiwa, kondisi pilu masa lalu yang melibatkan berbagai pihak yang kebetulan memiliki identitas yang berbeda-beda masih membekas dalam ingatan. Bahkan masih tertingal dalam trauma masa lalu. Akhir-akhir ini, wajah pluraslime di daerah kita mengalami cobaan. Di Bumi Khatulistiwa beberapa bulan-pekan terakhir kasus Gg. 17 di Jalan Tanjungpura pasca pesta demokrasi November 2007 lalu sempat menjadi bulan-bulanan obrolan di warung kopi hingga masuk pemberitaan media massa.

SK Naga produk Walikota era Buchary melarang arakan naga yang berimbas panjang hingga saat ini menyisakan perdebatan. Pihak yang mendukung maupun menolak kebijakan tersebut untuk gigi dengan membawa simbol etnisitas tertentu. Perayaan dalam rangka Cap Go Meh pada tanggal 9 Februari nanti sedikit lega oleh karena pemerintah kota yang baru membuka ruang untuk perarakan naga meski dalam wilayah perarakan yang terbatas. Fenomena lain, di Kota Singkawang pembangunan patung naga masih dihadapkan soal pro dan kontra. Pun demikian, masih ada saja pihak yang berniat menggagalkan. Fenomena terbaru, fatwa MUI soal rokok dan golput mendapat reaksi yang beragam. Berbagai soal yang menyeret etnisitas dan agama sungguh-sungguh kental ditengah kondisi bangsa yang sedang terseok. Dalam era otonomi daerah melalui jalur pesta demokrasi, isu seputar putera daerah yang harus memimpin didaerah tersebut juga santer akhir-akhir ini. Akibatnya, kepentingan bermain dalam ranah sensitif yang akhirnya bersinggungan dengan etnisitas dan agama yang cenderung laku dijual untuk menggugah kedekatan emosional warga.

Sekelumit peristiwa tersebut adalah catatan kelam yang mau tidak mau menuntut sikap arif setiap komponen masyarakat. Apa salah etnisitas yang dimiliki, apa salah agama yang diimani oleh pengikutnya? Bukankah agama mengajarkan setiap umatnya untuk sungguh bertaqwa kepada-Nya? Pertanyaan refleksi, dimana warga negeri ini yang sebagian besar mengaku beragama? Padahal etnisitas dan agama lahir dari manusia itu sendiri yang sengaja memilih untuk berbeda.

Bicara soal perbedaan memang ribet, kompleks dan melelahkan. Dalam satu keyakinan yang sama saja, cara penghayatan keimanannya setiap orang cenderung berbeda-beda. Ini karena setiap orang punya kepala yang berbeda pula. Bukan hanya masyarakat biasa, para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh lainnya dalam sebutan yang berbeda juga sering kali cenderung ”menyesatkan”.

Wajah suram pluralisme perlu disulam secara bersama oleh setiap orang, oleh kita semua tanpa memperdebatkan perbedaan. Kebenaran universal sebaiknya didengungkan sebagai bagian prioritas yang harusnya disuarakan oleh orang-orang yang dianggap sebagai para ”tokoh” itu. Oleh kita semua. Tapi penyakitnya, menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu tetap salah seringkali berat dilakukan, apalagi bila bersinggungan dengan isu etnisitas atau agama. Bila demikian terus, apa jadinya kelak. Jati diri sebagai warga negara dan umat yang beragama dimana?

Konsep ”kekitaan” seperti gagasan DR. Yusriadi agaknya pas untuk mengerem potensi destruktif yang menjurus pada persoalan etnisitas dan agama. Kecenderungan untuk mengasihi seperti disampaikan Romo William Chang penting digalakkan, ketimbang kecenderungan untuk menghancurkan. Jalin kebersamaan dan hargai perbedaan kiranya dapat menjadi spirit bersama dalam menjalani kehidupan dalam dinamika yang penuh tantangan.

Untuk menyongsong sebuah perubahan yang baik atas kenyataan keberagaman, maka penghormatan terhadap perbedaan dengan menjunjung tinggi semangat persaudaraan sejati harus terus digulirkan oleh setiap anak manusia. Memulai dari disi sendiri, keluarga, kenalan dan orang lain. Menciptakan kondisi aman, damai dan tenteram adalah kewajiban bersama. Merekonstruksi perubahan menuju arah yang baik (hidup harmonis dalam keberagaman) dengan berupaya menyulam wajah pluralisme yang mengalami degradasi keretakan, hanya mungkin dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia. Mengapa? Sebab akal sehat dan hati nurani hanya dimiliki manusia, dan hanya manusia yang memiliki tingkat kesadaran bahwa dirinya dan sesamanya memang berbeda. Bila kita sadar berbeda, kenapa harus dibeda-bedakan? Namun yang penting jangan sampai kita dicap sebagai makhluk yang menyerupai manusia. Selamat menjadi manusia. Selamat merayakan Cap Go Meh bagi saudara kita yang merayakannya.

*) Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.