Jumat, 04 September 2009

gagasan


Atas nama Rakyat?
By. Hendrikus Adam*

Dalam keseharian di alam demokrasi, pernyataan yang mengaskan bahwa suara rakyat sungguh luar biasa tergambar jelas pada istilah yang mengatakan vox populi vox dei yang menyiratkan makna bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Pernyataan ini seakan menegasikan bahwa ketika sampai pada titik ini tidak ada lagi suara yang lebih “dasyat” untuk merubah apa yang telah menjadi kenyataan bersama sebagai hasil dari pilihan rakyat. Hal ini menguatkan bahwa suara yang berasal dari rakyat adalah suatu yang telah sampai pada titik final yang tidak dapat diganggu gugat, suara mulia yang tidak boleh dikotori lagi dengan perdebatan dan tidak boleh pula dikotori oleh tangan-tangan yang haus kehormatan dan kekuasaan. Kondisi ini menegaskan bahwa peran dan posisi strategis rakyat sebagai bagian dari warga Negara di republik ini bukan main-main. Statemen ini juga mau mengingatkan bahwa sejatinya setiap apapun yang dibuat oleh para stakeholder yang diberi mandat dari, dan oleh rakyat maka menjadi sebuah kemutlakan pula untuk kemudian diarahkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip mendahulukan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi dan atau kelompok/golongan menjadi prioritas yang harus dijalankan ketika bicara soal kepentingan rakyat dalam bingkai NKRI yang holistik dan komperhensif dialam demokrasi.

Guna mewujudkan kepentingan bersama tersebut, telah didesain sedemikian rupa adanya perangkat sistem dan mekanisme baku berdasarkan konstitusi yang menjadi acuan dalam tata laksana kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang pelaksanaannya untuk kemudian diarahkan demi tercapainya kondisi masyarakat yang dicita-citakan sebagaimana amanat dan digariskan dalam konstitusi. Adanya perangkat-perangkat kenegaraan sebagaimana pilar dalam dunia demokrasi (eksekutif, legislatif dan yudikatif) merupakan elemen penting yang senantiasa diharapkan untuk dapat memberikan perhatian lebih bagi terpenuhinya kebutuhan dasar rakyatnya. Singkat kata, kehadiran para pihak sebagaimana disebutkan merupakan amanah dari konstitusi yang sejatinya berperan sungguh-sungguh sebagai pengemban amanat rakyat. Pertanyaannya, apakah kehadiran ketiga pilar dimaksud telah memenuhi keinginan yang digariskan konstitusi, berjuang untuk sebesar-besarnya kepentingan dan untuk memberikan kesejahteraan serta kemakmuran bagi rakyat?

Pertanyaan refleksi ini kiranya menjadi catatan serius, terutama atas hasil penyelenggaraan demokrasi dinegeri kita saat ini. Pesta demokrasi dibeberapa kabupaten dan kota dan provinsi melalui Pilkada langsung telah dilewati. Demikian halnya hasil pemilu legislatif (DPRD, DPR RI) dan DPD RI tahun 2009 telah ditetapkan. Tanpa harus mempersoalkan kualitas, bagaimanapun setiap mereka yang diberi berkesempatan tampil sebagai publik figure di parlemen dengan sendirinya menjadi tumpuan yang untuk kemudian buah kerjanya bagi keberpihakan atas kepentingan rakyat sangat dinantikan.

Spirit Bonnum Commune
Ranah pesta demokrasi selalu menjadi kesempatan dan ruang yang memungkinkan untuk bicara soal dan atas nama rakyat. Paham demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat menegaskan hal ini. Untuk dan atas nama kepentingan rakyatlah misalnya ketiga pilar demokrasi hadir ditengah-tengah kita sebagaimana amanat yang digariskan melalui aturan main yang ada. Demikian pula munculnya berbagai kandidat calon ”wakil rakyat” di parlemen, pemerintahan dan lembaga negara lainnya melalui mekanisme demokrasi adalah bentuk perwujudan dari upaya pelaksanaan untuk mencapai kesejahteraan bersama (bonum commune). Sejatinya memang begitu. Berbagai slogan dan janji-janji dimasa pesta demokrasi seringkali pula dilontarkan para kandidat yang lagi-lagi disuarakan untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Atas nama kepentingan rakyat, para pihak berduyun-duyun untuk bersaing memperebutkan kursi empuk. Demi kursi empuk segala upaya tidak mustahil dapat dilakukan sebagai bentuk pengorbanan awal meskipun ada diantaranya yang bahkan menjadi ”korban pesta demokrasi”. Perngorbanan melebihi akal sehat seringkali dilakukan untuk meraih cita-cita sekaipun hasilnya masih harus tetap dipertaruhkan. Akibatnya, prilaku tidak normal dan bahkan aneh diperlihatkan oleh ”para elit” yang gagal bertarung.

Untuk dan atas nama kepentingan rakyat pula, pada kesempatan yang akan datang kita baru saja melewati suatu proses dalam menentukan pemimpin negeri ini melalui pemilihan presiden pada tanggal 8 Juli 2009 lalu. Upaya pencitraan melalui berbagai kesempatan bagi para kandidat saat itu dilakukan. Agenda-agenda pembangunan kedepan yang dikleim pro kepentingan rakyat didesain sedemikian rupa untuk dijual kepada rakyat. Slogan masing-masing pasang kandidat berseliweran seolah-olah tiada duanya dan tidak dimiliki pasangan kandidat lainnya. Masing-masing kandidat dan tim sukses saling debat, saling kleim kehebatan pasangan masing-masing. Politik pencitraan yang dilancarkan masing-masing kandidat yang seolah tiada kekurangan dan cacat sedikitpun. Seolah sempurna.

Lebih cepat lebih baik, pemerintahan yang pro rakyat dan lanjutkan!!! Menjadi slogan yang masih dapat diingat dari masing-masing kandidat peserta pilpres kemarin. Semuanya menisyaratkan klaim adanya keberpihakan kepada rakyat. Sebaliknya rakyat yang diatasnamakan oleh para elit justeru seringkali bingung melihat tingkah dan polah orang-orang yang dianggap akan mewakilinya diparlemen maupun di pemerintahan. Hal ini kiranya dapat dimaklumi, karena selama ini para elit memang lebih asik berdebat dengan sesamanya dari pada bertandang langsung melihat kondisi masyarakat.

Akhir-akhir ini, perdebatan seputar pengisian menteri di Kabinet Rekonsiliasi Nasional periode 2009-2014 mengemuka. Perdebatan dikalangan para elit tidak terhindarkan. Pendapat pro dan kontra soal jatah menteri menghangat. Opisisi atau tidak menjadi menjadi sajian menarik yang mengisi ruang diskusi para elit yang seolah sebagai “petinggi” direpublik ini. Dalam alam demokrasi, kondisi seperti ini tentu bukanlah suatu hal yang tabu. Persoalan untuk memilih oposisi dan atau tidak, tentunya hanya soal pilihan politik saja. Namun demikian, ketika semuanya bicara atas nama kepentingan rakyat, maka memang perlu dibuktikan. Kesungguhan para elits untuk berbuat bagi kepentingan rakyat banyak tidak cukup hanya sampai diforum dan diskusi-diskusi seputar persoalan rakyat. Kesungguhan multistakeholder untuk memberikan yang terbaik bagi kesejahteraan rakyat masih harus terus dibuktikan dengan upaya-upaya produktif yang berpihak pada rakyat dan citra baik negeri ini melalui berbagai program dan implementasi produk kebijakan pro rakyat. Di kalangan legislator dan aparatur pemerintahan, niat baik itu misalnya dapat ditunjukkan dengan niat yang sungguh-sungguh untuk berani menolak KORUPSI dan tindakan kurang terpuji lainnya.

Demikian pula untuk kalangan elit partai politik, sedianya tidak hanya memikirkan “JATAH KEUNTUNGAN” semata. Akan tetapi, para elits partai juga dituntut untuk dapat memikirkan dan menjalankan peran partai sesuai amanat konstitusi. Perdebatan soal kekuasaan yang terus bergulir harus berakhir pada sebuah kesadaran bahwa pembangunan bangsa yang penuh dinamika tidak dapat dilakukan secara parsial hanya oleh kalangan tertentu. Pembangunan bangsa butuh keterlibatan semua pihak dari latar belakang yang beragam. Indonesia yang dicita-citakan hanya akan mungkin dibangun dengan kemauan politik yang tulus dan tidak mengabaikan kepentingan rakyat yang sesungguhnya, bukan berpura-pura peduli kepada rakyat. Jangan pernah atasnamakan rakyat bila bukan untuk kepentingan rakyat. Sebuah PR bersama para legislator terpilih dan pihak yang diberi kepercayaan untuk mengabdi bagi kepentingan rakyat, berikan sesuatu yang baik selagi Anda diberi kesempatan. Bila itu dilakukan, maka tiket berikutnya akan memberi peluang bagi Anda.

*) Mahasiswa FISIPOL Untan, Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo THomas More Pontianak.