Selasa, 05 Februari 2013

Kekerasan Aparat vs Masyarakat Sipil



By. Hendrikus Adam*

Empat kata (Kekerasan Aparat – Masyarakat Sipil) yang menjadi judul dalam tulisan ini tentu tidak asing bagi kita. kata tersebut mengemuka disejumlah media masa beberapa hari terakhir. Tindak kekerasan oleh negara melalui aparat penegak hukum terhadap masyarakat sipil maupun para aktivis menjadi bagian yang turut mewarnai tatanan demokrasi. Tanggal 29 Januari 2013 lalu, kita kembali disuguhkan berita memiriskan. Sekelompok petani bersama sejumlah rekan aktivis lingkungan hidup di Sumatera Selatan menjadi korban ‘pembantaian’ aparat kepolisian saat melangsungkan aksi jalanan bersama.

Kejadian ini menyisakan aib bagi wajah demokrasi yang sekaligus berhasil menjadi dan bahkan berpotensi menambah presenden buruk bagi aparat khususnya pihak kepolisian. Peran sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang termatrai dalam undang-undang kepolisian sepertinya masih perlu mendapat perhatian serius khususnya dalam tataran implementasi. Demikian pula dengan upaya perjuangan hak yang dirampas melalui jalur aksi jalanan oleh masyarakat sipil tidak selalu berbuah manis. Konsekuensi pahit yang berakhir ricuh hingga korban kekerasan menjadi buah yang harus diterima. Kasus yang baru terjadi tentu pantas menjadi rujukan untuk menjadi bahan refleksi bersama; mau dibawa kemana sesungguhnya wajah demokrasi dan peran aparat kita.

Kasus Mesuji di provinsi Lampung tahun 2011 lalu terkait konflik perkebunan yang berujung pada tindakan kekerasan penembakan warga sipil dan bahkan berakibat hilangnya nyawa. Selanjutnya kasus bernuansa tindak kekerasan oleh aparat di Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat terkait penolakan warga atas hadirnya perusahaan tambang PT. Sumber Mineral Nusantara yang turut memakan korban nyawa, serta kasus di Ogan Komering Hilir (Sumsel) terkait sengketa warga versus PT. Perkebunan Nusantara yang mengakibatkan meninggalnya Angga (12 tahun), tertembak dibagian kepala oleh peluru aparat sekitar Juli 2012. Sederet kasus tindak kekerasan yang bermuara pada persoalan agraria yang senantiasa melibatkan peranserta aparat ini menjadi realitas betapa negara melalui aparaturnya betah bermain api, ’melindas’ rakyatnya sendiri.

Di Kalimantan Barat November 2011, kejadian serupa menimpa Darius warga dusun Pakan  (Desa Balai Sepuak, Sekadau) menjadi korban ’tertembak’ pada bagian betis oleh aparat kepolisian sebagai buntut dari kasus berkenaan hadirnya perusahaan perkebunan (PT. Grand Utama Mandiri) di daerah tersebut. Sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan aparat mengajarkan banyak hal kepada kita, dimana masyarakat sipil senantiasa menjadi korban ketidakadilan bahkan hingga melepaskan nyawa. Disamping itu, kehadiran pemodal cenderung memanfaatkan ’tangan negara’ melalui aparatur keamanan untuk berusaha menyelamatkan usahanya. Kondisi ini membuahkan satu benang merah terpenting untuk dipahami bahwa pendekatan keamanan dalam merespon gejala sosial terkait hajat hidup warga banyak tidak dapat menjadi sebuah jaminan kondisi tersebut akan aman/terkendali. Pada tataran ini, pihak kepolisian tentu perlu berbenah diri secara institusi. Demikian pula masyarakat sipil tentunya harus lebih sigap dalam menyikapi sejumlah kemungkinan kala melakukan aksi jalanan.

Kasus yang baru terjadi pastilah secara sadar tidak kita inginkan. Tentu begitu banyak potensi kasus  sama ibarat api dalam sekam yang perlu diredam sekaligus dipadamkan sejak dini sebelum menjadi bara besar yang dapat merugikan banyak pihak khususnya masyarakat kecil. Gejala konflik pengelolaan sumber daya alam yang bermuara pada ketidakadilan agraria hingga kini memang sedang menggurita di negeri kita. Kebijakan alih fungsi lahan untuk kepentingan pemodal dibawah bendera izin penguasa melalui kewenangannya dengan tidak ’cermat’ harus diakui telah melahirkan sejumlah persoalan serius yang akhirnya berdampak pada ranah sosial budaya, aspek lingkungan hidup dan himpitan ekonomi bagi masyarakat. Kriminalisasi masyarakat, perampasan hak warga atas lahan, pencemaran dan perusakan lingkungan hingga potensi praktek korupsi sektor pengelolaan sumber daya alam mengemuka.

Sederet kasus sebagaimana disebutkan haruslah menjadi peringatan penting bagi segenap komponen bangsa. Perebutan sumber daya alam disatu sisi harus dipahami bukan sekedar untuk dikuras yang selanjutnya menguntungkan oknum tertentu semata. Sebaliknya, aparatur harus menunjukkan kesungguhannya dalam menindak tegas dugaan pelanggaran dan menyelesaikan sejumlah persoalan mengenai sengkarut yang menjadi akar masalah yang ada. Bila melihat gejala yang berkembang, provinsi Kalimantan Barat harus diakui sangat berpotensi menjadi sasaran ’amuk’ berikutnya. Karena itu, upaya intervensi yang didasari itikad baik dengan cara-cara humanis untuk menciptakan kondisi damai oleh segenap komponen menjadi sisi prioritas. Sejumlah penyelenggara institusi penegak hukum tentu sangat hatam dengan tupoksi yang harus mereka jalankan dalam menyikapi fenomena sosial yang ada, karenanya harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang elegan.

Bukan saatnya wajah arogan institusi dipertontonkan oleh sejumlah oknum aparat melalui tindak kekerasan maupun sejenisnya. Bukan saatnya aparat kepolisian bersama masyarakat sipil harus gontok-gontokan oleh karena kasus ketidakadilan yang bermuara pada kepentingan investasi yang hanya berpotensi menguntungkan segelintir pihak. Sebaliknya, aparat (utamanya pihak kepolisian) sangat berkepentingan untuk menampilkan wajahnya yang ’sejuk’ dan sungguh-sungguh sebagai pelindung, pengayom maupun pelayan bagi masyarakat. Demikian halnya masyarakat pada umumnya, sangat berkepentingan dengan rasa aman yang memang menjadi keinginan bersama ditambah kehadiran aparat yang bersahabat.

Aparat bersama masyarakat sipil harusnya dapat bersinergis, saling mendukung dan saling mengayomi. Terpenting, aparat dalam menjalankan tugasnya mesti tegas sikapnya untuk tetap tegak dan terjaganya kedamaian. Kalaulah ada sikap keberpihakan pada ”yang bayar” dan atau ”yang kuasa” dengan mengulangi cara-cara kekerasan, maka yakinlah hal yang demikian akan justeru menjadi jalan ampuh untuk menuju kian sirnanya kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan. Bila demikian yang terus terjadi, tentu tindak kekerasan aparat layak digugat. Stop kekerasan (aparat), pulihkan Indonesia dan utamakan keselamatan rakyat kiranya dapat menjadi asa bersama menuju kondisi yang diinginkan.

* Penulis aktivis WALHI Kalimantan Barat

Catatan:
Naskah ini diterbitkan dalam rubrik Opini Harian Pontianak Post edisi Selasa, 5 Februari 2013.