Selasa, 09 Maret 2021

Mengenang Kebangkitan Peladang 9 Maret


 
Oleh Hendrikus Adam


Awal Februari tahun 2021 - beberapa waktu lalu, kebakaran hutan dan lahan yang disertai dengan bencana kabut asap menghampiri sekitar wilayah Kalimantan Barat. Sejumlah titik mengalami kebakaran yang sontak membuat sejumlah pihak ‘kasak kusuk’, termasuk di wilayah Kota Pontianak. Lahan gambut di daerah ini kembali mengalami kebakaran dan bahkan nyaris melahap bangunan asrama mahasiswa.

Pihak Kepolisian Kalimantan Barat bersama Pangdam XII Tanjungpura dan pemerintah provinsi Kalbar pun menggelar rapat koordinasi antar lembaga dalam rangka upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla dengan menghadirkan pemerintah kabupaten/kota, jajaran kepolisian dan para pihak terkait. Sejurus dengan situasi itu, status siaga darurat karhutla pun ditetapkan Gubernur Kalimantan Barat seraya meminta agar penetapan status siaga darurat turut diikuti oleh pemerintah kabupaten/kota yang belum mengambil keputusan.


Hal yang menarik dengan bencana asap yang melanda Kalbar akhir-akhir ini adalah saat Peladang yang selama ini kerap ‘dikambinghitamkan sebagai penyebab karhutla’ justeru jelang dan sedang mulai memasuki musim panen padi ladang yang kini telah menguning. Bahkan Penulis saat mengunjungi masyarakat di komunitas Dayak seberuang daerah Sintang sekitar awal Februari 2021 lalu turut menikmati pam atau emping hasil panen padi pulut di ladang.

Situasi bencana asap akibat karhutla di awal tahun serupa, mengingatkan pada kejadian di tahun sebelumnya, seperti di 2014 – sebanyak lima perusahaan kala itu diproses hukum oleh pihak kepolisian atas dugaan terlibat karhutla. Salah satu diantaranya merujuk berita media kemudian di hentikan proses hukumnya (di SP3-kan), sedangkan 4 perusahaan sisanya terkesan menguap – tanpa kabar.

Biang Penyebab Asap?

Bila melihat sejarahnya, sejak lama Peladang kerap dituduh sebagai biang kebakaran yang menyebabkan petaka asap. Bahkan sikap sinis atas praktik berladang dengan berkearifan lokal yang dilindungi Undang-Undang tersebut seolah ‘terlembaga’ sebagaimana disampaikan sejumlah oknum pejabat selama ini. Sementara jalan keluar sebagai solusi permanen dari pemerintah terhadap Peladang selama ini tidak kunjung tiba. Bahkan Peladang yang mengusahakan pemenuhan hak atas pangannya selama ini terabaikan tanpa mendapat perhatian.


Pada kejadian karhutla tahun 1997 misalnya, Ir. Karsan Sukardi saat itu sebagai Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat menuduh Peladang sebagai penyebabnya. Kemudian tahun 2018, (alm) Sutopo Purwo Nugroho selaku Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB menyampaikan hal serupa. Menurutnya tradisi ‘gawai serentak’ sebagai kebiasaan persiapan musim tanam dengan membuka lahan dengan cara bakar. Selanjutnya pada September 2019, Bapak Wiranto yang kala itu selaku Menkopolhukam RI menyebut kebakaran diakibatkan gara-gara Peladang. Bahkan dalam pernyataannya sebagaimana dikutip media, akan meminta korporasi jadi bapak asuh bagi para Peladang agar diberikan pelatihan untuk tidak membuka lahan dengan cara bakar. Respon atas pernyataan tensensius oknum pejabat publik tersebut, hanya pernyataan tahun 2019 yang luput dari sanksi adat kala itu.

Hal lain yang cukup menggelitik adalah “Pengumuman” dalam bentuk papan plang berlogo Departemen Kehutanan yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung (TNGP) Seksi Konservasi Wilayah I Sukadana yang menulis pesan bahwa “Membuka LADANG dengan cara MEMBAKAR adalah perbuatan TIDAK BIJAKSANA”.

Nada miring lainnya terhadap Peladang tergambar dari sejumlah kebijakan dan tindakan lapangan pasca kebakaran meluas di Indonesia tahun 2015, disusul dengan terbitnya kebijakan yang kerap disalahpahami dalam pelaksanaannya hingga terkesan tidak berpihak pada Peladang seperti; Maklumat Kepolisian 2015 – 2018 – 2020, Inpres 11 tahun 2015, Kampanye larangan membakar, sosialisasi larangan oleh korporasi disertai ancaman sanksi, ajakan meninggalkan ladang, Maklumat bersama Forkopimda Kapuas Hulu serta sempat terbit Surat Edaran Kodim 1206/PTS yang secara tersirat menyebutkan larangan pembakaran ladang. Peladang di Gernis Jaya, Kecamatan Sepauk bahkan pernah mengalami situasi miris dengan dipasangnya segel Polsek setempat di ladang dengan anggapan sebagai lahan bekas kebakaran sehingga dalam pengawasan yang tidak boleh dikerjakan. Jauh sebelum kejadian karhutla meluasi tahun 2015 di Indonesia, Permen Lingkungan Hidup 10 Tahun 2010 telah menyiratkan sandungan bagi Peladang berkearifan Lokal.

Terbitnya Pergub 103 tahun 2020 pada 16 Juli 2020 tentang Pembukaan Areal Lahan Pertanian Berbasis Kearifan Lokal yang seolah menjadi satu-satunya aturan dan seolah pula sebagai jawaban atas rasa cemas dialami Peladang sebetulnya hanyalah penegasan dari aturan diatasnya melalui adanya peraturan di tingkat daerah. Karena sesungguhnya payung hukum perlindungan pertanian berbasis kearifan lokal terutama praktik berladang sebetulnya telah ada dan ditegaskan sebagaimana pada beberapa ketentuan seperti Konvensi ILO 169, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Permen LHK 34 tahun 2017 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Berbasis Kearifan Lokal. Soal Pergub 103 tahun 2020, Penulis memiliki catatan serius tersendiri atas aturan ini yang penting menjadi perhatian dimana salah satunya mengenai ambigunya gambaran mengenai Peladang.

Papan plang yang di pasang di Jalan Siduk yang menyebutkan membuka ladang dengan cara membakar bukan perbuatan bijaksana dan sejumlah ‘aturan larangan’ yang terbit kemudian mengkonfirmasi bahwa adanya pemahaman yang keliru seputar akar persoalan asap salama ini. Bahkan sorotan terhadap Peladang yang kerap dikambinghitamkan sebagai penyebab karhutla justeru terlihat lebih dominan bila dibandingkan atensi penegakan hukum atas kasus karhutla yang disebabkan oleh korporasi selama ini. Kasus karhutla yang melibatkan korporasi selama ini tampak dominan berujung pada sanksi asministratif berupa surat peringatan sebagaimana kejadian tahun 2019 silam di Kalimantan Barat. Lantas akan berakhir seperti apa lagi nasib 28 konsesi yang diduga terlibat kasus karhutla sebagaimana dirilis pemerintah provinsi Kalimantan Barat pada Kamis, 4 Maret 2021 lalu?

Momentum (Hari) Kebangkitan Peladang

Keberpihakan putusan pengadilan yang membuahkan vonis bebas bagi enam Peladang asal Sintang menjadi presenden baik penegakan kebenaran dan keadilan dalam proses hukum kasus petani di Kalimantan Barat. Sebagaimana putusan yang dibacakan Hakim Pengadilan Negeri Sintang pada 9 Maret 2020, teranglah membuktikan bahwa membakar untuk ladang dengan berkearifan lokal bukan termasuk dalam kategori kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).


Dengan demikian, putusan PN Sintang dengan nomor masing-masing; 249, 250, 251, 252 - /Pid.B/LH/2019/PN Stg menegaskan bahwa keenam Peladang yang didakwa tidak terbukti bersalah, sehingga berladang dengan berkearifan lokal adalah sah secara hukum dan dilindungi Undang-Undang. Sehari berikutnya, Peladang asal Bengkayang yang juga sempat diproses hukum akhirnya turut dibebaskan pihak Pengadilan Negeri setempat. Di balik terobosan hukum yang menarik atas vonis bebas tersebut, kasus hukum dua Peladang asal Sanggau justeru mendapat vonis bersalah dengan hukuman dua bulan satu hari penjara dengan denda 1 juta rupiah sebagaimana putusan PN Sanggau pada 30 Maret 2020. Sementara dua perusahaan sawit terkait kasus ini sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian justeru raib tanpa kabar.

Vonis bebas terhadap enam Peladang di Sintang merupakan 'tonggak kebangkitan' bagi perjuangan Peladang. Putusan bebas terhadap enam Peladang sedianya menjadi momentum penting untuk memastikan kemerdekaan bagi para Peladang dalam mengusahakan pangan untuk kedaulatan mengusahakan pangan dan keberlanjutan kehidupan mereka. Situasi ini hendaknya menjadi tonggak penting guna memastikan Peladang tetap berdaulat atas pangan dan sumber kehidupannya yang diikuti dengan produk hukum yang jelas dan tegas berpihak pada mereka. Sebuah ruang untuk merefleksikan kembali agar jangan ada lagi Peladang berkearifan lokal yang dipersalahkan dan diproses hukum dalam mengusahakan penghidupannya karena berladang.

Bebasnya enam Peladang asal Sintang, juga dua Peladang asal Bengkayang kala itu sejatinya momentum penting guna meneguhkan keberpihakan pada praktik berladang berkearifan lokal oleh masyarakat di komunitas. Momentum dimana segenap elemen rakyat pro Peladang menggemakan keberpihakan agar dibebaskannya para Peladang yang dipersalahkan hingga dipaksa menjalani proses hukum.


Kini (9 Maret 2021), tonggak yang menandai gerakan kesadaran dan solidaritas bersama untuk perjuangan hak dan kedaulatan, pembebasan sekaligus kebangkitan bagi Peladang kembali dikenang. Menjadikan desakan asa untuk kebebasan dan kemerdekaan Peladang satu tahun silam sebagai momentum, sekaligus kesempatan mengenang maupun merefleksikan bangkitnya perjuangan untuk kedaulatan dan pemenuhan hak-hak Peladang. Momentum untuk mengingatkan bahwa sejumlah oknum/perusahaan pembakar harus ditindak tegas dan nada miring oknum birokrat terhadap Peladang hendaknya tidak terus terulang. Sementara Peladang harus tetap berladang tanpa khwatir dengan berkearifan lokal yang dilakukan secara terkendali.

Momentum 9 Maret, satu tahun silam yang kembali diulangi mengundang segenap pihak yang memiliki itikad baik untuk bangkit, bergerak dan berpihak pada usaha pemenuhan hak dan kedaulatan Peladang. Dengan demikian, menjadi relevan kiranya bila momentum 9 Maret tersebut dikenang sebagai Hari Kebangkitan Peladang di Nusantara yang kita cintai bersama ini.

***Penulis Kadiv Kajian dan Kampanye WALHI Kalimantan Barat, juga sebagai Direktur Eksekutif Persatuan Peladang Tradisional Kalimantan Barat.