Penulis saat berada di lahan ladang milik Pak Kamis, warga Desa Nanga Pari di Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang pada hari Kamis (23/8/2018).
|
Dalam beberapa tahun terakhir pasca
kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan petaka asap hebat tahun 2015 pada
sedikitnya 7 provinsi di Indonesia, keinginan untuk keluar dari persoalan ini
ditegaskan pemerintah dengan lantang. Presiden Joko Widodo misalnya menegaskan;
tahun 2015 Indonesia bebas (bencana) asap. Pernyataan komitmen ini kemudian
disusul dengan lahirnya aturan juga himbauan untuk mengantisipasi kebakaran
hutan dan lahan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.
Tertanggal 24 Oktober 2015 misalnya,
Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 11 tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan. Inpres ini mengamanahkan untuk meningkatkan
penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan
hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan. Salah satu poin
dari Inpres tersebut meminta agar Para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk
memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha pertanian yang tidak melaksanakan
pengendalian kebakaran lahan yang menjadi tanggungjawabnya.
Di Kalimantan Barat, sebelum terbitnya
Inpres ini, bahkan lebih dulu terbit Maklumat Kepolisian tentang Larangan
Membakar Hutan dan Lahan/Kebun tertanggal 7 Juli 2015. Maklumat
ini meminta seluruh warga masyarakat dan pihak manapun di Kalimantan Barat
agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan dan kebun atau tindakan lain
dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan
terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan
dan kegiatan masyarakat lainnya. Dalam maklumat tersebut juga termuat ancaman
pidana 3 hingga 10 tahun dan denda 15 milyar rupiah.
Terbitnya Maklumat dan Inpres memicu
langkah peningkatan pengendalian karhutla susulan oleh sejumlah pihak terkait
di lapangan. Di Kalimantan Barat, TNI melalui Kodim 1207/BS turut melakukan
kampanye dengan memasang spanduk pada sejumlah titik tentang larangan melakukan
pembakaran lahan dan hutan yang disertai dengan informasi ancaman pidana dan
denda milyaran rupiah. Selanjutnya disusul terbitnya Maklumat Bersama tentang
Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun yang disampaikan Forkompimda Kapuas
Hulu tertanggal 13 Juli 2016 yang masing-masing turut ditandatangani olehBupati Kapuas Hulu, Kapolres,
Dandim 1206/PSB, Kejari, Ketua DPRD dan Ketua Pengadilan. Larangan ini turut disertai
dengan ancaman pidana dan denda milyaran rupiah.
Maklumat Kepolisian tentang Larangan
Pembakaran Hutan dan Lahan tertanggal 7 Juli 2015 yang ditandatangani Kapolda
Kalimantan Barat juga diperbanyak dan turut disosialisasikan oleh sejumlah
perusahaan perkebunan dengan memasangnya pada sejumlah areal konsesi usahanya.
Salah satu baliho tentang maklumat ini misalnya di pasang dalam wilayah konsesi
PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) yang pada tahun 1997 memiliki kebijakan
untuk membersihkan lahannya dengan cara bakar. Bahkan baliho maklumat
kepolisian juga dipasang pada sejumlah kantor perusahaan seperti
pada kantor PT. Fisrt Resources di Komplek Perdana Square, Kota Pontianak kala
itu.
Selanjutnya pada 10 Maret 2017 lalu bahkan
diterbitkan Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun/Ladang oleh Koramil
121/ABW dan Kodim 1206/PSB. Pada surat edaran ini yang
ditandatangani Komandam Kodim 1206/PSB itu secara tersirat disebutkan dengan
tegas mengenai larangan pembukaan lahan/ladang dengan cara bakar. Pelanggaran
atas edaran ini akan disanksi pidana dan denda milyaran rupiah.
Pemerintah Kalimantan Barat terutama sejak
ditabuhnya status siaga darurat bencana sejak Januari 2018 lalu telah
menetapkan 182 desa rawan bencana (kebakaran) pada 71 kecamatan dalam wilayah
14 kabupaten/kota, Kalimantan Barat. Situasi ini disusul dengan hadirnya 3 unit
helikopter yang siap digunakan untuk patroli dan pemadaman kebakaran di
lapangan. Hal yang mengelitik adalah pihak BPBD Kalbar akan tetap melakukan
pemadaman via bom air atas pembersihan ladang warga yang berada pada 182 desa
sekalipun berada di tanah mineral (Wahana Kita, Maret 2018). Ini berarti bahwa
kegiatan berladang sekitar kebijakan larangan membakar merupakan tindakan
terlarang sekalipun tidak dianggap sebagai biang petaka asap selama ini.
Beranikan Masyarakat Antisipasi Karhutla
Musim panas yang sedang berlangsung dalam
beberapa waktu terakhir tanpa ada hujan memang menjadi rentan bagi sejumlah
lahan maupun kawasan berhutan kritis mengalami kekeringan. Terutama pada
sekitar wilayah ekosistem gambut yang telah dibuka dalam skalanya yang luas
seperti untuk konsesi industri ekstraktif (korporasi) selama ini yang
kondisinya jauh lebih sangat rentan. Situasi ini bila tersulut api baik
disengaja maupun tidak menjadi mudah mengalami kebakaran. Apa yang terjadi pada
beberapa tempat dalam waktu terakhir mengkonfirmasi situasi dimaksud.
Karena itu, semua pihak termasuk masyarakat
terutama di sekitar wilayah rentan untuk dapat lebih berhati-hati dan proaktif
memastikan agar langkah pencegahan sebagai bagian dari antisipasi Karhutla
menjadi penting dilakukan bersama. Dengan situasi ini, kita berharap agar tidak
ada rasa was-was lagi dirasakan masyarakat seiring dengan kebijakan antisipasi
Karhutla yang selama ini justeru berpotensi menyebabkan resiko Karhutla
terjadi.
Jika upaya pemadaman atau antisipasi
Karhutla kita diyakini harus dilakukan dengan melibatkan segenap komponen, maka
masyarakat pengampu kearifan lokal di akar rumput juga mestinya harus dirangkul
dan dilindungi hak-haknya. Tanpa harus dibuat takut. Beberapa minggu lalu,
penulis mendapat kabar dari masyarakat di daerah Tae (Sanggau), bahkan ada
warga yang saat membakar lahan ladangnya justeru disiram helikopter. Nah, hal
seperti ini harusnya tidak perlu terjadi. Apa lagi selama ini yang kita tahu
pembukaan lahan untuk berladang umumnya di tanah mineral. Jangan sampai, akibat
tindakan yang terkesan serampangan justeru membuat masyarakat di daerah merasa
takut untuk mengusahakan hak atas pangan yang merupakan hak asasi melalui
kegiatan bertani turun temurun yang mereka geluti selama ini.
Saat berada di Sungai Enau kemarin
(20/7/2018), kita bahkan mendapat informasi kalau tahun lalu ada keluarga yang
tidak dapat menanam padi karena lahannya tidak dibersihkan. Mereka merasa takut
dibom air dan takut ditangkap bila membersihkan lahan ladangnya dengan cara
bakar. Ini tentu persoalan serius. Bila warga yang adalah rakyat berusaha
memenuhi hak asasinya dengan bertani merasa takut akibat kebijakan, lantas apa
artinya kehadiran negara melalui aparatur pemerintah di republik ini untuk
memastikan pemenuhan hak dasar bagi rakyatnya? Pada situasi ini, masyarakat di
akar rumput perlu dibuat berani untuk terlibat mengantisipasi karhutla dan
bukan sebaliknya! Rasa takut yang dialami masyarakat khususnya pengolah lahan
akibat kebijakan antisipasi karhutla justeru hanya akan menimbulkan resiko
akutnya masalah karhutla dan persoalan baru di lapangan.
Kepada masyarakat luas, dimusim asap akan
baik bila melakukan antisipasi bila harus berpergian keluar rumah dengan mengenakan
pelindung yang dapat mencegah paparan asap secara langsung. Sementara bagi
petani penggarap lahan pertanian khususnya para peladang, pastikan praktik
pembersihan lahan dilakukan dengan terkendali sesuai kearifan lokal selama ini
sebagaimana pula diamanahkan Undang-undang.
Apresiasi dan Koreksi Penegakan
Hukum
Keterlibatan sejumlah pihak, termasuk
aparat terkait memadamkan api pada lokasi kebakaran akhir-akhir tentu patut
diapresiasi. Namun demikian, praktik pemadaman via bom air yang dikomandoi oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar maupun patroli lapangan oleh
aparat hendaknya sungguh memperhatikan karakteristik dan kondisi masyarakat
lokal sekitar. Jangan sampai, praktik bom air yang serampangan seperti
tahun-tahun sebelumnya justeru terulang dan pada akhirnya justeru menimbulkan
masalah baru bagi masyarakat.
Terkait dengan patroli yang dilakukan
aparat guna mengantisipasi Karhutla, sangat diharapkan agar lebih humanis
dengan mengedepankan sisi kemanusiaan. Kita akan sangat mengapresiasi bila
aparat di lapangan tidak membekali diri dengan senjata (senapan api). Karena
secara fsikologis tentu hal ini dapat berdampak buruk bagi kerja-kerja
antisipasi Karhutla yang dilakukan. Termasuk dapat menimbulkan persepsi yang
buruk bagi negara di mata warganya karena mengesankan seolah bahwa bertani
ladang adalah kejahatan, atau sejumlah pendapat sinis lainnya.
Tentu langkah antisipasi dengan
mengoptimalkan sumberdaya yang ada dengan memperhatikan efektifitas dan
efisiensi serta turut merangkul masyarakat di akar rumput mencegah terjadinya
kebakaran meluas menjadi penting dilakukan. Selain itu, penyampaian informasi
yang memadai mengenai apa dan kemana warga yang mengetahui kejadian kebakaran
untuk mendapat bantuan penanganan segera dari pihak terkait juga penting
disampaikan.
Catatan penting lainnya terkait kasus
karhutla adalah pentingnya keterbukaan dan sikap tegas aparat penegak hukum
terhadap kasus karhutla yang melibatkan korporasi untuk ditindak tegas. Selama
ini belum terlihat ada kemauan serius terkait penyelesaian hal ini sehingga
mengesankan bahwa penegakan hukum cenderung tajam kebawah namun tumpul keatas.
Bila perlu situasi dimaksud penting menjadi atensi Kapolri sehingga harus
menjadi bahan evaluasi dan refleksi dari sisi penegakan hukum kasus karhutla
yang melibatkan korporasi di Kalimantan Barat selama ini.
Pelibatan masyarakat dengan menghormati
kearifan lokal yang dimiliki sebagai bagian dari upaya antisipasi karhutla
menjadi penting dan mendesak. Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan
Lingkungan Hidup telah menegaskan perlindungan praktik dengan memperhatikan
kearifan lokal. Selain itu, negara juga memiliki kewajiban memastikan
terpenuhinya hak atas pangan warganya yang merupakan hak asasi. Dengan demikian
praktik bertani ladang turun temurun secara terkendali sesuai kearifan lokal
selama ini mestinya tidak menjadi persoalan di tengah usaha antisipasi
karhutla. Sebab praktik berladang sesungguhnya melampaui 'ilmu menghitung' yang
syarat dengan praktik kebijaksanaan lokal. Tidak cukup hanya dapat dipotret
dari aspek ekonomi semata, tetapi juga harus dilihat dari sisi keberlanjutan
kehidupan meliputi sosial budaya, adat dan spiritualitas.