Rabu, 19 September 2018

Kebijakan Karhutla dan Tantangannya bagi Peladang

Penulis saat berada di lahan ladang milik Pak Kamis, warga Desa Nanga Pari di Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang pada hari Kamis (23/8/2018).





Oleh Hendrikus Adam[1]

Dalam beberapa tahun terakhir pasca kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan petaka asap hebat tahun 2015 pada sedikitnya 7 provinsi di Indonesia, keinginan untuk keluar dari persoalan ini ditegaskan pemerintah dengan lantang. Presiden Joko Widodo misalnya menegaskan; tahun 2015 Indonesia bebas (bencana) asap. Pernyataan komitmen ini kemudian disusul dengan lahirnya aturan juga himbauan untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.

Tertanggal 24 Oktober 2015 misalnya, Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 11 tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Inpres ini mengamanahkan untuk meningkatkan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan. Salah satu poin dari Inpres tersebut meminta agar Para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha pertanian yang tidak melaksanakan pengendalian kebakaran lahan yang menjadi tanggungjawabnya.

Di Kalimantan Barat, sebelum terbitnya Inpres ini, bahkan lebih dulu terbit Maklumat Kepolisian tentang Larangan Membakar Hutan dan Lahan/Kebun tertanggal 7 Juli 2015. Maklumat ini meminta seluruh warga masyarakat dan pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan dan kebun atau tindakan lain dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat lainnya. Dalam maklumat tersebut juga termuat ancaman pidana 3 hingga 10 tahun dan denda 15 milyar rupiah.

Terbitnya Maklumat dan Inpres memicu langkah peningkatan pengendalian karhutla susulan oleh sejumlah pihak terkait di lapangan. Di Kalimantan Barat, TNI melalui Kodim 1207/BS turut melakukan kampanye dengan memasang spanduk pada sejumlah titik tentang larangan melakukan pembakaran lahan dan hutan yang disertai dengan informasi ancaman pidana dan denda milyaran rupiah. Selanjutnya disusul terbitnya Maklumat Bersama tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun yang disampaikan Forkompimda Kapuas Hulu tertanggal 13 Juli 2016 yang masing-masing turut ditandatangani olehBupati Kapuas Hulu, Kapolres, Dandim 1206/PSB, Kejari, Ketua DPRD dan Ketua Pengadilan. Larangan ini turut disertai dengan ancaman pidana dan denda milyaran rupiah.

Maklumat Kepolisian tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan tertanggal 7 Juli 2015 yang ditandatangani Kapolda Kalimantan Barat juga diperbanyak dan turut disosialisasikan oleh sejumlah perusahaan perkebunan dengan memasangnya pada sejumlah areal konsesi usahanya. Salah satu baliho tentang maklumat ini misalnya di pasang dalam wilayah konsesi PT. Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) yang pada tahun 1997 memiliki kebijakan untuk membersihkan lahannya dengan cara bakar. Bahkan baliho maklumat kepolisian juga dipasang pada sejumlah kantor perusahaan  seperti pada kantor PT. Fisrt Resources di Komplek Perdana Square, Kota Pontianak kala itu.

Selanjutnya pada 10 Maret 2017 lalu bahkan diterbitkan Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun/Ladang oleh Koramil 121/ABW dan Kodim 1206/PSB.  Pada surat edaran ini yang ditandatangani Komandam Kodim 1206/PSB itu secara tersirat disebutkan dengan tegas mengenai larangan pembukaan lahan/ladang dengan cara bakar. Pelanggaran atas edaran ini akan disanksi pidana dan denda milyaran rupiah.

Pemerintah Kalimantan Barat terutama sejak ditabuhnya status siaga darurat bencana sejak Januari 2018 lalu telah menetapkan 182 desa rawan bencana (kebakaran) pada 71 kecamatan dalam wilayah 14 kabupaten/kota, Kalimantan Barat. Situasi ini disusul dengan hadirnya 3 unit helikopter yang siap digunakan untuk patroli dan pemadaman kebakaran di lapangan. Hal yang mengelitik adalah pihak BPBD Kalbar akan tetap melakukan pemadaman via bom air atas pembersihan ladang warga yang berada pada 182 desa sekalipun berada di tanah mineral (Wahana Kita, Maret 2018). Ini berarti bahwa kegiatan berladang sekitar kebijakan larangan membakar merupakan tindakan terlarang sekalipun tidak dianggap sebagai biang petaka asap selama ini.

Beranikan Masyarakat Antisipasi Karhutla
Musim panas yang sedang berlangsung dalam beberapa waktu terakhir tanpa ada hujan memang menjadi rentan bagi sejumlah lahan maupun kawasan berhutan kritis mengalami kekeringan. Terutama pada sekitar wilayah ekosistem gambut yang telah dibuka dalam skalanya yang luas seperti untuk konsesi industri ekstraktif (korporasi) selama ini yang kondisinya jauh lebih sangat rentan. Situasi ini bila tersulut api baik disengaja maupun tidak menjadi mudah mengalami kebakaran. Apa yang terjadi pada beberapa tempat dalam waktu terakhir mengkonfirmasi situasi dimaksud.

Karena itu, semua pihak termasuk masyarakat terutama di sekitar wilayah rentan untuk dapat lebih berhati-hati dan proaktif memastikan agar langkah pencegahan sebagai bagian dari antisipasi Karhutla menjadi penting dilakukan bersama. Dengan situasi ini, kita berharap agar tidak ada rasa was-was lagi dirasakan masyarakat seiring dengan kebijakan antisipasi Karhutla yang selama ini justeru berpotensi menyebabkan resiko Karhutla terjadi.

Jika upaya pemadaman atau antisipasi Karhutla kita diyakini harus dilakukan dengan melibatkan segenap komponen, maka masyarakat pengampu kearifan lokal di akar rumput juga mestinya harus dirangkul dan dilindungi hak-haknya. Tanpa harus dibuat takut. Beberapa minggu lalu, penulis mendapat kabar dari masyarakat di daerah Tae (Sanggau), bahkan ada warga yang saat membakar lahan ladangnya justeru disiram helikopter. Nah, hal seperti ini harusnya tidak perlu terjadi. Apa lagi selama ini yang kita tahu pembukaan lahan untuk berladang umumnya di tanah mineral. Jangan sampai, akibat tindakan yang terkesan serampangan justeru membuat masyarakat di daerah merasa takut untuk mengusahakan hak atas pangan yang merupakan hak asasi melalui kegiatan bertani turun temurun yang mereka geluti selama ini.

Saat berada di Sungai Enau kemarin (20/7/2018), kita bahkan mendapat informasi kalau tahun lalu ada keluarga yang tidak dapat menanam padi karena lahannya tidak dibersihkan. Mereka merasa takut dibom air dan takut ditangkap bila membersihkan lahan ladangnya dengan cara bakar. Ini tentu persoalan serius. Bila warga yang adalah rakyat berusaha memenuhi hak asasinya dengan bertani merasa takut akibat kebijakan, lantas apa artinya kehadiran negara melalui aparatur pemerintah di republik ini untuk memastikan pemenuhan hak dasar bagi rakyatnya? Pada situasi ini, masyarakat di akar rumput perlu dibuat berani untuk terlibat mengantisipasi karhutla dan bukan sebaliknya! Rasa takut yang dialami masyarakat khususnya pengolah lahan akibat kebijakan antisipasi karhutla justeru hanya akan menimbulkan resiko akutnya masalah karhutla dan persoalan baru di lapangan.

Kepada masyarakat luas, dimusim asap akan baik bila melakukan antisipasi bila harus berpergian keluar rumah dengan mengenakan pelindung yang dapat mencegah paparan asap secara langsung. Sementara bagi petani penggarap lahan pertanian khususnya para peladang, pastikan praktik pembersihan lahan dilakukan dengan terkendali sesuai kearifan lokal selama ini sebagaimana pula diamanahkan Undang-undang.

Apresiasi dan Koreksi Penegakan Hukum
Keterlibatan sejumlah pihak, termasuk aparat terkait memadamkan api pada lokasi kebakaran akhir-akhir tentu patut diapresiasi. Namun demikian, praktik pemadaman via bom air yang dikomandoi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar maupun patroli lapangan oleh aparat hendaknya sungguh memperhatikan karakteristik dan kondisi masyarakat lokal sekitar. Jangan sampai, praktik bom air yang serampangan seperti tahun-tahun sebelumnya justeru terulang dan pada akhirnya justeru menimbulkan masalah baru bagi masyarakat.

Terkait dengan patroli yang dilakukan aparat guna mengantisipasi Karhutla, sangat diharapkan agar lebih humanis dengan mengedepankan sisi kemanusiaan. Kita akan sangat mengapresiasi bila aparat di lapangan tidak membekali diri dengan senjata (senapan api). Karena secara fsikologis tentu hal ini dapat berdampak buruk bagi kerja-kerja antisipasi Karhutla yang dilakukan. Termasuk dapat menimbulkan persepsi yang buruk bagi negara di mata warganya karena mengesankan seolah bahwa bertani ladang adalah kejahatan, atau sejumlah pendapat sinis lainnya.

Tentu langkah antisipasi dengan mengoptimalkan sumberdaya yang ada dengan memperhatikan efektifitas dan efisiensi serta turut merangkul masyarakat di akar rumput mencegah terjadinya kebakaran meluas menjadi penting dilakukan. Selain itu, penyampaian informasi yang memadai mengenai apa dan kemana warga yang mengetahui kejadian kebakaran untuk mendapat bantuan penanganan segera dari pihak terkait juga penting disampaikan.

Catatan penting lainnya terkait kasus karhutla adalah pentingnya keterbukaan dan sikap tegas aparat penegak hukum terhadap kasus karhutla yang melibatkan korporasi untuk ditindak tegas. Selama ini belum terlihat ada kemauan serius terkait penyelesaian hal ini sehingga mengesankan bahwa penegakan hukum cenderung tajam kebawah namun tumpul keatas. Bila perlu situasi dimaksud penting menjadi atensi Kapolri sehingga harus menjadi bahan evaluasi dan refleksi dari sisi penegakan hukum kasus karhutla yang melibatkan korporasi di Kalimantan Barat selama ini.

Pelibatan masyarakat dengan menghormati kearifan lokal yang dimiliki sebagai bagian dari upaya antisipasi karhutla menjadi penting dan mendesak. Undang-undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup telah menegaskan perlindungan praktik dengan memperhatikan kearifan lokal. Selain itu, negara juga memiliki kewajiban memastikan terpenuhinya hak atas pangan warganya yang merupakan hak asasi. Dengan demikian praktik bertani ladang turun temurun secara terkendali sesuai kearifan lokal selama ini mestinya tidak menjadi persoalan di tengah usaha antisipasi karhutla. Sebab praktik berladang sesungguhnya melampaui 'ilmu menghitung' yang syarat dengan praktik kebijaksanaan lokal. Tidak cukup hanya dapat dipotret dari aspek ekonomi semata, tetapi juga harus dilihat dari sisi keberlanjutan kehidupan meliputi sosial budaya, adat dan spiritualitas.





[1] Penulis Kadiv Kajian, Dokumentasi dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat.


ARTIKEL INI SEBELUMNYA TELAH TERIBT DI KOLOM OPINI HARIAN PONTIANAK POST PADA 15 AGUSTUS 2018 LALU DAN BARU DIPOSTING DALAM BLOG INI.