Senin, 28 Februari 2011

Memetik Hikmah Berharga dari Kasus Pro-Kontra Pernyataan Professor Tamrin AT


By. Hendrikus Adam*

Apa yang disampaikan melalui pernyataan Prof. DR. Thamrin Amal Tomagola (TAT) seorang Sosiolog Universitas Indonesia saat menjadi saksi ahli (karena permohonan sendiri-lihat surat elektronik ybs.) dalam sidang kasus asusila video mesum Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan menuai kecaman dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia, khususnya warga suku Dayak. Kecamanan tersebut sebagai respon atas pernyataan TAT dalam sidang di Pengadilan Bandung pada tanggal 30 Desember lalu dan telah dianggap telah melukai hati masyarakat Dayak khususnya.

Wujud dari aksi protes, masyarakat Dayak menuntut pertanggungjawaban TAT untuk memohon maaf dan mengklarifikasi serta menarik pernyataannya. Disamping itu juga menuntut agar TAT mempertanggungjawabkan pernyataannya serta diproses secara hukum negara dan di hukum adat. Sejumlah tuntutan tersebut telah disampaikan secara nasional yang dilakukan baik melalui surat protes dengan melakukan somasi, maupun seperti yang dilakukan pada tanggal 8 Januari 2010 melalui aksi massa di sejumlah daerah basis masyarakat Dayak dan bahkan dilakukan di ibu kota negara (Bundaran HI, Jakarta).

Sebagaimana diketahui bahwa kecaman terhadap TAT atas pernyataannya yang menganggap kasus video porno Ariel Peterpan tidak meresahkan masyarakat Indonesia dan kemudian mencontohkan salah satunya dari tiga komunitas masyarakat yang disebutkan adalah Suku Dayak. Dikatakan Thamrin (merujuk hasil riset tahun 1982-1983 saat menjabat sebagai Konsultan di Departemen Transmigrasi), di masyarakat Dayak bersenggama diluar ikatan perkawinan adalah hal yang biasa.

Kecamanan karena merasa tidak terima muncul. Warga yang merespon pernyataan TAT menilai bahwa apa yang disampaikan tentu bukan hal yang biasa. Terlebih oleh seorang akademisi yang mumpuni dengan gelar Strata 3 (Doktor) bahkan sebagai guru besar (Professor) di perguruan tinggi ternama Tanah Air. Apa yang disampaikan TAT adalah sebuah pernyataan yang luar biasa (diluar biasanya) karena "tidak sesuai fakta" dan cenderung general (butuh penjelasan utuh dari yang bersangkutan). Pernyataan yang tersebar meluas hingga dapat diakses warga dunia tersebut juga dikhawatirkan dapat memunculkan presenden negatif atas eksistensi masyarakat suku Dayak khususnya yang berpotensi dapat dimaknai secara general oleh siapa saja.

Oleh karenanya, wajarlah kiranya masyarakat Dayak meresponnya dengan meminta pertanggungjawaban kepada yang bersangkutan untuk mengingatkan serta memberikan pembelajaran bersama mengenai pentingnya kecermatan dan kehati-hatian dalam menyampaikan segala hal berkenaan dengan apek SARA yang memang sangat sensitif. Terlepas bahwa apa yang disampaikan bersumber dari informasi ilmiah, tetapi butuh klarifikasi utuh karena isu sensitif ini malah dapat menjadi pemicu perpecahan dan gejolak di masyarakat seperti yang sedang berlangsung melalui riak-riak yang berkembang beberapa waktu lalu.

Semangat penghormatan dengan mau menyadari eksistensi orang lain dengan latar belakang identitas beragam dan sekaligus sebagai bagian dari khasanah pembentuk budaya bangsa memang selayaknya mendapat tempat di hati setiap anak negeri ini. Dengan demikian, kekeliruan dan atau kesalahan sekalipun menjadi penting untuk diperjelas melalui upaya klarifikasi.

Dalam bingkai semangat ke-Indoesiaan yang berbhineka tunggal ika, hemat penulis pernyataan Prof TAT tentu sangat riskan dan karena sangat rentan (sekalipun maksud beliau tidak sampai pada penghinaan, sehingga memang butuh klarifikasi dari ybs.) memunculkan disintegrasi khususnya karena dapat membangun persepsi sesat pikir bagi publik atas pemahamannya terhadap kelompok maupun komunitas tertentu.

Statemen seperti ini juga sangat riskan bila dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk malah memperuncing keadaan dengan mengentalkan isu bernuansa SARA. Karenanya fenomena ini (kalau dianggap sebuah kesalahan), bukan hanya dapat melukai hati warga suku Dayak khususnya, tetapi juga ’menyobek’ semangat kebersamaan dalam Kebhinekaan. Pernyataan Sang Prof juga akhirnya berdampak "melukai" dunia akademis khususnya almamater tempat beliau mengabdi, karena cenderung mendapat respon yang kontraproduktif dari masyarakat yang merasa keberatan.

Hemat penulis, masyarakat Dayak (juga komunitas masyarakat lainnya) adalah bagian dari komunitas yang memiliki ”posisi” sama dengan kelompok masyarakat lainnya untuk sama-sama penting untuk dihargai. Sebagai bagian dari komponen bangsa dengan identitas adat istiadat, sistem nilai dan budaya yang dimiliki, setiap komunitas masyarakat adalah komponen pemersatu dalam bingkai NKRI. Dengan demikian, bila pernyataan Professor DR. Tamrin AT harus disikapi maka sebenarnya ini juga bagian dari persoalan bersama segenap komponen bangsa.

Pernyataan Prof TAT harusnya tidak dilihat dalam bingkai yang ”sempit” semata yakni misalnya sebagai persoalan yang hanya melukai hati orang Dayak semata, tetapi sesungguhnya juga sebagai persoalan seluruh anak negeri yang masih meyakini perlunya semangat egaliter dan kebersamaan untuk dirawat dalam bingkai semangat kebangsaan. Pernyataan tersebut bukan hanya ”duka” bagi orang Dayak, tetapi juga ”duka” untuk Indonesia. Berangkat dari dinamika yang telah menjadi fenomena meluas ini, maka setiap komponen bangsa yang terdiri dari beragam suku bangsa dan komunitas-komunitas masyarakatnya diajak untuk memetik pelajaran berharga. Kalaupun ini sebagai sebuah kesalahan omong dan atau kekeliruan kutipan, maka selayaknya di respon dengan baik oleh mereka yang merasa dilukai. Tetapi, fenomena ini sudah terlanjur direspon dengan beragam sikap saat itu.

Alhasil dari proses yang telah berlangsung, beberapa waktu lalu telah dilangsungkan ritual (Hukum) Adat sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat Dayak yang disiarkan secara terbuka melalui televisi nasional (TVRI). Terlepas dari persoalan nilai (sanksi) adat dan lokasi pelaksanaan ritual adat, maka yang telah terjadi adalah Prof. DR. Tamrin Amal Tomagola telah berjiwa besar dengan ketulusannya menerima bentuk “sanksi” atas (hukum) Adat yang ditimpakan kepadanya. Bersama para keluarga dan para rekan, beliau menunjukkan sikap hormatnya atas keberadaan (hukum) Adat Dayak. Ritual Adat sekaligus permohonan itu menggema. Dengan demikian, polemik seputar pernyataannya yang sempat kontraversi pulih. Sikap dan jiwa besar Pak Tamrin AT pantas diapresiasi dengan harapan hal yang sama dan atau sejenisnya tidak terulang lagi.

Atas dinamika ini, menurut hemat penulis peristiwa tersebut menyisakan ruang untuk masyarakat Dayak khususnya dan warga Indonesia umumnya agar dapat melakukan refleksi bersama. Hal ini hendaknya menjadi pelajaran bersama, agar hal yang justeru dapat mengusik semangat multikulturalisme tidak terulang kembali, baik oleh yang bersangkutan maupun oleh setiap anak negeri ini. Setiap diri kita tentu tidak menginginkan pernyataan yang tidak patut kepada sesama, dan juga tidak diperkenankan dilakukan oleh kita semua sebagai bagian dari entitas bangsa.

Penghormatan terhadap komunitas manapun perlu dipelihara dengan hidup baik dan harmonis antar satu dengan lainnya. Demikian sebaliknya, tentu tidak baik pula bila kita terlalu gampang melihat persoalan yang menyinggung SARA direspon secara reaktif yang malah dapat memberi dampak yang destruktif. Pastilah butuh gagasan rasional yang tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi.
Beberapa hal yang berikut kiranya dapat menjadi ”buah yang layak dipetik” sebagai pelajaran bersama untuk tetap menempatkan persoalan tersebut pada koridor dan semangat perdamaian maupaun kebersamaan dalam bingkai NKRI;

Pertama, bahwa pernyataan Prof. DR. Tamrin Amal Tomagola harus diakuii bahwa secara spontan telah melukai perasaan masyarakat Dayak khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya karenanya memang harus dipertanggungjawabkan serta diklarifikasi oleh yang bersangkutan seperti yang elah dilakukan beliau saat itu. Hal ini juga sebagai peringatan bagi setiap warga negara agar tidak gampang menyatakan pendapat yang justeru berpotensi dapat melukai perasan komunitas maupun pihak lain.

Kedua, bahwa dunia akdemis umumnya dan Universitas Indonesia khususnya menurut hemat penulis juga turut ”ternodai” sebagai dampak dari pernyataan yang disampaikan oleh yang bersangkutan. Sebagai seorang guru besar, namun hasil penelitian yang dipaparkan tidak cukup argumentatif (masih sangat lemah dengan informasi yang masih terbatas bisa dipahami publik) sehingga klarifikasi dari yang bersangkutan memang perlu. Ketiga, pernyataan Prof. Thamrin yang menggunakan sampel 10 orang ibu-ibu usia subur terkait dengan hasil riset di Kalimantan Barat dan Papua Selatan menujukkan bahwa begitu rentanya kaum perempuan sebagai ”komoditas” dalam berbagai lini kehidupan. Sangat mungkin berpengaruh pada streotype negatif publik. Karenanya, isu perempuan mesti mendapat tempat dalam segala aspek kehidupan untuk turut dihargai.

Keempat, dinamika mengenai pernyataan Prof. Tamrin hendaknya dapat menjadi refleksi bersama masyarakat Dayak khususnya dan segenap komponen bangsa maupun komunitas-komunitas pada umumnya, agar semakin bergiat melihat dan mendalami serta menumbuhkan rasa memiliki atas nilai budaya dan adat istiadat yang diyakini ada dan hidup dalam komunitas masing-masing. Dengan demikian setiap komponen bangsa memiliki kewajiban untuk mewujudkan nilai dan semangat kebersamaan dalam bingkai NKRI. Pertanyaan replektif bagi kita (masing-maisng komunitas); apakah nilai-nilai luhur itu masih hidup dan dihidupi dalam keseharian yang diakui masih ada?

Kelima, kalaupun pernyataan Prof Thamrin dianggap sebagai hal yang perlu dikritisi dan bahkan menjadi persoalan bagi masyarakat Dayak khususnya. Maka hemat penulis, ini kiranya dapat menjadi "warning" untuk mulai memikirkan persoalan-persoalan lain yang tak kalah pentingnya untuk diulas secara kritis terkait dengan keberadaan masyarakat Dayak yang saat ini terancam sumber hidupnya sebagai dampak dari model global pembangunan yang berujung pada terabaikannya hak-hak rakyat karena kebijakan yang cenderung eksploitatif.

Keenam, belajar dari fenomena ini kita (setiap diri manusia dengan beragam karakter dan identitasnya) diajak untuk berani serta rela meminta maupun memberi maaf. Karena sesungguhnya, keagungan nilai luhur yang ada pada seseorang maupun komunitas menurut hemat penulis juga dimanifestasikan dengan sikap pemaaf yang dimiliki. Maaf tentu saja "wajib" disertai kesadaran dan komitmen dari yang bersangkutan untuk tidak akan mengulanginya kembali.

Hati yang dingin dilandasi dengan semangat Adil ka’ Talino, Baruramin ka’ Saruga, Basengat ka' Jubata (adil terhadap sesama, bercermin ke surga dalam setiap tindakan, bernafaskan kepada Tuhan sebagai sumber hidup) hendaknya dapat menjadi spirit agar perdamaian dengan Tuhan, alam, dan sesama dapat menjadi kenyataan. Semangat penghormatan pihak lain terhadap eksistensi (hukum) Adat Dayak khususnya sebagaimana yang dilakukan Pak Tamrin Amal Tomagola patut menjadi refleksi bersama, karena bila orang lain saja menghormati adat dan nilai-nilai luhur yang dimiliki, maka selayaknya pulalah hal itu mestinya dapat dijunjung pula oleh manusia Dayak itu sendiri. Saling menghargai dan menghormati atas semangat kemanusiaan dalam bingkai NKRI menjadi tanggungjawab bersama segenap komponen bangsa yang beragam.. Semoga!

*) Penulis adalah Ketua PMKRI Pontianak periode 2008-2009. Peminat isu HAM, lingkungan, perempuan dan peace building. Sekarang aktif di lembaga Walhi Kalbar.