Kamis, 05 November 2015

Asap, Nyawa dan (gugatan warga) Negara



By Hendrikus Adam[1]

Bencana ekologis kabut asap akibat dari kebakaran dalam wilayah hutan dan lahan (konsesi) terus berulang hingga saat ini. Setidaknya kabut asap telah terjadi dua kali menghampiri pada tahun ini (2015) yang menyebabkan situasi ibukota provinsi Kalimantan Barat berselubung asap. Kali pertama terjadi semasa puasa di bulan suci Ramadhan beberapa waktu lalu (Juli). Masa di mana saat yang bersamaan, musim menebas juga sedang dilakukan (warga) peladang.

Selanjutnya kabut asap kembali menyelimuti atmosfer sekitar khatulistiwa ketika pada saat bersamaan, masa lebaran sedang berlangsung. Situasi tersebut malah berlanjut hingga saat ini (Oktober) sekalipun hujan sempat terjadi beberapa kali. Pekatnya asap bahkan kembali menyelimuti sekitar wilayah Kalimantan Barat, utamanya wilayah kota Pontianak ketika naskah ini usai ditulis. Satu hal yang pasti dari fenomena bencana ekologis ini adalah bahwa dia tidak pilih kasih dan semua orang dengan latar belakang apapun terdampak.

Hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui bencana yang terkesan “belum dianggap sebagai persoalan serius” ini, tercerabut. Jaminan pemenuhan, perlindungan, pemajuan, penegakkan  hak asasi yang telah dengan tegas diamanahkan konstitusi kepada penyelenggara negara masih menjadi penantian. Dampaknya, semua pihak menjadi korban dari berbagai aspek kehidupan, termasuk dari sisi kesehatan. Angka korban ISPA pun meningkat dari waktu ke waktu.

Tragisnya, tiga warga di Kalimantan Barat telah menjadi korban dan harus meregang nyawa karena ISPA yang diderita pada rentang waktu sepuluh hari di bulan yang sama. Dicky (15 tahun, asal Ketapang), Mahir Albar (2 tahun, asal Kubu Raya) dan Agustinus (1 bulan 3 hari, asal Singkawang) masing-masing meninggal pada tanggal 7, 10 dan 15 Oktober 2015 lalu. Bencana asap yang masih hadir bukan tidak mungkin justeru menambah angka korban hilangnya nyawa tak berdosa lainnya.

Situasi ini jelas mengkonfirmasi bahwa intervensi manusia melalui penyelenggara negara yang mendapat mandat menjalankan kewajiban asasi untuk menghalau fenomena ini guna memastikan perlindungan hak warga negara masih lemah. Bahkan tak berdaya.

Sementara pada sisi yang lain, intervensi manusia menempatkan sumberdaya alam sebagai komoditas melalui izin korporasi sektor industri ekstraktif masih terus massif. Selain cara bakar adalah cara yang murah, kebakaran dalam wilayah konsesi perusahaan sektor sumberdaya alam juga menjadi bagian dari modus dan ruang empuk dalam memperoleh klaim asuransi.

Negara Asap?
Predikat sebagai “pengekspor asap” kerap didengar sebagai istilah lain dari pihak luar tentang Indonesia. Sebuah sebutan yang masih memiliki makna relati, tetapi bisa saja dinilai dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, jelaslah sebagai bagian dari elemen bangsa, bagi penulis istilah tersebut sah saja “disandang” terutama bila melihat fakta yang terjadi selama ini.

Pun demikian, tentu saja harusnya istilah dimaksud dapat dilihat secara positif sebagai penguat semangat agar negara melalui aparatur penyelenggara bersama komponen bangsa sungguh-sungguh memiliki komitmen yang diwujudnyatakan dalam tindakan untuk membuktikan bahwa predikat sebagai biang asap sirna.

Intensitas bencana kabut asap yang selalu hadir di Kalimantan Barat terutama sejak tahun 1990an hingga saat ini pada satu sisi cenderung berpotensi memberi dampak “kebalnya” sejumlah pihak terhadap apa yang terjadi, termasuk pada warga. Kebal dalam artian bahwa bencana asap yang kontinu dalam setiap tahunnya selama ini berpotensi membuat masyarakat luas maupun para pihak lainnya terlena dan merasa terbiasa.

Dengan situasi ini, sejumlah pihak kemudian hanya berdiam diri sekalipun tahu bahwa bencana asap telah berdampak dalam berbagai lini kehidupan, termasuk soal (potensi) resiko terhadap kesehatan.

Bahkan penyelenggara pemerintahan sekalipun dapat menjadi kebal melalui sikap abainya, terlebih bila secara khusus tidak ada warga yang melakukan penyampaian pelaporan dan atau komplain atas buruknya kondisi lingkungan hidup sekitar yang sedang terjadi. Tentu saja, dalam situasi buruknya kondisi lingkungan hidup karena bencana asap, kehadiran negara sebagaimana amanah konstitusi sedianya wajib hadir sejak dini maupun kala situasi darurat asap berlangsung untuk memastikan perlindungan warganya dari dampak buruk yang terjadi.

Menghentikan (Nyawa) Tumbal Asap
Bencana asap yang terjadi bukan hanya mampu menjauhkan warga dari aksesnya terhadap lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana disebutkan dan menjadi bagian dari amanah konstitusi. Namun juga dapat dan atau bahkan telah merampas hak hidup yang juga sebagai hak asasi terhadap tiga warga di propinsi Kalimantan Barat sebagaimana diurai sebelumnya.

Peristiwa pengabaian hak dasar warga dan hilangnya nyawa akibat musim kabut asap yang menyebabkan korban mengalami infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), penting menjadi tonggak refleksi serius yang mendalam segenap komponen atas hadirnya bencana asap selama ini.

Peran aktif masyarakat luas untuk “menyerukan” agar jangan ada lagi hilangnya nyawa akibat situasi buruknya kondisi lingkungan (kabut asap) tentu bukan suatu hal yang salah. Terlebih bila dapat secara bersama-sama sesuai kapasitasnya ambil bagian mendorong dan mengingatkan penyelenggara pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak warga. Termasuk dalam hal pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran, biang asap.

Kehadiran negara untuk perlindungan, pemenuhan, penegakan maupun pemajuan hak dasar warganya sebagai bagian mandat dan tanggungjawabnya tersebut telah dengan tegas diamanahkan melalui pasal 28 (I) ayat 4 UUD 1945. Demikian juga pasal 13 ayat 3 UU 32 Tahun 2009 yang mengamanatkan bahwa pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan oleh pemerintah maupun penanggungjawab usaha.

Hal tersebut selaras dengan pasal dalam konstitusi seperti pasal 28H ayat 1 UUD 1945, pasal 65 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) maupun pasal 9 ayat 3 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menegaskan bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi. Dalam hal ini, negara melalui penyelenggara pemerintahan adalah pengampu kewajiban asasi dalam cerita pemenuhan hak-hak dasar warganya.

Karenanya, menghentikan korban jiwa dari bencana ekologis darurat asap tentu mendesak dan segera. Karena pastilah kita tidak menginginkan jumlah korban terus bertambah, baik dari sisi jumlah penderita yang mengidap penyakit dampak kabut asap maupun korban meninggal.

Sudah saatnya kita siuman dengan menempatkan situasi darurat kabut asap adalah persoalan serius – sebagai bentuk “kejahatan” luar biasa. Situasi dimana peran korporasi sektor sumberdaya alam yang memiliki andil menjadi bagian dari masalah, namun tidak pernah tersentuh selama ini.

Upaya penanganan kebakaran dan penegakan hukum oleh aparatur tentu pantas diapresiasi. Namun pada sisi lain, menjadi penting pula keterbukaan informasi atas setiap tahapan penanganan pelanggaran hukum korporasi atas kebakaran yang terjadi dalam wilayah konsesi. Hal ini perlu agar publik dapat terlibat dalam mendorong dan melakukan kontrol sekaligus dapat memberikan penilaian dan atau apresiasi terhadap kinerja penyelenggara pemerintahan yang ada.

Pada sisi lain, menjadi sangat penting pula diperlukan adanya sinergisitas antar berbagai sektor/institusi secara terlembaga untuk memastikan langkah yang dilakukan lebih terintegrasi. Sementara dari sisi penegakan hukum, kehadiran aparat menjadi sangat penting bila tidak hanya mengandaikan pelaku pembakar tertangkap tangan semata. Melibatkan pakar (kebakaran) untuk mengungkap pelaku kebakaran dalam wilayah konsesi melalui skema pembuktian ilmiah (scientific evidence) secara terintegrasi dengan penegakan hukum oleh kepolisian dapat menjadi pilihan strategis.

Pun demikian, respon cepat untuk memberikan layanan kesehatan khusus dalam situasi darurat asap kepada warga penting diberikan negara. Pembentukan posko layanan kesehatan terbuka dengan gratis harusnya dapat diakses. Demikian juga untuk perencanaan jangka panjang terkait dengan antisipasi bencana asap adalah sebuah kebutuhan mendesak untuk dipersiapkan penyelenggara pemerintahan, termasuk pemerintah di daerah.

Memaknai Gugatan
Langkah-langkah penegakan hukum yang terbuka tentu baik bila dapat dilakukan. Demikian pula kehadiran warga sebagai komponen bangsa yang turut menjadi korban sengkarut asap agar terlibat mendorong pemerintah untuk lebih peduli tentu baik.

Karena itu, (rencana) gugatan warga terhadap penyelenggara pemerintahan di daerah ini yang diawali dengan penyampaian pemberitahuan (surat notifikasi) melalui Koalisi Rakyat Kalimantan Barat Menggugat beberapa waktu lalu, penting dimaknai sebagai bentuk kontribusi, tanggungjawab, keberpihakan dan komitmen sebagai elemen bangsa dalam mewujudkan situasi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bentuk keberpihakan untuk negara lebih baik dan peduli.

Langkah dimaksud juga penting dimaknai sebagai bagian dari hak dan juga bentuk kewajiban sebagaimana amanah konstitusi untuk mengingatkan penyelenggara negara agar tidak abai atas apa yang harus dilakukan terhadap warganya. Singkatnya, gugatan yang dilakukan sesungguhnya untuk kebaikan bersama sehingga pemerintah selaku penyelenggara negara sangat berkepentingan untuk merespon langkah yang dilakukan warganya dengan dada yang terbuka.

Dampak dari bencana ekologis yang terjadi seperti halnya kabut asap tidak pilih kasih. Ia akan menyasar semua orang tanpa pandang bulu. Pada sisi lain kita juga tidak dapat mengabaikan hilangnya 3 nyawa di Kalbar sebagai dampak dari situasi darurat kabut asap. Sementara negara sangat berkepentingan agar hadir guna memberikan layanan dan memastikan jaminan perlindungan, pemenuhan, penegakan dan pemajuan hak dasar warga; hak hidup maupun hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Antara asap, nyawa dan negara dalam situasi darurat kabut asap yang tengah bergulir hingga saat ini tidak dapat terpisahkan. Negara penting hadir. Bila asap lenyap (selamanya), maka nyawa warga selamat dan negara terhormat.  Semoga***





[1] Penulis, aktif di WALHI Kalimantan Barat

NB. Artikel ini terbit di Pontianak Post, edisi hari Selasa, 27 Oktob
er 2015