Bencana ekologis
kabut asap akibat dari kebakaran dalam wilayah hutan dan lahan (konsesi) terus
berulang hingga saat ini. Setidaknya kabut asap telah terjadi dua kali
menghampiri pada tahun ini (2015) yang menyebabkan situasi ibukota provinsi Kalimantan
Barat berselubung asap. Kali pertama terjadi semasa puasa di bulan suci
Ramadhan beberapa waktu lalu (Juli). Masa di mana saat yang bersamaan, musim
menebas juga sedang dilakukan (warga) peladang.
Selanjutnya
kabut asap kembali menyelimuti atmosfer sekitar khatulistiwa ketika pada saat
bersamaan, masa lebaran sedang berlangsung. Situasi tersebut malah berlanjut hingga
saat ini (Oktober) sekalipun hujan sempat terjadi beberapa kali. Pekatnya asap
bahkan kembali menyelimuti sekitar wilayah Kalimantan Barat, utamanya wilayah
kota Pontianak ketika naskah ini usai ditulis. Satu hal yang pasti dari
fenomena bencana ekologis ini adalah bahwa dia tidak pilih kasih dan semua
orang dengan latar belakang apapun terdampak.
Hak warga atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui bencana yang terkesan “belum
dianggap sebagai persoalan serius” ini, tercerabut. Jaminan pemenuhan, perlindungan,
pemajuan, penegakkan hak asasi yang
telah dengan tegas diamanahkan konstitusi kepada penyelenggara negara masih
menjadi penantian. Dampaknya, semua pihak menjadi korban dari berbagai aspek
kehidupan, termasuk dari sisi kesehatan. Angka korban ISPA pun meningkat dari
waktu ke waktu.
Tragisnya, tiga
warga di Kalimantan Barat telah menjadi korban dan harus meregang nyawa karena
ISPA yang diderita pada rentang waktu sepuluh hari di bulan yang sama. Dicky
(15 tahun, asal Ketapang), Mahir Albar (2 tahun, asal Kubu Raya) dan Agustinus
(1 bulan 3 hari, asal Singkawang) masing-masing meninggal pada tanggal 7, 10
dan 15 Oktober 2015 lalu. Bencana asap yang masih hadir bukan tidak mungkin
justeru menambah angka korban hilangnya nyawa tak berdosa lainnya.
Situasi ini
jelas mengkonfirmasi bahwa intervensi manusia melalui penyelenggara negara yang
mendapat mandat menjalankan kewajiban asasi untuk menghalau fenomena ini guna memastikan
perlindungan hak warga negara masih lemah. Bahkan tak berdaya.
Sementara pada
sisi yang lain, intervensi manusia menempatkan sumberdaya alam sebagai komoditas
melalui izin korporasi sektor industri ekstraktif masih terus massif. Selain
cara bakar adalah cara yang murah, kebakaran dalam wilayah konsesi perusahaan
sektor sumberdaya alam juga menjadi bagian dari modus dan ruang empuk dalam
memperoleh klaim asuransi.
Negara Asap?
Predikat sebagai “pengekspor asap” kerap didengar sebagai istilah lain dari pihak
luar tentang Indonesia. Sebuah sebutan yang masih memiliki makna relati, tetapi
bisa saja dinilai dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, jelaslah sebagai
bagian dari elemen bangsa, bagi penulis istilah tersebut sah saja “disandang”
terutama bila melihat fakta yang terjadi selama ini.
Pun demikian,
tentu saja harusnya istilah dimaksud dapat dilihat secara positif sebagai penguat
semangat agar negara melalui aparatur penyelenggara bersama komponen bangsa
sungguh-sungguh memiliki komitmen yang diwujudnyatakan dalam tindakan untuk
membuktikan bahwa predikat sebagai biang asap sirna.
Intensitas bencana kabut asap yang selalu
hadir di Kalimantan Barat terutama sejak tahun 1990an hingga saat ini pada satu
sisi cenderung berpotensi memberi dampak “kebalnya” sejumlah pihak terhadap apa
yang terjadi, termasuk pada warga. Kebal dalam artian bahwa bencana asap yang
kontinu dalam setiap tahunnya selama ini berpotensi membuat masyarakat luas
maupun para pihak lainnya terlena dan merasa terbiasa.
Dengan situasi ini, sejumlah pihak kemudian
hanya berdiam diri sekalipun tahu bahwa bencana asap telah berdampak dalam
berbagai lini kehidupan, termasuk soal (potensi) resiko terhadap kesehatan.
Bahkan penyelenggara pemerintahan sekalipun
dapat menjadi kebal melalui sikap abainya, terlebih bila secara khusus tidak
ada warga yang melakukan penyampaian pelaporan dan atau komplain atas buruknya kondisi
lingkungan hidup sekitar yang sedang terjadi. Tentu saja, dalam situasi
buruknya kondisi lingkungan hidup karena bencana asap, kehadiran negara sebagaimana
amanah konstitusi sedianya wajib hadir sejak dini maupun kala situasi darurat
asap berlangsung untuk memastikan perlindungan warganya dari dampak buruk yang
terjadi.
Menghentikan (Nyawa) Tumbal
Asap
Bencana asap
yang terjadi bukan hanya mampu menjauhkan warga dari aksesnya terhadap
lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana disebutkan dan menjadi bagian dari amanah
konstitusi. Namun juga dapat dan atau bahkan telah merampas hak hidup yang juga
sebagai hak asasi terhadap tiga warga di propinsi Kalimantan Barat sebagaimana
diurai sebelumnya.
Peristiwa
pengabaian hak dasar warga dan hilangnya nyawa akibat musim kabut asap yang
menyebabkan korban mengalami infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), penting
menjadi tonggak refleksi serius yang mendalam segenap komponen atas hadirnya
bencana asap selama ini.
Peran aktif
masyarakat luas untuk “menyerukan” agar jangan ada lagi hilangnya nyawa akibat
situasi buruknya kondisi lingkungan (kabut asap) tentu bukan suatu hal yang
salah. Terlebih bila dapat secara bersama-sama sesuai kapasitasnya ambil bagian
mendorong dan mengingatkan penyelenggara pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh
memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak warga. Termasuk dalam hal
pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran, biang asap.
Kehadiran negara
untuk perlindungan, pemenuhan, penegakan maupun pemajuan hak dasar warganya sebagai
bagian mandat dan tanggungjawabnya tersebut telah dengan tegas diamanahkan
melalui pasal 28 (I)
ayat 4 UUD 1945. Demikian juga pasal 13 ayat
3 UU 32 Tahun 2009 yang
mengamanatkan bahwa pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
dilaksanakan oleh pemerintah maupun penanggungjawab
usaha.
Hal tersebut
selaras dengan pasal dalam konstitusi seperti pasal 28H ayat 1 UUD 1945, pasal 65 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) maupun pasal 9 ayat 3 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) yang menegaskan bahwa hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi. Dalam hal ini, negara melalui
penyelenggara pemerintahan adalah pengampu kewajiban asasi dalam cerita pemenuhan
hak-hak dasar warganya.
Karenanya,
menghentikan korban jiwa dari bencana ekologis darurat asap tentu mendesak dan
segera. Karena pastilah kita tidak menginginkan jumlah korban terus bertambah,
baik dari sisi jumlah penderita yang mengidap penyakit dampak kabut asap maupun
korban meninggal.
Sudah saatnya
kita siuman dengan menempatkan situasi darurat kabut asap adalah persoalan
serius – sebagai bentuk “kejahatan” luar biasa. Situasi dimana peran korporasi
sektor sumberdaya alam yang memiliki andil menjadi bagian dari masalah, namun
tidak pernah tersentuh selama ini.
Upaya penanganan
kebakaran dan penegakan hukum oleh aparatur tentu pantas diapresiasi. Namun
pada sisi lain, menjadi penting pula keterbukaan informasi atas setiap tahapan
penanganan pelanggaran hukum korporasi atas kebakaran yang terjadi dalam
wilayah konsesi. Hal ini perlu agar publik dapat terlibat dalam mendorong dan
melakukan kontrol sekaligus dapat memberikan penilaian dan atau apresiasi terhadap
kinerja penyelenggara pemerintahan yang ada.
Pada sisi lain,
menjadi sangat penting pula diperlukan adanya sinergisitas antar berbagai
sektor/institusi secara terlembaga untuk memastikan langkah yang dilakukan
lebih terintegrasi. Sementara dari sisi penegakan hukum, kehadiran aparat menjadi
sangat penting bila tidak hanya mengandaikan pelaku pembakar tertangkap tangan
semata. Melibatkan pakar (kebakaran) untuk mengungkap pelaku kebakaran dalam
wilayah konsesi melalui skema pembuktian ilmiah (scientific evidence) secara terintegrasi dengan penegakan hukum
oleh kepolisian dapat menjadi pilihan strategis.
Pun demikian,
respon cepat untuk memberikan layanan kesehatan khusus dalam situasi darurat
asap kepada warga penting diberikan negara. Pembentukan posko layanan kesehatan
terbuka dengan gratis harusnya dapat diakses. Demikian juga untuk perencanaan
jangka panjang terkait dengan antisipasi bencana asap adalah sebuah kebutuhan
mendesak untuk dipersiapkan penyelenggara pemerintahan, termasuk pemerintah di
daerah.
Memaknai Gugatan
Langkah-langkah
penegakan hukum yang terbuka tentu baik bila dapat dilakukan. Demikian pula
kehadiran warga sebagai komponen bangsa yang turut menjadi korban sengkarut
asap agar terlibat mendorong pemerintah untuk lebih peduli tentu baik.
Karena itu, (rencana)
gugatan warga terhadap penyelenggara pemerintahan di daerah ini yang diawali
dengan penyampaian pemberitahuan (surat notifikasi) melalui Koalisi Rakyat
Kalimantan Barat Menggugat beberapa waktu lalu, penting dimaknai sebagai bentuk
kontribusi, tanggungjawab, keberpihakan dan komitmen sebagai elemen bangsa
dalam mewujudkan situasi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bentuk
keberpihakan untuk negara lebih baik dan peduli.
Langkah dimaksud
juga penting dimaknai sebagai bagian dari hak dan juga bentuk kewajiban
sebagaimana amanah konstitusi untuk mengingatkan penyelenggara negara agar
tidak abai atas apa yang harus dilakukan terhadap warganya. Singkatnya, gugatan
yang dilakukan sesungguhnya untuk kebaikan bersama sehingga pemerintah selaku
penyelenggara negara sangat berkepentingan untuk merespon langkah yang
dilakukan warganya dengan dada yang terbuka.
Dampak dari
bencana ekologis yang terjadi seperti halnya kabut asap tidak pilih kasih. Ia
akan menyasar semua orang tanpa pandang bulu. Pada sisi lain kita juga tidak
dapat mengabaikan hilangnya 3 nyawa di Kalbar sebagai dampak dari situasi
darurat kabut asap. Sementara negara sangat berkepentingan agar hadir guna
memberikan layanan dan memastikan jaminan perlindungan, pemenuhan, penegakan
dan pemajuan hak dasar warga; hak hidup maupun hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Antara asap, nyawa dan negara dalam situasi
darurat kabut asap yang tengah bergulir hingga saat ini tidak dapat
terpisahkan. Negara penting hadir. Bila asap lenyap (selamanya), maka nyawa
warga selamat dan negara terhormat. Semoga***
NB. Artikel ini terbit di Pontianak Post, edisi hari Selasa, 27 Oktob
er 2015