Minggu, 02 Maret 2014

Musim Pemilu dan (kabut) Asap

By Hendrikus Adam

Musim Pemilihan Umum (Pemilu), juga kabut asap kembali tiba. Sejak dua bulan terakhir, berbagai macam atribut peserta Pemilu DPR, DPD, DPRD dan bahkan kandidat yang disebut-sebut bakal menjadi calon Presiden dan wakilnya menyemarakkan berbagai ruang publik. Sejumlah spanduk, stiker, bendera berlambang partai maupun calon hingga iklan mengumbar asa dan janji kepada publik tampak semarak. Sejumlah ruang silaturahmi bersama kandidat dalam berbagai topik yang seakan bakal menjawab persoalan rakyat pun ditabuh di berbagai tempat.

Di tengah semarak upaya memperkenalkan diri para kandidat peserta Pemilu, wajah bumi Khatulistiwa sekitar pemukiman warga di sejumlah daerah Kalimantan Barat khususnya, sekitar empat pekan terakhir sedang dihiasi kabut asap yang menyita perhatian. Kabut asap yang menyelimuti wilayah kembali memamerkan kehebatannya. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia ternodai disaat persoalan tersebut kembali muncul sementara peran negara mengakomodir hak fundamental warga masih menjadi penantian.

Kenyataan bahwa situasi masyarakat sedang dihadapkan pada “dua musim” bersamaan hemat penulis penting dilihat lebih kritis dalam bingkai kepentingan jangka panjang untuk memastikan terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lantas apa hubungan kedua musim dimaksud? Tentu pembaca boleh saja menghubung-hubungkannya.

Dari sisi waktu, kedua musim tersebut tentu berbeda. Pemilu jelas dilakukan setiap lima tahun sekali, sedangkan bencana (kabut) asap selama ini terjadi setiap tahun. Bahkan ada kesan bahwa peristiwa (kabut) asap sudah menjadi hal yang lumrah di negeri kita. Karena dianggap lumrah, sejauh ini belum ada tindakan intervensi yang mumpuni, tegas dan tuntas dalam menjawab persoalan ini.

Dampak luas dari terjadinya kabut asap harus dijawab dengan menempatkan fenomena tersebut sebagai bencana darurat yang serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, produk Pemilu semestinya menjadi bagian strategis untuk menjawab dan memulihkan terpenuhinya hak asasi warga.

Menilik (Persoalan) kabut asap
Dari sisi istilah, kabut merupakan kumpulan tetes-tetes air yang sangat kecil dan melayang-layang di udara. Dalam aspek teoritis, kabut terbentuk ketika udara yang jenuh akan uap air didinginkan di bawah titik bekunya. Hal ini dapat terbentuk apabila uap air masuk ke dalam udara yang suhunya jauh lebih rendah daripada suhu sumber uapnya. Biasanya dapat terbentuk dari uap air yang berasal dari tanah yang lembab, tanaman-tanaman, sungai, danau, dan lautan. Uap air ini berkembang dan menjadi dingin ketika naik ke udara. Dalam hal ini, udara dapat menahan uap air hanya dalam jumlah tertentu pada suhu tertentu. Udara pada suhu 30º C misalnya, dapat mengandung uap air sebangyak 30 gr uap air per m3, maka udara itu mengandung jumlah maksimum uap air yang dapat ditahannya. Volume yang sama pada suhu 20º C udara hanya dapat menahan 17 gr uap air. Sebanyak itulah yang dapat ditahannya pada suhu tersebut. Ketika suhu udara turun dan jumlah uap air melewati jumlah maksimum uap air yang dapat ditahan udara, maka sebagian uap air tersebut mulai berubah menjadi embun. Kabut akan hilang ketika suhu udara meningkat dan kemampuan udara menahan uap air bertambah.

Bila memperhatikan proses tersebut, kabut memang cenderung muncul pada malam dan juga pagi hari. Setelah matahari terbit dan memancarkan sinarnya, kabut tersebut sedikit demi sedikit akan menghilang. Bila melihat material yang terkandung di dalamnya, maka bauran antara kabut dan asap, selanjutnya dikenal dengan kabut asap yang kembali terjadi sejak beberapa pekan terakhir tentu menjadi sangat riskan bagi berbagai aspek kehidupan. Satu diantar pengaruhnya pada kesehatan.

Bukti konkrit dari sisi kesehatan sebagai dampak kabut asap yang sedang terjadi misalnya infeksi saluran pernafasan maupun penyakit diare yang kini marak dialami warga (Pontianak Post, 7/2/2014). Sebagai hal yang terkesan dianggap biasa, harus disadari bahwa kabut asap selama ini telah berkontribusi mempengaruhi degradasi kondisi lingkungan hidup maupun tingkat kesehatan masyarakat sebagaimana disebutkan. Selanjutnya juga berdampak pada aspek sosial budaya, ekonomi dan jalur transportasi, bahkan situasi politik.

Inisiatif meliburkan kegiatan belajar di sekolah oleh pemerintah kota Pontianak tentu pantas diapresiasi dengan kondisi udara yang tidak sehat karena melebihi ambang batas sebagaimana Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang dirilis pihak terkait akhir-akhir ini. Namun demikian, memastikan agar pasien pengidap penyakit akibat fenomena kabut asap menjadi sangat penting untuk diberi kemudahan dalam mengakses pelayanan prima (gratis) oleh pemerintah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban asasi negara.

Persoalan lingkungan hidup mengenai kabut asap, sebetulnya bukan suatu hal baru. Sekitar tahun 1990-an kabut asap hebat menjadi bencana nasional yang turut ’mengusik’ perhatian serius dunia internasional, alhasil Indonesia malah mendapat predikat sebagai ’pengekspor’ asap. Selanjutnya sekitar tahun 2005/2006, kabut asap juga menyita perhatian publik dimana Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dibawah pimpinan Rachmat Witoelar pada 1 September 2006 mengumumkan sebanyak 697 perusahaan terindikasi membakar hutan dan lahan meliputi wilayah pulau Sumatera dan Kalimantan khususnya selama periode bulan Juni hingga Agustus 2006. Pada Juni 2013 tahun lalu, sebanyak 117 perusahaan bidang HTI dan Perkebunan karena terlibat kasus kebakaran lahan di Sumatera.

Fenomena di negeri kita khususnya Kalimantan Barat terus terjadi setiap tahunnya. Saat ini, kabut asap kembali tiba. Menariknya, seperti tahun sebelumnya (Juni 2013) di Kalbar, pada saat ini (Januari 2014) kabut asap yang terjadi juga tidak bertepatan dengan musim membuka lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar oleh petani peladang. Kenyataan ini hakikatnya mejawab bahwa sumber asap bukan dari kegiatan berladang.

Pemenuhan Hak oleh Negara
Sebagai hak dasar warga, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi wajib hukumnya dipenuhi oleh negara melalui aparatur pemerintahan di republik ini (Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 65 dan pasal 13 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Namun demikian, bila mencermati fenomena penyebab bencana kabut asap melalui peristiwa kebakaran hutan dan lahan selama ini yang terjadi di wilayah konsesi perusahaan perkebunan misalnya, tidak pernah tersentuh oleh penindakan tegas aparatur penegak hukum. Disadari memang, dalam satu sisi, pembukaan lahan dengan cara membakar adalah cara yang sangat murah meriah.

Kenyataan bahwa masih belum adanya sanksi tegas atas kebakaran lahan yang menyebabkan kabut asap di Kalimantan Barat misalnya terjadi. Kalaupun pernah di proses hukum seperti PT. Buluh Cawang Plantition (BCP) dan PT. Wilmar Sambas Plantation (WSP) sekitar tahun 2007 melalui Pengadilan, namun kalah dalam penetapan putusannya. Sekitar tahun 2006, ketika sedang maraknya pemberian izin korporasi sebagian besar konsesi perusahaan di Kalimantan mengalami kebakaran, termasuk di Kalimantan Barat kala itu (Majalah KR; Asap dan Sengsara, 2006). Selanjutnya, sekitar tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan kelapa sawit (PT. Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak), tetapi juga tidak pernah ada tindakah hukum tegas. Rilis WALHI Kalbar 31 Juli 2012 lalu menyebutkan dari sekitar 61 titik api (hotspot) di Kalbar, sebanyak 34 titik di antaranya berada pada 31 konsesi perusahaan perkebunan yang tersebar di sembilan kabupaten.

Kenyataan tersebut mengkonfirmasi bahwa tindakan hukum sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak asasi warga terhadap pihak yang harusnya bertanggungjawab atas kebakaran yang menyebabkan kabut asap masih jauh panggang dari api. Pemenuhan hak asasi sebagai kewajiban asasi negara belum tersentuh sementara dampak langsung atas fenomena kabut asap bagi kesehatan warga terus terjadi.

Sisi lain terkait lemahnya komitmen dalam menjawab persoalan kabut asap terlihat dari sikap ”ambigu” pemerintah yang hingga kini belum bersedia melakukan ratifikasi atas Persetujuan ASEAN mengenai pencemaran asap lintas batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) di mana Indonesia menjadi bagian dari forum ini. Pernyataan Menteri Lingkungan hidup yang “berjanji” dan sudah memberi sinyal bahwa pemerintah Indonesia akan meratifikasi persetujuan tersebut pada akhir tahun lalu serta selambatnya awal tahun ini (2014) ternyata belum terwujud. Padahal, peluang untuk keluar dari persoalan asap di wilayah Asia Tenggara dengan terlibat dalam jaringan solidaritas bersama harusnya dapat dilihat sebagai sisi strategis.

Mengakhiri Musim
Akhirnya, secara proses, ”kedua musim” sebagaimana disebutkan (pemilu dan kabut asap) pada bagian awal tentu berbeda. Namun demikian, menjadi penting kiranya pula untuk memastikan agar respon atas keduanya memberi dampak positif bagi pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak warga negara. Pemilu DPR, DPD dan DPRD yang akan segera dihelat pada 9 April mendatang sedianya dibarengi dengan komitmen serius keberpihakan kontestan menjawab persoalan rakyat. Disamping itu, sikap kritis warga dalam menggunakan hak pilihnya melalui penentuan orang yang sungguh-sungguh memiliki kepedulian juga penting ada.

Musim kabut asap yang sedang terjadi, baik bila dapat membuat kita mawas diri dan lebih berhati-hati agar terhindar dari dampak buruk (kesehatan) dari kabut asap. Mengantisipasi dampak langsung atas kesehatan, maka upaya pencegahan dengan membatasi diri terkontak langsung dengan kabut asap sembari menjaga daya tahan tubuh penting dilakukan. Berkaca dari fenomena tersebut pula, sebagai warga yang memiliki hak atas lingkungan yang baik dan sehat, maka penting memastikan agar hasil Pemilu memihak kepentingan lingkungan hidup dan pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak dasar warganya.

Dengan begitu, antara Pemilu dan (kabut) Asap logikanya memiliki relasi yang erat. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya saling terkait. Pemilu berikut produknya yang tidak ”peka” terhadap persoalan lingkungan (bencana kabut asap) hanya akan menjadi masalah dimana rakyat turut menanggung beban. Sebaliknya, bila bencana kabut asap terus terjadi hingga pelaksanaan pesta demokrasi 9 April mendatang, maka tentu rakyat akan semakin banyak menjadi korban. Semoga (kesehatan) rakyat tidak terus menjadi korban karena alpanya kewajiban asasi negara dalam menghormati, memenuhi  dan melindungi hak fundamental warganya dari dampak bencana kabut asap. Rakyat tentu merindukan, kedua musim tersebut berakhir manis. Semoga***





*Penulis aktivis WALHI Kalimantan Barat, alumni Sekolah Advokasi Penataan Ruang (SATAR) angkatan II tahun 2013.

TERIMA KASIH. Naskah sebelumnya diterbitkan pada media Harian Kapuas Post, Minggu 2 Maret 2014. Pada saat naskah ini dalam proses penerbitan, kebakaran lahan di konsesi PT. PANP di desa Ampadi, kecamatan Meranti, kabupaten Landak terjadi sejak Kamis, 22/2/2014.