Rabu, 26 November 2014

Keselamatan Rakyat atau Investasi?

Oleh Hendrikus Adam
[Aktivis WALHI Kalimantan Barat]

Kepemimpinan RI pada rezim Presiden SBY selama dua periode memiliki catatannya tersendiri. Setidaknya dibawah kepemimpinan beliau, ruang eksploitasi atas sumberdaya alam melalui pemberian izin konsesi bagi perusahaan skala besar atas suatu kawasan hutan dan lahan yang berada dalam wilayah masyarakat lokal terbuka lebar. Pernyataan SBY yang secara terang-terangan memberi ruang luas bagi investasi di Indonesia dengan mengatakan "Akhirnya, dalam kapasitas saya sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia (Chief salesperson of Indonesia Inc.), saya mengundang Anda untuk memperbesar bisnis dan kesempatan investasi di Indonesia" saat membuka pertemuan Chief Executif Officer (CEO) APEC, di Nusa Dua, Bali pada 6 Oktober 2013 silam mengkonfirmasi sikap rezim yang dipimpinnya saat itu. Beliau dengan gamblang menjelaskan adanya ruang lebar bagi pengembangan investasi di penjuru Nusantara. Sebagai kepala pemerintahan, beliau bahkan tidak sungkan menyebut diri sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia.

Melalui pemerintah di sejumlah daerah dengan alibi otonomi daerah, proses pemberian izin konsesi menjadi tidak sukar dilakukan sekalipun tidak jarang berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Tidak jarang pula, upaya tersebut dikemas apik melalui istilah pembangunan dan janji kesejahteraan bagi masyarakat tersebut justeru menempatkan sumber daya alam dan keberadaan masyarakat lokal hanya sebagai objek semata. Pada sisi lain, pemodal begitu mudah memperoleh lahan konsesi melalui izin yang diberikan oknum pemimpin di daerah.

Di Kalimantan Barat, dari izin investasi perkebunan kelapa sawit yang direncanakan sejak lama yang harusnya hanya 1,5 juta hektar dalam perjalanannya kini telah mencapai lebih dari 4 juta herktar. Kondisi tersebut mengkonfirmasi bahwa pemerintah sangat bergantung pada pemodal dalam usahanya menyelenggarakan pembangunan di negeri ini. Dalam hal pelibatan pihak ketiga dalam pembangunan memang tidak salah, namun bila sampai mengorbankan rasa keadilan rakyat dan sumber daya alam sekitar yang sejak lama menjadi bagian tidak terpisahkan dari hidup mereka tentu akan menjadi kontraproduktif. Kenyataan ini mengambarkan bahwa potensi munculnya benturan dari hadirnya investasi sebagai sandaran pemerintah dalam membangun dengan rakyat selaku pemegang kedaulatan sebagaimana amanat demokrasi maupun konstitusi.

Kasus kriminalisasi disertai tindakan kekerasan aparat BRIMOB terhadap warga Batu Daya Ketapang pada 5 Mei 2014 lalu dan hingga kini masih mendekam di Rutan Pontianak atas hadirnya korporasi (PT. Swadaya Mukti Prakarsa), terjadinya banjir, krisis air bersih dan krisis (lahan) pangan, konflik agraria, bencana kabut asap yang terus terulang, diabaikannya hak-hak komunitas (Masyarakat Adat) karena  lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, telah melahirkan persoalan ketidakadilan, kemanusiaan maupun lingkungan hidup serius di sejumlah wilayah republik. Pada kondisi seperti ini, akses maupun kontrol masyarakat atas hutan, tanah dan air sebagai bagian dari hidup dan keberlanjutan penghidupan mengalami persoalan yang serius. Bahkan komunitas Masyarakat Adat pada satu sisi juga turut terancam dari akar budayanya.

Fenomena sebagaimana disebutkan di atas, juga terjadi di Kalimantan. Kebijakan atas nama pembangunan maupun kesejahteraan melalui izin industri akstraktif berbasis hutan dan lahan tanpa memperhatikan keselamatan rakyat dan lingkungannya pada akhirnya merampas kehidupan dan keberlanjutan manusia Kalimantan, termasuk di Kalimantan Barat. Disadari atau tidak, pengabaian keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dalam kebijakan tata kelola sumber daya alam oleh negara sesungguhnya juga berimbas pada masyarakat urban di perkotaan, termasuk di Kota Pontianak.

Pada beberapa tahun terakhir, WALHI Kalbar misalnya mencatat sedikitnya 465 kasus dan kejadian terkait persoalan lingkungan hidup di Kalimantan Barat dalam rentang waktu tahun 2008, 2011 hingga Juni 2013. Kasus dan kejadian tersebut didominasi akibat hadirnya korporasi yang begitu massif di daerah ini. Banjir terparah dari sisi dampaknya menyebabkan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di kecamatan Menjalin, Kalimantan Barat. Fenomena ini mengkonfirmasi begitu dasyatnya bencana ekologis akhir-akhir ini.

Sedangkan di Indonesia berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang melibatkan 1.281.660.09 hektar (Ha) lahan dan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Konflik tersebut berasal dari berbagai sektor diantaranya perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78%), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46%), pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), pesisir/kelautan 9 konflik (2,44%) dan lain-lain 6 konflik (1,63%).

Selanjutnya catatan HuMa di tahun 2013 terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria yang berlangsung di 98 kota/kabupaten pada 23 provinsi Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2. 416.035 hektar, termasuk di Kalimantan Barat. Adapun pelaku dominan dalam konflik tersebut meliputi; Taman Nasional/Kementrian Kehutanan, Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan/Korporasi, Perusahaan Daerah, dan Instansi lain (TNI). Seringnya tindak kekerasan menempatkan entitas negara sebagai pelanggaran HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian institusi bisnis sebanyak 36% dan individu berpengaruh sebanyak 10%. 

Mencermati tinjauan Lingkungan Hidup tahun 2014, WALHI mencatat bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1.392 kali atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6.727 desa/keluarah yang tersebar 2.787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.

Masih berdasarkan catatan WALHI, sepanjang tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu 2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria. Angka-angka ini menunjukkan bahwa industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan predator puncak ekologis. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147 peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, maka tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik lingkungan dan SDA. 

Disadari bahwa angka kasus dan kejadian soal ketidakadilan pengelolaan sumberdaya alam yang berimbas pada pengabaian hak-hak masyarakat tersebut hanyalah bagian kecil yang terrekam. Artinya sangat mungkin masih banyak kasus lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi nusantara luput dari pencatatan. Pada sisi lain, dibawah kepemimpinan presiden SBY, kini masyarakat luas khususnya petani dihadapkan pada kenyataan bahwa harga hasil bumi dari lahan garapan tidak memberi harapan dan rasa bangga kepada pemerintah. Harga karet yang menjadi sumber pendapatan petani penoreh di Toho, Kabupaten Mempawah misalnya hanya mencapai Rp. 3.000 saja. Di lain tempat harga tertinggi berkisar Rp. 5.000 hingga Rp. 5.500. Demikian pula harga komoditi lainnya menjadi tidak wajar bila dibandingkan dengan harga sembako di pasar. Sebaliknya pada kondisi ini, pemerintah seakan tidak memiliki kemampuan untuk memberi perlindungan harga komoditas hasil pertanian kepada warganya. Tentu petani penoreh di Kalimantan Barat umumnya akan terus menjerit bila tidak ada kepastian solusi oleh pemerintah ke depan.

Persoalan yang dihadapi terkait sengkarut pengelolaan sumberdaya alam yang berujung pengabaian keselamatan rakyat dan lingkungan hidup serta tidak adanya perlindungan harga hasil pertanian petani, mempertegas bahwa pemerintah masih belum sanggup memberikan kemakmuran bagi rakyatnya yang merupakan pemilik mandat dan pihak yang harusnya dimakmurkan sebagaimana amanat pasal 33 UUD 1945.

Tentu harapan atas kemakmuran tersebut tidak dapat disandarkan pada sosok presiden SBY yang telah 10 tahun menjadi pemimpin dan baru saja mengakhiri masa kepemimpinannya. Kepemimpinan nasional di bawah Presiden terpilih (Joko Widodo) yang telah dilantik pada 20 Oktober lalu diharapkan dapat menjawab harapan rakyat dengan sungguh-sungguh bekerja mewujudkan visi maupun misi sebagaimana janji kampanye. Pidato presiden terpilih saat pelantikan “…Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi...” memang menyiratkan kehendak keberpihakan pada rakyat. Namun memang akan terjawab dan hanya akan dibuktikan kelak seiring dengan perjalanan waktu semasa kepemimpinan lima tahun kedepan.

Karenanya, negara dibawah kepemimpinan Joko Widodo-JK sebagai pemimpin diharapkan lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup melalui kebijakan-kebijakannya bersama kementrian kabinet kerja yang turut diikuti pemeirntah di daerah. Kebijakan tata kelola sumber daya alam dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang mandat kedaulatan yang harusnya memperoleh manfaat langsung berupa kesejahteraan dan kemakmuran atas pengurusan negara.

Mengutamakan keselamatan rakyat dan lingkungan menjadi penting mendapat perhatian serius dan menjadi agenda pemerintah dari pada hanya sekedar bersandar pada kepentingan investasi. Karenanya, penting kiranya negara sungguh-sungguh menjamin penghormatan, perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi warga negaranya. Selanjutnya, tidak menempatkan aparat sebagai alat kepentingan pemodal yang gampang melakukan tindakan represif kepada rakyat, melakukan penataan ulang terhadap relasi negara, modal dan  Rakyat. Menyediakan ruang hidup yang seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia serta berkomitmen memelihara keberlanjutan Lingkungan Hidup, memastikan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, menyelesaikan konflik agraria dan Lingkungan Hidup secara tuntas dengan mengedepankan rasa keadilan dan kemanusiaan. Memulihkan kerusakan ekologis sebagai akibat kebijakan industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan yang selama ini cenderung eksploitatif.

Pada sisi lain juga diharapkan bersikap tegas atas pelanggaran hukum lingkungan, melakukan evaluasi dan bahkan bila perlu menghentikan usaha kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang merusak, mengabaikan daya dukung lingkungan dan tidak membela kepentingan rakyat. Pada sisi yang lain, pemerintah penting kiranya mengoptimalkan perannya untuk menyelamatkan harga karet dan berbagai hasil pertanian masyarakat yang saat ini tidak wajar.

Agenda menyelamatkan rakyat dan lingkungan hidup kiranya tidak dinomor duakan oleh pemerintah hingga di daerah di bawah kepemimpinan baru Kabinet Kerja yang meniatkan diri untuk kerja, kerja dan kerja. Menyandarkan diri sepenuhnya pada investasi hanya mempertegas ketidakberdayaan sebuah rezim. Bila hal seperti ini juga diikuti pemerintah, maka mimpi “Trisakti” yang ingin dicapai dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan hanya akan menjadi timpang. Mengutamakan keselamatan rakyat di atas kepentingan investasi penting menjadi perhatian pemerintah saat ini. Selamat bekerja untuk rakyat Kabinet Kerja.***


Naskah ini, sebelumnya diterbitkan pada Harian Pontianak Post edisi tanggal   Nopember 2014