Oleh
Hendrikus Adam
[Aktivis WALHI Kalimantan Barat]
Kepemimpinan RI pada rezim Presiden SBY
selama dua periode memiliki catatannya tersendiri. Setidaknya dibawah
kepemimpinan beliau, ruang eksploitasi atas sumberdaya alam melalui pemberian
izin konsesi bagi perusahaan skala besar atas suatu kawasan hutan dan lahan
yang berada dalam wilayah masyarakat lokal terbuka lebar. Pernyataan SBY yang
secara terang-terangan memberi ruang luas bagi investasi di Indonesia dengan
mengatakan "Akhirnya, dalam kapasitas saya sebagai Kepala Pemasaran
Perusahaan Indonesia (Chief salesperson of Indonesia Inc.), saya
mengundang Anda untuk memperbesar bisnis dan kesempatan investasi di
Indonesia" saat membuka pertemuan Chief Executif
Officer (CEO) APEC, di Nusa Dua, Bali pada 6 Oktober 2013 silam
mengkonfirmasi sikap rezim yang dipimpinnya saat itu. Beliau dengan
gamblang menjelaskan adanya ruang lebar bagi pengembangan
investasi di penjuru Nusantara. Sebagai kepala pemerintahan, beliau bahkan
tidak sungkan menyebut diri sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia.
Melalui pemerintah di sejumlah daerah
dengan alibi otonomi daerah, proses pemberian izin konsesi menjadi tidak sukar
dilakukan sekalipun tidak jarang berbenturan dengan kepentingan masyarakat. Tidak
jarang pula, upaya tersebut dikemas apik melalui istilah pembangunan dan janji
kesejahteraan bagi masyarakat tersebut justeru menempatkan sumber daya alam dan
keberadaan masyarakat lokal hanya sebagai objek semata. Pada sisi lain, pemodal
begitu mudah memperoleh lahan konsesi melalui izin yang diberikan oknum
pemimpin di daerah.
Di Kalimantan Barat, dari izin investasi
perkebunan kelapa sawit yang direncanakan sejak lama yang harusnya hanya 1,5
juta hektar dalam perjalanannya kini telah mencapai lebih dari 4 juta herktar. Kondisi
tersebut mengkonfirmasi bahwa pemerintah sangat bergantung pada pemodal dalam
usahanya menyelenggarakan pembangunan di negeri ini. Dalam hal pelibatan pihak
ketiga dalam pembangunan memang tidak salah, namun bila sampai mengorbankan rasa
keadilan rakyat dan sumber daya alam sekitar yang sejak lama menjadi bagian
tidak terpisahkan dari hidup mereka tentu akan menjadi kontraproduktif.
Kenyataan ini mengambarkan bahwa potensi munculnya benturan dari hadirnya
investasi sebagai sandaran pemerintah dalam membangun dengan rakyat selaku
pemegang kedaulatan sebagaimana amanat demokrasi maupun konstitusi.
Kasus kriminalisasi disertai tindakan
kekerasan aparat BRIMOB terhadap warga Batu Daya Ketapang pada 5 Mei 2014 lalu dan
hingga kini masih mendekam di Rutan Pontianak atas hadirnya korporasi (PT.
Swadaya Mukti Prakarsa), terjadinya banjir, krisis air bersih dan krisis
(lahan) pangan, konflik agraria, bencana kabut asap yang terus terulang,
diabaikannya hak-hak komunitas (Masyarakat Adat) karena lebih mengedepankan kepentingan ekonomi, telah
melahirkan persoalan ketidakadilan, kemanusiaan maupun lingkungan hidup serius
di sejumlah wilayah republik. Pada kondisi seperti ini, akses maupun kontrol
masyarakat atas hutan, tanah dan air sebagai bagian dari hidup dan keberlanjutan
penghidupan mengalami persoalan yang serius. Bahkan komunitas Masyarakat Adat pada
satu sisi juga turut terancam dari akar budayanya.
Fenomena sebagaimana disebutkan di atas,
juga terjadi di Kalimantan. Kebijakan atas nama pembangunan maupun
kesejahteraan melalui izin industri akstraktif berbasis hutan dan lahan tanpa
memperhatikan keselamatan rakyat dan lingkungannya pada akhirnya merampas kehidupan
dan keberlanjutan manusia Kalimantan, termasuk di Kalimantan Barat. Disadari atau
tidak, pengabaian keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dalam kebijakan tata
kelola sumber daya alam oleh negara sesungguhnya juga berimbas pada masyarakat urban
di perkotaan, termasuk di Kota Pontianak.
Pada beberapa tahun terakhir, WALHI Kalbar
misalnya mencatat sedikitnya 465 kasus dan kejadian terkait persoalan
lingkungan hidup di Kalimantan Barat dalam rentang waktu tahun 2008, 2011
hingga Juni 2013. Kasus dan kejadian tersebut didominasi akibat hadirnya
korporasi yang begitu massif di daerah ini. Banjir terparah dari sisi dampaknya
menyebabkan tiga korban jiwa terjadi pada awal Desember 2013 di kecamatan
Menjalin, Kalimantan Barat. Fenomena ini mengkonfirmasi begitu dasyatnya
bencana ekologis akhir-akhir ini.
Sedangkan di Indonesia berdasarkan catatan
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2013 terdapat 369 kasus agraria yang
melibatkan 1.281.660.09 hektar (Ha) lahan dan 139.874 Kepala Keluarga (KK).
Konflik tersebut berasal dari berbagai sektor diantaranya perkebunan sebanyak
180 konflik (48,78%), pembangunan infrastruktur 105 konflik (28,46%),
pertambangan 38 konflik (10,3%), kehutanan 31 konflik (8,4%), pesisir/kelautan
9 konflik (2,44%) dan lain-lain 6 konflik (1,63%).
Selanjutnya catatan HuMa di tahun 2013
terjadi 278 konflik sumber daya alam dan agraria yang berlangsung di 98
kota/kabupaten pada 23 provinsi Indonesia dengan luas area konflik mencapai 2.
416.035 hektar, termasuk di Kalimantan Barat. Adapun pelaku dominan dalam
konflik tersebut meliputi; Taman Nasional/Kementrian Kehutanan, Perhutani, PT
Perkebunan Nusantara (PTPN), Perusahaan/Korporasi, Perusahaan Daerah, dan
Instansi lain (TNI). Seringnya tindak kekerasan menempatkan entitas negara
sebagai pelanggaran HAM terbesar dengan frekuensi keterlibatan 54%, kemudian
institusi bisnis sebanyak 36% dan individu berpengaruh sebanyak 10%.
Mencermati tinjauan Lingkungan Hidup tahun
2014, WALHI mencatat bencana ekologis pada tahun 2013 mengalami lonjakan yang
sangat tajam. Jika pada tahun 2012 banjir dan longsor hanya terjadi 475 kali
dengan korban jiwa 125 orang, pada 2013 secara kumulatif menjadi 1.392 kali
atau setara 293 persen. Bencana tersebut telah melanda 6.727 desa/keluarah yang
tersebar 2.787 kecamatan, 419 kabupaten/kota dan 34 propinsi dan menimbulkan
korban jiwa sebesar 565 orang.
Masih berdasarkan catatan WALHI, sepanjang
tahun 2013, korporasi menempati angka tertinggi sebagai aktor/pelaku perusakan
dan pencemaran lingkungan hidup, dengan prosentase 82,5%. Selama kurun waktu
2013 ini, sedikitnya ada 52 perusahaan yang menjadi pelaku berbagai konflik
lingkungan, sumber daya alam dan agraria. Angka-angka ini menunjukkan bahwa
industri ekstrakif seperti tambang dan perkebunan sawit skala besar merupakan
predator puncak ekologis. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang
lingkungan dan agraria mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2012, ada 147
peristiwa kekerasan dan kriminalisasi dalam pengelolaan lingkungan hidup dan
sumber daya alam, maka tahun 2013 angka ini naik menjadi 227 kasus konflik
lingkungan dan SDA.
Disadari bahwa angka kasus dan kejadian
soal ketidakadilan pengelolaan sumberdaya alam yang berimbas pada pengabaian
hak-hak masyarakat tersebut hanyalah bagian kecil yang terrekam. Artinya sangat
mungkin masih banyak kasus lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi
nusantara luput dari pencatatan. Pada sisi lain, dibawah kepemimpinan presiden
SBY, kini masyarakat luas khususnya petani dihadapkan pada kenyataan bahwa
harga hasil bumi dari lahan garapan tidak memberi harapan dan rasa bangga
kepada pemerintah. Harga karet yang menjadi sumber pendapatan petani penoreh di
Toho, Kabupaten Mempawah misalnya hanya mencapai Rp. 3.000 saja. Di lain tempat
harga tertinggi berkisar Rp. 5.000 hingga Rp. 5.500. Demikian pula harga
komoditi lainnya menjadi tidak wajar bila dibandingkan dengan harga sembako di
pasar. Sebaliknya pada kondisi ini, pemerintah seakan tidak memiliki kemampuan
untuk memberi perlindungan harga komoditas hasil pertanian kepada warganya.
Tentu petani penoreh di Kalimantan Barat umumnya akan terus menjerit bila tidak
ada kepastian solusi oleh pemerintah ke depan.
Persoalan yang dihadapi terkait sengkarut
pengelolaan sumberdaya alam yang berujung pengabaian keselamatan rakyat dan
lingkungan hidup serta tidak adanya perlindungan harga hasil pertanian petani,
mempertegas bahwa pemerintah masih belum sanggup memberikan kemakmuran bagi
rakyatnya yang merupakan pemilik mandat dan pihak yang harusnya dimakmurkan sebagaimana
amanat pasal 33 UUD 1945.
Tentu harapan atas kemakmuran tersebut
tidak dapat disandarkan pada sosok presiden SBY yang telah 10 tahun menjadi
pemimpin dan baru saja mengakhiri masa kepemimpinannya. Kepemimpinan nasional di
bawah Presiden terpilih (Joko Widodo) yang telah dilantik pada 20 Oktober lalu diharapkan
dapat menjawab harapan rakyat dengan sungguh-sungguh bekerja mewujudkan visi
maupun misi sebagaimana janji kampanye. Pidato presiden terpilih saat
pelantikan “…Kita
akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri.
Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi...”
memang menyiratkan kehendak keberpihakan pada rakyat. Namun memang akan
terjawab dan hanya akan dibuktikan kelak seiring dengan perjalanan waktu semasa
kepemimpinan lima tahun kedepan.
Karenanya, negara dibawah kepemimpinan
Joko Widodo-JK sebagai pemimpin diharapkan lebih mengutamakan keselamatan
rakyat dan lingkungan hidup melalui kebijakan-kebijakannya bersama kementrian
kabinet kerja yang turut diikuti pemeirntah di daerah. Kebijakan tata kelola
sumber daya alam dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang mandat kedaulatan
yang harusnya memperoleh manfaat langsung berupa kesejahteraan dan kemakmuran
atas pengurusan negara.
Mengutamakan keselamatan rakyat dan
lingkungan menjadi penting mendapat perhatian serius dan menjadi agenda
pemerintah dari pada hanya sekedar bersandar pada kepentingan investasi.
Karenanya, penting kiranya negara sungguh-sungguh menjamin penghormatan,
perlindungan, penegakkan dan pemajuan hak asasi warga negaranya. Selanjutnya, tidak
menempatkan aparat sebagai alat kepentingan pemodal yang gampang melakukan
tindakan represif kepada rakyat, melakukan penataan ulang terhadap relasi
negara, modal dan Rakyat. Menyediakan
ruang hidup yang seluas-luasnya kepada rakyat Indonesia serta berkomitmen
memelihara keberlanjutan Lingkungan Hidup, memastikan pengesahan RUU Pengakuan dan
Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, menyelesaikan konflik agraria dan
Lingkungan Hidup secara tuntas dengan mengedepankan rasa keadilan dan
kemanusiaan. Memulihkan kerusakan ekologis sebagai akibat kebijakan industri
ekstraktif berbasis hutan dan lahan yang selama ini cenderung eksploitatif.
Pada sisi lain juga diharapkan bersikap
tegas atas pelanggaran hukum lingkungan, melakukan evaluasi dan bahkan bila
perlu menghentikan usaha kehutanan, pertambangan dan perkebunan yang merusak,
mengabaikan daya dukung lingkungan dan tidak membela kepentingan rakyat. Pada
sisi yang lain, pemerintah penting kiranya mengoptimalkan perannya untuk menyelamatkan
harga karet dan berbagai hasil pertanian masyarakat yang saat ini tidak wajar.
Agenda menyelamatkan rakyat dan lingkungan
hidup kiranya tidak dinomor duakan oleh pemerintah hingga di daerah di bawah
kepemimpinan baru Kabinet Kerja yang meniatkan diri untuk kerja, kerja dan
kerja. Menyandarkan diri sepenuhnya pada investasi hanya mempertegas
ketidakberdayaan sebuah rezim. Bila hal seperti ini juga diikuti pemerintah,
maka mimpi “Trisakti” yang ingin dicapai dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang
politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan hanya
akan menjadi timpang. Mengutamakan keselamatan rakyat di atas kepentingan
investasi penting menjadi perhatian pemerintah saat ini. Selamat bekerja untuk
rakyat Kabinet Kerja.***
Naskah ini, sebelumnya diterbitkan pada Harian Pontianak Post edisi tanggal Nopember 2014