Jumat, 20 Mei 2011

Menyulam Wajah Perbatasan**


By. Hendrikus Adam*


”Rasanya tidak ada pejabat yang tidak pernah mampir ke Entikong. Tapi, tak juga ada kemajuan di daerah ini. Cuma malaikat yang belum mampir ke Entikong ”

Pengantar
Ungkapan bernada canda di kalangan masyarakat Entikong di atas seringkali terdengar dan disampaikan warga, baik dalam forum perbincangan ringan hingga dalam kata sambutan resmi saat tamu datang. Ungkapan bernada sinis ini bukan tanpa alasan. Kawasan tinggal masyarakat perbatasan yang selalu dikunjungi para petinggi negara dan bahkan seringkali dijajali dengan “janji manis” untuk membangun perbatasan, tetapi tak kunjung dipenuhi. Mimpi untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan negeri ini yang “menterang” masih sebatas angan karena faktanya masih saja berada di belakang (belum ada perubahan yang lebih progress). Padahal sejak tahun 1963, setidaknya wilayah Kalimantan Barat di perbatasan khususnya (Entikong) mulai diperhitungkan oleh pemerintah pusat kala itu dengan mengasumsikan kawasan yang ditimang sebagai beranda depan “rawan” sehingga perlu “diperkuat”.

Minimnya perhatian terhadap ‘beranda depan” ini bukan hanya membuat warga negara perbatasan di Entikong (Kabupaten Sanggau) gerah, tetapi juga bagi warga perbatasan di empat kabupaten lainnya (Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu) yang juga berbatasan langsung dengan negara tetangga yakni Malaysia.

Membincang wilayah perbatasan Kalimantan Barat (Entikong), sama artinya membincang eksistensi sebuah wilayah nusantara yang kita kenal dengan Indonesia. Ini sangat terkait dan relevan, karena Kalimantan Barat merupakan satu dari 33 propinsi di nusantara yang masih dalam lingkup NKRI. Posisi wilayah perbatasan yang diharapkan dapat menjadi “beranda depannya” wilayah Indonesia telah menjadi rahasia umum dan akhir-akhir ini ramai diperbincangkan seiring dengan berbagai dinamika sosial yang mewarnainya. Termasuk juga diperbincangkan dalam forum dialog pemuda hari ini. Pada beberapa waktu terakhir pula, Keana Production membuat film bertajuk ”BATAS” yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo dan Marcella Zallanty selaku producer sekaligus sebagai tokoh utama melakukan shooting di wilayah Entikong, Perbatasan Kalimantan Barat (Indonesia) dengan negara Malaysia. Tema film yang dirilis berkisah mengenai fenomena kehidupan sosial dan budaya masyarakat (Dayak) di perbatasan Kalbar yang jauh dari jangkauan pembangunan dan kesejahteraan. Dalam hal ini feliksnya persoalan perbatasan, sangat mengharapkan perhatian serius pemangku kebijakan untuk menjadikannya sebagai kawasan beranda depan negara sungguhan.

Disepakatinya garis batas dengan panjang 1.840 km yang memisahkan Kalimantan (Indonesia) dengan negara bagian Sarawak dan Sabah, Malaysia pada abad ke-19 oleh dua negara kolonial Britania Raya (Inggris) dan Belanda saat itu merupakan titik awal “persoalan feliks”. Karena dengan demikian, persoalan masyarakat di kawasan perbatasan Entikong dan sekitarnya kini malah kian kompleks. Pergeseran patok wilayah seringkali menjadi berita yang tidak mengenakkan, disamping persoalan sosial lainnya. Bahkan debat seputar feliksnya persoalan di perbatasan malah mengarah pada kondisi betapa rentan terkikisnya identitas budaya bangsa terutama eksistensi masyarakat lokal (Masyarakat Adat) yang juga sebagai bagian dari warga negeri ini.

Lantas, apa yang menarik dengan wilayah perbatasan Indonesia (Entikong) dengan negara tetangga ini? Tentu terlalu feliks, karena persoalan perbatasan merupakan masalah yang tidak akan pernah selesai sejauh akar persoalannya tidak bisa diatasi. Dan masyarakat di perbatasan adalah pihak yang seakan telah “ditakdirkan” untuk tetap setia menunggu sentuhan tangan “malaikat” sekalipun nada sinis seringkali terucap.

Layaknya menanti malaikat sungguhan, warga negeri di perbatasan sepertinya tidak memiliki harapan lagi. Tak kuat dan telah bosan berharap hanya menerima janji-janji, namun belum mendapat solusi kongkrit yang berarti. Sampai kapan warga perbatasan akan terus menanti ‘malaikat’ penolong yang diimpikan sementara kekayaan sumber daya alam sebagai sumber hidup dan kehidupan mereka di satu sisi terus dieksploitasi? Persoalan masyarakat perbatasan Entikong-Sarawak merupakan persoalan bagaimana pemerintah kedua negara mampu “membangun” rakyatnya. Ketika hal ini belum bisa diraih, maka potensi persoalan lainnya sebagai imbas dari fenomena ini akan sangat mungkin muncul. Kondisi demikian perlu dipulihkan, perlu di sulam.

Sekilas Kalbar (Entikong) dalam Tinjauan Historis
Kalimantan Barat merupakan bagian dari wilayah NKRI. Sesuai dengan letak geografis, wilayah darat Indonesia berbatasan dengan tiga negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Timor Leste. Sedangkan untuk wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu Australia, India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, PNG, Palau dan Timor Leste.

Secara geografis Kalbar terletak tepat di garis khatulistiwa (Kota Pontianak) di atas garis 2° 08’ LU dan 2° 05’ LS serta diantara 108° BT dan 114° BT. Propinsi ini berbatasan langsung dengan Negara Bagian Jesselton/Sarawak (Malaysia Timur) dan merupakan satu-satunya propinsi yang mempunyai akses langsung jalan darat melalui poros jalan lintas antar negara Pontianak-Entikong-Kuching yang memiliki jarak tempuh lebih dari 300 km, dapat ditempuh melalui jalan darat dengan waktu tempuh sekitar 7 jam perjalanan.

Lebih khusus, kondisi wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) berdasarkan Perda nomor 5 tahun 2004 mengenai RTRW memiliki luas sebesar 14.807.700 Ha/146.807 km2 (7,53% dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas Pulau Jawa) dan dengan jumlah penduduk mencapai 4,3 juta jiwa . Provinsi yang beribukota di Pontianak ini berada di pulau terbesar ketiga dunia (Kalimantan) setelah Greenland dan Pulau Irian. Disatu sisi, Kalbar memiliki wilayah yang membentang lurus dari Utara ke Selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur, menjadi propinsi terluas keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Propinsi bagian Barat pulau Kalimantan ini dibentuk berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956 yang menetapkan wilayah Kalimantan Barat sebagai daerah otonom propinsi dengan ibukotanya di Pontianak dan undang-undang tersebut berlaku mulai 1 Januari 1957. Sebelumnya, Kalimantan Barat di era kemerdekaan Indonesia hingga tahun 1950an masih berstatus sebagai Daerah Istimewa (DIKB). Kalimantan yang juga dikenal dengan Borneo sendiri merupakan daerah eks koloni Jepang dan Belanda serta Inggris di bagian wilayah yang kini masuk dalam negara Malaysia (Sabah-Sarawak).

Garis batas yang memisahkan Kalimantan antara Indonesia dengan negara bagian Sarawak dan Sabah, Malaysia adalah garis khayal yang pertama kali ditarik dan kemudian disepakati antara dua negara kolonial pada abad ke-19, yakni Britania Raya (Inggris) dengan Belanda dengan panjang 1.840 km seluruh perbatasan . Garis ini mencakup wilayah Propinsi Kalimantan Timur ± 1.035 km dan Kalimantan Barat ± 805 km, garis yang kemudian memisahkan warga di Kalimantan Barat dengan warga di Serawak secara yuridis, namun demikian memiliki hubungan emosional yang begitu dekat. Pemisahan wilayah melalui politik “bagi kue” ala kolonial ini merupakan bagian dari dinamika yang turut mewarnai perjalanan sejarah perbatasan di wilayah Asia Tenggara umumnya.

Kalimantan khususnya daerah perbatasan baru menjadi perhatian pemerintah pusat ketika pemerintah dan pimpinan militer saat itu melihat adanya ‘ancaman’ dengan dengan dibentuknya negara Malaysia oleh Inggris. Saat itulah daerah perbatasan dipersepsi sebagai daerah ”rawan” yang perlu segera ”diperkuat” untuk menjadi basis konfrontasi sekaligus untuk membendung adanya infiltrasi dari Malaysia. ”Dianggap ancaman” bermuara para pemikiran elit militer yang menempatkan keamanan dan integritas territorial negara sebagai sebuah tujuan dan bukan sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah periode ’konfrontasi’ dengan Malaysia berakhir (1966), persepsi pemerintah pusat terhadap terhadap Kalimantan Barat sebagai ”harta karun” yang harus digali dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk berbagai kepentingan kelompok di pusat yang kemudian melahirkan berbagai kebijakan dan program yang bertujuan untuk mengeruk dan menguras kekayaan alam yang dikandung oleh kekayaan alam Kalimantan Barat.

Wilayah perbatasan di Kalimantan Barat meliputi lima titik kabupaten yang menjadi target pusat pembangunan namun masih juah dari harapan yakni meliputi Temajo (Kecamatan Paloh) dan Aruk (Kecamatan Sajingan Besar) di Kabupaten Sambas, Jagoi Babang (Kecamatan Jagoi Babang) di Kabupaten Bengkayang, Entikong (Kecamatan Entikong) di Kabupaten Sanggau, Nanga Bayan (Kecamatan Ketungau Hulu) di Kabupaten Sintang, dan Nanga Badau (Kecamatan Badau) di Kabupaten Kapuas Hulu. Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong (Kalbar) – PPLB Tebedu di Serawak secara resmi dibuka sejak tahun 1992. Kemudian menyusul dibukanya PPLB Aruk di Kecamatan Sajingan sekitar 90 km dari kota Sambas yang diresmikan Januari 2011 lalu. Sedangkan zona perbatasan di Kalbar yang berada di lima kabupaten tersebut dengan luas sekitar 2.035,164 km2. Lebih rinci, berikut adalah wilayah kecamatan di lima kabupaten Kalbar yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia;

No Kecamatan Luas (Ha) Desa Kabupaten
01 Paloh 11.884 6 Sambas
02 Sajingan Besar 139.120 5 Sambas
03 Jagoi Babang 121.830 5 Bengkayang
04 Seluas 50.650 6 Bengkayang
05 Sekayam 84.101 10 Sanggau
06 Entikong 50.698 5 Sanggau
07 Ketungau Tengah 218.240 13 Sintang
08 Ketungau Hulu 213.820 9 Sintang
09 Putussibau 412.200 8 Kapuas Hulu
10 Embaloh Hulu 345.760 8 Kapuas Hulu
11 Batang Lupar 133.290 7 Kapuas Hulu
12 Empanang 35.725 5 Kapuas Hulu
13 Badau 70.000 6 Kapuas Hulu
14 Puring Kencana 44.855 5 Kapas Hulu
2.035.164 97
Sumber: Data olahan dari laporan akhir wilayah perbatasan, Pusat Kajian Administrasi Internasional LAN 2004.

Dari tabel diatas, jelas terlihat bahwa Kabupaten Kapuas Hulu menjadi wilayah yang relatif luas berbatasan langsung dengan dengan negara tetangga yang meliputi enam kecamatan. Selanjutnya disusul Kabupaten Sintang, Bengkayang, Sambas dan terakhir Kabupaten Sanggau yang dalam hal ini Kecamatan Entikong dan Sekayam (dengan pusat administratif di Balai Karangan) bagian dari wilayah Kalimantan Barat yang terhubung berbatasan langsung dengan Malaysia bagian Timur (Sarawak). Dari tabel diatas, 2.035.164 Ha luas wilayah 14 kecamatan dari 5 kabupaten yang berbatas dengan Malaysia.

Posisi Kalimantan Barat yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga tersebut, menjadikan daerah ini memliki kekhususan tersendiri karena adanya hubungan langsung dengan luar negeri yaitu negara bagian Sarawak, Malaysia. Hubungan yang bersifat langsung ini tentu strategis dan baik dalam kerangka membuka ruang (kesempatan) bagi warga Indonesia untuk menyeberang langsung tanpa melewati rintangan laut ke Sarawak. Tempat ini menjadi jalur lalu lintas beragam manusia dengan berbagai latar dan tujuan serta membuka ruang transaksi seperti perdagangan yang berlangsung hingga saat ini antara Kalimantan Barat dengan serawak berjalan dalam rentangan sejarah cukup panjang, telah membentuk dan mempengaruhi dinamika sosial-budaya masyarakat di perbatasan.

Sebagaimana diketahui bahwa Kalimantan Barat merupakan propinsi dengan komposisi etnik warganya yang sangat beragam. Heterogenitas ini terjadi oleh karena masuknya kelompok etnik lainnya dari luar melalui proses migrasi yang berlangsung terus menerus hingga kini. Etnik Dayak yang merupakan penduduk asli Kalimantan Barat terbagi dalam cukup banyak etnik ataupun sub suku, sehingga dengan demikian eksistensi orang Dayak juga sesungguhnya komunitas masyarakat yang heterogen. Keberagaman itu tergambar dalam sebarannya di berbagai wilayah Kalimantan Barat, termasuk di kawasan Perbatasan Entikong maupun di wilayah Sarawak yang pada umumnya adalah Dayak Bidayuh dan Dayak Iban. Komposisi etnis lainnya di Entikong diantaranya; Melayu, Jawa, Cina, Banjar, Bugis.

Dari sekitar belasan sub etnik Dayak Bidayuh di Entikong dan sekitarnya misalnya, terdapat sebanyak sepuluh sub entik Dayak yang pemukimannya langsung berdampingan dengan kampung suku Dayak di Serawak, dan berasal dari satu nenek moyang yang sama seperti warga di kampung; Sisakng, Sontas, Badat, Gun, Senangkat’n, Mugut, Sekajang, Sungkung, Empayeh dan Iban. Dengan demikian sebagian besar suku Dayak memiliki hubungan intens dengan orang Dayak Serawak .

Dalam perjalanannya, sebagaimana komunitas masyarakat pada umumnya, orang Dayak di sekitar daerah ini juga berkembang secara turun temurun. Menyebar dalam wilayah yang dihuni, bahkan sampai ke luar wilayah Serawak atau sebaliknya. Persebaran ini banyak disebabkan oleh karena situasi dimasa penguasaan koloni oleh penjajah. Masyarakat yang menentang berani menentang diculik dan dibawa penjajah Jepang. Ada pula yang pergi ke daerah lain, sementara disatu sisi mereka tidak mengetahui bahwa daerah tersebut berada di wilayah kekuasaan Inggris. Berdasarkan cerita, karena terjadinya peperangan antara Inggris dengan Jepang masyarakat Dayak yang tinggal di Kujang Mawang dan Kujang Sain mengungsi ke wilayah yang sekarang bernama Panga untuk menghindari korban perang. Pasca kemerdekaan Indonesia, posisi perbatasan dikuatkan dengan dipasangnya tapal batas negara. Dengan demikian etnik yang tinggal di daerah Serawak kala itu otomatis masuk sebagai bagian dari penduduk Serawak, demikian sebaliknya.


Perbatasan (Entikong) dalam Bingkai Keindonesiaan
Kawasan Perbatasan merupakan bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan . Umunya, pada wilayah yang berbatasan darat maupun laut dengan negara lain, merupakan daerah yang cenderung rawan konflik. Fenomena potensi konflik seperti ini apabila tidak cepat diatasi, ekskalasinya dapat mengganggu hubungan antar kedua negara dalam sisi politis.

Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu contoh permasalahan perbatasan yang disebabkan antara lain karena adanya perbedaan hasil pengukuran di lapangan dengan peta yang dijadikan argumen dan legalitas hukum masing-masing negara . Pemahaman dalam memaknai wilayah perbatasan memiliki sejumlah konsekuensi logis karena sangat lekat dan terkait dengan dinamika sosial budaya maupun politik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dengan demikian wilayah perbatasan Entikong seharusnya memiliki nilai dan posisi tawar strategis dalam bingkai pengembangan maupun pembangunan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Wilayah perbatasan diharapkan memiliki dampak penting bagi kedaulatan, kemandirian dan integritas negara. Hal ini tidak terlepas dengan kondisi kawasan perbatasan yang diharapkan dapat menjadi faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Disamping itu juga mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi melalui kegiatan yang dilaksanakan dalam suatu wilayah lainnya yang berbatasan antar suatu wilayah maupun antar negara. Kawasan perbatasan dalam sisi yang lain juga sangat terkait dengan persoalan “keamanan” suatu wilayah.

Entikong sebagai bagian dari kawasan perbatasan memiliki peran yang strategis karena merupakan ‘jalur sutera’ dari berbagai kepentingan. Kawasan yang merupakan salah satu dari 15 wilayah kecamatan yang secara geografis terletak di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat memiliki karakter tersendiri. Selama ini secara historis pendekatan kebijakan dalam menangani pembangunan daerah perbatasan lebih menekankan aspek keamanan dan cenderung sentralistik, parsial dan ad hoc sehingga mengakibatkan pembangunan wilayah perbatasan relatif terabaikan .

Kenyataan bahwa kawasan perbatasan Sarawak-Kalbar sebagai daerah yang terisolir di negeri sendiri, tetapi tidak di negeri tetangga khususnya menyangkut kemudahan informasi, transportasi dan komunikasi maupun sisilainnya. Secara ekonomi, dapat dikatakan kawasan ini merupakan hinterland-nya Sarawak, bukan Kalbar. Lambatnya respon pemerintah terhadap hal-hal yang berkembang dengan cepat dan dinamis di kawasan tersebut (dibandingkan dengan di wilayah Sarawak), dalam perkembangannya mengakibatkan permasalahan yang multi dimensi dan kompleks. Dilihat dari salah satu aspek saja misalnya mengenai kondisi perekonomian masyarakat di kedua negara, terjadi kesenjangan yang sangat kontras. Dalam hal memasarkan hasil bumi misalnya, maka tidak heran bila masyarakat Indonesia di perbatasan lebih memilih menjualnya ke Malaysia. Bahkan beberapa waktu belakangan, diberitakan terjadinya perpindahan kewarganegaraan.

Pembangunan daerah perbatasan negara misalnya mengalami keterlambatan dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Malaysia. Kegagalan ini seharunya tidak dinyatakan oleh karena hambatan jarak yang mengakibatkan kawasan perbatasan seringkali terabaikan. Tidak maksimalnya upaya pengentasan persoalan sosial kemasyarakatan, menjadikan daerah perbatasan sering dianggap sebagai daerah ‘miskin’ secara ekonomi maupun dalam sisi lainnya.

Terasa ironis memang bila paradigma pengembangan kawasan perbatasan negara yang ingin menjadikan wilayah perbatasan sebagai pintu gerbang (front gate) suatu negara, namun tidak didukung oleh political will yang serius oleh pemerintah Indonesia. Apalagi bila manajemen wilayah perbatasan negara selama ini diharapkan dapat memberi banyak dampak pada segala aspek kehidupan masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi dan sosial suatu negara.

Menyulam Wajah Perbatasan dan Dinamika Masyarakat Entikong
Feliksnya persoalan di kawasan sepanjang perbatasan bukan rahasia umum. Begitu banyak harapan masyarakat yang digantungkan pada wilayah “beranda depan” Indonesia ini. Dalam sisi kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di Kalimantan yang dimaksudkan untuk mendorong pembangunan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, khususnya di Kalimantan. Namun demikain, Keppres tersebut tidak menghasilkan sesuatu apapun bagi pembangunan kawasan perbatasan. Keberadaan Keppres ini dinilai tidak efektif dan justru digunakan sebagai alat legitimasi bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya alam di daerah perbatasan (Hamid, 2003). Oleh karena itu, pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 63 Tahun 1999 untuk mencabut Keppres No. 44/1994, sehingga fungsi pengelolaan wilayah perbatasan negara dikembalikan kepada instansi-instansi terkait. Dalam perjalanannya kemudian pemerintah akhir-akhir ini kemudian membentuk lagi lembaga khusus yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang juga masih belum mampu menjawab maupun memenuhi harapan masyarakat. Persoalan yang sering disampaikan bahwa lembaga ini mengaku memiliki kewenangan terbatas. Berkaca dari berbagai dinamika yang ada mengenai perbatasan, maka ada banyak pandangan kenapa kemudian kawasan perbatasan penting mendapat perhatian.

Disamping beberapa hal yang telah disampaikan sebelumnya, setidaknya ada beberapa poin yang melatarbelakangi pentingnya perhatian terhadap kawasan perbatasan negara yang didasari beberapa isu: Pertama, tantangan dari masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Permasalahan ini muncul apabila ada keinginan untuk menginfiltrasi negara tetangga karena alasan politik dan ekonomi. Kedua, daerah perbatasan merupakan tempat untuk mengadu nasib (land of opportunity) bagi para pendatang baik legal maupun ilegal, seperti yang terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia, serta Thailand-Malaysia. Hal ini disebabkan juga oleh alasan politik, ekonomi, hubungan kekerabatan, dan keamanan. Ketiga, daerah perbatasan merupakan daerah pembelahan kebudayaan (cultural cleavage) dimana suatu komunitas yang berasal dari kebudayaan yang sama tetapi karena kebijakan politik antar negara akhirnya terbagi menjadi dua entitas, misalnya antara Dayak di Sarawak dan Dayak di Kalimantan Barat. Keempat, daerah perbatasan merupakan daerah persaingan untuk menduduki wilayah-wilayah yang baru dibuka (pioneership). Kelima, daerah perbatasan menyimpan persoalan konflik antar kelompok di dalam wilayah negara atau antar warga dari dua negara tetangga karena disparitas kebudayaan (cultural disparity). Keenam, daerah perbatasan adalah lahan yang tepat untuk penyelundupan barang (smuggling) dan penyelundupan manusia (human trafficking) yang kemudian dapat merugikan negara dalam jumlah besar .

Dari sejumlah uraian diatas, maka feliksnya persoalan kawasan Perbatasan Entikong – Sarawak yang secara umum memiliki persoalan pokok; 1) Minimnya infrastruktur (fasilitas pendukung), terutama jalan akses penghubung antar wilayah. Kondisi ini menyebabkan warga perbatasan tetap “terisolir”, 2) lemahnya supremasi hukum terkait dengan pelayanan, perlindungan dan pemenuhan hak warga (patok batas, masalah trafficking dan pengurusan dokumen keimigrasian, perdagangan illegal, dll). Termasuk dalam hal penguatan akses dan kontrol warga terhadap sumber daya alam.
Adanya wacana pengembangan kawasan perbatasan Kalimantan seluas 1,8 juta Ha (meliputi wilayah Kalbar 1 Juta Ha dan Kaltim 0,8 Juta Ha) untuk konsesi perkebunan sawit skala besar di tahun 2004 akan mengancam eksistensi masyarakat lokal di perbatasan yang mengandalkan hidup dan kehidupannya pada potensi SDA, 3) kurang efektifnya pengembangan perekonomian masyarakat, 4) adanya fenomena kecenderungan “degradasi kesadaran kehidupan bernegara”. Namun demikian kondisi ini harus dilihat dalam sisi dinamika masyarakat perbatasan yang holistik dari heterogenitas yang ada.

Dari catatan diatas, hal yang terpenting adalah bagaimana kemudian pemerintah mampu “membangun rakyatnya”. Dalam hal ini persoalan infrastruktur adalah persoalan yang mendasar yang mestinya dilakukan untuk membuka akses masyarakat dari keterisoliran. Ini menjadi persoalan yang sesungguhnya cukup mendasar menjadi persoalan bagi masyarakat lokal pada umumnya di wilayah perbatasan Kalbar dan juga bagi masyarakat lokal lainnya. Kebijakan pembangunan atas nama kesejahteraan yang akan membuka ruang kelola masyarakat melalui perkebunan skala besar sebaliknya, akan menghancurkan eksistensi masyarakat lokal di Kalimantan Barat khususnya. Pengalaman sejarah penghancuran sumber Daya hutan di sepanjang garis perbatasan melalui pemberian konsesi “eksploitasi SDA” kepada perusahaan besar (PT. Yamaker) yang saat itu turut menjadi bagian yang menambah runyamnya “wajah” warga di sepanjang garis perbatasan.

Dengan dibukanya kawasan kelola masyarakat tersebut berarti telah menghilangkan sumber hidup dan kehidupan andalan yang selama ini diakses. Sekaligus menghilangkan harapan bagi masyarakat lokal yang selama ini dikenal sangat lekat dengan alam.
Dalam sisi yang lain terkait dinamika kemasyarakatannya, maka menjadi penting dipahami mengenai kenyataan bahwa masyarakat disekitar perbatasan Entikong memiliki hubungan intens dengan warga Sarawak di Malaysia dikarenakan berasal dari asal-usul nenek moyang yang sama. Dengan demikian memiliki hubungan kultur yang sama sekalipun kemudian terpisah oleh karena kenyataan wilayah geografis secara politik. Sehingga dengan demikian, wilayah perbatasan tidak dapat hanya dilihat dalam perspektif geografis spasial, tetapi juga harus dipandang dalam perspektif lain.

Bahwa secara politik, masyarakat di sekitar perbatasan Entikong (Indonesia) dengan Sarawak (Malaysia) terpisah adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengalaman masa lalu ketika kemudian ditetapkan batas yang memisahkan secara politik dari hasil “bagi kue” ala kolonial. Menjadi wajar bila kemudian karena letaknya yang strategis berada dibibir negara lain, pemerintah Indonesia dalam hal ini menjadi sangat berkepentingan secara politis karena terkait dengan “prestise,” martabat dimata dunia global. Demikian halnya pemerintah negara Malaysia tentu juga sangat berkepentingan dengan wilayah sepanjang perbatasan. Fenomena pergeseran patok wilayah misalnya dapat menjadi bukti, sekalipun masih perlu diperjelas (motif dan sumbernya). Sisi lainnya yang juga penting mendapat perhatian serius adalah bagaimana kemudian dapat mengungkap “adanya kepentingan-kepentingan lain” di sekitar perbatasan yang justeru dapat berimbas destruktif bagi kenyamanan dan kedamaian masyarakat khususnya dalam dinamikan keberlanjutan pengembangan kawasan perbatasan maupun dalam hal hubungan antar kedua negara.

Pemerinah juga harusnya bertanggungjawab agar masyarakat di sekitar perbatasan dapat dan mampu melakukan akses maupun kontrol atas sumber daya alam yang ada secara bertanggungjawab. Masyarakat mestinya dapat didorong untuk berdaulat dalam politik, mandiri dalam hal ekonomi dan bermartabat dalam budaya tanpa harus dikondisikan untuk tidak nyaman terhadap sesamanya. Sikap dan kepentingan politis pemerintah Indonesia, hendaknya tidak mengabaikan aspek hak-hak warganya apalagi sampai mengorbankan sumber andalan hidup dan kehidupan.

Namun demikian, secara kultural warga perbatasan Entikong (Indonesia) – Sarawak (Malaysia) khususnya memiliki kesamaran dalam hal budaya. Dalam kehidupan antar etnik Dayak di perbatasan Entikong – Malaysia, mereka terhubung melalui banyak jalur seperti adanya jalan setapak (jalan tikus), yang menghubungkan antara kedua kampung yang terpisah secara geopolitik. Jalan tikus tersebut jumlahnya cukup banyak seperti di kampung Gun Tembawang dengan Sepit, Pala Pasang dengan Sadir, Mangkau dengan Tepoi, Entabang dengan Temong, Peripin dengan Pangkalan Amu, Panga dengan Kujang Sain, Bantan dengan Mapuk, Lubuk Tengah dengan Mojat, Segumon dengan Mongkos dan
Sungai Beruang dengan Lubuk Nimbung (Balai Ringin).

Wilayah perbatasan dalam penting dilihat dalam makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial semata. Dengan demikian daerah perbatasan tidak lagi ansih dipandang sebagai ruang geografi, tetapi lebih sebagai ruang sosial budaya. Dengan perpekstif demikian, batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Malah bisa terjadi “membelah” etnisitas yang sama oleh karena sejarah kebangsaannya yang berbeda secara teritorial, sementara kedua suku cenderung memiliki kesamaan dalam hal entik maupun kultur. Secara tidak sengaja, perilaku dan gaya hidup atau sosio kultural yang diwujudkan masyarakat daerah perbatasan Indonesia cenderung mencerminkan karakteristik sosio-kultural masyarakat daerah negara tetangganya dan atau sebaliknya. Dalam sisi ini, penegasan identitas kebudayaan Indonesia menjadi sangat penting?

Tentu bisa dimengerti bahwa pada kondisi ketika “pembauran” terus menerus antar warga perbatasan yang terpisah secara geopolitis muncul kekhawatiran akan memudarnya identitas sebagai sebuah entitas bangsa. Spekulasi lainnya yang sering dimunculkan dan menjadi kekhawatiran seperti adanya kecenderungan unsur-unsur budaya bangsa Indonesia menjadi milik atau diserap menjadi budaya bangsa lain. Wacana dan debat soal ini memang pernah terjadi dengan munculnya “politik klaim” akhir-akhir ini. Dalam sisi geopolitis pertarungan yang kentara sesungguhnya adalah soal harga diri sebagai sebuah bangsa yang kemudian seringkali diseret pada ranah persoalan keamanan di wilayah perbatasan.

Namun demikian, dalam sisi geokultural kondisi ini justeru menjadi “ruang” perekat hubungan antar warga yang terpisah secara teritorial. Dalam bingkai yang lebih luas, dapat menjadi peluang untuk membangun spirit dalam merajut perdamaian dan hubungan bilateral yang harmonis antar pemerintah kedua negara. Upaya yang telah dirajut misalnya dalam aktifitas sosial ekonomi yang melibatkan kedua masyarakat di Entikong dan Serawak, yang dikenal dengan istilah SOSEK MALINDO. Dalam sisi yang lain terkait dengan aktifitas sosial budayanya, di masyarakat perbatasan (Entikong) masih melangsungkan kegiatan kesenian seperti Adodai (kesenian berbalas pantun pada upacara bersih desa (atau dikenal dengan istilah nosu minu podi) dan Ganjur (bayar niat) serta acara ritual lainnya terkait dengan adat lahir, semasa hidup maupun adat kematian.

Karena perlu dipahami bahwa penduduk yang tinggal di Entikong (Ibu Kota Kecamatan Entikong) dan Balai Karangan (Ibu Kota Kecamatan Sekayam) sangat heterogen yang semuanya hidup berdampingan dengan rukun. Artinya antara mereka selalu menjaga dan memelihara kerukunan yang sudah ada sejak dulu. Mereka tidak terpengaruh dengan fenomena konflik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat seperti kerusuhan dan konflik sosial. Juga tidak terpengaruh dengan soal “potensi” konflik antar wilayah negara.


Desa Yang Berbatasan Langsung Dengan Sarawak (Malaysia) Berdasarkan Luas Wilayah, Rumah Tangga Dan Penduduk Di Kabupaten Sanggau Tahun 2009

D e s a Luas Rumah Tangga Penduduk Jumlah
Total


Laki-laki / Male Perempuan/Female

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

01. Entikong 110.98 1 480 3 256 2 993 6 249
02. Pala Pasang 84.02 191 420 382 802
03. Suruh Tembawang 148.82 571 1 291 1 155 2 446
04. Semanget 62.54 478 1 053 973 2 026
05. Bungkang 79.98 613 1 316 1 246 2 562
06. Lubuk Sabuk 103.29 622 1 347 1 231 2 578
07. Sei Tekam 96.7 420 1 062 1 011 2 073

Sumber : BPS Kabupaten Sanggau 2009

Dalam hal kenyataan munculnya kekhawatiran soal degradasi kebudayaan Indonesia sesungguhnya telah berlangsung dan bahkan terjadi cukup lama seiring dengan kebijakan penyeragaman pemerintahan lokal ke dalam bentuk desa atau kelurahan dan dihapuskannya pemerintahan adat oleh pemerintah rezim Orde Baru saat itu seperti misalnya adanya istilah-istilah lokal: Nagari, Mukim, Kampung, Marga, Kepasirahan, Banjar, Desa Adat. Di masyarakat suku Dayak Kalbar misalnya telah mempunyai struktur organisasi kampung (lembaga adat) seperti; Temanggung, Pasirah, Pangaraga, Kepala Kampung dan Kebayan.

Berkaca dari uraian diatas, sekilipun fenomena perbatasan Entikong-Malaysia khususnya, dalam hal geopolitik dan geokultural merupakan bagian yang saling terkait (selama ini cenderung dikait-kaitkan), namun menjadi penting untuk mempertegas pemahaman bahwasanya pemerintah kedua negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang sama untuk membebaskan warganya agar lebih berdaya dan sejahtera tanpa harus “diekslpoitasi” oleh karena status sebagai warga perbatasan yang terpisah teritorial.

Penutup
Persoalan mengenai perbatasan Indonesia – Malaysia sesungguhnya telah ada sejak sebelum kedua negara merdeka. Persoalan ini muncul setelah masing-maisng penguasa negara menganut pandangan hubungan antar wilayah yang didasarkan pada konsep hukum internasional . Bagi “kue” ala kolonial yang melahirkan dinamika dalam hal teritorial hingga pada persoalan politik dan keamanan maupun sosial budaya antar kedua negara (Entikong, Indonesia – Sarawak, Malaysia).

Kalimantan Barat yang secara geografis memiliki kabupaten yang berbatasan dengan negara tetangga merupakan wilayah yang secara politis sangat strategis sekaligus “rawan” oleh karena sangat terkait dengan multi kepentingan. Entikong di Kabupaten Sanggau, merupakan satu dari wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Gejolak sejarah masa lalu yang kemudian disusul dinamika terkait “keterancaman kedaulatan dan integritas” bangsa dengan berbagai turunan wacana yang ada seperti berbagai persoalan terkait isu; pemindahan patok batas, klaim sepihak kesenian-budaya, nasionalisme, perdagangan manusia (trafficking) maupun isu lainnya adalah topik yang memang sering menjadi perdebatan. Dinamika ini kemudian mampu merangsang “libido” sentimen dan semangat “perlawanan” atasnama nasionalisme maupun demi harkat dan martabat bangsa. Tetapi kemudian, semangat “perlawanan” ini juga tidak menutup kemungkinan seringkali “dimanfaatkan” oleh pihak lain hanya untuk memperoleh kepentingan sendiri. Bahkan demi “martabat bangsa” negara seakan “dipaksa” untuk dapat menjatahkan pembangunan kawasan perbatasan yang setidaknya mulai digaungkan sejak 1845, namun hasilnya masih jauh dari apa yang dibayangkan. Warga perbatasan justeru masih menunggu “malaikat” penolong. Pembangunan kawasan perbatasan mestinya harus diarahkan sungguh untuk “membangun” rakyat beserta infrastrukturnya secara holistik. Kedekatan warga perbatasan secara kultur, harusnya dapat menjadi perekat antar kedua wilayah yang terbatas secara teritorial tanpa harus dipolitisir berlebihan.

Bahwa persoalan sosial kemasyarakatan yang berkembang terkait ketergantungan warga perbatasan atas wilayah negara tetangga untuk memasarkan hasil bumi dan atau sekedar mengakses barang untuk kebutuhan keseharian misalnya, adalah hal rill yang dihadapi. Tetapi kemudian terlalu dini dan berlebihan bila “dicap” telah memudarnya nasionalisme. Upaya menyulam wajah perbatasan menjadi beranda depan sungguhan harus dimulai dari keseriusan, bukan wacana. Riak-riak dari dinamika yang muncul belakangan terkait dengan fenomena di masyarakat perbatasan adalah bentuk dari seruan keinginan warga untuk dihargai di negeri sendiri. Mendorong masyarakat lokal di perbatasan agar berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya serta mampu melakukan akses maupun kontrol terhadap potensi sumber daya (alam) yang ada, tentu sebuah harapan. Karenanya, sekali lagi persoalan perbatasan adalah persoalan bagaimana kemudian negara melalui pemerintah di republik ini mampu memberikan pelayanan dan perhatian yang terbaik bagi rakyatnya yang saat ini masih saja menanti Malaikat penolong.

*) Penulis, Pemuda asal pelosok Kalbar, pernah sebagai Ketua Presidium PMKRI Pontianak periode 2008-2009. Peminat isu Lingkungan, HAM, Perempuan dan Peace Building. Saat ini aktif di Walhi Kalimantan Barat.

**)Naskah ini disampaikan dalam acara Dialog Pemuda II bertajuk “Identitas Kebudayaan Indonesia di Perbatasan” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Lentera Timur bertempat di Galeri Cipta II - Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya Nomor 73 Jakarta Pusat, pada Jum’at, 20 Mei 2011. Kegiatan tahunan ini diselenggarakan dalam rangka peringatan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei).