Minggu, 08 Februari 2009

cerita kampung


Binua Nahaya, nasibmu kini?

Binua Nahaya merupakan salah satu wilayah masyarakat adat yang ada di wilayah kecamatan Ngabang, tepatnya meliputi kawasan kampung Nahaya, Damar, Tareng, Pagung, Pak Mayam, Kota Baru, Sebua dan wilayah sekitarnya. Sebagai sebuah kawasan masyarakat adat, Binua Nahaya hingga saat ini cenderung berubah terutama dari kontur kawasan, pola relasi serta roda perekonomian masyarakat. Kontur kawasan yang dulunya lebat ditumbuhi hutan (terutama diluar kawasan pemukiman) sekitar kampung dan berbagai kawasan sungai yang dapat diakses sebagai sumber pencari lauk (ikan) dan sumber air bersih, sekarang berangsur-angsur telah berubah. Kawasan hutannya kini telah banyak dibabat dengan telah masuknya upaya eksploitasi hutan secara legal dengan pembukaan lahan skala besar melalui perkebunan sawit.

Demikian juga sungai, sebagai pemasok lauk dan air bersih beberapa diantaranya telah berubah fungsi dan tercemar. Katakanlah seperti sungai Ambuang dan beberapa sungai kecil lainnya. Sungai sebagai pemasok air keperluan keluarga juga dengan masuknya perkebunan sawit dikawasan tersebut cenderung terancam kebersihannya, oleh karena dibeberapa sungai dijadikan saluran akhir pembuangan zat-zat yang ada dikawasan perkebunan. Pencemaran sungai-sungai lainnya akan sangat mungkin terjadi. Padahal salah satu asset berharga bagi setiap kawasan di wilayah perkampungan adalah sungai sebagai sumber air untuk keperluan keluarga.

Sedangkan pola relasi dan roda perekonomian dengan telah masuknya beberapa perusahaan yang ada juga mulai bergeser. Warga yang awalnya terbiasa dengan pengaturan jadual kerja sendiri dengan bekerja menoreh karet dan pergi ke ladang serta ke hutan untuk mencari keperluan keluarga, kini sebagian diantaranya mulai diatur berdasarkan jadual pihak perusahaan dengan bekerja pada perusahaan perkebunan. Kebun karet milik warga beberapa diantaranya juga telah diserahkan untuk areal perkebunan, demikian pula pola relasi antar masyarakat juga cenderung berubah.

Hadirnya perusahaan bidang perkebunan akhir-akhir ini, disamping PT. Cemaru Lestari dan PTPN 13 belakangan yang telah lebih dahulu menggarap bagian dari kawasan binua Nahaya, kini beberapa perusahaan baru seperti PT. IGP yang dahulu sukses menggarap kuburan tua "keramat" warga Binua Nahaya dan ada lagi PT. SSS yang baru dikembangkan dikawasan sekitar Damar, Sebirang, Sebua hingga ke Pak Mayam dan sekitarnya, yang juga bagian dari wilayah Binua Nahaya. Bahkan diwilayah Pak Mayam dan sekitarnya, HTI telah ada sebelumnya diwilayah Pak Mayam yang konon saat ini sedang menuai polemik.

Bilamana beberapa perusahan tersebut pada gilirannya benar-benar melakukan ekspansi besar-besaran dengan membabat sisa hutan yang ada, maka dimana lagi letak kawasan hutan binua Nahaya yang pantas dibanggakan? Bukan mustahil pula kalau suatu ketika Nahaya dan sekitarnya tidak layak lagi disebut sebagai Kawasan Masyarakat Adat (Binua Nahaya), karena warga Binua umumnya identik dengan warganya yang begitu arif menjaga keberadaan hutan dan lingkungan alam serikut adat istiadatn disekitarnya. Kondisi ini juga harusnya mampu menggugah Kepala Binua (Temanggung) dan pengurus adat, pengurus wilayah setempat serta Dewan Adat di tingkat kecamatan maupun Kabupaten untuk turut memberikan kontribusi yang positif dalam rangka memberi dukungan agar hutan yang ada beserta kearifan lokal masyarakat setempat tetap terjaga.

Peran pihak-pihak terkait, terutama tokoh masyarakat setempat baik yang tinggal maupun berada diluar kawasan Binua Nahaya juga mestinya tidak membiarkan kawasan hutan binua Nahaya terancam yang pada gilirannya berdampak pada keberadaan Binua Nahaya dan warganya untuk jangka panjang. Kita sadari pihak perusahaan sungguh cermat dalam menentukan serta mengupayakan niatnya memuluskan usaha yang dirintis. Pintarnya pihak perusahaan upaya pendekatan kepada saudara kita semisal YK (humas untuk perusahaan PT. IGP saat itu) dan warga masyarakat lainnya yang dianggap potensial dipilih untuk “menjinakkan” hati warga agar dapat kooperatif menyerahkan lahan kepada pihak perusahaan.

Nah, apa yang dialami dan akan terjadi di wilayah Binua Nahaya begitu kompleks. Peran masyarakat adat diwilayah setempat sangat menentukan arah Binua Nahaya. Demikian pula peran para pengurus adat dan pengurus desa beserta jajarannya. Moment pemilihan Temanggung Binua Nahaya yang sedianya akan diselenggarakan dalam waktu dekat, kiranya dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memilih kepala Binua (Temanggung) yang benar-benar peduli pada masa depan dan pola relasi antar masyarakat serta yang tidak kalah pentingnya juga peduli pada tetap terjaganya lingkungan alam (hutan, tanah dan air) yang ada di sekitar Binua Nahaya.

Siapapun yang terpilih sebagai Temanggung Binua Nahaya, sebaiknya memang dia yang mengerti soal adat dan tata nilai yang diberlakukan diwilayah adat setempat. Tidak ambisi, tidak berniat menggunakan jabatan Temanggung untuk kepentingan pribadi (mencari kekayaan, kedudukan dll) dan berkomitmen serta memiliki niat tulus untuk mengabdikan diri bagi masa depan adat, hutan, tanah dan air warga setempat. Sosok tersebut baiknya tidak terikat oleh kepentingan pihak manapun dan sedianya juga bukan bagian dari pihak yang berperan turut serta “menggadaikan” hutan Binua Nahaya untuk dibabat. Sekedar koreksian (bahan refleksi bersama) bagi sistem pemilihan Temanggung yang membebankan biaya hingga jutaan rupiah (1,5 juta/silahkan dikoreksi jika ini keliru) untuk biaya pendaftaran kandidat Temanggung sedianya perlu dipikirkan kembali. Saya rasa ini sangat berat terutama bagi mereka yang sebenarnya pantas, namun tidak memiliki biaya. Bukankah keterlibatan untuk menjadi temanggung adalah sebesar-besarnya untuk mengabdi bagi Binua Nahaya? Peran sebagai Temanggung tidak serta merta melulu berurusan keluar Binua, namun lebih pada bagaimana Temanggung yang terpilih sanggup mengikhlaskan waktu dan tenaganya untuk berbuat yang terbaik bagi warga binua. Karenanya, bagi mereka yang tidak punya biaya dan meskipun tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, tentunya tidak salah bila diberi kesempatan yang sama. Jangan pula mereka ditakut-takuti dengan informasi yang tidak sewajarnya.

Keberadaan hutan, tanah dan air perlu kepedulian bersama. Karena bila tidak ada yang peduli, maka yakinlah hutan, tanah dan air yang pernah menjadi kebangaan warga suatu ketika hanya akan menyisakan kenangan bagi generasi warga Binua Nahaya berikutnya. Bila hutan binua Nahaya tidak ada lagi, tanah untuk bertani telah menyempit dan sungai pemasok lauk serta sebagai sumber pemasok air bersih telah tercemar, maka jangan pernah bangga dan tentu tidak ada gunanya lagi disebut sebagai Binua Nahaya. Karena salah satu hal yang esensial (mendasar) hadirnya pemerintahan binua yang dikepalai seorang Temanggung menurut hemat saya adalah bagaimana hutan, tanah dan air sebagai bagian dari kesatuan masyarakat adat yang berbudaya dengan adat istiadatnya tetap terjaga, dihormati martabatnya. Bagaimana Nasib Binua Nahaya kedepan, akan sangat bergantung pada sikap warganya saat ini. Binua Nahay, nasibmu Kini berada pada setiap wargamu yang merindukan keberadaanmu yang asri seperti dulu.

Hendrikus Adam
Warga Biasa Binua Nahaya

gagasan


Ramai-ramai Menjual Diri

Oleh Hendrikus Adam*

Kalimat yang kemudian menjadi judul dari tulisan ini tidak ditujukan untuk menyinggung para penjaja seks komersial (PSK). Tidak pula bermaksud mendeskreditkan mereka yang mencalonkan diri sebagai caleg di pemilu pada April 2009 mendatang. Tidak pula bermaksud mempersoalkannya. Bagi saya selagi pilihan mereka menjadi caleg didasarkan atas kesadaran sendiri dan adanya niat “mulia” yang bersangkutan, tentu bukan menjadi soal. Hak setiap pribadi tentu tidak bisa dibatasi. Menjadi caleg adalah sebuah pilihan politik seseorang. Memilih menjadi caleg sama halnya dengan pilihan golput yakni bagian dari hak politik seseorang yang harusnya memang dihargai. Namun beberapa waktu belakangan pilihan golput dipersoalkan lantaran keluarnya larangan melalui fatwa MUI.



Beberapa waktu lalu, seorang sahabat mempertanyakan kepada saya, “kenapa tidak jadi caleg?” Pertanyaan sahabat tadi mengelitik hati saya sekaligus membuat saya bertanya dalam hati, “atas pertimbangan apa beliau ini bertanya seperti itu?”. Namun saya hanya tersenyum kemudian menjawab santai dan bertanya kembali, “mengapa harus jadi caleg, apa itu caleg?” Jawaban saya tidak bermaksud menyepelekan caleg dan bukan pula saya alergi dengan dunia politik. Saya memang membatasi diri saja. Bagi saya apa yang di tanyakan sahabat tadi hanyalah soal minat, kesempatan, pilihan dan yang paling mendasar adalah soal kesadaran.



Bicara soal minat tentu nyambung dengan latar belakang pendidikan saya di kampus. Soal kesempatan, memang saat inilah massanya bagi siapa saja boleh mengajukan diri sebagai caleg (termasuk saya). Setiap menjelang pesta demokrasi (pemilu), para caleg disibukkan untuk menyiapkan diri dengan berbagai upaya dan strategi pemenangan. Terlebih diera sekarang, banyaknya partai yang muncul membuka kesempatan lebar bagi mereka yang mau mengadu nasib meraih simpati warga untuk duduk di kursi empuk di DPRD.



Bicara soal pilihan, saya memang memilih untuk tidak berminat menjadi caleg saat ini. Saya melihat perahu partai menjadi penting dimiliki bagi mereka yang mau maju caleg. Apalagi diorganisasi tempat saya berproses (PMKRI) keterlibatan sebagai caleg dan atau anggota serta pengurus sebuah partai selagi masih aktif sebagai pengurus memang tidak diperbolehkan. Ada etikanya dan saya rasa baik untuk menjaga integritas eksistensi organisasi. Karenanya perlulah rasanya sadar diri untuk tidak terlalu jauh. Hal ini saya yakini juga diberlakukan pada para rekan aktifis OKP lainnya seperti teman-teman di HMI, PMII, GMKI dan lainnya. Pun demikian, tentu tidak semuanya OKP melarang anggota dan pengurusnya untuk terlibat langsung dalam kancah politik sebagai anggota, pengurus dan bahkan caleg partai. Ini tentu dapat dimaklum. Masing-masing punya aturan main yang kemudian menjadi prinsip dasarnya yang harus dijaga bersama. Namun demikian saya sadar, diorganisasi saya berproses tentu memiliki sikap politik.



Terakhir soal kesadaran, saya rasa ini jauh lebih penting dan mendasar. Kesadaran yang dimaksudkan tentu lebih pas rasanya bila menjurus pada keadaan dimana seseorang mengetahui potensi dirinya berikut kemampuan yang dimiliki. Dalam bahasa sederhananya sadar diri menjadi penting. Pilihan yang dilakukan atas dasar kesadaran para dirinya tentu lebih baik ketimbang bila hanya didasarkan atas ambisi semata. Orang yang sadar diri tentu ia tahu bagaimana ia harus menempatkan diri ketika dihadapkan pada berbagai kenyataan, terlebih dalam menghadapi hasil sebuah pertarungan seperti pemilu.



Sebaliknya, orang yang memutuskan menjadi caleg karena ketidaksadaran yang dilandasi ambisi semata, maka hasil kecenderungan yang akan muncul adalah rasa ketidakpuasan, penyesalan dan cenderung menyalahkan pihak lain bila pada akhirnya tujuan politiknya tidak tercapai. Seringkali fenomena ini kita jumpai pada upaya saling sikut-sikutan yang terjadi baik antar maupun intern elit di Partai Politik.



Lebih menarik lagi, akhir-akhir ini bila kita cermati dari wajah pemilu yang akan dilewati dengan banyaknya partai sebagai peserta pemilu, kesan formalitas dan sistem kejar target sungguh fenomenal. Untuk memenuhi kuota seperti yang disyaratkan undang-undang sistem rekrutmen kader yang akan dijagokan, cenderung asal-asalan. Pun demikian, tidak sedikit juga yang mengabaikan ketentuan yang menggariskan kuota seperti ditetapkan. Sampai-sampai suatu ketika teman saya yang satu organisasi mengungkapkan keprihatinannya karena melihat moment pemilu sebagai moment aji mumpung. ”Masa’ menjadi caleg kok tidak tahu fungsinya, itu kan aneh” cetetuk sang teman.



Apa yang disampaikan seorang teman tadi memang telah menjadi kenyataan yang ada hari ini, meskipun diantaranya memang ada yang sudah cukup mengerti dan paham apa yang akan dilakukan bila terpilih sebagai wakil rakyat. Namun saya juga jadi maklumi celetukan teman tadi, bermaksud menyindir mereka yang mencalonkan diri seakan hanya suka-suka. Menjadi caleg seakan hanya ikut trend saja. Prinsip “yang penting pernah menjadi caleg” harusnya tidak tertanam. Tapi memang begitu kenyataan dari beberapa kondisi yang ada. Apalagi dengan mekanisme perolehan suara terbanyak, kesempatan para caleg untuk mempromosikan diri terbuka lebar. Sehingga akhirnya saya berpikir sederhana, "wajar saja masih ada caleg seperti dipersoalkan teman tadi".



Akhir-akhir ini pula, dapat kita amati upaya promosi diri yang dilakukan melalui berbagai bentuk media kampanye bertebaran dimana-mana. Simbol-simbol etnisitas dan bahkan agama turut menghiasi diri para caleg dalam berbagai media promosi yang ada. juga melalui atribut dalam gambar yang dikenakan. Pemilu menjadi ajang bagi setiap warga negara yang berkesempatan menjadi calon anggota legislatif untuk ”menjual diri” yang seringkali dibumbui dengan sederet kalimat pemanis. Menjual diri dengan berupaya menampilkan citra baik dimata masyarakat sudah sering ditemui. Tentu tidak asing lagi sesungguhnya.



Siapa yang akan dipilih, tentu sangat bergantung pada seberapa besar calon tersebut mampu meyakinkan konstituen untuk memilih dirinya. Sangat bergantung pula seberapa populer dan seberapa baik track record (rekam jejak) calon dimata masyarakat. Namun demikian hal itu bukan sebuah jaminan. Citra yang ditampilkan seringkali menipu. Topeng kehidupan seringkali dikenakan para calon wakil rakyat untuk menjual diri. Topeng juga seringkali kita gunakan tanpa sadar dalam kehidupan kita. Siapa diantara mereka yang akan laku, serahkan sepenuhnya pada rakyat. Dengan ramai-ramai orang menjadi caleg, semoga semakin ramai-ramai pula orang yang akan duduk di kursi DPRD hasil pemilu 2009 yang sungguh-sungguh berjuang untuk kepentingan daerah dan warganya. Akan tetapi saya rasa pantas diingat bahwa siapapun yang memperoleh suara terbanyak dan akhirnya duduk dalam kursi legislatif bukanlah sebuah jaminan "kesempurnaan" dari yang bersangkutan. Pastinya, mereka yang pada akhirnya terpilih memiliki kewajiban untuk menjalankan amanah sebagai sungguh-sungguh wakil rakyat. Selamat berjuang menarik simpati rakyat!

*) Penulis, Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.