Senin, 03 Oktober 2011

Inpres 10 Tahun 2011, Perintah yang Tak Wajib!

By. Hendrikus Adam*

Membincang lingkungan hidup, berarti membincang mengenai masa depan dunia dan keberlanjutan kehidupan warga dunia. Persoalan lingkungan hidup khususnya berkenaan dengan akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer sebagai bagian dari pemicu persoalan lingkungan hidup serius yakni fenomena pemanasan global (global warming). Fenomena ini telah lama ”mencuri” perhatian sejumlah pemerhati hingga warga di seantaro dunia yang kemudian dibahas dalam berbagai pertemuan baik dalam internasional, nasional hingga ke daerah.

Eksistensi sumber daya alam (khususnya hutan) dan masyarakat lokal menjadi bagian yang tak terpisahkan dan turut diulas dari debat multi pihak tersebut, dan dampak dari eksploitasi atas SDA selama ini adalah tidak banyak kawasan penyangga dalam bentuk hutan alam yang tersisa kini. Dalam sisi lain, pemerintah negeri ini malah ”berambisi” untuk mengejar rangking ”nomor wahid” sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia melalui kebijakan perkebunan sawit dan sejenisnya dalam skala besar. Sementara jelas bahwa kebijakan ”legal logging” tersebut memberi dampak yang kontras atas lingkungan hidup karena kebijakan yang tanpa menyisakan sebatang pohon pun itu, sama artinya menghilangkan fungsi hutan.

Bila dibandingkan, kebijakan legal logging ini jauh lebih besar dampak lingkungannya dari pada illegal logging yang selama ini dianggap biang penghancuran hutan dominan. Sebaliknya dampak dari kebijakan legal tersebut, menjadikan ruang kelola dan kawasan sumber-sumber kehidupan maupun ruang pertanian warga ”dirampas” sehingga kemudian kian terbatas, serta kondisi (kualitas) lingkungan hidup terus terdegradasi.

Disamping itu dampak dari kebijakan legal logging melalui perkebunan sawit tersebut berakibat pada eksistensi masyarakat lokal (Masyarakat Adat) dengan kekhasannya yang selama ini menggantungkan hidup dan kehidupannya pada sumber daya alam (hutan, tanah, air) malah kian nyata tidak akan diakui oleh negara.

Pelan tapi pasti, fakta penggusuran situs dan ritus budaya warga, tembawang, tanah adat, serta kawasan laiinya yang terjadi selama ini adalah bentuk peranserta negara untuk menghilangkan keberadaan Masyarakat Adat khususnya. Kenapa? Sejumlah ketentuan perundangan jelas menyatakan bahwa Masyarakat (hukum) Adat akan diakui keberadaannya sepanjang kenyataannya masih ada, dan bentuk dari eksistensi masyarakat lokal sebagaimana dimaksud yakni masih adanya sejumlah kawasan ”sakral” yang tersebut.

Berbagai upaya pemerintah menyikapi fenomena terkait dengan persoalan lingkungan global, termasuk juga elemen masyarakat sipil. Lebih khusus guna menyikapi persoalan pembangunan lingkungan berkelanjutan dan guna mengurangi emisi, pemeritah baru saja mengeluarkan peraturan baru tanggal 20 Mei 2011 lalu yakni Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Berdasarkan konsideran dalam ketentuan tersebut hal ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan berkelanjutan dan sebagai bagian dari upaya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Melalui intruksi ini, dalam satu sisi pemerintah memberi ”payung hukum” atas proyek REDD yang sedang digelindingkan berbagai pihak sekalipun kini masih berlum sungguh-sungguh jelas.

Dalam intruksi tersebut, Presiden mengharapkan untuk dilaksanakan langkah-langkah sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan pihak terkait yang dimaksudkan untuk mendukung penundaan pemberian izin baru atas hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi dan areal penggunaan lain. Dalam Inpres tersebut juga disertakan Peta Induktif Penundaan Izin Baru yang disusul dengan terbitnya Keputusan Mentri Kehutanan RI tanggal 17 Juni 2011 dengan nomor SK.323/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Peta Induktif Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (APL).

Presiden dalam Intruksinya memberikan pengecualian penundaan pemberian izin baru pada; a) Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; b) Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; c) Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan d) Restorasi ekosistem.

Intruksi yang dialamatkan kepada sejumlah Mentri dan instansi terkait hingga ke para Gubernur propinsi maupun Bupati/Walikota ini diharapkan dapat menjadi angin segar bagi upaya tata kelola sumber daya alam berkelanjutan khususnya dengan melakukan ”jeda” dalam pemberian izin baru pembukaan hutan untuk usaha perkebunan diantaranya, meskipun tidak diulas secara rinci. Dengan demikian diharapkan memberi manfaat bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang selama ini bergantung pada sumber daya alam.

Namun demikian, Inpres tersebut masih menyisakan persoalan lain misalnya sejauhmana komitmen pihak penerima intruksi tersebut serius menjalankan amanat ini dengan penuh tanggungjawab sebagaimana diharapkan presiden? Pertanyaan ini tentunya sangat beralasan, mengingat berkaca dari pernyataan melalui kata pengantar dalam rapat paripurna kabinet di Kantor Presiden, Presiden SBY menyatakan dari semua intruksi yang dikeluarkan selama ini ternyata hanya kurang dari 50 persen yang dijalankan (Kompas, 8 Juli 2011).

Minimnya kepatuhan aparatur terhadap Inpres yang dikeluarkan oleh Presiden selama ini tentunya sangat mungkin mengingat kebijakan tersebut lebih bersifat instruksi dan tidak memiliki dampak hukum mengikat. Ketidakpatuhan ini tentunya juga sangat mungkin berlaku pada Inpres nomor 10 tahun 2011 yang baru saja dikeluarkan Presiden. Dalam Inpres ini juga menyebutkan istilah hutan alam primer yang tidak dikenal dalam konteks tata kelola kehutanan (UU Kehutanan) dan hal ini bisa jadi sebagai dalih dan upaya untuk mengaburkan fokus ”moratorium” yang seharusnya diberlakukan bagi hutan alam. Bila konsisten, harusnya perlindungan atas objek yang disebutkan dalam Inpres ini telah dimuat dalam UU Kehutanan (41 Tahun 1999) khususnya untuk kawasan konservasi, kawasan lindung, hutan produksi dan termasuk kawasan gambut.

Disamping itu khusus pemberian ruang konsesi atas lahan gambut untuk budi daya perkebunan sawit melalui Peraturan Mentri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/2009 dengan sendirinya menjadi kebijakan yang justeru ”tidak sejalan” dengan Inpres. Hal ini dikarenakan dengan sendirinya memberi ruang dibukanya kawasan gambut untuk perkebunan sawit skala besar, sementara tindakan pengawasan serius atas Permentan tersebut dan sanksi hukum bagi pelanggar yang menggarap lahan gambut melebihi kedalaman yang dipersyaratkan tidak dilakukan.

Sekalipun dalam poin ke delapan Inpres tersebut meminta secara khusus agar penerima mandat melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, maka tetap saja hanya sanksi moral saja yang akan berlaku selagi tidak disertai dengan komitmen serius dari pemberi intruksi beserta jajaran pemerintah pusat hingga ke daerah. Atas terbitnya Inpres ini pula, harusnya pemerintah di daerah terlebih dahulu melakukan monitoring dan evaluasi serta tindakan hukum serius atas ”benang kusut” persoalan pemberian izin kawasan untuk usaha perkebunan skala besar dan jenis lainnya yang telah nyata berakibat pada tumpang tindihnya kawasan, perambahan diluar konsesi, perampasan kawasan dan ruang kelola masarakat. Dalam hal ini, kepastian penataan ruang yang akomodatif bagi kepentingan masyarakat menjadi penting dan mendesak.

Dalam konteks pelaksanaan di daerah, kegagalan terkait dengan ”perintah” yang sama (Inpres), agaknya juga terjadi dari seruan Pemerintah Provinsi Kalbar agar adanya evaluasi atas perizinan perkebunan sawit melalui surat bernomor 525/1242/Ekon-A tertanggal 30 April 2008 yang selanjutnya pernah dipertegas Gubernur Cornelis dalam pertemuan Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) beberapa tahun silam. Wacana evaluasi tentu tidak cukup sampai pada telinga publik semata, tetapi harus dibarengi dengan tindakan nyata. Dari sisi perizinan perkebunan sawit di Kalbar misalnya, terjadi terjadi ketidakkonsistenan kebijakan yang mana saat ini telah dikeluarkan izin untuk perusahaan seluas hampir 4 juta hektar dari 1,5 juta hektar yang ditentukan sekalipun dalam realisasinya baru sekitar 600.000 hektar.

Keluarnya intruksi presiden dari sisi lain dapat dimaknai sebagai presenden buruk atas kinerja penyelenggara negara hingga ke daerah yang masih ”belum taat asaz” dalam mengimplementrasikan sejumlah harapan produk hukum yang sesungguhnya telah mengatur apa yang diamanatkan dalam Inpres. Menjadi presenden buruk, karena seharunya Inpres ini tidak perlu ada bila memang sistem managemen penyelenggara negara dalam ranah pengelolaan kawasan terkait pemberian izin berjalan sesuai realnya. Namun dalam sisi yang lain, Inpres harusnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh jajaran pemerintahan penerima mandat untuk membangun kepercayaan kepada atasan (Presiden) dan lebih khusus kepercayaan rakyat atas kesungguhan komitmen penyelenggara pemerintahan dalam lingkup lembaga masing-masing untuk berbuat optimal. Kebijakan pro rakyat dan pro lingkungan, tentu saja menjadi idaman kondisi yang diingini.

Amanat ”moratorium izin baru” dari Intruksi Presiden tersebut tidak akan optimal memberikan kontribusi banyak bagi perbaikan keseimbangan (lingkungan, sosial budaya, ekonomi) dan pengurangan emisi GRK, terlebih bila terbitnya Inpres ini juga sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ”sikap tunduk” negara kepada pihak asing melalui perjanjian kerjasama (Letter of Intent/LoI) pemerintah Indonesia-Norwegia yang disepakati pada Mei 2010 di Oslo untuk mengurangi GRK dengan proyek REDD yang hingga saat ini masih belum jelas. Sebagaimana diketahui bahwa kerjasama ini akan dilakukan melalui sejumlah tahapan melalui; a) Tahap persiapan, dimulai tahun 2009, b) Tahap transformasi, 2011- 2014, dan c) Tahap kontirubusi terhadap penurunan emisi 2014 hingga 2016.

Keluarnya Inpres 10 tahun 2011 diharapkan dapat menjadi angin segar, tetapi ada ”sisi lemah” karena tidak memiliki kekuatan yang mengikat untuk ”memaksa” penerima mandat. Dengan demikian, Inpres hanya sebuah perintah dari atasan yang tidak wajib untuk dilaksanakan! Terlebih, limit waktu dua tahun yang disematkan untuk melaksanakan Inpres sangatlah tidak relevan dengan begitu feliksnya persoalan yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu dibalik amanat penundaan izin baru.

*) Penulis, Aktivis Walhi Kalimantan Barat

[Catatan; Naskah ini pernah dimuat dalam Majalah Kalimantan review edisi Agustus 2011]