Senin, 10 Februari 2014

Momentum Bersih-bersih Parlemen

Hendrikus Adam

By. Hendrikus Adam*

Bila tidak ada aral, Pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daeeah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan dilangsungkan 9 April 2014 mendatang. Momentum yang kerap dikenal dengan istilah “pesta demokrasi” ini selanjutnya akan disusul dengan Pemilihan Umum pemimpin Republik ini (Presiden dan Wakilnya). Singkatnya, warga negeri ini sedang dihadapkan pada kenyataan bahwa Pemilu sudah di depan mata dan figur mana yang akan dipilih tentulah sangat bergantung pada keputusan setiap pribadi pemilih. 

Seberapa besar kontribusi hasil Pemilu bagi perbaikan tatanan kehidupan segenap warga?, kiranya hal ini penting menjadi pertanyaan mendasar atas perhelatan gawe limatahunan tersebut. Secara sederhana, pertanyaan reflektif ini mengingatkan pemilih untuk lebih kritis dalam menggunakan haknya sebagai warga negara dalam menentukan “figur pemimpin” ke depan, apakah memilih untuk menggunakan hak suara dan atau sebaliknya, tidak menggunakan hak pilih? 

Harus diakui warga kini sudah cukup kenyang atas pengalaman masa lalu dari proses Pemilu dengan begitu banyak umbaran janji manis yang justeru berbenturan dengan realita seiring dengan perjalanan waktu. Sebaliknya tentu tidak sedikit di antara warga yang masih gampang “dininabobokan” oleh slogan-slogan “janji kesejahteraan” dari para figur kandidat yang mencalonkan diri. Fakta lainnya bahwa tentu ada di antara warga yang memutuskan menggunakan hak pilih terkait subjektifitas, karena faktor kedekatan emosional sehingga tidak begitu menghiraukan hal yang substantif berkenaan dengan alasan mendasar dalam penentuan pilihan. Lantas, apa kiranya yang penting dilakukan menghadapi agenda Pemilu April mendatang? 

Bagimanapun memilih dan dipilih merupakan hak sebagai warga negara yang dijamin konstitusi di republik ini. Demikian sebaliknya, pilihan sikap memilih untuk tidak memilih sebagai bagian dari hak individu warga negara yang juga dilindungi  sehingga penting untuk dihargai. Kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui sistem demokrasi yang diterapkan telah membawa segenap warga “terbiasa” mengikuti proses yang dikenal dengan pemilihan umum (Pemilu), yang dimanifestasikan sebagai wujud keterlibatan diri dalam kehidupan politik. 

Hasil dari proses panjang Pemilu yang sudah pasti akan menyita waktu, tenaga maupun biaya, seharusnya memang tidak berujung sia-sia. Seharusnya juga, tidak hanya sebagai ajang untuk mengumbar janji semata. Tentulah menjadi tantangan bersama untuk memastikkan bahwa apa yang akan dilakukan untuk kepentingan rakyat seharusnya tidak hanya dilihat dengan bersandar pada “janji-janji” setiap pribadi kandidat, melainkan sangat penting melihatnya dari aspek kewenangan-kewenangan yang kelak dimiliki terkait dengan tupoksi ketika sudah mendapat mandat rakyat. 

Dengan demikian, harapan terhadap figur tidak begitu berlebihan dan sebaliknya dengan demikian, maka sebagai warga kita tidak gampang terbuai oleh karena janji-janji yang hanya asal janji. Dalam hal inilah sikap kritis menjadi pilihan yang strategis dalam menyikapi dinamika jelang Pemilu yang sudah di depan mata untuk tahun 2014 saat ini. 

Bersih-bersih Parlemen
Sistem demokrasi pemilihan umum yang hingga kini masih menghendaki adanya sistem perwakilan mengharuskan adanya parlemen yang dianggap sebagai refresentasi dari rakyat. Sekalipun kenyataannya, kita biasanya kerap mendengar keluhan warga yang merasa tidak terwakili atas hadirnya oknum di parlemen. Karena itu menjadi penting meletakkan orientasi kepentingan kandidat yang maju dalam Pemilu tidak hanya sebagai ajang untuk memperoleh pekerjaan sebagai wakil rakyat semata. Demikian juga, proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik untuk meloloskan peserta pemilu yang dimandatkan sudah semestinya berbasis pada integritas maupun kapasitas mumpuni dan bukan berdasar pada siapa yang memiliki modal besar. 

Aksi jalanan segenap elemen masyarakat sipil di depan kantor DPR RI 12 Januari 2012 silam mendesak dibentuknya Pansus Penyelesaian Konflik Agraria di Tanah Air yang disertai aksi sama di sejumlah daerah pada waktu bersamaan, mengisyaratkan pentingnya langkah-langkah strategis wakil rakyat dalam merespon persoalan bangsa khususnya terkait hak buruh, petani, perempuan, Masyarakat Adat maupun masyarakat lokal lainnya. Sejumlah kasus lingkungan hidup berkenaan dengan konflik agraria terkait kasus perampasan tanah dan ruang hidup warga yang kerap disertai kriminalisasi hingga persoalan bencana ekologis harus diakui sebagai persoalan serius yang perlu diselesaikan. Hal ini pula tentu menjadi persoalan serius bangsa sehingga juga harusnya menjadi mandat kontestan pemilu yang kelak terpilih. 

Hadirnya parlemen pada satu sisi memiliki peran penting terutama dalam melakukan perumusan atas sejumlah kebijakan terkait inisiatif untuk menghasilkan produk hukum, upaya pengawasan maupun pengalokasian anggaran bagi kepentingan pembangunan. Kesejahteraan rakyat harusnya menjadi sasaran akhir sebagai dampak dari niat kebijakan pembangunan ini dan parlemen memiliki peran penting untuk mamastikan proses tersebut sungguh berjalan baik. Di balik sengkarut yang mendera kader Parpol maupun pejabat publik tersandung sejumlah kasus korupsi diantaranya, maka tidak mustahil akan mempengaruhi pilihan politik warga.    

Atas berbagai catatan dinamika tersebut, kalimat yang dipopulerkan WALHI yakni “bersih-bersih parlemen dari Perusak Lingkungan” sejak Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (KNLH) pada April 2013 silam tentu sangat relevan. Sebagai organisasi lingkungan hidup, WALHI mengajak (menggugah kesadaran politik warga) publik agar tidak lagi memberikan suara kepada mereka yang terlibat dalam perusakan lingkungan dan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Pada forum nasional tersebut, WALHI menyerukan agar pengurus partai politik memperbaiki rekrutmen politik jelang pemilu 2014 dengan cara tidak memberikan ruang bagi para perusak lingkungan untuk mengisi parlemen dan pemerintahan. Selama ini berdasarkan catatan WALHI rekrutmen politik masih diwarnai oleh transaksi politik uang dan hal tersebut dinilai justeru memberikan ruang bagi para perusak lingkungan maju dalam pemilu baik di parlemen maupun eksekutif (pemerintahan). 

Selain itu, WALHI mencatat bahwa sejak reformasi tahun 1998, proses transisi demokrasi Indonesia belum mampu menciptakan kesejahteraan dan keadilan karena buruknya sistem rekrumen politik. Dampak lainnya kebijakan lingkungan yang diproduksi oleh Pemerintah dan DPR RI maupun legislatif di daerah saat ini masih kental dengan corak eksploitatif, liberal, berorientasi pasar, mendorong penghancuran lingkungan hidup serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).  Termasuk corak ekonomi-politik  Indonesia yang masih setia bersandarkan pada skema utang luar negeri. 

Rakyat Memilih
Harus diakui pula bahwa perlawanan rakyat mempertahankan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, wilayah kelola, serta hak-hak atas tanah, hutan maupun sumber daya alam lainnya masih dihadapkan pada tindakan kekerasan dan kriminalisasi dari aparat negara. Karenanya, bentuk langkah strategis yang mungkin dilakukan atas “sistem tata kelola SDA maupun pemerintahan” yang masih menyisakan masalah bagi kepentingan hakiki warga dan lingkungannya adalah dengan menentukan pilihan keputusan dengan tepat terkait dengan Pemilu. 

Pilihan putusan yang menempatkan rakyat memilih secara kritis, menyandarkan pilihan dengan memperhatikan rekam jejak, dan bukan terbujuk umbaran janji maupun iming-iming materi semata, serta tidak gampang terbuai karena faktor subjektifitas, pastilah memiliki faedah meskipun hal ini mungkin sulit. 

Dalam hal yang sederhana, masih begitu kentara wajah demokrasi kita di perhelatan Pemilu dihiasi sejumlah atribut media kampanye yang justeru tidak mempedulikan aspek keindahan lingkungan sekitar. Sejumlah tanaman dan pohon kerap dijejali dengan pemasangan iklan mengumbar janji para konsestan.  Kenyataan ini tentu penting pula dilihat sebagai indikator dalam memastikan kelayakan dalam menentukan pilihan, disamping indikator-indikator krusial yang tentu dimiliki masyarakat luas atas kontestan Pemilu. Indikator (mengenai rekam jejak) soal komitmen kontestan atas kepeduliannya pada kepentingan lingkungan hidup dan perjuangan hak rakyat, serta sejauhmana korelasi yang bersangkutan dengan "pemilik kapital" boleh saja ditelusuri dalam menentukan pilihan ke depan. 

Disamping itu, juga masih begitu banyak kayu cerocok dan atau kayu olahan yang digunakan sebagai pondasi dalam memasang atribut kampanye untuk memperkenalkan diri para kontestan pada setiap perhelatan Pemilu. Tentu hal ini penting menjadi perhatian ke depan oleh berbagai pihak untuk memperbaiki pelaksanaan Pemilu yang syarat dengan daya rusak terhadap lingkungan hidup.

Saatnya rakyat memilih, berani menentukan pilihan. Memilih untuk memilih, dan atau memilih untuk tidak memilih pastilah menjadi pilihan yang baik adanya selama hal tersebut dilakukan lahir dari kesadaran penuh. 

Tahun 2014 merupakan momentum politik penting yang sudah mulai semarak dengan berbagi atribut berikut “umbaran janji” para kontestan Pemilu. Namun demikian, adalah sangat penting menjadikan kesempatan tersebut sebagai momentum untuk membersihkan parlemen dari perusak lingkungan melalui hak (memilih dan atau tidak memilih) yang dimiliki warga negara.

*) Penulis Aktivis WALHI Kalimantan Barat.

Naskah ini sebelumnya terbit di Harian Pontianak Post edisi 1 Februari 2014.