Minggu, 13 Juli 2008

catatan pojok

Menunggu….
Menunggu. Kata ini yang terekam dalam hatiku kini. Sebuah “pekerjaan” yang ku tahu selama ini tidak disukai banyak orang, termasuk diriku. Sesaat, hatiku bertanya; “apa benar pekerjaan ini tidak disukai banyak orang? Dan apakah teman-teman yang kutunggu, sepakat dengan diriku?...Kalau menunggu adalah benar-benar membosankan? Bukankah, bila memang mereka sependapat dengan apa yang ku pikirkan kini (beranggapan bahwa menunggu adalah sebuah pekerjaan yang membosankan), maka yang terjadi adalah tentu pekerjaan seperti ini (menunggu) tidak mungkin ku alami. Atau malah sebaliknya, saya yang menunggu justeru senang dengan kondisi ini? Tidak akh, yang pasti pekerjaan ini juga sebuah ujian bagiku. Sebuah ujian yang tentunya tidak sama persis dengan apa yang dihadapi kawan-kawan mahasiswa saat ini (ujian mid tes red)”.

Ujian yang kualami adalah, bagaimana kesabaranku sebagai manusia yang dibekali akal budi yang tidak luput dari kelemahan dipertaruhkan. Bagaimana kesabaranku selaku “pemimpin” organisasi (PMKRI Pontianak) saat ini diuji. Dalam hati ku bertanya; “haruskah kondisi seperti ini dipelihara?” Tentu saja tidak perlu. Jam “karet” tidak perlu dipergunakan!!! Karena bila terus dipergunakan, maka sampai kapan generasi muda bangsaku bisa berkembang maju? Bosan akh bicara soal itu terus! Toh yang ada hanya perasaan yang “bergejolak” aja. Coba tepis ah… biar, biar ku coba terus menunggu.

Baiknya, kualihkan perhatian ku dulu. Singkirkan mempersoalkan “menunggu” yang berkecamuk dihati saat ini. Ditempat ini, di warung Pasar Kemuning, dekat bundaran Kota Baru Pontianak, yang terlihat hilir mudik pengendara sepeda motor dan kendaraan roda empat. Juga para pengunjung warung yang silih berganti. Serta para pelayan “Warung Jogja” yang terlihat sibuk menyediakan menu buat para tamu. Minum dulu ah. Jos-susu dingin terasa menyegarkan tenggoorokanku. Yah lumayan, buat sekedar melepas dahaga. Drama “menunggu” bagiku tetap berlanjut. Sampai kapan yah saya akan tetap begini? Sampai jam segini, belum ada satupun batang hidung teman-teman perhimpunan yang ku tunggu nongol. Saya gak pernah hiraukan pulsa, yang kugunakan untuk sekedar nelpon dan juga sms teman-teman perhimpunanku, yang juga saudara-saudaraku. Tetapi, kemana gerangan mereka saat ini?

Aku tahu, juga sadar. Diantara mereka yang ku hubungi tadi…tidak semuanya bisa hadir. Ada yang harus mempersiapkan diri untuk mid-test besok pagi, dan ada pula yang ga punya kendaraan untuk pergi kesini. Serta ada yang akan pulang kampung. Teman-teman memang sepertinya pada sibuk. Sms masuk nih; “lagi dimana, aq masih dirumah”. Pesan ini ku terima dari teman yang tadinya memastikan diri bakal datang untuk ketemu. Balasku via sms; “sy…ud dikmuning dr td pak. Bgmn nih? Dtg kah?” sambil tetap menunggu, saya mencoba untuk sabar, sabar menanti meaki harus menunggu dan menunggu. “Kapan nih, kapan lagi harus menunggu…?” gumamku membisu sendiri. Atau haruskah aku kembali menghubungi teman-teman yang tadinya saya hubungi, biara mereka segera kemari? Nggak akh, bila demikian…lantas siapa diriku ini? Time keeper kali? Yah bukan donk time keeper. Saya adalah saya, yang dari tadi tetap saja menunggu. Jadi…kasihan deh saya. Tidak apa-apa deh. Kalau saja akhirnya menjadi korban menunggu, dan asal tidak kena pada yang lain. Sms kembali tiba di hpku; “dg siapa disitu?” Tanya sang teman yang tadi juga sms. Kali ini saya memang tidak tanggapi, yang pasti saya masih sendirian menunggu.
Melakukan hal seperti ini, juga kadang menggelitik hati yah? Apakah teman-teman saya mengerti apa yang sedang saya piker dan rasakan? Ataukah memang tidak mau tahu nasib saya? Mungkin pertanyaan ini hanya mengada-ada. Yah biarin..gak perlu ku pikirin akh. Saya memang manusia biasa yang juga memiliki kelemahan, yang tidak luput dari berbagai prasangka-prasangka, dan bisa saja prasangka-prasangka itu tidak benar. Namun setidaknya, pekerjaan “menunggu” dapat menjadi pelajaran berharga bagiku. Sebuah pekerjaan yang kini kurasakan, tidak perlulah diberikan pada orang lain untuk mengalami hal yang sama. Cukup sudah saya sendiri yang merasakannya.

Catatan pojok kala malam di Warung Jogja,
Minggu, 22 Juni 2008