Rabu, 27 Agustus 2008

gagasan


D A M A I
By. Hendrikus Adam
Dalam sebuah seminar bertajuk “Agama dan Perdamaian” beberapa hari lalu bertempat di Wisma Nusantara Pontianak tersibak satu benang merah yang sesungguhnya sangat umum yakni kehausan akan peace, damai. Setiap ajaran keyakinan (sedikitnya enam yang diakui secara resmi) dari paparan para panelis dari multi keyakinan senantiasa mengajarkan kebaikan. Mengajarkan cara santun dalam membina relasi dalam kehidupan sosial.

Rasa damai menjadi tujuan finish meskipun beragam cara atau jalan yang harus ditempuh sesuai dengan keyakinan masing-masing. Ibarat sebuah target, damai menjadi impian yang senantiasa dibutuhkan setiap orang dalam menjalani hidupnya pada kehidupan yang penuh dinamika ini. Penuh misteri yang hanya akan tersibak seiring dengan perjalanan waktu. Lantas bagaimana dengan realita hari ini? sudah damaikah?
Ada banyak penilaian tentunya. Peran dan posisi dan cara pandang setiap orang tentunya sangat relatif dalam memberikan respon atau sebuah jawaban tentang damai itu sendiri. Rasa damai sesungguhnya bukan kemustahilan untuk diwujudkan bilamana semuanya dapat berjalan sesuai kaidah atau dalil-dalil yang memang dianjurkan oleh ketentuan hukum (dalam arti yang luas) dan juga ketentuan keyakinan masing-masing yang konon mengajarkan nilai-nilai untuk kebaikan bersama menuju perdamaian.
Untuk menuju damai, maka hal itu harus dimulai dari diri sendiri. Artinya harus berdamai dengan diri sendiri terlebih dahulu, dan untuk berdamai dengan diri sendiri, maka setiap diri harus berdamai dengan Sang Pencipta terlebih dahulu. Hal ini boleh menjadi jalan mendasar untuk menuju damai, seperti yang dikemukanan dari para panelis beragam keyakinan. Semua sepakat bahwa damai itu harus dimulai dari diri sendiri dan semua agama yang diyakini mengajarkan kebajikan untuk memperoleh damai.
Damai memang kata yang mudah di ucapkan, namun seringkali sulit untuk diwujudkan. bahkan sulit untuk dimengerti. Benarkah? Agaknya pemahaman akan makna damai perlu diluruskan. Atau setidak-tidaknya perlu ada kesamaan pemaknaan mengenai istilah damai yang menjadi cita-cita bersama.
Ketika ajakan (ber)damai dimunculkan, maka friksi lain bisa saja muncul. Dalam benak spontan muncul; sedang konflikkah kita? Damai memiliki makna jamak. Damai bisa menunjukkan pada ketiadaan perang dan ketiadaan kekerasan. Namun damai juga bisa menunjuk sebuah kondisi yang tenang dan adem, serta damai pula menunjuk sebuah keadaan ketenangan pikiran, badan, dan jiwa dalam diri setiap orang. Dari sekian banyak pemahaman damai, barangkali spirit “perlawanan tanpa kekerasan” dicetuskan filusuf moral Rusia Lev Nikolayevich Tolstoy (Leo Tolstoy) yang pada gilirannya mampu mempengaruhi tokoh-tokoh abad ke-20 seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King untuk mengikuti perjuangan damai yang dilakukan. Perlawanan tanpa kekerasan adalah bentuk dari perwujudan atau perjuangan (menuju) damai yang ditunjukkan melalui sikap.
Damai adalah sebuah kondisi yang merujuk pada ketiadaan “perang” dalam arti yang luas. Ketiadaan persoalan dan konflik destruktif, ketiadaan marginalisasi yang dilalami, ketiadaan perdebatan mengenai perbedaan atas nama keyakinan, ketenangan batin oleh karena keadilan yang dirasakan dan damai adalah suatu kondisi kebahagiaan yang dirasakan oleh setiap orang dengan dasar kesadaran bahwasanya adanya perbedaan tidak bisa dibantah.
Damai dimulai dengan secerca senyum yang tulus dan jujur. Kalimat dari mendiang Suster Theresa dari Calcuta mungkin boleh menjadi spirit untuk memulai membagi damai bagi sesama tanpa harus memperdebatkan latar belakang identitas. Kejujuran dan ketulusan sebagaimana dimaksud tanpa syarat, melewati batas primordial.
Rasa damai yang sesungguhnya tidak pernah mengenal dan mempersoalkan siapa dari mana dan apa identitasnya? Perjuangan menuju damai harus mampu menembus sekat primordial yang seringkali bias dalam aksi nyata dilingkungan sosial tempat kita hidup bersama yang lainnya.
Negara kita disimbolkan sebagai wilayah yang cinta damai dan bahkan “negara beragama”. Namun seringkali tingkahlaku warganya yang mengaku beragama justeru menyimpang dari dalil yang ada. Banyak sekali kasus perbuatan-perbuatan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) kini mengakar sebagai bagian dari persoalan bangsa ini. Bahkan kekerasan yang membawa dalil agama untuk “menghakimi” pihak lainnya mengemuka. Begitu pula agama, cenderung selalu “eksploitasi” menjadi untuk berbagai kepentingan duniawi sesaat. Agama pula seringkali menjadi menjadi korban komuditas politik pihak tertentu. Ketika muncul konflik, malah agama seringkali dipertanyakan kehadirannya dalam membawa rasa damai. Jadi, inikah jalan menuju damai?
Damai adalah sebuah mimpi yang senantiasa harus dilakukan dan diwujudnyatakan setiap saat. Damai adalah sebuah proses dimana ada kebersamaan dan saling menghargai dalam keberagaman. Damai adalah ketika kita mampu meredam amarah dan mampu melihat bahwa jalan kekerasan bukanlah solusi. Damai adalah ketika lingkungan mendapat tempat sepantasnya untuk diperlakukan. Damai adalah ketika setiap orang mau mendengarkan hati nuraninya. Damai adalah ketika kita mengakui dan mau menerima kehadiran Sang Pencipta dalam diri kita, karena Tuhan sendiri adalah sumber damai. Karenanya, mari serukan dan wujudnyatakan; damai hati, damai di bum, dan damai untuk kita semua!!!

*) Penulis, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.