Jumat, 05 Oktober 2007

Kawasan Sumber Air Empat Binua Terancam di Gusur

Warga Sadaniang Tolak Pertambangan
Adanya keinginan pihak investor untuk mengelola kekayaan dan potensi sumberdaya alam khususnya dalam bidang pertambangan dikawasan sumber air empat binua yang terletak di Dusun Untang, Desa Pentek, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Pontianak disambut baik oleh pemerintah daerah Kabupaten setempat. Buktinya Pemerintah daerah seperti dikatakan Paulus Lano, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kecamatan Sadaniang, telah mengeluarkan surat bernomor 458/12/2006 dalam rangka melakukan penyelidikan umum potensi pertambangan sebagai bagian proses awal upaya yang merngarah pada eksplorasi dan eksploitasi. Hal tersebut juga setidaknya dipertegas kembali oleh Bupati Pontianak Agus Salim dalam kunjungannya di Dusun Untang beberapa waktu lalu yang mengatakan sangat mendukung investor masuk didaerah tersebut dan meminta agar warga tidak menghambat kontraktor yang akan bekerja. Dimana menurut Agus Salim, kekayaan sektor pertambangan merupakan anugerah Tuhan kepada kita.

Keinginan tersebut pula dibenarkan oleh Kadis Pertambangan dan Sumberdaya Mineral Kabupaten Pontianak Marcel Marcellus. Dikatakan, bahwa saat ini masih dalam tahap pengkajian yang telah melakukan penyelidikan umum melalui dua perusahaan masing-maisng PT ANTAM untuk pertambangan Bauksit wilayah Toho, Anjungan dan Menjalin, dan PT Elga Astajaya di wilayah Kecamatan Sadaniang tepatnya di Dusun Untang yang dinilai masih dalam tahap sosialisasi. PT ANTAM seperti dikatakan masih baru. Menurut Marcel potensi pertambangan itu ada, tapi belum diketahui hasinya secara maksimal. Potensi tersebut khususnya di Kecamatan Sadaniang diantaranya tembaga, emas dan mineral lainnya. ”Ada satu hal yang menjadi persoalan disini karena ada hasil keputusan masyarakat adat untuk sementara mereka dikawasan Sadaninang belum menerima. Hasil keputusan Bahaupm Enek Forum Komunikasi Masyarakat Adat (FKMA) itu belum menerima tambang dan kebun (sawit). Namun kalau memang masyarakat dengan adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah ternyata bisa memahami bahwa potensi tambang ini diberi kesempatan untuk dilakukan kegiatannya, maka keputusan dari FKMA ini tentu harus di anulir dahulu/diulang kembali kesepakatannya,” jelas Marcel.

Menyikapi hal tersebut, Ketua DAD Kecamatan sadaniang, Paulus Lano mengaku berkomitmen untuk menolak rencana pertambangan tersebut. Ia juga membenarkan adanya keputusan FKMA yang menolak adanya upaya eksploitasi. Kebutuhan warga setempat sebenarnya menurut Lano menginginkan adanya pemekaran wilayah desa, sementara yang memutuskan untuk diterima atau tidak ditegaskan mesti berangkat dari warga setempat.

Hal sama ditegaskan Timotius Fachrudin, Timanggong Binua Ngabakng. Menurutnya sebagai pengurus adat jelas menolak adanya upaya eksplorasi maupun eksploitasi. ”Kami tidak setuju dengan alasan bahwa pertambangan ini dimana-mana merusak. Terutama 26 pintu air yang sangat kami jaga disini dalam empat binua (Binua Manur, Sangkikng, Ngabakng, Pa’ Nungkat) ini. Sumbernya disini semua. Makanya kalau khusus pertambangan dibukit ini kami jelas-jelas seluruh masyarakat itu menolak. Kepada seluruh masyarakat agar selalu satu suara atas apa yang tidak kita ingini seperti upaya eksploitasi,” jelasnya dengan nada tegas.

”Saya sangat tidak setuju dan tidak terima. Karena apa, saya sayang dengan keramat dan sayang dengan tempat lahir ku disini dan sayang dengan masyarakat yang banyak. Nanti kami disini entah gimana jadinya pada masa yang akan datang, karena tiap-tiap PT ini ada jat-jat kimia yang digunakan dan akhirnya bisa berdampak bagi masyarakat luas. Yang lebih baik mestinya saat mau buka perusahaan ini harus konsultasi dulu dengan masyarakat di kampung ini, jangan sembarangan keluar melakukan kegiatan. Ini tiba-tiba keluar, kami sebagai warga masyarakat dibelakangi. Mestinya suara masyarakat harus diidengar, ini, terus terang saya menolak, karena bagaimanapun saya tidak terima,” sambung Tarahan, Panyanakng Binua 7 (tetua warga setempat).

Ketua FKMA, Sucipto juga secara tegas menyampaikan kesepakatan hasil Sidang Bahaupm Enek yang dilaksanakan Maret 2007 yang menolak adanya upaya eksploitasi karena menurutnya akan merusak keseimabngan alam bagi masyarakat Sadaninag serta akan merusak bukit keramat yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi dan merupakan simbol harga diri mereka. ”Nah selain bukit yang ada ini adalah sumber air, lalu hutan lindung kami disini, ini juga tempat keramat. Sedapatmungkinlah daerah ini harus dihijaukan. Makanya dalam ketetapan yang lain kami silahkan investor yang masuk dibidang lain, misal seperti karet,” tegasnya.
”Kalau pembangunan secara umum tentu warga mendukung, tapi khusus tambang masih tanda tanya dimana sebenarnya warga belum merestui,” jelas M. Manaf.
HA

Politisasi SARA Jelang Pilkada

PONTIANAK – Persoalan SARA termasuk didalamnya soal etnisitas menjadi sangat sensitif sehingga dalam waktu tertentu seakan menjadi tabu untuk dibicarakan, hal ini tentu beralasan mengingat pengalaman trauma masa lalu tidak dapat hilang bergitu saja dalam ingatan warga dunia umumnya dan Kalbar khususnya atas beberapa peristiwa konflik yang selalu bermuara pada persoalan identitas. Menjelang suksesi kepemimpinan Kalimantan Barat November mendatang, fenomena dengan simbol identitas ”SARA” juga cenderung dimunculkan oleh para elit maupun setiap pasangan kandidat. Padahal semestinya dalam alam demokrasi yang telah maju, persoalan seputar ”SARA” tidak seharusnya dijadikan komoditas politik yang berlebihan. Pemimpin yang lebih baik dan punya komitmen mensejahterakan rakyatnya adalah persoalan yang semestinya dikritisi dan dijawab bersama.

”Dengan keberagaman etnis yang ada, hal tersebut menjadi sensitif untuk diperdebatkan terlebih dalam menyongsong pemilihan pemimpin Kalbar November mendatang. Karenanya perlu kesepemahaman bersama dan harus dibangun ditingkat masyarakat untuk mewujudkan pilkada damai.” Hal tersebut disampaikan Umar Faruq, ketua Panitia Seminar Politisasi Etnisitas Dalam Pilkada di Wisma Nusantara Rabu (22/8) lalu.

Pada acara seminar yang diselenggarakan Sentral Informasi Kajian dan Demokrasi (SIKAD) tersebut, menghadirkan empat narasumber masing-masing; Nazirin, SH (anggota KPU Kalbar), Ir. Ichwani AR (Anggota DPRD Kalbar), Furbertus Ipur DJ, SH (Direktur Elpagar/Aktivis LSM) dan Kamarusdiana, SH, MH (Akademisi/Dosen UIN Jakarta).

Dalam paparannya, Kamarusdiana, SH, MH mengurai bahwa politisasi SARA (etnis) telah menjadi isu yang hangat diusung para bakal calon kandidat. Namun demikian dia tidak menapik kalau kekeberagaman etnisitas, menurutnya dapat menjadi sinegri dalam membangun Kalbar yang lebih baik. Dia mengingatkan, kalau titik rawan yang mesti menjadi perhatian adalah saat proses pendaftaran di lembaga penyelenggara Pilkada. Kamarusdiana berharap, pilkada Kalbar dapat mengambil pelajaran baik dari proses pilkada Jakarta yang dapat berjalan damai dan menjadi tanggung jawab bersama. Ia juga menyarankan, agar ada pihak (KPU) berkenan mempelopori pembuatan album lagu-lagu dalam bentuk kaset yang bernuansa kampanye untuk pilkada damai.

Sementara Ichwani AR, mengurai politisasi etnis memiliki sisi positif yakni menjadi suatu hal yang mudah, murah dan efektif. Namun demikian dikatakan pula politisasi etnis sisi memiliki sisi negatif diantaranya; kurang mendidik, tidak rasionalitas, kurang bisa dipertanggungjawabkan, potensi memacu konflik serta hasil pemilihan yang kurang optimal.

Hal lain pula disampaikan Nazirin, SH. Anggota KPUD Kalbar ini mengingatkan kalau isu seputar persoalan politisasi etnis tidak akan laku bila persoalan-persoalan dasar warga seperti bidang pendidikan, kesehatan dan lainnya telah terpenuhi. Untuk itu dikatakan, kemampuan mendeteksi konflik sejak dini menjadi kewajiban bersama. Nazirin menawarkan untuk mewujudkan pilkada damai, maka solusi yang mungkin dilakukan adalah bagaimana menggandeng para tokoh untuk isu-isu pilkada damai dan bagaimana berbagai pihak mempelopori adanya komitmen bersama ditingkat para elit dan kandidat untuk siap menang-kalah. Sebagai pihak penyelenggara, Nazirin mengaku kalau pihaknya hasru sungguh-sungguh independen dengan menutup celah menghindari terjadinya money politic.

Sedangkan Furbertus Ipur, SH dalam paparannya mengatakan bahwa pada masyarakat Kalimantan Barat yang multikultur dikatakan memang dapat menjadi salah satu potensi terjadinya konflik. Namun demikian, keberagaman yang ada juga justeru dapat menjadi potensi dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian di Bumi Kalimantan Barat khususnya. Ipur mengingatkan bahwa dengan kondisi damai di Kalbar saat ini, bukan berarti tidak ada potensi konflik. ”Justeru saat ini modus operadi semakin di modernisasi” jelasnya.

Dikatakan, kondisi perpolitikan sekarang perlu dibangun dengan perpolitikan modern atas dasar rasionalitas dan bukan berdasarkan kesadaran mekanik terkait dengan kultural semata. Saat ini dikatakan dasar perpolitikan harus diubah bukan soal etnisitas yang sempit, karena yang ingin dicapai menurutnya adalah egalitarian politik. ”Kalau Kalbar mau maju, maka apa yang diusung dalam seminar ini mesti dijunjung tinggai,” pungkas Ipur.
HA