Kamis, 04 Oktober 2012

Ritual Adat Memasang Patok


Cara Menjaga Alam dan Wilayah Kelola ala Dayak Melahui

Ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh PT. Sumber Hasil Prima dan PT. Sinar Sawit Andalan di wilayah kecamatan Serawai di kabupaten Sintang khususnya di desa Gurung Sengiang melahirkan debat multi reaksi dan persoalan berkepanjangan khususnya bagi wraga yang menjadi korban. Sejumlah oknum warga yang semula memiliki sikap kuat menghendaki agar pihak perusahaan tidak melakukan konsesi di wilayah desa mereka, kini beberapa diantaranya mulai berhasil dirangkul. Sementara, sejumlah wilayah kelola warga beralih menjadi areal konsesi perkebunan perusahaan. Pun demikian, tidak semua berakhir baik. Beberapa lahan warga yang digarap paksa tanpa permisi masih menggantung tanpa penyelesaian. Di antara warga dusun sekitar Desa, kampung Sei Garuk adalah wilayah yang masih cenderung aman untuk saat ini. Menyadari ancaman perluasan konsesi perusahaan, warga kampung Sei Garuk wilayah dusun Gurung Permai di desa Gurung Sengiang berkomitmen untuk tidak tergiur dengan janji manis pemodal. Menjaga alam dan wilayah kelola melalui ritual menjadi pilihan yang baru saja dilakukan oleh komunitas Dayak Melahui.

Sekilas  Kampung Sei Garuk
Kampung Sei Garuk atau dikenal pula dengan dusun Gurung Permai merupakan satu dari empat dusun yang ada di Desa Gurung Sengiang, kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Batas wilayah kampung dengan tiga dusun lainnya yakni Nanga Mentibar sebelah Selatan, Melaku Kanan sebelah Barat dan Laman Gunung di sebelah Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Gobu, wilayah desa Tampang Benua. Laman Perentah adalah nama asal dari kampung ini semasa melawan penjajah saat itu. Dinamakan Laman Perentah sebagai istilah yang lahir karena orang yang pertama datang berdomisili dan mendirikan pondok saat itu secara otomatis menjadi kelapa kampung. Kerakas (pendiri rumah pertama), Nyambang, Randui dan Acong adalah sederet nama yang pernah menjadi kepala kampung di Sei Garuk pada masa itu. Sei Garuk, terletak di perhuluan Sungai Melawi dengan jarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan dari ibukota kecamatan. Sedangkan dari kota Pontianak diperlukan waktu sekitar 15 jam perjalanan untuk sampai di daerah ini. Penduduk asli kampung Sei Garuk adalah Dayak Melahui dengan jumlah penghuni sekitar 43 kepala keluarga (KK).

Sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air menjadi bagian yang tak terpisah dari hidup dan kehidupan warga Sei Garuk. Aktivitas keseharian; berladang, menoreh karet, berburu, mencari lauk di sungai maupun kegiatan meramu menjadi rutinitas dalam keseharian warga. Di kampung ini juga bisa ditemui sejumlah ritus maupun situs budaya dan potensi wisata serta sejumlah kawasan yang menarik. Disamping itu, warga sei Garuk juga memiliki sistem nilai dan adat istiadat untuk mengatur tata hubungan dengan sang pencipta, sesama dan alam ciptaan. Sungai Mentibar dengan puluhan anak sungainya mengalir di sekitar pemukiman.

Kekayaan sumber daya alam yang ada di sekitar wilayah kampung Sei Garuk menjadi sebuah kebanggaan warga sehingga pantas mendapat perhatian. Namun demikian, apa yang dimiliki tidak lantas membuat warga setempat tenang. Akhir-akhir ini, warga merasa resah seiring dengan hadirnya perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah Desa Gurung Sengiang yakni PT. Sumber Hasil Prima dan PT. Sinar Sawit Andalan. Sejumlah wilayah kelola adat dan kebun warga setempat digusur tanpa permisi oleh pihak perusahaan. Disamping itu ganti kerugian atas tindakan ini belum pernah dilakukan pihak perusahaan. Bahkan sejumlah sungai dan kawasan hutan sekitar warga rusak.

Dinamika Persoalan Warga
Disamping persoalan lingkungan, potensi dan konflik sosial antar warga menjadi fenomena yang perlu perhatian. Upaya penyelesain kasus penggusuran lahan warga Sei Garuk dan sekitarnya yang beralih menjadi perkebunan kelapa sawit hingga kini belum berujung sekalipun jalur formal telah ditempuh warga seperti; mengadu ke pemrintah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan bahkan ke tingkat pusat. Warga juga menyampaikan persoalan mereka ke Komnas HAM dan sejumlah lembaga sosial di Pontianak. Bahkan kedatangan warga beberapa bulan lalu untuk menuntut penyelesaian kasus di kantor perusahaan di Serawai, ditanggapi dingin dan tanpa dihadiri pimpinan perusahaan. Sejumlah oknum disinyalir sengaja dipersiapkan perusahaan saat itu untuk menghadang warga yang datang meminta pertanggungjawaban pihak perusahaan yang telah sukses menggusur lahan kebun produktif dan ruang kelola.

Persoalan warga di desa Gurung Sengiang umumnya hingga kini masih menggantung. Warga yang menjadi korban perampasan lahan menanti perhatian dan penyelesaian yang berkeadilan. Namun demikian, penantian warga atas penyelesaian kasus yang dihadapi belum terjawab sekalipun warga telah menyampaikan dan meminta penyelesaian persoalannya kepada berbagai pihak terkait [tampilkan data tuntutan dan kerugian warga Sei Garuk]

Warga kampung Sei Garuk khususnya adalah komunitas warga yang ingin tetap alam dan wilayah kelolanya terjaga dari eksploitasi perusahaan besar perkebunan. Warga sebelumnya juga telah mengeluarkan kesepakatan bersama menolak berbagai bentuk investasi yang dianggap akan mengancam sumber hidup dan kelangsungan kehidupan mereka. Sejumlah poin dalam kesepakatan yang ditetapkan tanggal 25 September 2011 ini juga mempertegas dan memperjelas sikap warga dusun Gurung Permai memiliki keinginan agar lingkungan alamnya tetap terjaga dan lestari.  Dengan sikap ini, harus dipahami bahwa bukan berarti warga Sei Garuk anti pembangunan, namun demikian namun mereka tidak menghendaki kebijakan pembangunan yang justeru tidak berpihak pada keberlanjutan kehidupan.


Ritual Menjaga Alam
Menyadari keterancaman wilayah adatnya dari eksploitasi kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit, warga Sei Garuk pada tanggal 25 Juli 2012 lalu menyelenggarakan Ritual Adat Memasang Patok. Pada kesempatan ini, warga melalui mantra yang disampaikan pemimpin ritual sekaligus menyampaikan sumpah dan komitmen untuk menjaga wilayah kampungnya dari kemungkinan terburuk yang tidak dikehendaki. Ritual Adat memasang Patok yang disertai penyampaian sumpah tersebut diselenggarakan untuk kali pertama oleh warga kampung Sei Garuk guna menjaga agar wilayah masyarakat tidak digusur oleh pihak dari luar maupun dari lingkungan kampung sendiri. Hal menarik dari ritual ini, segenap warga kampung turut ambil bagian.

Ritual Adat Memasang Patok terdiri dari empat bagian sub ritual diantaranya; nopas patok, nopas burung, ritual memasang patok dan ritual penutup.

Pada sub ritual nopas patok dua orang perempuan tua di halaman rumah melapalkan mantra mendoakan agar patok yang diukir menyerupai patung manusia memiliki kekuatan magis yang mampu menjaga wilayah kampung. Setiap patung yang akan dipasang diolesi darah babi bercamur darah ayam. Sesekali dua perempuan menaburkan beras kuning dan memerciki patung dengan air sirih dari mulutnya.

Setelah pemberkatan patung usai, ritual nopas burung selanjutnya dilakukan di dalam rumah. Sejumlah warga berkumpul mengikuti prosesi yang dipimpin sang kase (dukun) terdiri dari Meni, Randa dan seorang perempuan tua lainnya. Di tengah bilik rumah terkumpul sejumlah kelengkapan ritual seperti; beras sabul, pelita, peta wilayah kampung, beras tabor (beras kuning), telur ayam kampung yang maish utuh, juga ada telur ayam kampung yang dilubangi didalamnya dimasukkan beras kuning yang melambangkan upah bagi roh yang akan menyelamatkan. Selanjutnya juga terdapat darah ayam bercampur darah babi, serat akar tongan, beras samungat, parang, peralatan nyirih, tuak. Selain itu, juga terdapat daun mentawa, daun murau, daun kelango dan daun keluso’ sebagai peraga ritual yang dikibaskan bersamaan dengan seekor ayam. Menurut keyakinan warga, hal ini dilakukan untuk membuang segala penyakit, menolak bala dan memberi perlindungan kepada warga yang akan memasang patok melindungi wilayahnya agar diberi keselamatan. Ritual ini juga ditandai dengan menandai pipi warga yang hadir dengan darah dan memasang serat akar tongan di pergelangan tangan. Seusai ritual nopas burung, barulah kemudian warga turun ke lapangan membawa sejumlah patok pada beberapa titik batas wilayah kampung.

Pada ritual pasang patok, sejumlah warga dibagi menjadi empat bagian sesuai dengan jumlah patok yang akan di pasang. Sejumlah kelengkapan ritual seperti darah binatang kurban, ayam, patok, kelengkang (anyaman menyerupai bakul terbuat dari bambu) dengan sejumlah bahan makanan di dalamnya, serta seorang dukun yang ditugasi melapalkan mantra. Ritual ini dilakukan untuk menandai batas wilayah kampung agar terjaga dan selamat dari gangguan manusia. Warga percaya bagi pihak yang melanggar pasti akan termakan sumpah, bahkan bisa mati seketika bila ada oknum dan atau pihak yang mengganggunya.

”Siapa yang melanggar sumpah, itu yang menjadi tumbal. Siapa yang berkhianat akan menanggungnya termasuk warga yang di dalam kampung apa lagi yang dari luar. Ini lah ritual adat kami ini,” jelas Ujang Nali, pemuda kampung Sei Garuk.

Acong (77), sesepuh warga yang turut menjadi pemimpin ritual mengatakan bahwa ritual yang dilakukan sebagai cara warganya mempertahankan tanah adat, tanah keramat, hutan adat kebudayaan masyarakat. ”Itulah maka kami membuat benteng pemasangan patok” jelasnya..

Aku menyumpah orang lain yang akan merusak tanah leluhur kami nanti akan mati. Kami tidak ingin tanah leluhur kami diganggu oleh pihak perusahaan kelapa sawit,” jelas Randa (80), seorang nenek yang turut menjadi pemimpin ritual. ”Kami mempertahankan tempat kami beruma. Kami bersumpah siapapun yang menganggu akan dimakan sumpah. Mulai di masa saya hingga anak cucu, kami berharap tidak ada orang yang menggarap tanah leluhur kami,” pinta seorang ibu pemimpin ritual lainnya, Meni (50).

Seusai pemasangan patok batas, warga kemudian kembali ke rumah untuk santap siang bersama. Setelah makan siang bersama, satu tahapan ritual yakni ritual penutup memanggil roh leluhur. Ritual bagian akhir ini dimaksudkan agar roh leluhur memimpin, melindungi dan memelihara warga beserta lingkungan alamnya berupa hutan, tanah dan air (sungai) dari berbagai bentuk gangguan dari luar. Kegiatan ini dilakukan melalui pemasangan Ranca’, berupa panggung kecil yang didalamnya dimasukkan nasi, sayur dan makanan lainnya serta dilengkapi miniatur tangga dari batang kayu berdiameter kecil yang disandarkan. Juga terdapat beras kuning, abu, cabe dan garam. Setiap kelengkapan ini memiliki makna tersendiri sebagai bagian dari rangkaian prosesi ritual.

Pada ritual ini, tiga orang kase (dukun) terdiri dari seorang pria dan dua orang perempuan tua menjadi pemimpin dalam ritual ini sambil melapalkan sejumlah mantra. Di bagian pondasi ranca’, tanah dilobangi kemudian dimasukkan sejumlah makanan dan daging untuk memberi makan roh leluhur penguasa tanah yang diyakini akan memberikan perlindungan kepada warga kampung Sei Garuk.

Ritual mamasang patok wilayah adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat di kampung Sei Garuk dalam menjaga alam dan wilayah kelolanya. Cara dan upaya yang dilakukan warga menjelaskan bahwa kepedulian pada alam maupun masa depan lingkungan, adat maupun budaya serta keberlangsungan kehidupan masih sangat lekat dalam diri manusia Dayak Melahui di kampung Sei Garuk. Inilah cara lain warga di perhuluan Seungai Melawi ini dalam menjaga lingkungannya, menjaga keberlanjutan kehidupan masa kini dan esok. Warga Sei Garuk telah membuktikan komitmennya dalam membantu mewujudkan cita-cita negara untuk melindungi seluruh rakyat dan tumpah darah Indonesia dengan menjaga agar alam negeri ini untuk tidak dirusak semaunya melalui kebijakan pembangunan.

”Ritual yang dilakukan untuk memperkuat wilayah adat yang disertai dengan sumpah. Kami tidak mau kehilangan hutan, karena inilah sumber hidup kami. Hutan, tanah dan air kami harus utuh dan selamat. Kesepakatan warga di sini juga bulat sesuai komitmen awal. Kami mengangkat sumpah menancap patok disejumlah titik yang berbatasan dengan kampung lain seperti; Laman Gunung, Nanga Mentibar dan Melaku Kanan. Daerah ini kami rawan bersengketa, agar jangan diganggu oleh pihak perusahaan. Tanah warga yang digusur paksa dulu belum ada penyelesaian hak masyarakat” jelas L. Edar (48), pemuka warga Sei Garuk.

Merencanakan Golput
Pelaksanaan pesta demokrasi secara langsung yang akan dihelat untuk ke dua kalinya pasca era reformasi di Kalbar 20 September menjadi momentum baik bagi warga untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kalimantan Barat mendatang. Namun tidak demikian bagi warga kampung Sei Garuk.

Di tengah hingar bingar gaung persiapan perhelatan Pilkada, warga Sei Garuk justeru tidak begitu tertarik membincangkan soal pilkada. Sebaliknya, mereka berencana tidak akan menggunakan hak pilihnya (Golput) atau memilih untuk tidak memilih. Kalaupun memilih, maka semua kandidat dipastikan bakal dicoblos. Memilih dan atau tidak memilih, bagi warga Sei Garuk sama saja.

Sikap apatis ini bukan tidak beralasan. Program pembangunan dari pemerintah selama ini tidak pernah dirasakan, selain hanya jembatan kayu yang dibangun sekitar tahun 2004. Disamping itu, perjuangan warga untuk memperoleh keadilan dan perhatian kemanusiaan atas kerugian sebagai dampak dari penggusuran paksa areal kebun dan tanah warga oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sumber Hasil Prima (SHP) tak kunjung ada penyelesaian. Pemerintah dirasakan warga terkesan diam. Warga khawatir kehadiran perusahaan justeru terus merusak sumber hidup dan tatanan kehidupan warga. Karenanya, pilihan sikap memilih diharapkan menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini sembari menanti kepastian keadilan dan keberpihakan pihak terkait atas perjuangan warga menjaga alam dan ruang kelolanya.

”Kami tidak dihiraukan oleh pemeirntah. Maka kami di Sei Garung akan memilih kepala kampung sendiri. Bila kami dipaksa memilih, maka kami akan memilih semuanya. Karena kalau dipilihpun kami tetap seperti ini dan tidak akan dihiraukan pemerintah,” ujar Darius Untung (70).

Damianus Tuber (47) menyampaikan hal sama. Menurutnya karena tidak diakui pemerintah, ia bersama warga lainnya tidak akan memilih. Bila akhirnya harus memilih, semua pasang kandidat akan dipilih. Pemerintah selama ini dinilai tidak memihak kepada warga, ia mencontohkan sejumlah program seperti distribusi raskin, pembangunan sarana dan pra sarana yang tidak sampai pada warga di Sei Garuk.

”Selama ini pemerintah tidak menghiraukan persoalan yang ada di Sei Garuk ini. Program pemerintah pun kami rasakan tidak ada. Penyelesaian kasus yang terjadi di daerah kamipun belum ada penyelesaian baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi. Maka kami merasa tertindas, tidak ada perhatian pemerintah. Kami merasa dijajah, karenanya kami tidak akan memilih (gloput), seandainya memilih kami akan coblos semua,” jelas L. Edar, pemuka warga.


No
Nama Korban
(Warga asal Sei Garuk)
Kasus/Kerugian
Waktu Kejadian dan Lokasi (Dusun)
01
Bapak Tato
-          Penggusuran lahan 1 lembar ladang yang sudah ditanam 800 batang karet
-          Penggusuran bawas kurang lebih 1 hektar 30 April 2012
30 April 2012
(Sei Garung)

02
Bapak Semadi
-          Penggusuran kabun karet seluas 2 lembar ladang yang sudah ditanam 3.500 batang karet usia 6-7 tahun.
April 2012
(Laman Gunung)
03
Bapak Semiun
-          Penggusuran lahan seluas 5 lembar ladang yang sudah ditanam karet 15.000 batang, Tengkawang 150 batang dengan diameter 20-30 cm. Dan sisanya tanaman durian dan rambutan.
17 Mei 2012
(Laman Gunung)
04
Bapak Ijai
-          Penggusuran Tanah Mali (Tanah Adat) yang sudah ditanam karet 1.000 batang, Tengkawang 200 batang.
15 Mei 2012
Digusur tengah Malam. Lokasi; Sei Garung).
05
Bapak Rabai
-          Penggusuran wilayah tembawang
-          Penebangan 1 batang Tengkawang dengan diameter 60 cm
(Laman Gunung)

Catatan; Naskah ini pernah terbit di Majalah Kalimantan Review Edisi September 2012.