Senin, 31 Desember 2007

gagasan

Menarik apa yang diungkapkan oleh R.H. Siregar, SH pada harian Bandung Raya edisi no. 11 yang bertajuk Dualisme Pertanggungjawaban Pers. Beliau menyoroti sikap masyarakat terhadap pers yaitu munculnya dua paradigma baru. Paradigma pertama masyarakat tidak takut lagi untuk menuntut pers bila merugikan nama baik seseorang. Masyarakat telah berani mengajukan tuntutan pidana dan gugatan perdata. Paradigma kedua adalah bahwa masyarakat diberikan kesempatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan dijamin memperoleh hak memperoleh informasi. Paradigma pertama mungkin telah terbentuk dalam masyarakat yang telah tidak buta hukum. Masyarakat tertentu yang mempunyai latar belakang atau minimal telah mempunyai suatu sistem yang mendukungnya untuk melakukan tuntutan pidana dan gugatan perdata terhadap pers. Masyarakat seperti ini biasanya ditandai dengan latar belakang pendidikan yang memadai dan mampu dari segi ekonomi serta mempunyai daya pendukung yang kuat. Tetapi untuk sebagian besar masyarakat lainnya, yaitu masyarakat yang berpendidikan rendah, ekonomi lemah dan tidak mempunyai pendukung yang kuat. Atau bahkan pada masyarakat yang tergolong mampu secarara ekonomis, berpendidikan tinggi, dan mempunyai jabatan tertentu paradigma pertama di atas belum terbentuk.

Kita ketahui di dalam perikehidupan kita ada komunitas masyarakat berpendidikan tinggi dan mempunyai jabatan tertentu atau dengan kata lain mempunyai pendukung kuat dibelakangnya, tidak mampu untuk melakukan tuntutan dan gugatan terhadap pers. Padahal dari segi materi dan kedudukan jelas mereka mampu. Mereka adalah para pejabat yang memegang jabatan dalam pemerintahan. Mereka para pejabat struktural yang menjadi kepala sekolah, kepala dinas atau kepala di suatu instansi tertentu. Alasan yang mengakibatkan mereka tidak mampu berbuat banyak terhadapa pers, adalah belum terbukanya wawasan mereka tentang kemerdekaan untuk bersuara dan mengeluarkan pendapat. Mereka menganggap bila nama atau wajahnya muncul di halaman surat kabar adalah aib. Sehingga dengan cara apa pun mereka tidak ingin nama atau wajahnya muncul di halaman koran. Mereka berpendapat daripada jabatan dan karirnya terancam lebih baik memberikan uang dengar kepada para wartawan (dalam tanda kutip) tersebut. Mereka yang berbuat seperti itu pada umumnya adalah para pejabat yang berbuat tidak jujur atau berbuat kesalahan yang tidak ingin ketidakjujurannya terbongkar di masyarakat.

Pada suatu hari seorang (yang mengaku)wartawan dengan bangga bercerita kepada orang tua saya yang kebetulan anggota Dewan Sekolah di SMUN C, bagaimana dia berhasil "ngapusi" seorang Kepala di SMUN C di Kabupaten Garut yang harus merelakan printer inventaris SMUN tersebut kepadanya. Hanya karena si wartawan tersebut mengetahui salah satu kebobrokan yang diperbuat oleh Kepala Sekolah tersebut. Sebagai imbal jasa atas "kebaikan" si wartawan untuk tidak mengekpose kebobrokannya tersebut. Saya sejenak terlena dan menarik nafas. Dimanakah hati nurani sang Kepala Sekolah? Dimanakah hati nurani "wartawan" ini? Tidakkah berarti hal tersebut telah mengkhianati kode etik pers. Semestinya dia tahu tidak satupun organisasi pers yang membenarkan perbuatannya. Dewan Pers, Aliasi Jurnalistik Indonesia (AJI), PWI, Sekretarian Wartawan Independen Indonesia (SWII), Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI) dan organsisai kewartawanan lainnya yang mentolerir budaya amplop.

Kejadian lainnya yang membuktikan betapa lemahnya sumber daya manusia orang-orang yang mempunyai jabatan tersebut. Seorang Kepala Sekolah (lagi-lagi) SLTPN di kecamatan yang sama, dibuat tidak berdaya. Ketika dia didatangi sejumlah wartawan pada saat sekolahnya bermasalah dengan narkoba. Pada awalnya siswa yang berjumlah 6 orang yang terlibat narkoba dengan tegas dikeluarkan, mengingat bahaya yang akan ditimbulkan untuk anak didik lainnya bila mereka dibiarkan terus bersekolah. Namun dengan cerdik orang tua anak tersebut yang didukung oleh sebuah LSM mendatangi Kepala Sekolah tersebut dan membawa rombongan para kuli tinta, entah wartawan dari organisasi yang mana. Kepala Sekolah diminta untuk mencabut keputusannya dan mengembalikan si anak bermasalah tersebut ke sekolah. Kepala Sekolah dihadapkan pada buah si malakama. Bila keputusannya dicabut maka seluruh sekolah akan terancam oleh penyebaran narkoba, selain itu tentunya hal itu akan ditolak oleh seluruh guru yang bulat-bulat menyatakan setuju atas dikeluarkannya anak tersebut. Bila keputusannya tidak dicabut maka, namanya terancam tercemar dengan munculnya ancaman dari LSM dan para wartawan tersebut yang akan mengekpose permasalahan tersebut di korannya (entah koran yang mana). Akhirnya, dengan berat hati dia memilih pilihan kedua dengan resiko seluruh konditenya hancur di depan anak didik dan anak buahnya.

Perbuatan yang dilakukan oleh para wartawan di atas, jelas tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Kalau memang masalah tersebut layak untuk dimuat dan mempunyai nilai berita, seharusnya tetap dimuat dengan melihat dari dua sisi. Dengan catatan wartawan tersebut harus meminta konfirmasi dari dua pihak, dari pihak sekolah yaitu guru, siswa dan Kepala Sekolah serta di sisi lain dari orang tua si anak yang bermasalah tersebut. Istilahnya: Look behind the coin. Melihat permasalah selalu harus dari dua sisi, bukannya memihak dan menekan pihak yang bermasalah karena mengharapkan imbalan tertentu.

Pada pasal ketiga Dewan Pers Indonesia dinyatakan, "Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencari fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat". Apakah para insan pers yang mengaku wartawan tersebut mengetahui kode etik itu? Selanjutnya kita lihat pasal kelima kode etik dari Dewan Pers Indonesia, "Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi." Terlepas dari latar belakang mereka yang mayoritas tidak mempunyai latar belakang pendidikan jurnalistik. Seharusnya media yang mengangkat mereka menjadi wartawan melihat dan menilai dengan profesional kelayakan pribadi mereka sebelum diberikan hak sebagai wartawan. Entah pertimbangan apa yang dijadikan acuan oleh media yang mengangkatnya sehingga mereka dijadikan karyawannya.

Akhirnya dengan bermodalkan selembar kartu identitas atau surat tugas, tanpa mempunyai kemampuan jurnalistik sedikitpun para "insan pers" itu menjelajah dari satu instansi ke instansi lain dengan gagah perkasa. Bahkan dengan bebas dan arogan mereka hilir mudik di sebuah SLTPN untuk mempergunakan fasilitas komputer. Insan pers, yang seharusnya mempunyai visi dan misi untuk menjadi sarana terpenuhinya hak asasi manusia untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah diperkosa dengan kepentingan pribadi dan sesuap nasi. Insan pers yang seharusnya menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak masyarakat dalam menegakkan integritas kemanusiaannya telah diperkosa oleh kepentingan sesaat mereka. Semestinya mereka tahu bahwa syarat untuk menjadi wartawan adalah berani lapar membela yang benar!

Padahal bila mereka benar-benar profesional kemungkinan untuk memperbaiki kondisi yang kurang sehat tersebut sangat besar. Karena dengan demikian mereka telah melakukan fungsi jurnalistik yang sebenarnya yaitu sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah atau pejabat yang melakukan kecurangan dalam jabatannya sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pasal 3 dikatakan; " Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial". Munculnya para wartawan bodrex (meminjam istilah Dewan Pers) yang bermoral rendah dan tidak mempunyai kehormatan sebagai insan pers yang sebenarnya perlu dilakukan langkah-langkah tepat. Sebab tidak akan ada asap tanpa api. Mereka berbuat demikian mungkin karena lapar. Hungry man is the angryman, orang lapar adalah orang yang marah, yang dapat melakukan apa saja untuk memenuhi perutnya. Hal itu tidak perlu terjadi bila si wartawan mempunyai kehormatan dan moral sebagai wartawan. Jika ragu-ragu sebaiknya tidak menjadi wartawan, ketimbang mencari pembenaran atas nama kemelaratan. Banyak pekerjaan yang lebih halal dan terhormat serta tidak memerlukan kode etik yang ketat dapat dilakukan. Karena profesi wartawan berkaitan erat dengan pandangan dan kepercayaan masyarakat luas. Kepatuhan pada etika adalah prinsip yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Salah satu sisi yang dapat menciptakan para wartawan yang profesional adalah dari perusahaan pers itu sendiri. Perusahaan harus mampu memberikan gaji yang cukup dan layak. Perusahaan yang bertanggung jawab adalah perusahaan memberikan kelayakan dan kesejahteraan pada para karyawannya. Bagaimana si wartawan akan bekerja dengan profesional ketika dihadapkan ke sebuah amplop yang berisi (untuk tingkat kecamatan) paling banter seratus ribu perak padahal dompetnya kosong, plong. Akhirnya mereka mungkin terpaksa melakukannya, bila tidak maka anak isterinya akan kelaparan. Namun setinggi apa pun gaji yang diberikan perusahaan kepada si wartawan tergantung kepada moral dan hati nurani si wartawan itu sendiri. Mungkin bagi wartawan yang masih bermoral dan berhati nurani, ketika dia tahu bahwa menjadi wartawan itu gajinya tidak cukup memenuhi hidup. Lebih baik dia berhenti daripada mengorbankan moral, kehormatan dan harga dirinya sebagai wartawan. Bila para wartawan mampu melakukan hal ini bukan hal yang mustahil akan tercipta insan pers yang sesungguhnya yang didambakan dan dipercaya serta dicintai masyarakat. Sebaliknya, bila yang muncul adalah para wartawan bodrex, yang mengorbankan kode etik, tida bermoral serta tidak mempunyai kehormatan yang akan muncul adalah insane press!