Rabu, 21 Juli 2010

Catatan untuk Pedi Natasuwarna dan RTRW Kalbar 2011-2030


By. Hendrikus Adam*

NASKAH ini hanya sebuah uraian sederhana dan sebagai respon atas pendapat multi pihak, khususnya mengenai ide brilian Bapak Pedi Natasuwarna yang tersurat dalam artikel dengan tajuk "Rencana Tata Ruang Kalbar 2011-2030" di kolom Opini koran di daerah ini(Pontianak Post, 20/07/2010). Dalam beberapa waktu lalu sebagaimana diketahui, beliau yang juga mantan ketua Bappeda Kalbar dalam artikelnya menyebutkan bahwa RTRWP Kalbar di tetapkan berdasarkan Perda Nomor 1 tahun 1995, dan karenanya dengan demikian RTRWP Kalbar yang pertama pun berakhir ditahun 2010. Hal ini didasarkan pada masa pelaksanaan RTRWP yang ditentukan selama 15 tahun. Dikatakanpula bahwa selama periode 1995-2010, tidak ada revisi terhadap RTRWP Kalbar, karena tidak ada kebijakan yang berubah.


Hanya sedikit ingin meluruskan agar tidak terjadi penyimpangan informasi (bila keliru silahkan luruskan) dan barangkali beliau lupa, bahwa Perda dimaksud telah dinyatakan tidak berlaku sejak di undangkannya Perda nomor 5 tahun 2004 tentang RTRWP Kalbar tertanggal 1 Juli 2004. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam pasal 66 yang menyatakan; ”Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 1995 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dinyatakan tidak berlaku”. Selanjutnya dalam pasal 68 Perda nomor 5 tahun 2004 ini juga ditegaskan bahwa jangka waktu RTRWP adalah 15 (lima belas) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Dalam limit waktu periode 1995-2010, jelaslah bahwa adanya perubahan kebijakan khususnya dengan terbitnya Perda Nomor 5 tahun 2004 sebagai produk hukum mengenai Penataan Ruang di propinsi ini.

Dalam hal sebagaimana pasal 66 Perda nomor 5 tahun 2004, maka jelaslah bahwa Perda Nomor 1 tahun 1995 yang dimaksud mantan ketua Bappeda Kalbar tersebut sudah usang karena dianggap tidak berlaku lagi. Selanjutnya bila melihat pasal 68 Perda Nomor 5 tahun 2004 yang menjelaskan soal masa berlakunya RTRWP (Kalbar), maka tulisan Pedi Natasuwarna yang menyatakan ”Oleh karena Perda tersebut berlaku selama 15 tahun, maka sudah berakhir pula berlakunya RTRWP Kalbar yang pertama” tentu saja masih perlu dikritisi sekalipun faktanya saat ini pihak eksekutif dan legislatif sedang mengagendakan pembahasan mengenai RTRWP Kalbar.

Pernyataan soal limit waktu sebagaimana yang ditegaskan itu tentu saja masih merujuk pada Perda Nomor 1 tahun 1995 yang usang itu. Namun bila mengkaji dari Perda Nomor 5 tahun 2004 pasal 68, jangka waktu RTRWP (Kalbar) harusnya dihitung sejak diundangkannya per 1 Juli 2004. Dalam keterangan lebih lanjut soal pasal ini tidak ada penjelasan rinci yang dapat menganulir (membantah) kalau pasal dimaksud tidak jelas.

Pertanyaannya kemudian adalah, bila penghitungan waktu 15 tahun sebagaimana dimaksudkan merujuk Perda Nomor 5 Tahun 2004 (artinya baru akan berakhir 2019), apakah upaya pembahasaan RTRWP oleh para legislatif dan eksekutif Kalbar hari ini relevan dan memenuhi amanat ketentuan yang berlaku? Bila tidak sejalan dengan amanat Perda Nomor 5 Tahun 2004, apakah kemudian inisiatif perumusan RTRWP Kalbar yang baru sungguh-sungguh berangkat dari sebuah kebutuhan prinsif yang sungguh untuk kepentingan bersama? Haruskan mengabaikan rambu-rambu? Saya rasa, catatan ini kiranya penting, sebelum melangkah lebih jauh bicara soal RTRW Provinsi Kalimantan Barat.

Hakikat Penataan Ruang
Merujuk UU Nomor 26 Tahun 207 tentang Penataan Ruang, dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Selanjutnya dalam ayat 2 (dua) pasal yang sama disebutkan pengertian Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan (pasal 6 ayat 4). Sedangkan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 6 ayat 5).

Besarnya lingkup luas suatu kawasan memang perlu dilakukan desain sedemikian rupa dalam bentuk penataan secara terencana dan terarah dengan tetap mengacu pada prinsif, asas dan tujuan yang mendasarinya. Adapun asas-asas dimaksud dalam konteks penataan ruang sebagaimana digariskan pasal 2 dalam UU Nomor 26 tahun 2007 mengenai Penataan Ruang didasarkan pada; keterpaduan, keserasian-keselarasan-keseimbangan, keberlanjutan, keberdayagunaan atau keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan-kemitraan, pelindungan kepentingan umum, kepastian hukum-keadilan, dan akuntabilitas. Sedangkan penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional (pasal 3).

Beberapa sasaran yang diharapkan dari tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud diarahkan untuk; terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Berkaca dari asas dan tujuan dari prinsip dimaksud, maka pengelolaan penataan ruang yang telah dilakukan oleh pemerintah di daerah ini perlu dikaji secara bersama. Sudahkan memenuhi harapan sebagaimana diamanatkan untuk kemakmuran rakyat? Dalam hal ini, pemerintah dan pemerintah daerah yang mendapat kewenangan penyelenggaraan penataan ruang dari negara perlu mengkaji kembali dan memaparkan kepada publik atas capaian hasil dari penataan ruang yang telah dilakukan selama ini.

Penyelenggaraan penataan ruang yang semestinya diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat menegaskan bahwasanya keberpihakan kebijakan tersebut (RTRWP) dalam tataran konsep maupun implementasinya diabdikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Ini berarti bahwa wewenang pengaturan, pembinaan, dan pengawasan oleh pemerintah dalam penataan ruang harus disertai dengan komitmen yang sungguh-sungguh melalui pelaksanaannya.

Demikian halnya soal komitmen pelaksanaan penataan ruang wilayah yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Meskipun pelaksanaan penataan ruang (penataan, pemanfaatan dan pengendalian) menjadi wewenang pemerintah daerah provinsi, namun kajian atas sejumlah persoalan dan dinamika sosial sebagai dampak dari kebijakan penataan ruang yang tidak taat asas perlu menjadi bahasan serius agar produk kebijakan untuk kemakmuran tersebut sungguh-sungguh memenuhi rasa keadilan dan pro rakyat.

Mitos Kemakmuran dan Orientasi Ekonomi
Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang memberikan gambaran jelas soal keberpihakan dari upaya penataan ruang oleh Pemerintah dan Pemerintah daerah. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Prinsip pelaksanaan penataan ruang dengan mengacu pada asas dan tujuannya adalah rambu-rambu yang juga menjadi ”angin segar” karena detidaknya menyiratkan nilai-nilai; keberlanjutan, akuntabilitas dan keterbukaan. Sedangkan tujuan dari penataan ruang diarahkan untuk mencapai suatu kondisi yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Singkat kata, asas dan tujuan yang digariskan sebenarnya diamanahkan untuk menjamin diperolehnya kemakmuran atas penataan ruang oleh negara melalui pemerintah dan pemerintah daerah. Namun demikian, tentunya masih terlalu dini untuk menyatakan pelaksanaan penataan ruang selama ini berhasil. Karena faktanya wilayah daerah Kalimantan Barat dalam aspek pengelolaan sumber daya alam kian memprihatinkan seiring dengan kebijakan pembangunan yang diprogramkan. Degradasi dan deforestasi di sektor kehutanan kian menjadi akhir-akhir ini, yang pada akhirnya membatasi ruang kelola bagi rakyat untuk pertanian. Sebagaimana digariskan dalam UU Penataan Ruang, aspek lingkungan yang berkelanjutan hendaknya menjadi perhatian yang tidak bisa diabaikan.

Pelaksanaan program pembangunan di Kalimantan Barat khususnya, kebijakan lain sejalan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2004 Pemerintah Daerah setidaknya juga dengan hadirnya Perda Nomor 8 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kalbar 2008-2013 yang merupakan bagian dari penjabaran visi, misi dan program Gubernur. RPJMD ini dimaksud merupakan pedoman bagi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dalam menyusun Renstra – SKPD, sebagai pedoman bagi pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun RPJMD Kabupaten/Kota, dan pedoman bagi pemerintah provinsi dalam menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Dengan demikian, evaluasi atas pelaksanaan kebijakan Penataan Ruang selama beberapa tahun berjalan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pelaksanaan RPJMD yang ada hingga pada tingkatan SKPD di Pemerintah Kabupaten/Kota di Propinsi ini. Disamping itu, hasil kajian dimaksud juga dapat menjadi refleksi atas RTRWP Kalbar yang sedang menggelinding di meja Para Legislatif dan Eksekutif Kalbar saat ini.

Terjadinya penyimpangan sebagaimana di jelaskan Pedi Natasuwarna terkait dengan pembalakan liar dikawasan konservasi, penebangan hutan bakau pada wilayah pesisir, maraknya PETI disepanjang daerah aliran sungai, maupun pemberian izin investasi perkebunan dalam skala besar jelaslah memberi konsekuensi destruktif atas kondisi lingkungan yang merupakan. Pemberian izin investasi perkebunan monokultur skala besar yang tanpa menyisakan sebatang pohonpun misalnya, sama artinya dengan menghilangkan fungsi hutan. Sedangkan bagi masyarakat lokal Kalbar umumnya, hutan menjadi ”apotik” dan ”supermarket” yang sangat menentukan dalam roda perekonomian yang masih mengandalkan aset SDA sebagai penyambung kelangsungan hidup. Kian terbukanya ruang pembabatan atas suatu kawasan khususnya gambut begitu kentara dengan hadirnya kebijakan yang membolehkan hutan gambut untuk dikonversi menjadi lokasi perkebunan kelapa sawit (Permentan Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit).

Kebijakan pembangunan yang berorientasi kepentingan ekonomi semata sebagai prioritas, dalam realitasnya cenderung mengabaikan hak kelola dan kontrol warga atas lingkungannya. Sementara aspek sosial, adat dan budaya masyarakat serta kualitas ekologi seringkali diabaikan khususnya melalui kegiatan korporasi yang memang berorientasi mencapai keuntungan sebesarnya itu. Sementara pertanggungjawaban sosial korporasi (CSR) selama ini hanyalah ”angin surga” yang selalu dihembuskan guna meluluhkan hati masyarakat, namun hasilnya cenderung asal-asalan dan tidak maksimal. Tidak sedikit warga tempat dibangunnya koorporasi justeru merasa hak-hak mereka tidak pernah diakomodir. Bahkan CSR dilakukan ketika telah di desak oleh warga dengan caranya. Dalam beberapa kasus, program CSR yang dilakukan seringkali diklaim sebagai ”kebaikan murni” perusahaan semata yang seakan meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir dengan keberadaannya mengeksploitasi sumber daya alam yang dimiliki. Padahal CSR dimaksud merupakan kewajiban yang memang harus dilakukan oleh korporasi bila melakukan kegiatan dimanapun. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, tentu saja mendesak untuk dilakukan pemerintah di daerah ini.

Terkait dengan program resettlement (pemukiman kembali) yang merupakan salah program pembangunan yang dilaksanakan oleh Depsos (Departemen Sosial) memang memiliki sejumlah sisi baik. Tujuan resettlement melakukan pembinaan bagi masyarakat yang dinilai oleh pemerintah masih tertinggal karena budaya yang dimiliki serta letak geografis yang terpencil menyebabkan mereka nyaris tidak memiliki akses dengan modernisasi di dunia luar (Depsos, 1996). Namun demikian, dampak negatif atas eksistensi budaya dan sistem nilai-nilai luruh yang dimiliki juga pada akhirnya terancam dan bahkan hilang. Dampak sosial lainnya adalah terbentuknya tembok bagi warga dalam mengakses sumber daya hutan. Di Kalbar program ini pernah di galakkan, khususnya di Kapuas Hulu namun hasilnya juga tidak maksimal. Cerita lain dari ekses program resettlement terekam dalam sebuah hasil riset (Elfitra Baikoeni, 2008) pada komunitas masyarakat Mentawai, yang memberikan gambaran bahwa memang disatu sisi (dengan adanya resettlement) masyarakat (Mentawai) menggali kemajuan terutama kalau dilihat dari kebersihan lingkungan, pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan. Akan tetapi adat dan budaya mereka juga mengalami kegoncangan (anomalie), padahal budaya merupakan modal bagi mereka untuk mengadaptasikan diri terhadap lingkungan untuk bisa survive.

Bagi komunitas masyarakat di Kalimantan Barat khususnya di daerah kawasan sekitar hutan (pedalaman), kebiasaan hidup dengan mengandalkan sumber daya hutan untuk kelangsungan hidup memang tidak dapat dibantah. Masyarakat di pedalaman seringkali memanfaatkan aset sumber daya alam dengan keanekaragaman hayatinya secara terkendali. Di Daerah pedalaman umumnya dihuni oleh masyarakat Dayak yang juga memiliki cara tersendiri menjaga dan melestarikan hutan. Di Kalimantan (Barat) warga masyarakat Dayak memiliki keyakinan bahwa: “Tanah adalah Hidup dan Nafas Kami” (Dr. Karel Phil Erari, 1999).

Mereka yang lebih banyak mengandalkan hidup dari sumber daya hutan merupakan komunitas masyarakat yang memiliki sistem dan nilai-nilai adat serta memiliki tujuh prinsip pengelolaan SDA yang meliputi; 1) berkesinambungan, 2) keragaman, 3) subsistem (untuk kebutuhan sendiri), 4) kebersamaan, 5) tunduk pada hukum adat, 6) tidak mengenal zat kimia, dan 7) selalu ditandai ritual (Majalah KR, hal 27 edisi 53/Januari 2000). Namun demikian, pernyataan Pedi Natasuwarna yang menyatakan berladang berpindah menjadi tradisi masyarakat pedalaman sebagai cara bercocok tanam yang PRIMITIF agaknya terlalu pesimis. Pandangan ini cenderung berkonotasi negatif bagi keberadaan masyarakat pedalaman tanpa melihat sisi positif lainnya.

”Rekomendasi” Pedi Natasuwarna yang ”memberi” ruang bagi investasi namun menapikkan keberlanjutan masyarakat pedalaman mengelola sumber daya alam dengan cara berladang dan bahkan meminta untuk diubah dengan pertanian secara menetap (bersawah, peserta plasma) agaknya tidak begitu bijak.

Betapa tidak, karena sesungguhnya justeru dengan memberi ruang investasi skala besar, kebijakan ini dengan otomatis membatasi akses masyarakat pedalaman terhadap sumber daya hutan, sungai menjadi rusak, hutan hilang. Bekas lokasi ladang bagi masyarakat pedalaman adalah investasi, karena pada umumnya kemudian ditanami tumbuhan produktif seperti karet dan sejenisnya. Dengan cara berladang maupun berburu, masyarakat pedalaman denagn mudah mengenal wilayahnya dan bahkan melakukan kontrol atas kemungkinan perusakan hutan oleh pihak lain. Justeru Kebijakan pemerintah yang berorientasi ekonomi dengan rayuan kesejahteraan dengan mendatangkan korporasi skala besar melalui perkebunan justeru semakin membatasi akses dan kontrol rakyat atas SDA. Terlebih bila pemerintah propinsi mengusulkan perubahan pola ruang dalam revisi tata ruang soal substansi kehutanan dari total luas kawasan hutan sekitar 9,2 juta hektar (62 persen) tersebut menjadi sekitar 7,5 juta hektar (50 persen) dari total luas wilayah.

Skenario untuk meningkatkan perekonomian kurang tepat. Adanya skenario dengan meningkatkan sektor perkebunan berdampak pada perekonomian Kalbar yang meningkat hingga 8%, namun berbalik dengan kondisi lingkungan. Akibatnya sektor lingkungan mengalami penurunan hingga 12-15%. Tentu saja pertumbuhan dari sektor ekonomi tidak ada artinya sama sekali jika lingkungan menjadi parah (Pontianak Post, 20/7/2010).

Dalam upaya perubahan atas RTRWP di daerah ini, maka aspek kepentingan masyarakat yang mengandalkan keberlangsungan hidup pada potensi sumber daya alam dan ekologi yang berkeberlanjutan hendaknya menjadi prioritas. Penataan ruang wilayah Kalbar dengan fokus perhatian meliputi aspek kawasan hutan lestari, kawasan daerah aliran sungai dan kawasan rawan bencana menjadi penting. Termasuk bagaimana upaya proteksi pemerintah untuk melindungi warganya dari potensi bahaya radiasi atas dampak energi nuklir yang sedang ditimang-timang akan di bangun di Kalimantan Barat. Bencana nuklir Chernobyl tahun 1986 silam yang menewaskan jutaan nyawa tak bedosa, kiranya cukup menjadi pelajaran atas rencana kebijakan yang berbahaya ini.

Akhirnya, kesalahan atas kebijakan RTRWP masa lalu harus dikaji secara kritis. Pelanggaran atas penataan ruang oleh multipihak dan bahkan oleh pejabat yang berwenang memiliki konsekuensi hukum yang penting diketahui bersama. Kebijakan atas penataan ruang perlu didasari niat baik semua pihak agar hasilnya dapat lebih maksimal.

*) Penulis, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalbar.