Rabu, 11 Februari 2015

Kabut Asap dan Hak Konstitusi WN


Oleh Hendrikus Adam[1]


Asap tentu tidak asing bagi setiap orang. Atau dengan kata lain, semua orang mengenal asap. Saat memasak baik dengan menggunakan kompor gas meski jumlahnya kecil maupun saat memasak menggunakan kayu bakar, biasanya akan keluar asap. Bukan hanya itu, ketika orang menikmati sebatang rokok saja, maka dipastikan juga akan keluar asap yakni asap rokok. Namun demikian, ada lagi jenis asap yang bersumber dari kebakaran lahan dan hutan dalam skala luas yang selanjutnya memiliki dampak luas pula. Bencana tersebut melahirkan kabut asap yang kerap hadir menghiasi dan bahkan mengotori atmosfer. Kabut asap yang terjadi meluas dan mengkhawatirkan tersebut memiliki tingkat resiko dan berbahaya. Bagaimana sesungguhnya peristiwa bencana kabut asap tersebut sehingga memiliki relevansi dengan keberadaan setiap orang sebagai warga negara?

Peristiwa kabut asap seringkali mengkhawatirkan bagi berbagai kalangan masyarakat yang juga sebagai bagian dari warga negara. Sehubungan dengan hal dimaksud, UUD 1945 pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menjabarkan hal dimaksud sebagaimana pasal 65 ayat (1); “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Pasal 9 ayat 3 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatakan; “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan maupun pemenuhan hak asasi menjadi tanggungjawab negara, terutama pemerintah sebagaimana Pasal 28I ayat 4 UUD 1945. Sebagai hak dasar warga, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat menjadi wajib hukumnya dipenuhi oleh negara melalui kewajiban asasi yang diamanahkan konstitusi untuk memenuhi hak fundamental terkait dengan persoalan lingkungan hidup tersebut.

Sebagai bagian dari persoalan lingkungan hidup yang berpotensi mengusik hak dasar setiap warga, tantangan seriusnya ketika kabut asap seringkali dianggap sebagai hal lumrah. Karena dianggap lumrah, sejauh ini belum ada tindakan preventif maupun intervensi yang mumpuni, tegas dan tuntas dalam menjawab akar persoalannya agar kejadian soal bencana ini tidak terulang. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia ternodai disaat persoalan kabut asap tersebut kembali muncul, sementara peran negara untuk memastikan jaminan untuk terhindar dari padanya masih saja menjadi penantian. Tentu, dampak luas dari terjadinya kabut asap harus dijawab dengan menempatkan fenomena tersebut sebagai bencana darurat yang serius dan bukan sebaliknya, kerap dianggap lumrah dan sepele melalui sejumlah inisiatif yang komperhensif.

Menilik Bencana dan Interpensi Asap
Persoalan lingkungan hidup yang bermuara dari fenomena kabut asap, sebetulnya bukan suatu hal baru. Sekitar tahun 1990an, kabut asap hebat telah menjadi bencana nasional yang turut mengusik perhatian serius masyarakat hingga dunia internasional. Akibatnya, predikat sebagai “Pengekspor Asap” harus diterima Indonesia saat itu. Kejadian ini kemudian diikuti pada tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya sekitar tahun 2005/2006, kabut asap juga menyita perhatian publik. Fenomena ini terus terjadi setiap tahunnya, dimana kabut asap terus terjadi setiap tahunnya.

Peristiwa kabut asap sepanjang tahun 2014 misalnya, bila dicermati terjadi sebanyak tiga kali dengan rentang waktu masing-masing pada; Februari – Maret, Agustus dan Oktober. Bila mencermati peristiwa kabut asap pada rentang waktu yang disebutkan, seperti tahun sebelumnya yakni Juni 2013, pada Februari-Maret maupun Agustus dan Oktober 2014, kabut asap yang terjadi juga tidak bertepatan dengan musim membersihkan lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar bagi petani peladang. Dengan demikian, kenyataan ini mengkonfirmasi bahwa sumber kabut asap tidaklah tepat bila dialamatkan pada masyarakat peladang sebagaimana tuduhan miring selama ini.

Sebaliknya, sejak era pemberian izin dan pembersihan kawasan untuk konsesi perusahaan skala luas yang terus berlangsung hingga saat ini, bencana asap pun tidak luput terus hadir dengan intensitas yang beragam. Fenomena ini dapat dipahami, dari sisi keekonomisan membersihkan lahan konsesi dengan cara bakar tentu lebih murah. Sayangnya, selama ini belum pernah ada penindakan tegas aparatur penegak hukum terhadap korporasi yang memiliki praktik buruk mengelola usahanya.

Kondisi tersebut misalnya terjadi pada konsesi perusahaan kelapa sawit PT. Perkebunan Anak Negeri Pasaman (PANP) yang terjadi pada rentang bulan Februari – Maret 2014, bertepatan dengan peristiwa bencana kebut asap kala itu. Kebakaran pada lahan konsesi anak perusahaan Wilmar di Desa Ampadi, Kabupaten Landak pada Febaruari 2014 bahkan sempat didatangi petugas Polisi Kehutanan (Polhut) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Landak. Pada rentang waktu bersamaan, juga terjadi kebakaran lahan sekitar PT. HPI Agro di Anjongan, Kabupaten Pontianak serta pada konsesi perusahaan kelapa sawit PT. Agro Sukses Lestari (ASL) di Kecamatan Kelam Permai, Kabupaten Sintang dengan luas konsesi yang terbakar 65,42 hektar. Informasi ini hanya beberapa yang disebutkan. Anehnya, hingga saat ini belum ada tindakan pengusutan maupun penindakan segera untuk penegakan hukum atas sejumlah kenyataan tersebut.

Demikian pula yang terjadi pada rentang waktu Juli-Agustus 2014 kemarin, kabut asap tebal kembali terjadi bersamaan dengan sejumlah konsesi perusahaan seperti perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Sungai Ambawang, Kubu Raya mengalami kebakaran pada konsesinya. Sejumlah media massa lokal dan nasional pun bahkan memberitakan kejadian fenomenal tersebut, namun kenyataanya hingga saat ini tidak ada informasi terbuka mengenai tindak lanjut yang dilakukan aparat penegak hukum untuk mengusut dan menegakkan hukum atas kasus ini. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih belum adanya sanksi tegas atas kebakaran lahan dan hutan di sekitar konsesi korporasi yang berimbas pada persoalan kabut asap di Kalimantan Barat.

Merujuk peristiwa yang terjadi sekitar tahun 2005/2006 silam, saat dimana Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia dibawah pimpinan Rachmat Witoelar mendeteksi sedikitnya 597 perusahaan besar berbasis hutan dan lahan terindikasi menyebabkan terjadinya kabut asap, namun saat itu pula tidak ada penindakan hukum lebih lanjut. Di Kalimantan Barat, kalaupun pernah di proses hukum seperti PT. Buluh Cawang Plantition (BCP) dan PT. Wilmar Sambas Plantation (WSP) sekitar tahun 2007 melalui Pengadilan Negeri Singkawang, namun kandas dalam penetapan putusannya.

Pada sejumlah kasus sebelumnyapun sama. Sekitar tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di sejumlah areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat diantaranya; PT. Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak, tetapi juga tidak pernah ada tindakan hukum tegas.

Catatan WALHI Kalbar 31 Juli 2012, menyebutkan dari sekitar 61 titik api (hotspot) di Kalbar, sebanyak 34 titik di antaranya berada pada sekitar 31 konsesi perusahaan perkebunan yang tersebar pada sembilan kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat. Kenyataan tersebut mengkonfirmasi bahwa tindakan penegakan hukum sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak asasi warga terhadap pihak yang harusnya bertanggungjawab atas kebakaran yang menyebabkan kabut asap masih jauh panggang dari api. Pemenuhan hak asasi sebagai kewajiban asasi negara belum tersentuh sementara dampak langsung atas fenomena kabut asap bagi kesehatan warga terus terjadi.

Pernyataan Gubernur Kalbar Cornelis saat menghadiri seminar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia beberapa waktu lalu (29/10/2014), yang meminta perusahaan menghargai hak-hak masyarakat lokal terutama terkait pembebasan lahan yang cenderung menggunakan kekerasan sehingga membenturkan dengan aparat tentu pantas diapresiasi. Cornelis dalam pernyataannya juga menyampaikan perlunya reformasi agraria. Pihak perusahaan juga dinilai Gubernur perlu menghormati hutan adat dan tidak hanya melihat persoalan tanah dalam aspek ekonomi dan hukum semata, tetapi penting pula memperhatikan kondisi sosial maupun budaya yang berkembang di masyarakat. Ia pun meminta agar masyarakat tidak dibenturkan dengan aparat. Pada sisi lain dikatakan, banyak perusahaan perkebunan tidak melaksanakan sistem plasma sesuai aturan (Pontianak Post, 30/10/2014).

Pernyataan Cornelis, Gubernur Kalimantan Barat saat menghadiri seminar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), “Kalau ada yang menyebut tidak ada perusahaan sawit di Kalbar yang bakar lahan, itu bohong. Ada perusahaan sawit bakar lahan. Itu laporan intelijen saya…" (Mongabay Indonesia, 30/10/2014), memperkuat dan mengkonfirmasi kebenaran lapangan terkait bencana kabut asap oleh perusahaan selama ini. Apa yang disampaikan Gubernur Kalbar pada forum “Seminar Kepastian dan Perlindungan Hukum Dalam Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Kalbar” pada 29 Oktober 2014 tersebut menyiratkan sinyal bahwa memang telah terjadi persoalan pada sektor tata kelola hutan dan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, terutama dampaknya terhadap lingkungan hidup dan komunitas masyarakat.

Namun demikian, pernyatan politis yang disampaikan tentu tidak cukup. Harus ada tindakan sungguh-sungguh dan serius dalam melakukan tindakan tegas terhadap korporasi yang dinilai jelas memiliki praktik buruk. Fakta penindakan tegas hingga penjatuhan hukuman terhadap korporasi yang dalam konsesinya terjadi kebakaran selama ini misalnya, belum pernah terjadi. Bila memiliki informasi yang cukup dan valid sebagaimana dengan apa yang disampaikan Gubernur Cornelis, maka tentu saja hal tersebut harusnya dapat ditindaklanjuti. Karena bila tanpa ditindaklanjuti melalui pengawasan maupun penindakan sebagaimana kewenangan yang dimiliki, hal ini dapat berpotensi dipersalahkan sebagaimana pasal 112 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH.

Dampak Asap
Kenyataan bahwa bukti konkrit dari sisi kesehatan sebagai dampak kabut asap terjadi misalnya mellaui infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) maupun penyakit diare menjadi fenomena yang marak dialami warga. Harus disadari bahwa kabut asap selama ini telah berkontribusi mempengaruhi degradasi kondisi lingkungan hidup maupun tingkat kesehatan masyarakat. Selanjutnya juga berdampak pada aspek lingkungan hidup, sosial budaya, ekonomi dan jalur transportasi, bahkan pada aspek politik.

Pada aspek sosial berdampak pada sejumlah unit kegiatan seperti pendidikan dan tingkat kesehatan warga yang begitu rawan terganggu oleh karena polusi asap yang menyelubungi atmosfer hingga ke wilayah pemukiman. Inisiatif meliburkan kegiatan belajar di sekolah oleh pemerintah kota Pontianak pada Februari 2014 lalu, tentu pantas diapresiasi sebagai bentuk antisipasi atas kondisi udara yang tidak sehat dan bahkan berbahaya karena melebihi ambang batas sebagaimana Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang dirilis pihak terkait saat itu. Sedangkan pada aspek ekonomi, kabut asap memberi dampak pada terganggunya sarana transportasi dan aktivitas ekonomi maupun kegiatan produktif masyarakat lainnya melalui sejumlah pekerjaan yang digeluti. 

Disamping itu pada aspek lingkungan hidup, kabut asap menjadi sumber polusi bagi udara bersih dan terganggunya keseharian kehidupan warga. Dampaknya dapat menyebakan gangguan radang pernafasan yan menyebabkan penyakit ISPA. Selanjutnya pada sisi politik, kabut asap yang kerapkali terjadi di daerah kita telah melahirkan persepsi negatif pihak luar negeri terhadap kinerja pemerintah yang belum mampu mengendalikan bencana kabut asap. Dalam hal ini, posisi negara cenderung berada pada posisi lemah. Diratifikasi Persetujuan ASEAN mengenai pencemaran asap lintas batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution) melalui UU UU yang disahkannya dalam paripurna DPR pada 16 September 2014 lalu, hendaknya dapat keluar dari persoalan asap di wilayah Asia Tenggara dengan terlibat dalam jaringan solidaritas bersama sebagai bagian dari langkah strategis.

Dalam hal konteks politik sebagaimana dijabarkan, perostiwa kabut asap tahun 1990an kembali terulang pada Juni 2012. Kabut asap yang disinyalir berasal dari Indonesia menyelimuti gedung menara kembar ‘pencakar langit’ Petronas setinggi 88 tingkat di Kuala Lumpur, Malaysia. Kejadian ini menjadi perhatian banyak pihak khususnya melalui pemberitaan media massa betapa buruknya kondisi udara dan Indonesia mendapat predikat kurang menguntungkan yakni sebagai negeri penghasil asap. Kabut asap yang terjadi sekitar Juni 2012 lalu setidaknya telah memberi dampak pada sejumlah aspek kehidupan seperti terganggunya jalur transportasi udara, aktivitas warga maupun gangguan kesehatan karena polusi udara. Sedikitnya sebanyak sepuluh maskapai penerbangan di Bandara Supadio saat itu mengalami gangguan penerbangan sekitar 1,5 jam dengan jarak pandang yang hanya berkisar hingga 50 meter.

Terlepas dari sejumlah dampak berikut potensi dampak dari bencana kabut asap yang bisa saja kembali terjadi, maka memastikan setiap orang yang menjadi korban (pasien) akibat kabut asap menjadi sangat penting untuk diberi kemudahan dalam mengakses pelayanan prima oleh pemerintah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban asasi negara.

Bahaya Kabut Asap bagi Kesehatan:
1.     Kabut asap dapat menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungki juga infeksi.
2.     Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik, PPOK dll.
3.     Kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas.
4.     Mereka yang berusia lanjut dan anak-anak (juga mereka yang punya penyakir kronik) dengan daya tahan tubuh rendah akan lebih rentan untuk mendapat gangguan kesehatan.
5.     Kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang, sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi.
6.     Secara umum maka berbagai penyakit kronik juga dapat memburuk.
7.     Bahan polutan di asap kebakaran hutan yang jatuh ke permukaan bumi juga dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan makanan yang tidak terlindungi.
8.     Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih mudah terjadi, utamanya karena ketidak seimbangan daya tahan tubuh (host), pola bakteri/virus dan lain sebagainya penyebab penyakit (agent) dan buruknya lingkungan (environment).
Sumber: Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan RI dalam www.sumberilmudisini.blogspot.com

Redupnya Jamahan Hukum
Terjadinya kebakaran lahan pada sejumlah perusahaan besar mengkonfirmasi bahwa memang hukum masih belum menjadi panglima yang dapat diandalkan untuk memberikan efek jera atas pelaku penyebab kabut asap. Peran pemerintah untuk melakukan antisipasi hingga pada proses penanganan kebakaran lahan hingga saat ini masih cenderung lebih bersifat reaktif. Fenomena ini juga sebagai bukti masih lemahnya komitmen sejumlah pihak perusahaan mengelola managemen yang baik khususnya dalam upaya antisipasi kebakaran lahan pada konsesi usahanya.

Lemahnya penegakan hukum atas pelaku kebakaran pada lahan konsesi korporasi adalah wujud dari tidak optimalnya peran negara dalam melakukan interpensi penyelesaian persoalan soal kabut asap. Hal ini pula menjadi indikasi bahwa upaya maupun komitmen melakukan proteksi guna mengantisipasi terjadinya kabut asap masih sangat lemah dalam managemen pengelolaan perusahaan. Padahal pasal 13 ayat 3 UU 32 Tahun 2009, “Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing”. Selanjutnya, Pasal 28I ayat 4 menyebutkan; “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Dengan demikian, konstitusi telah memberi mandat kepada pemerintah untuk melakukan tindakan tegas atas praktik buruk korporasi dalam operasionalnya.

Meskipun sesungguhnya, landasan hukum di daerah dalam bentuk Perda dan Pergub hingga Peraturan Menteri maupun sejumlah Undang-Undang telah mengatur sebagai bentuk antisipasi dari adanya pembukaan lahan dengan cara bakar oleh korporasi. Bahkan UU 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan mengatur adanya ancaman sanksi 10 tahun penjara dengan denda 10 milyar sebagaimana diurai pasal 26. ­

Melihat lemahnya tindakan tegas terhadap pelaku penyebab kabut asap yang terus terjadi, barangkali aparat penegak hukum kita perlu belajar dari proses penanganan dan penegakan hukum terhadap perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan pembakaran lahan di Riau tahun 2000. Dalam hal ini, dua perusahaan perkebunan yaitu PT. Jatim Jaya Perkasa dan PT. Adei Plantation divonis bersalah oleh pengadilan kala itu.

Dengan demikian, baik institusi maupun pimpinan pemerintahan di daerah bersama aparatur penegak hukum tentu tidak cukup hanya menyampaikan pernyataan politis dalam merespon fakta praktik buruk korporasi khususnya terkait dengan pembersihan lahan dengan cara bakar. Tidak juga cukup pula hanya lebih mengedepankan pembinaan untuk memproteksi kepentingan investasi semata. Lebih dari itu, aparatur negara menjadi sangat berkepentingan menjalankan mandat regulasi dengan bersikap tegas terhadap korporasi yang melakukan praktik buruk. Dalam hal ini, upaya pengawasan maupun audit lingkungan menjadi sangat penting dilakukan serius sebagai dasar tindakan hukum tegas berikutnya.

Jalankan Kewajiban Asasi, Mandat Konstitusi
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak dasar, dimana negara berkepentingan untuk memastikan terwujudnya amanah konstitusi melindungi seluruh warga dan segenap tumpah darah Indonesia. Bencana kabut asap yang kerap terjadi sudah saatnya diposisikan sebagai persoalan lingkungan hidup serius tanpa menganggapnya sebagai suatu hal yang lumrah apalagi sepele. Jaminan kepastian dalam penghormatan, pemenuhan, perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia sebagai kewajiban asasi negara menjadi penantian.

Pasal 28I ayat 4 jelas menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Selanjutnya pasal 76 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 memberikan ruang yang tegas kepada pemerintah untuk melakukan tindakan pemberian sanksi berupa paksaan terhadap korporasi yang pada praktiknya buruk, menyalahi aturan agar taat.

Pada sisi lain, penting kiranya pemerintah bersama aparatur penegak hukum untuk memastikan penegakan hukum terhadap korporasi dengan tidak tebang pilih. Pada sisi lain, (kesehatan) rakyat diharapkan tidak terus menjadi korban karena alpanya kewajiban asasi negara dalam menghormati, memenuhi, melindungi dan menegakkan hak fundamental warganya dari dampak bencana kabut asap.

Bagi warga yang dirugikan sebagai dampak dari buruknya kondisi lingkungan hidup, tentu memiliki kesempatan sebagaimana amanah konstitusi untuk dapat melakukan gugatan kepada badan usaha yang melakukan pencemaran dan perusakan. Juga dapat melakukan gugatan kepada institusi terkait yang berwewenang namun alpa melaksanakan kewenangannya. Dalam hal ini, pihak berwenang yang oleh undang-undang diberi mandat untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup namun alpa menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan atas ketaatan penanggungjawab usaha yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup dapat dipidana. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan nakal yang membuka lahan dengan cara bakar, baik bila ditindak tegas sebagai bagian dari perwujudan mandat konstitusi.  

Sinergisitas antar berbagai pihak memang sangat penting, demikian pula komitmen maupun upaya hukum untuk menghentikan bencana asap dengan menindak pelaku pembakaran lahan mesti menjadi perhatian bersama semua pihak. Namun keterbukaan dalam menindak tegas korporasi yang teridentifikasi sebagai pelaku kebakaran yang menyebabkan multi dampak lingkungan hidup juga sangat penting. Dengan demikian, bencana kabut asap yang terjadi bukan hanya menanti kewajiban asasi negara (pemerintah) semata namun juga akhirnya memaksa setiap orang sebagai warga negara harus berurusan dengan sejumlah dampaknya.

Naskah ini terbit di Envi News, Media Badan Lingkungan Hidup Daerah Kalimantan Barat halaman 7-8 edisi 104 Nopember 2014.


[1] Penulis, aktivis WALHI Kalimantan Barat.