Oleh Hendrikus Adam[1]
Asap tentu tidak asing bagi setiap orang.
Atau dengan kata lain, semua orang mengenal asap. Saat memasak baik dengan
menggunakan kompor gas meski jumlahnya kecil maupun saat memasak menggunakan
kayu bakar, biasanya akan keluar asap. Bukan hanya itu, ketika orang menikmati
sebatang rokok saja, maka dipastikan juga akan keluar asap yakni asap rokok.
Namun demikian, ada lagi jenis asap yang bersumber dari kebakaran lahan dan
hutan dalam skala luas yang selanjutnya memiliki dampak luas pula. Bencana tersebut
melahirkan kabut asap yang kerap hadir menghiasi dan bahkan mengotori atmosfer.
Kabut asap yang terjadi meluas dan mengkhawatirkan tersebut memiliki tingkat resiko
dan berbahaya. Bagaimana sesungguhnya peristiwa bencana kabut asap tersebut
sehingga memiliki relevansi dengan keberadaan setiap orang sebagai warga
negara?
Peristiwa kabut asap seringkali
mengkhawatirkan bagi berbagai kalangan masyarakat yang juga sebagai bagian dari
warga negara. Sehubungan dengan hal dimaksud, UUD 1945 pasal 28H ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya UU 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menjabarkan hal dimaksud
sebagaimana pasal 65 ayat (1); “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. Pasal 9 ayat 3 UU 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatakan; “Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Dalam hal perlindungan, pemajuan, penegakan
maupun pemenuhan hak asasi menjadi tanggungjawab negara, terutama pemerintah sebagaimana
Pasal 28I ayat 4 UUD 1945. Sebagai hak dasar warga, hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat menjadi wajib hukumnya dipenuhi oleh negara melalui
kewajiban asasi yang diamanahkan konstitusi untuk memenuhi hak fundamental
terkait dengan persoalan lingkungan hidup tersebut.
Sebagai bagian dari persoalan lingkungan
hidup yang berpotensi mengusik hak dasar setiap warga, tantangan seriusnya
ketika kabut asap seringkali dianggap sebagai hal lumrah. Karena dianggap
lumrah, sejauh ini belum ada tindakan preventif maupun intervensi yang mumpuni,
tegas dan tuntas dalam menjawab akar persoalannya agar kejadian soal bencana
ini tidak terulang. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak
asasi manusia ternodai disaat persoalan kabut asap tersebut kembali muncul,
sementara peran negara untuk memastikan jaminan untuk terhindar dari padanya
masih saja menjadi penantian. Tentu, dampak luas dari terjadinya kabut asap
harus dijawab dengan menempatkan fenomena tersebut sebagai bencana darurat yang
serius dan bukan sebaliknya, kerap dianggap lumrah dan sepele melalui sejumlah
inisiatif yang komperhensif.
Menilik Bencana dan Interpensi Asap
Persoalan lingkungan
hidup yang bermuara dari fenomena kabut asap, sebetulnya bukan suatu hal baru.
Sekitar tahun 1990an, kabut asap hebat telah menjadi bencana nasional yang
turut mengusik perhatian serius masyarakat hingga dunia internasional.
Akibatnya, predikat sebagai “Pengekspor Asap” harus diterima Indonesia saat
itu. Kejadian ini kemudian diikuti pada tahun-tahun berikutnya. Selanjutnya
sekitar tahun 2005/2006, kabut asap juga menyita perhatian publik. Fenomena ini
terus terjadi setiap tahunnya, dimana kabut asap terus terjadi setiap tahunnya.
Peristiwa kabut asap
sepanjang tahun 2014 misalnya, bila dicermati terjadi sebanyak tiga kali dengan
rentang waktu masing-masing pada; Februari – Maret, Agustus dan Oktober. Bila
mencermati peristiwa kabut asap pada rentang waktu yang disebutkan, seperti
tahun sebelumnya yakni Juni 2013, pada Februari-Maret maupun Agustus dan
Oktober 2014, kabut asap yang terjadi juga tidak bertepatan dengan musim
membersihkan lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar bagi petani
peladang. Dengan demikian, kenyataan ini mengkonfirmasi bahwa sumber kabut asap
tidaklah tepat bila dialamatkan pada masyarakat peladang sebagaimana tuduhan
miring selama ini.
Sebaliknya, sejak era pemberian
izin dan pembersihan kawasan untuk konsesi perusahaan skala luas yang terus berlangsung
hingga saat ini, bencana asap pun tidak luput terus hadir dengan intensitas
yang beragam. Fenomena ini dapat dipahami, dari sisi keekonomisan membersihkan
lahan konsesi dengan cara bakar tentu lebih murah. Sayangnya, selama ini belum
pernah ada penindakan tegas aparatur penegak hukum terhadap korporasi yang
memiliki praktik buruk mengelola usahanya.
Kondisi tersebut misalnya terjadi pada
konsesi perusahaan kelapa sawit PT. Perkebunan Anak Negeri Pasaman (PANP) yang
terjadi pada rentang bulan Februari – Maret 2014, bertepatan dengan peristiwa
bencana kebut asap kala itu. Kebakaran pada lahan konsesi anak perusahaan
Wilmar di Desa Ampadi, Kabupaten Landak pada Febaruari 2014 bahkan sempat
didatangi petugas Polisi Kehutanan (Polhut) dan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Landak. Pada rentang waktu bersamaan, juga terjadi kebakaran
lahan sekitar PT. HPI Agro di Anjongan, Kabupaten Pontianak serta pada konsesi
perusahaan kelapa sawit PT. Agro Sukses Lestari (ASL) di Kecamatan Kelam
Permai, Kabupaten Sintang dengan luas konsesi yang terbakar 65,42 hektar.
Informasi ini hanya beberapa yang disebutkan. Anehnya, hingga saat ini belum
ada tindakan pengusutan maupun penindakan segera untuk penegakan hukum atas
sejumlah kenyataan tersebut.
Demikian pula yang terjadi pada rentang
waktu Juli-Agustus 2014 kemarin, kabut asap tebal kembali terjadi bersamaan
dengan sejumlah konsesi perusahaan seperti perkebunan kelapa sawit di Kecamatan
Sungai Ambawang, Kubu Raya mengalami kebakaran pada konsesinya. Sejumlah media
massa lokal dan nasional pun bahkan memberitakan kejadian fenomenal tersebut,
namun kenyataanya hingga saat ini tidak ada informasi terbuka mengenai tindak
lanjut yang dilakukan aparat penegak hukum untuk mengusut dan menegakkan hukum
atas kasus ini. Pada kenyataannya, hingga saat ini masih belum adanya sanksi
tegas atas kebakaran lahan dan hutan di sekitar konsesi korporasi yang berimbas
pada persoalan kabut asap di Kalimantan Barat.
Merujuk peristiwa yang terjadi sekitar
tahun 2005/2006 silam, saat dimana Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia
dibawah pimpinan Rachmat Witoelar mendeteksi sedikitnya 597 perusahaan besar
berbasis hutan dan lahan terindikasi menyebabkan terjadinya kabut asap, namun saat
itu pula tidak ada penindakan hukum lebih lanjut. Di Kalimantan Barat, kalaupun
pernah di proses hukum seperti PT. Buluh Cawang Plantition (BCP) dan PT. Wilmar
Sambas Plantation (WSP) sekitar tahun 2007 melalui Pengadilan Negeri
Singkawang, namun kandas dalam penetapan putusannya.
Pada sejumlah kasus sebelumnyapun sama. Sekitar
tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di sejumlah areal perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan Barat diantaranya; PT. Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG
Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai
Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak, tetapi juga tidak pernah ada tindakan hukum
tegas.
Catatan WALHI Kalbar 31 Juli 2012,
menyebutkan dari sekitar 61 titik api (hotspot) di Kalbar, sebanyak 34 titik di
antaranya berada pada sekitar 31 konsesi perusahaan perkebunan yang tersebar
pada sembilan kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat. Kenyataan tersebut
mengkonfirmasi bahwa tindakan penegakan hukum sebagai bagian dari upaya
pemenuhan hak asasi warga terhadap pihak yang harusnya bertanggungjawab atas
kebakaran yang menyebabkan kabut asap masih jauh panggang dari api. Pemenuhan
hak asasi sebagai kewajiban asasi negara belum tersentuh sementara dampak
langsung atas fenomena kabut asap bagi kesehatan warga terus terjadi.
Pernyataan Gubernur Kalbar Cornelis saat
menghadiri seminar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia beberapa waktu
lalu (29/10/2014), yang meminta perusahaan menghargai hak-hak masyarakat lokal
terutama terkait pembebasan lahan yang cenderung menggunakan kekerasan sehingga
membenturkan dengan aparat tentu pantas diapresiasi. Cornelis dalam
pernyataannya juga menyampaikan perlunya reformasi agraria. Pihak perusahaan juga
dinilai Gubernur perlu menghormati hutan adat dan tidak hanya melihat persoalan
tanah dalam aspek ekonomi dan hukum semata, tetapi penting pula memperhatikan
kondisi sosial maupun budaya yang berkembang di masyarakat. Ia pun meminta agar
masyarakat tidak dibenturkan dengan aparat. Pada sisi lain dikatakan, banyak
perusahaan perkebunan tidak melaksanakan sistem plasma sesuai aturan (Pontianak
Post, 30/10/2014).
Pernyataan Cornelis, Gubernur Kalimantan
Barat saat menghadiri seminar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(GAPKI), “Kalau ada yang menyebut tidak ada perusahaan sawit di Kalbar yang
bakar lahan, itu bohong. Ada perusahaan sawit bakar lahan. Itu laporan
intelijen saya…" (Mongabay Indonesia, 30/10/2014), memperkuat dan
mengkonfirmasi kebenaran lapangan terkait bencana kabut asap oleh perusahaan
selama ini. Apa yang disampaikan Gubernur Kalbar pada forum “Seminar Kepastian
dan Perlindungan Hukum Dalam Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Kalbar” pada 29
Oktober 2014 tersebut menyiratkan sinyal bahwa memang telah terjadi persoalan
pada sektor tata kelola hutan dan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, terutama
dampaknya terhadap lingkungan hidup dan komunitas masyarakat.
Namun demikian, pernyatan politis yang
disampaikan tentu tidak cukup. Harus ada tindakan sungguh-sungguh dan serius
dalam melakukan tindakan tegas terhadap korporasi yang dinilai jelas memiliki
praktik buruk. Fakta penindakan tegas hingga penjatuhan hukuman terhadap
korporasi yang dalam konsesinya terjadi kebakaran selama ini misalnya, belum
pernah terjadi. Bila memiliki informasi yang cukup dan valid sebagaimana dengan
apa yang disampaikan Gubernur Cornelis, maka tentu saja hal tersebut harusnya
dapat ditindaklanjuti. Karena bila tanpa ditindaklanjuti melalui pengawasan
maupun penindakan sebagaimana kewenangan yang dimiliki, hal ini dapat berpotensi
dipersalahkan sebagaimana pasal 112 UU 32 Tahun 2009 tentang PPLH.
Dampak Asap
Kenyataan bahwa bukti konkrit dari sisi
kesehatan sebagai dampak kabut asap terjadi misalnya mellaui infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA) maupun penyakit diare menjadi fenomena yang marak
dialami warga. Harus disadari bahwa kabut asap
selama ini telah berkontribusi mempengaruhi degradasi kondisi lingkungan hidup
maupun tingkat kesehatan masyarakat. Selanjutnya juga berdampak pada aspek
lingkungan hidup, sosial budaya, ekonomi dan jalur transportasi, bahkan pada
aspek politik.
Pada aspek sosial berdampak pada sejumlah unit
kegiatan seperti pendidikan dan tingkat kesehatan warga yang begitu rawan
terganggu oleh karena polusi asap yang menyelubungi atmosfer hingga ke wilayah
pemukiman. Inisiatif meliburkan kegiatan belajar di sekolah oleh pemerintah
kota Pontianak pada Februari 2014 lalu, tentu pantas diapresiasi sebagai bentuk
antisipasi atas kondisi udara yang tidak sehat dan bahkan berbahaya karena
melebihi ambang batas sebagaimana Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang
dirilis pihak terkait saat itu. Sedangkan pada aspek ekonomi, kabut asap
memberi dampak pada terganggunya sarana transportasi dan aktivitas ekonomi
maupun kegiatan produktif masyarakat lainnya melalui sejumlah pekerjaan yang
digeluti.
Disamping itu pada aspek lingkungan hidup,
kabut asap menjadi sumber polusi bagi udara bersih dan terganggunya keseharian
kehidupan warga. Dampaknya dapat menyebakan gangguan radang pernafasan yan
menyebabkan penyakit ISPA. Selanjutnya pada sisi politik, kabut asap yang
kerapkali terjadi di daerah kita telah melahirkan persepsi negatif pihak luar
negeri terhadap kinerja pemerintah yang belum mampu mengendalikan bencana kabut
asap. Dalam hal ini, posisi negara cenderung berada pada posisi lemah.
Diratifikasi Persetujuan ASEAN mengenai pencemaran asap lintas batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution) melalui UU UU yang disahkannya dalam paripurna DPR pada 16
September 2014 lalu, hendaknya dapat keluar dari persoalan asap di wilayah Asia
Tenggara dengan terlibat dalam jaringan solidaritas bersama sebagai bagian dari
langkah strategis.
Dalam hal konteks politik sebagaimana
dijabarkan, perostiwa kabut asap tahun 1990an kembali terulang pada Juni 2012.
Kabut asap yang disinyalir berasal dari Indonesia menyelimuti gedung menara
kembar ‘pencakar langit’ Petronas setinggi 88 tingkat di Kuala Lumpur,
Malaysia. Kejadian ini menjadi perhatian banyak pihak khususnya melalui
pemberitaan media massa betapa buruknya kondisi udara dan Indonesia mendapat
predikat kurang menguntungkan yakni sebagai negeri penghasil asap. Kabut asap
yang terjadi sekitar Juni 2012 lalu setidaknya telah memberi dampak pada
sejumlah aspek kehidupan seperti terganggunya jalur transportasi udara,
aktivitas warga maupun gangguan kesehatan karena polusi udara. Sedikitnya
sebanyak sepuluh maskapai penerbangan di Bandara Supadio saat itu mengalami
gangguan penerbangan sekitar 1,5 jam dengan jarak pandang yang hanya
berkisar hingga 50 meter.
Terlepas dari sejumlah dampak berikut
potensi dampak dari bencana kabut asap yang bisa saja kembali terjadi, maka memastikan
setiap orang yang menjadi korban (pasien) akibat kabut asap menjadi sangat
penting untuk diberi kemudahan dalam mengakses pelayanan prima oleh pemerintah
sebagai bentuk pemenuhan kewajiban asasi negara.
Bahaya
Kabut Asap bagi Kesehatan:
|
1.
Kabut asap dapat menyebabkan iritasi pada mata,
hidung, dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan
mungki juga infeksi.
2.
Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru
kronis lain, seperti bronkitis kronik, PPOK dll.
3.
Kemampuan kerja paru menjadi berkurang dan
menyebabkan orang mudah lelah dan mengalami kesulitan bernapas.
4.
Mereka yang berusia lanjut dan anak-anak (juga
mereka yang punya penyakir kronik) dengan daya tahan tubuh rendah akan lebih
rentan untuk mendapat gangguan kesehatan.
5.
Kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi
infeksi berkurang, sehingga menyebabkan lebih mudah terjadi infeksi.
6.
Secara umum maka berbagai penyakit kronik juga dapat
memburuk.
7.
Bahan polutan di asap kebakaran hutan yang jatuh ke
permukaan bumi juga dapat menjadi sumber polutan di sarana air bersih dan
makanan yang tidak terlindungi.
8.
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) jadi lebih
mudah terjadi, utamanya karena ketidak seimbangan daya tahan tubuh (host),
pola bakteri/virus dan lain sebagainya penyebab penyakit (agent) dan buruknya
lingkungan (environment).
|
Sumber: Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementrian Kesehatan
RI dalam www.sumberilmudisini.blogspot.com
|
Redupnya Jamahan Hukum
Terjadinya kebakaran lahan pada sejumlah
perusahaan besar mengkonfirmasi bahwa memang hukum masih belum menjadi panglima
yang dapat diandalkan untuk memberikan efek jera atas pelaku penyebab kabut
asap. Peran pemerintah untuk melakukan antisipasi hingga pada proses penanganan
kebakaran lahan hingga saat ini masih cenderung lebih bersifat reaktif.
Fenomena ini juga sebagai bukti masih lemahnya komitmen sejumlah pihak
perusahaan mengelola managemen yang baik khususnya dalam upaya antisipasi
kebakaran lahan pada konsesi usahanya.
Lemahnya penegakan hukum atas pelaku
kebakaran pada lahan konsesi korporasi adalah wujud dari tidak optimalnya peran
negara dalam melakukan interpensi penyelesaian persoalan soal kabut asap. Hal
ini pula menjadi indikasi bahwa upaya maupun komitmen melakukan proteksi guna
mengantisipasi terjadinya kabut asap masih sangat lemah dalam managemen
pengelolaan perusahaan. Padahal pasal 13 ayat 3 UU 32 Tahun 2009, “Pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab
masing-masing”. Selanjutnya, Pasal 28I ayat 4
menyebutkan; “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Dengan demikian, konstitusi
telah memberi mandat kepada pemerintah untuk melakukan tindakan tegas atas praktik
buruk korporasi dalam operasionalnya.
Meskipun sesungguhnya, landasan hukum di
daerah dalam bentuk Perda dan Pergub hingga Peraturan Menteri maupun sejumlah
Undang-Undang telah mengatur sebagai bentuk antisipasi dari adanya
pembukaan lahan dengan cara bakar oleh korporasi. Bahkan UU 18 Tahun 2004
tentang Perkebunan mengatur adanya ancaman sanksi 10 tahun penjara dengan denda
10 milyar sebagaimana diurai pasal 26.
Melihat lemahnya tindakan tegas terhadap
pelaku penyebab kabut asap yang terus terjadi, barangkali aparat penegak hukum
kita perlu belajar dari proses penanganan dan penegakan hukum terhadap
perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan pembakaran lahan di Riau tahun
2000. Dalam hal ini, dua perusahaan perkebunan yaitu PT. Jatim Jaya Perkasa dan
PT. Adei Plantation divonis bersalah oleh pengadilan kala itu.
Dengan demikian, baik institusi maupun
pimpinan pemerintahan di daerah bersama aparatur penegak hukum tentu tidak
cukup hanya menyampaikan pernyataan politis dalam merespon fakta praktik buruk
korporasi khususnya terkait dengan pembersihan lahan dengan cara bakar. Tidak
juga cukup pula hanya lebih mengedepankan pembinaan untuk memproteksi
kepentingan investasi semata. Lebih dari itu, aparatur negara menjadi sangat
berkepentingan menjalankan mandat regulasi dengan bersikap tegas terhadap
korporasi yang melakukan praktik buruk. Dalam hal ini, upaya pengawasan maupun
audit lingkungan menjadi sangat penting dilakukan serius sebagai dasar tindakan
hukum tegas berikutnya.
Jalankan Kewajiban Asasi,
Mandat Konstitusi
Hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat merupakan hak dasar, dimana negara berkepentingan untuk
memastikan terwujudnya amanah konstitusi melindungi seluruh warga dan segenap
tumpah darah Indonesia. Bencana kabut asap yang kerap terjadi sudah saatnya
diposisikan sebagai persoalan lingkungan hidup serius tanpa menganggapnya
sebagai suatu hal yang lumrah apalagi sepele. Jaminan kepastian dalam
penghormatan, pemenuhan, perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia sebagai
kewajiban asasi negara menjadi penantian.
Pasal 28I ayat 4 jelas
menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Selanjutnya pasal 76
ayat 1 UU 32 Tahun 2009 memberikan ruang yang tegas kepada pemerintah untuk
melakukan tindakan pemberian sanksi berupa paksaan terhadap korporasi yang pada
praktiknya buruk, menyalahi aturan agar taat.
Pada sisi lain, penting
kiranya pemerintah bersama aparatur penegak hukum untuk memastikan penegakan
hukum terhadap korporasi dengan tidak tebang pilih. Pada sisi lain, (kesehatan)
rakyat diharapkan tidak terus menjadi korban karena alpanya kewajiban asasi
negara dalam menghormati, memenuhi, melindungi dan menegakkan hak fundamental
warganya dari dampak bencana kabut asap.
Bagi warga yang dirugikan sebagai dampak
dari buruknya kondisi lingkungan hidup, tentu memiliki kesempatan sebagaimana
amanah konstitusi untuk dapat melakukan gugatan kepada badan usaha yang
melakukan pencemaran dan perusakan. Juga dapat melakukan gugatan kepada institusi
terkait yang berwewenang namun alpa melaksanakan kewenangannya. Dalam hal ini,
pihak berwenang yang oleh undang-undang diberi mandat untuk mengatasi persoalan
lingkungan hidup namun alpa menjalankan kewajibannya melakukan pengawasan atas
ketaatan penanggungjawab usaha yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan
lingkungan hidup dapat dipidana. Hal ini juga berlaku bagi perusahaan nakal
yang membuka lahan dengan cara bakar, baik bila ditindak tegas sebagai bagian
dari perwujudan mandat konstitusi.
Sinergisitas antar berbagai pihak memang
sangat penting, demikian pula komitmen maupun upaya hukum untuk menghentikan
bencana asap dengan menindak pelaku pembakaran lahan mesti menjadi perhatian
bersama semua pihak. Namun keterbukaan dalam menindak tegas korporasi yang
teridentifikasi sebagai pelaku kebakaran yang menyebabkan multi dampak
lingkungan hidup juga sangat penting. Dengan demikian, bencana kabut asap yang
terjadi bukan hanya menanti kewajiban asasi negara (pemerintah) semata namun
juga akhirnya memaksa setiap orang sebagai warga negara harus berurusan dengan
sejumlah dampaknya.
Naskah ini terbit di Envi News, Media Badan Lingkungan Hidup Daerah Kalimantan Barat halaman 7-8 edisi 104 Nopember 2014.
[1]
Penulis, aktivis WALHI Kalimantan Barat.