Selasa, 12 Juli 2011

SBY dan Masa Depan Lingkungan Kalbar?


By. Hendrikus Adam*

Adakah hubungannya antara kedatangan SBY dengan masa depan lingkungan Kalimantan Barat? Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Jika presiden hanya menghadiri acara seremonial semata, maka di pastikan tidak ada hubungan langsung yang memberi manfaat terhadap lingkungan khususnya dalam meminimalisir persoalan di masyarakat. Tetapi jika beliau datang dan kemudian dengan sungguh menggali input untuk kemudian menjadi bahan kajian serius pemerintah pusat khususnya terkait dengan menekan laju persoalan pengelolaan sumber daya alam berikut potensi konflik yang yang ada di masyarakat Kalbar, maka sudah pasti ada hubungannya.

Hari ini (30 Mei 2011) sebagaimana diberitakan, beliau (SBY) tiba ke Kota Pontianak bersama rombongan. Anda tentu kenal beliau (SBY)?. Akronim dari nama Susilo Bambang Yodhoyono yang terdiri dari S-B-Y ini lekat dalam ingatan warga negeri ini. Tidak terkecuali pula bagi warga Kalimantan Barat khususnya di Kota Pontianak. Beliau adalah presiden RI pertama yang di pilih secara langsung melalui proses pesta demokrasi. Beliau juga dikenal oleh berbagai kalangan, khususnya karena beliau sebagai figur kepala negara, dan saat ini menjabat untuk periode kedua kalinya. Untuk kedua kalinya pula, beliau saat ini bertandang di Kalimantan Barat (sebelumnya pernah berkunjung ditahun 2007 saat peresmian jembatan Kapuas II) untuk menghadiri bagian dari rangkaian dalam rangka kegiatan Bulan Bhakti Gotong Royong Masyarakat di Kota Pontianak.

Beragam persiapan dan jadual kegiatan sejak kemarin tentunya telah dipersiapan panitia lokal mulai dari persiapan teknis dengan rangkaian kegiatan hingga persiapan jamuan bersama maupun penyiapan tempat penginapan bagi sang Presiden bersama rombongan. Tidak tanggung-tanggung, diberitakan beliau akan memboyong sebanyak sepuluh pejabat negara (Menteri) KIB II beserta sang istri. Lantas apa arti kehadiran beliau di tengah-tengah warga Kota Pontianak?

Berita seputar persiapan penyambutaan pejabat negara selama ini memang seringkali menyita perhatian publik. Disamping persiapan yang seringkali ”mencolok” dilakukan, juga ditambah dengan pemberitaan media massa yang turut membantu penyampaian informasi berkenaan dengan agenda kehadirannya. Poster, spanduk dan banner ucapan selamat datang pun terpampang di berbagai penjuru kota. Fenomena yang seringkali kita temui berkenaan dengan kehadiran pejabat negara adalah bagaimana kemudian pemerintah melalui sejumlah instansi di daerah menyibukkan diri dengan berbagai persiapan teknis yang diharapkan dapat menyuguhkan pelayanan prima sedemikian rupa. Dalam hal ini biasanya pemerintah di daerah mencoba menampilkan hal-hal yang diharapkan dapat ”mencuri hati” pejabat negara diatasnya, namun biasanya juga tidak luput dari berbagai spekulasi yang mengarah pada upaya untuk ”memaksa diri” dalam mempersiapkan berbagai hal. Singkat kata, kita seringkali menganggap bahwa kehadiran pejabat negara seakan sebagai ”raja” yang harus diservis sedemikian rupa. Fenomena yang demikian biasnaya juga tidak terlepas dari prosedur tata pemerintahan yang sudah terdesain sedemikian rupa sebagai bentuk respon atas hadirnya pejabat negara. Harus diakui, terkadang kita terlalu ”berlebihan” atas kunjungan pejabat negara sekalipun sesungguhnya tidak selalu harus demikian.

Fenomena sebaliknya seringkali dialami masyarakat sipil. Pada umumnya, kehadiran pejabat negara diharapkan dapat menjadi angin segar yang dapat memberikan kesejukan atas berbagai persoalan dan dinamika sosial yang dialami. Hampir setiap kehadiran pejabat negara biasanya diwarnai dengan aksi damai sebagai bagian dari upaya warga untuk menyampaikan aspirasi terkait dengan masalah yang dihadapi. Namun demikian, aksi damai ini biasanya seringkali dibatasi secara berlebihan dengan penjagaan yang super ketat. Sehubungan dengan kedatangan Presiden SBY, diberitakan pula bahkan kalangan ”PNS” di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar juga diisyaratkan untuk melakukan aksi damai. Begitu besarnya harapan warga atas kehadiran Pak SBY beserta rombongan, sehingga kunjungan SBY kali ini disambut warga dengan nuansa yang beragam; terkesan meriah namun juga penuh harapan. Tetapi kemudian agaknya pantas dipertanyakan; adakah SBY akan merespon dan mengetahui apa menjadi kegaduhan warga Kalbar sebagai bagian dari komponen negeri ini atas persoalan yang dihadapi?

Kehadiran SBY di Pontianak dalam kunjungannya sangat erat kaitannya dengan begitu besarnya harapan masyarakat atas berbagai agenda pembangunan (dalam perspektif masyarakat) untuk mengentaskan persoalan yang dihadapi agar dapat diakomodir pejabat negara. Berbagai sikap risau warga di Perbatasan misalnya seringkali terungkap spontan sambil bercanda demikian; ”para pejabat negara pernah datang di perbatasan, hanya malaikat saja yang belum pernah datang” adalah sebuah gambaran ketidakpuasan warga atas kinerja yang dilakukan pemerintah atas pengelolaan perbatasan. Pun demikian, berbagai persoalan sosial terkait isu kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan, penegakan hukum juga yang harusnya mendapat perhatian yakni isu seputar kondisi lingkungan Kalbar yang kian terdegradasi oleh karena kebijakan eksploitatif SDA salah satu penyebabnya.

Kehadiran SBY yang diharapkan dapat menjadi angin segar bagi warga Kalbar pada umumnya adalah sebuah harapan yang tidak muluk. Karena selama ini masyarakat sudah cukup bersabar dengan berbagai dinamika sosial dan kemasyarakatan yang hadir menghampiri khususnya terkait dengan sektor pengelolaan sumber daya alam. Atas nama kesejahteraan, kebijkaan pembukaan perkebunan sawit skala besar yang digaungkan pemerintah saat ini yang dengan sendirinya menghilangkan fungsi hutan mengancam eksistensi masyarakat lokal (Masyarakat Adat) dan sumber hidupnya.

Era otonomi daerah yang harus diakui juga telah berkontribusi memberikan konsekuensi logis terjadinya degradasi atas sumber daya hutan dan lingkungan sekitarnya, karena ruang kewenangan yang dimiliki kepala daerah memberi kelonggaran terjadinya pemberian legalitas secara sepihak sebagaimana yang terjadi dalam berbagai kasus di daerah Kalbar selama ini. Dalam sisi yang lain, masyarakat di daerah tidak sungguh-sungguh ditempatkan sebagai penentu kebijakan pembangunan. Kalaupun ada, masih sangat bersifat formalitas dengan melibatkan ”oknum” tertentu yang secara substantif tidak mewakili kepentingan masyarakat banyak. Prinsif universal (free, prior, imformed and concent) agar terlebih dahulu memberikan informasi yang utuh kepada warga mengenai sisi baik dan buruknya program pembangunan serta memberikan kemerdekaan kepada mereka untuk menentukan pilihan selama ini seringkali terabaikan. Sebaliknya, pemerintah yang harusnya bertindak sebagai mediator dan regulator justeru lebih memilih sebagai katalisator dalam mempercepat laju kebijakan model global pembangunan yang cenderung eksploitatif atas berbagai potensi alam.

Hal menarik lainnya yang sedang digelindingkan pemerintah saat ini adalah adanya agenda pembangunan Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di negeri ini. Melalui para promotor PLTN, Semenanjung Muria dan juga Bangka Belitung menjadi target pengembangan proyek berbahaya tersebut sekalipun hingga saat ini masyarakat tetap bersikeras melakukan perlawanan dengan menolak kebijakan pemerintah yang dianggap lebih banyak mudaratnya ini. Belakangan, Kalimantan Barat salah satu propinsi di pulau Kalimantan dijadikan sebagai kawasan ”target” yang potensial untuk pengembangan PLTN menyusul setelah ditempat lain warganya melakukan perlawanan. Setidaknya, Pemerintah Kalbar mulai dari era kepemimpinan Usma Jafar hingga di era kepemimpinan Gubernur saat ini merespon baik rencana pengembangan energi nuklir (PLTN). Agrumentasi yang seringkali disampaikan karena daerah Kalbar cenderung aman dari potensi bencana alam dan memiliki bahan mentah PLTN (Uranium). Disamping itu, pemerintah setidaknya telah melakukan pengajuan kepada pemerintah pusat untuk dibangunnya PLTN di Kalimantan Barat sekalipun sejauh informasi yang berkembang selama ini belum ada kepastian. Pemerintah daerah Kalbar selama ini juga cenderung menutup diri atas berbagai informasi khususnya terkait wacana pembangunan PLTN. Belum ada penjelasan resmi yang disampaikan. Sebaliknya masyarakat Kalbar dibuat penasaran. Inilah sisi lain dari fenomena birokrasi saat ini, warga kesulitan untuk dapat mengakses informasi sekalipun hal tersebut terkait dengan pembangunan yang bersentuhan langsung dengan kepentingan rakyat banyak.

Kembali melihat fenomena kehadiran SBY di Pontianak yang memboyong sejumlah pejabat negara lainnya, tentunya akan tidak produktif bila hanya menghadiri dua acara seremonial semata karenanya tidak akan memberi banyak manfaat dan akan sangat mubajir bila fenomena ini terus berlangsung dengan drama seremonial saja. Terlebih bila yang turut hadir juga para Menteri di KIB II yang dengan demikian turut menjadi bagian dari ”beban” yang harus ditanggung negara.

Dalam hubungannya dengan isu dan fenomena lingkungan global (naiknya suhu bumi-perubahan iklim, perusakan hutan dan degradasi lingkungan, perambahan hutan skala besar secara legal) maka kehadiran pejabat negara melalui kunjungannya tentu memiliki arti penting khususnya bagaimana kemudian dapat memberikan intervensi agar dampak sosial dan lingkungan dari kebijakan model global pembangunan melalui kebijakan eksploitatif yang rakus sumber daya dapat dikendalikan. Kebijakan pembukaan perkebunan sawit skala besar maupun kebijakan pembangunan PLTN di Indonesia (khususnya di Kalbar) yang saat ini menjadi bagian dari potensi yang mengancam kedaulatan warga atas ruang kelola dan pemanfaatan sumber daya alam harusnya mendapat perhatian serius pemerintah. Hal ini juga menjadi ancaman atas hak pangan warga karena dengan demikian membatasi akses atas lahan pertanian warga khususnya di Kalbar yang masih menggunakan ruang kelola non sawah. Apakah kehadiran SBY dalam kunjungannya kali ini akan memberi manfaat dan atau justeru memberi mudarat atas kondisi dan masa depan lingkungan di Kalimantan Barat? Hanya waktu yang akan menjawab. Semoga saja kehadiran beliau memberi banyak manfaat dan menjadi angin yang mampu memberi harapan bagi warga Kalimantan Barat.

*) Penulis, aktivis Walhi Kalimantan Barat