hidup itu anugerah, sedangkan gagasan adalah buah dari pada anugerah itu, yang layak diabadikan melalui ukiran kata demi kata yang sedianya dapat menjadi inspirasi.
Kamis, 16 Agustus 2007
Membangkitkan Kemerdekaan
By. HENDRIKUS ADAMM BR
Setiap orang dinegeri ini tentu tahu bahwa tanggal 17 Agustus adalah moment penting yang kerapkali dikenang. Peristiwa yang menjadi tonggak awal berdirinya republik ini sejak 61 tahun silam senantiasa menjadi agenda tahunan yang tidak pernah terlewatkan warga negeri ini. Semarak dari berbagai kegiatan dan perlombaan bahkan umbul-umbul, spanduk dan warna merah-putih senantiasa hadir disetiap sudut yang turut menyemarakkan suasana. Peringatan hari kemerdekaan dinegeri ini telah menjadi rahasia umum untuk terus dimeriahkan. Bahkan warga negeri ini yang berada diluar pulau Indonesia pun tidak luput merayakan hari bersejarah yang di proklamasikan sejak 17 Agustus 1945 silam. Segenap anak negeri ini seakan diajak untuk melupakan sejenak akan „problem“ bangsa, dan larut dalam kegembiraan.
Namun dengan bergulirnya sang waktu, „wajah gembira“ itu harus sirna lantaran tidak sedikit persoalan yang mau tidak mau menjadi home work besar sekaligus sebagai bagian tanggungjawab yang diemban bangsa ini, yang telah terlanjur mengaku sebagai negara yang berdaulat (baca;merdeka) dan harus dikerjakan. Meski terlihat ironis dan „pahit“, namun apalah daya, nasi telah menjadi bubur. Yang mau tidak mau harus dihadapi pula. Kehadiran berbagai problem bangsa seakan terlegitimasi dinegeri merdeka yang mengagungkan demokrasi ini. Kabut asap sebagai akibat dari aktivitas pembakaran lahan misalnya, adalah bagian dari problem tersebut, yang konon selalu hadir sebagai „tamu istimewa“ setiap merayakan Dirgahayu Kemerdekaan dinegara republik ini. Ditambah lagi berbagai persoalan lainnya seperti; kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang sedang pupuler sekarang, Illegal logging, traffiking, perampasan SDA serta berbagai persoalan bangsa dewasa ini. Singkat kata, sedianya segudang PR itu menjadi pantas sebagai KADO tersendiri bagi setiap peringatan HUT RI yang hendaknya direfleksikan bersama dan pada akhirnya diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata dalam lingkungan masing-masing.
Tulisan Dr. Leo Sutrisno seperti dimuat salah satu media di Kalbar (17/8) tahun lalu dengan topik „Kita Belum Merdeka“ menarik bagi penulis untuk direfleksikan. Betapa tidak, dinegara yang „merdeka“ saja ternyata masih banyak problem-problem yang mengidentifikasikan bahwa sesungguhnya kita masih belum merdeka. Gambaran rill seperti yang disampaikan adalah bentuk dari fenomena tersebut. Apakah ini semua (segala problem yang ada) baru hadir pasca Inoonesia merdeka, sehingga tidak layak dijadikan alasan untuk menyatakan „kita belum merdeka?“ dan ataukah fenomena-fenomena yang ada dapat menjadi bukti suatu kemunduran bagi kemerdekaan yang telah 62 tahun diraih bangsa ini? Lalu, bagaimana dengan keberadaan negara di dunia ini yang tidak pernah sama sekali mendeklarasikan kemerdekaan, namun mampu tampil sebagai layaknya negara yang benar-benar merdeka? Bahkan lebih merdeka dari sebuah negara yang katanya merdeka dari penjajahan? Berbagai persoalan tentu saja tidak hanya menjadi dilematisme semata, namun lebih penting dari itu adalah bagaimana fenomena tersebut dapat ditemukan jawaban dan jalan keluar dari segenap anak negeri ini.
Satu hal barangkali dapat dilakukan sebagai jawaban dan solusi atas persoalan itu yakni bagaimana membangkitkan kemerdekaan yang selama ini tersembunyi dalam setiap pribadi warga negeri ini. Kemerdekaan yang dimaksudkan adalah Kemerdekaan untuk dengan jujur menyuarakan hati nurani dan mewujudkannya dalam setiap tindakan rill sesuai peran masing-masing dimasyarakat, bangsa dan negara. Dengan suara hati nurani, tentunya kita dapat membedakan dan mencari celah terbaik yang idealnya dilakukan (terbaik). Suara dari kemerdekaan dimaksud tentu saja yang konstruktif dan positif. Kemerdekaan seperti ini cenderung tersembunyi dalam setiap diri pribadi dan jarang terinterprestasi dalam tindakan nyata, terutama bagi kalangan yang mengaku para elit pun juga bisa jadi juga berlaku bagi penulis. Hanya sedikit diantara kita yang mau mengakui dan mewujudkannya. Suara kemerdekaan tuntutan hati nurani kerap kali disuarakan oleh kalangan masyarakat yang selalu merasa dirampas haknya, sementara teriakan itupun terkadang berlalu begitu saja.
Dari pemahaman kemerdekaan untuk menyuarakan dengan jujur hati nurani dan melaksanakannya dalam tindakan rill, penulis sependapat dengan kemandirian moral dan keberanian moral seperti yang dikemukakan Dr. Leo Sutrisno dalam artikelnya „Kita Belum Merdeka“.
Menurut Leo Sutrisno, kemandirian moral merupakan kekuatan batin untuk untuk mengambil sikap dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Kekuatan batin untuk tidak mau bekerja sama dengan yang kita anggap tidak baik, tidak jujur, KKN. Sementara dikatakan bahwa pribadi yang memiliki kemandirian morallah sesungguhnya intelektual sejati. Dimana kemandirian moral menunjukkan diri dalam tekad tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban meskipun terkadang bertentangan dengan pendapat kebanyakan. Dikatakan, orang yang memiliki keberanian moral berarti mempunyai kesetiaan dengan suara hati.
Uraian kemerdekaan dan kemandirian serta keberaniam moral sebagaimana ulasan diatas kiranya tidaklah berlebihan. Fakta logisnya adalah ;bagaimana mungkin seseorang pencuri mau melakukan pencurian bila seandainya ia mau menuruti suara hatinya yang mengetahui tindakannya salah? Bagaimana mungkin kalangan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan stakeholder lainnya (khususnya yang terbukti bersalah) akan melakukan kejahatan bila kemerdekaan suara hati nuraninya sungguh-sungguh didengarkan dan diwujudkan dalam sikap dan tindakannya? Hampir setiap tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan hukum umumnya seperti kasus pencurian dan kriminalitas, KKN, human traffiking, kasus illegal logging dan berbagai kasus yang tidak terpuji lainnya yang dilakukan oleh pelaku kejahatan (termasuk oleh kalangan elit) bila kita amati satu persatu cukup menyadari tindakan seperti dimaksud salah adanya. Terkesan, kemerdekaan suara hati dan kemauan untuk mewujudkannya dalam bentuk real action seakan menjadi mimpi semu yang tidak perlu terjadi. Bila kondisi seperti ini terus dibiarkan dan hanya dapat menjadi mimpi saja, maka jangan pernah bermimpi untuk menyelesaikan problem bangsa ini dari keterpurukan mentalitas yang ada.
Melihat fenomena yang ada, penulis melihat wacana kemerdekaan seperti ini menjadi menarik untuk dikaji, terlebih dalam menyongsong dan memetakan figur calon pemimpin daerah ini yang tidak lama lagi akan digelar di Bumi Khatulistiwa ini. Karenanya, saatnya bagi segenap anak bangsa dinegeri ini mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan Membengkitkan Kemerdekaan yang selama ini terpendam dalam diri masing-masing untuk mewujudkan negeri yang sungguh-sungguh merdeka. Semoga!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar