Rabu, 01 Juni 2011

Jadikan Spirit Lahirnya Pancasila sebagai Momentum untuk Menyulam Wajah (Lingkungan) Kalbar?


By. Hendrikus Adam*

Kemarin tanggal 1 Juni. Warga di negeri kita mengenal moment tersebut sebagai hari lahirnya Pancasila yakni lima pondasi yang menjadi ideologi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di republik ini. Lima dasar kehidupan ini (Pancasila) terdiri dari; Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan yang terakhir Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila ini selanjutnya dijabarkan lagi dalam butir-butir yang tak terpisahkan sebagai bagian uraian holistik agar lebih mudah dipahami. Bila kita pahami lebih jauh, apa yang termaktub dalam ke lima sila tersebut hakikatnya telah mengakomodir secara komperhensif cita-cita kehidupan setiap komponen negeri yang berakar dari karakter dan khasanah budaya yang hakikatnya beragam.

Dalam uraian sila pertama misalnya ditegaskan soal keyakinan adanya Sang Pencipta yang Esa. Warga negeri meyakini adanya Sang Pecipta alam semesta yang diwujudkan dengan cara memeluk agama yang di yakini. Dalam hal pengaturan keyakinan yang diimani tersebut, negara menetapkan ada enam agama yang secara resmi diakui (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu). Sayangnya, diluar ke enam agama yang secara resmi ditetapkan ini kemudian dianggap “sesat” oleh banyak kalangan yang seringkali “menjustifikasi” secara sepihak ketika ada pihak lain yang mencoba meyakini ajaran diluar yang diakaui pemerintah. Kemudian sila berikutnya; Kamanusiaan yang adil dan beradab menyiratkan pesan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal dalam aspek kehidupan bernegara secara adil dan beradab. Penghormatan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan terhadap sesama merupakan wujud dari pentingnya penghargaan terhadap hak asasi yang melekat dalam diri setiap insan manusia. Dalam hal ini sifat kemanusiaan yang melekat dalam setiap diri harusnya mampu menjadi jembatan untuk menguatkan hubungan yang humanis antar sesamanya untuk saling menghargai dalam membangun sikap egaliter.

Sila ke tiga ; Persatuan Indonesia. Kalimat ini menyiratkan ajakan agar masyarakat yang tersebar se nusantara dapat bersatu dalam spirit kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini keberagaman merupakan realitas bagi bangsa ini yang tidak mesti dipersoalkan. Selanjutnya; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Sila ini mengamanatkan bagaimana kemudian spirit kebersamaan dan nilai-nilai kerakyatan diorientasikan secara bijaksana untuk mencapai hasil yang maksimal untuk kepentingan bersama. Terakhir; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalimat ini mengamanatkan pentingnya pemerataan perhatian terhadap berbagai persoalan sosial yang dihadapi masyarakat tanpa ”pandang bulu”. Dalam hal ini peran negara menjadi sangat strategis khususnya dalam memfasilitasi terwujudnya kondisi sosial yang berkeadilan bagi segenap komponen bangsa. Masyarakat juga tidak kalah penting memiliki peran untuk dapat berkontribusi demi terwujudnya keadilan sosial, tentu dengan caranya tersendiri. Sikap kritis dan kontributif tentu baiknya menjadi bagian yang dimiliki untuk dapat turut serta membangun negeri ini.

Kondisi ideal yang diharapkan dari cita-cita dan landasan ideologi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tersebut tentu tidak segampang yang dibayangkan. Karena bila kehidupan masyarakat di negeri ini sejalan dan menjadikan spirit dari kelima sila mengakar dalam diri setiap anak negeri ini sebagaimana landasan dalam beraktifitas sebagaimana diurai di atas, maka sesungguhnya kita tidak perlu lagi sibuk dengan urusan yang cenderung menyita perhatian terlalu banyak. Kita tidak perlu lagi sibuk dengan persoalan maupun antisipasi ”potensi” konflik antar sesama hanya karena berbada dari sisi SARA yang seringkali membuat kita diadu dan ”retak”.

Namun demikian, melihat fakta yang ada ”Pancasila” seringkali diuji ”kesaktiannya”. Wajah negeri ini dengan Pancasila sebagai dasar negaranya seringkali ”dikelabui” oleh berbagai sikap, tindakan dan polah laku anak negeri ini sendiri yang lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek dan kemudian cenderung berimbas destruktif. Potensi konflik sosial yang membawa-bawa isu SARA seperti; peristiwa bom bunuh diri yang merugikan banyak pihak yang mengatasnamakan keyakinan tertentu, sikap radikalisme yang seringkali melukai wajah pluralisme, perusakan rumah ibadah, tingkah polah para elit yang lebih mementingkan diri, maraknya kasus korupsi yang melilit para elit, serta berbagai persoalan lain yang sesungguhnya sangat menciderai semangat ke-Indonesia-an ketika saat ini Pancasila dijadikan sebagai pondasi bernegara. Ketika berbagai sikap dan tindakan tidak terpuji ini terus terjadi, maka kita seringkali tanpa sadar diajak untuk merenung dan melihat kembali ke belakang sembari bertanya; masih saktikah Pancasila?

Dalam konteks Kalimantan Barat, fenomena riskan terkait dengan potensi gejolak sosial yang berakar pada ”eksploitasi” identitas seputar SARA misalnya, masih sangat laku dan gampang terjadi. Bedasarkan catatan dalam sejarahnya, ada belasan kali sudah terjadi konflik sosial yang melibatkan pihak antar etnik yang tentunya ini sebuah peristiwa yang memiriskan. Kejadian konflik apapun, termasuk konflik yang bernuansa SARA akan tetap riskan dan memiliki arah destruktif, mengancam tetap suburnya kondisi yang harmonis karena dengan sendirinya semangat dan nilai-nilai kebangsaan dinodai. Sehingga dalam hal ini realitas hidup bermasyarakat dalam keberagaman yang pluralis dan egaliter penting untuk terus dibangun dengan bergandengantangan. Tentu kejadian miris sebelumnya penting dijadikan pengalaman untuk mencegah kemungkinan hal yang tidak diinginkan.

Sisi lain yang tak kalah penting dan penulis nilai mutlak mendapat perhatian serius adalah fenomena dan potensi gejolak sosial yang berakar pada kebijakan ”salah urus” atas pengelolaan sumber daya alam. Selama ini kebijakan ”mengeruk” sumber daya alam berdalih atas nama kesejahteraan rakyat namun lebih berorientasi pada pengembangan aspek ekonomi semata dengan sendirinya melahirkan ketimpangan. Karena Hal ini dikarenakan dua aspek pembangunan berkelanjutan lainnya yaitu terkait sosial budaya dan lingkungan hidup berkelanjutan seringkali tidak menjadi perhatian serius. Salah satu sisi bukti ketimpangan dari pembangunan tersebut adalah dengan diagendakannya kebijakan ”perambahan” hutan dan lahan untuk perkebunan besar maupun jenis aktifitas lainnya yang cenderung eksploitatif serta tak terkendali atas ruang kelola masyarakat lokal (Umumnya Masyarakat Adat).

Massifnya agenda kebijakan model global pembangunan yang cenderung eksploitatif dalam skala besar melalui pembukaan perkebunan sawit, pemberian izin kuasa pertambangan, pemberian ruang pembangunan PLTN yang rakus lahan, rakus sumber air dan mengancam eksistensi masyarakat dan sumber daya kehidupannya. Kenyataan saat ini khususnya yang dialami masyarakat Kalimantan Barat sebagai dampak dari kebijakan ”eksploitatif” skala besar tersebut hadirnya trend perampasan tanah dan hak kelola warga atas tanah dan sumber daya lingkungannya. Terjadinya fenomena peralihan ”posisi” masyarakat dari sebagai ”tuan” kemudian menjadi ”buruh” dimana tanah yang dimiliki untuk sumber pangan melalui kegiatan pertanian dan berkebun kemudian beralih kepada pemodal. Selanjutnya juga tingginya potensi kriminalisasi yang dialami masyarakat dan terjadinya pengabaian identitas masyarakat lokal. Sisi lain yang tak kala penting dari fenomena ini bersumber dari kebijakan yang ”amburadur” melalui perizinan jalur cepat dan tumpangtindih lahan yang diberikan untuk dikelola investor. Terlebih dengan era otonomi daerah yang memberi ruang bagi kewenangan bagi kepala daerah untuk memberikan legitimasi izin, sangat gampang disalahgunakan yang kemudian cenderung berujung dapat berujung pada korupsi di sektor pengelolaan sumber daya alam. Bila sosok kepala pemerintah di daerah ”berjalan lurus” maka tentunya fenomena seperti ini masih dapat antisipasi, tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah ketika pejabat di daerah (Desa, Kecamatan, Kabupaten maupun Propinsi) lebih gampang tunduk pada pemodal.

Berkaca dari uraian diatas, maka bagaimana kemudian memposisikan spirit Pancasila agar dapat menjadi perekat dalam menyulam wajah Kalimantan Barat yang hakikatnya rentan ”tercabik” oleh karena berbagai potensi sebagaimana disebutkan di atas? Spirit Pancasila yang diamalkan oleh setiap anak negeri ini tentu diharapkan dapat menjadi perekat dalam mewujudkan kondisi yang damai, tanpa ada lagi diskriminasi dan aksi kekerasan yang bernuansa SARA. Kebersamaan dan kenyataan hidup dalam alam demokrasi dengan khasanah budaya dan identitas beragam hendaknya dapat menjadi kekuatan untuk melawan berbagai bentuk tindakan yang mengancam eksistensi diri sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.

Demikian halnya soal tanggungjawab sosial bangsa yang menagungkan spirit Pancasila, hendaknya juga dapat bergandengan tangan dalam menjaga dan melestarikan kondisi lingkungan agar tidak gampang untuk dikuras semaunya. Ketika Sang pencipta menghadirkan segalanya untuk dimanfaatkan manusia, maka dengan sendirinya manusia diberi amanah untuk mensyukuri pemberian tersebut dengan mengelolanya secara arif. Semangat pengelolaan sumber daya alam yang berbasis pada nilai-nilai lima pondasi di atas dan dengan memberikan kemerdekaan bagi masyarakat lokal untuk melakukan akses dan kontrol melalui kearifan lokal yang ada tentu akan lebih baik. Fenomena menuju arah kedaulatan secara politik bagi masyarakat lokal maupun mandiri dalam sisi akses terhadap ekonominya serta mampu mengangkat martabatnya dalam hal budaya sebagaimana cita-cita yang selama ini diharapkan komunitas Masyarakat Adat selama ini menjadi penting dan mendesak.

Momentum lahirnya Pancasila kiranya tepat bila dijadikan semangat untuk memperkuat solidaritas kesetiakawanan sosial dalam menjaga keutuhan sistem nilai dan eksistensi kondisi masyarakat yang egaliter serta menghargai alam ciptaan-Nya beserta isinya, untuk dikelola secara bijaksana dan bertanggungjawab. Pemerintah yang baik akan selalu menempatkan kepentingan publik, karenanya rakyat bersatu pasti akan kuat dan tak bisa terkalahkan.

*) Penulis, Ketua PMKRI Pontianak Periode 2008-2009, Aktivis Walhi Kalimantan Barat