Senin, 23 September 2013

Memaknai Niat (Hengkang) Wilmar



By Hendrikus Adam

Membaca berita berjudul “Wilmar Group Ancam Keluar” terkait sengkarut konflik kelompok perusahaan Wilmar (PT. Putra Indotropical dan PT. Agro Nusa Investama 2) versus warga sekitar konsesi (halaman 17 harian Pontianak Post/Kapuas Post edisi Kamis, 5/9) beberapa waktu lalu, mengingatkan penulis pada suatu kondisi. Kenangan mengenai persoalan maupun situasi sosial, budaya dan lingkungan hidup kala berkunjung di sejumlah kampung sekitar konsesi perusahaan tersebut kembali terngiang.

Berita soal “ancaman (akan) hengkang” tersebut sebelumnya juga pernah diberitakan pada harian yang sama dalam edisi online (22/8) dengan tajuk ”Wilmar Group Ancam Hengkang”. Dalam berita tersebut, Bupati Landak (Adrianus Asia Sidot) dalam forum Rapat Paripurna Penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-fraksi di ruang sidang DPRD Landak Senin (19/8) menyampaikan kalau dirinya ditelepon pihak Wilmar Group yang merencanakan hengkang dari Landak karena investasi mereka terganggu.

Sejalan dengan dinamika tersebut, maka baik bila dipahami bahwa sesungguhnya memiliki keinginan keluar (baca; ancam hengkang) sesungguhnya telah menjadi “tradisi” sehingga hal seperti ini terkesan lumrah bagi pihak Wilmar Group. Sekitar tahun 2008 lalu misalnya, persoalan yang melilit perusahaan group Wilmar yakni PT. Indoresin Putra Mandiri (IPM) di Kuala Behe sebagaimana dimuat berita online bertajuk “Bayar Adat tak Jelas, Wilmar Ancam Hengkang” juga pernah menyatakan akan keluar. Tentu fenomena ini menjadi bagian yang memperkuat keyakinan soal “tradisi” dimaksud. Bahkan persoalan terkait lemahnya komitmen dan keseriusan anak perusahaan Wilmar tersebut masih dirasakan, terutama bagi warga di kampung Engkalong (kecamatan Kuala Behe) dan sejumlah daerah konsesi group perusahaan tersebut.

Pada sejumlah konsesi perusahaan Wilmar Group di kabupaten Landak, dari memori yang membekas dalam ingatan penulis, bahwa sesungguhnya potensi konflik bermuara dari rasa “ketidakadilan” tengah dialami sejumlah warga sekitar konsesi. Bahkan di sejumlah anak perusahaan tersebut, warga sekitar pernah melakukan “aksi protes” sebagai bentuk respon dari masalah yang dihadapi guna menyampaikan aspirasi.

Selain itu, hal penting yang harus dilihat lebih secara objektif, cerdas dan juga kritis di lapangan adalah adanya (potensi) pelanggaran aturan dari sisi legal formal. Dalam kasus perusahaan Wilmar, hemat penulis hal dimaksud (pelanggaran) terjadi. Namun demikian pada satu sisi, (sepertinya) tidak banyak upaya penindakan yang dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dalam pelaksanaan aturan hukum. Seberapa proaktif institusi terkait (termasuk lembaga legislatif) menyikapinya, masih menjadi pertanyaan serius yang bukan hanya harus dijawab, namun juga penting menjadi bahan evaluasi untuk lebih baik bagi penyelenggara negara.

Sekalipun “tradisi ancaman (akan) keluar” dan merujuk sebagaimana berita “Wilmar Group Ancam Keluar,” namun harus diakui bahwa hal tersebut sangat mungkin memunculkan multi persepsi serta langkah-langkah spekulatif – kontraproduktif. Sangat mungkin kondisi dimaksud oleh para pihak tertentu digunakan untuk melakukan tindakan “destruktif” dalam wilayah orientasi kepentingan jangka pendek. Karenanya, penting menempatkan serta memaknai “ancaman keluar” tersebut dalam bingkai yang jelas dan mengena – tanpa mengabaikan rasa keadilan bagi warga. Singkatnya, “tradisi ancaman keluar” tersebut penting dimaknai dan ditempatkan pada posisi yang tepat.

Ada sejumlah hal yang penting dipelajari dan dilihat secara objektif, kritis maupun cerdas dari gejala yang cenderung aneh tersebut. Pertama, tidak tepat (tidak realistis) bila pihak Wilmar yang malah mengancam akan hengkang dari kabupaten Landak. Bila pihak perusahaan tersebut (telah/akan) memutuskan keluar, harusnya (mereka) tidak malah mengunakan istilah ”mengancam” segala. Tetapi harusnya menggunakan istilah yang lebih baik dan elegan seperti ”permisi” dan atau ”pamit” – baik kepada warga sekitar maupun pemerintah daerah setempat.

Pada sisi lain, sesungguhnya sinyal yang berharap agar “perusahaan hengkang” tergambar dari sikap dan reaksi “perlawanan” warga sekitar atas tingkah - polah perusahaan selama ini. Bila pihak terkait rajin melakukan observasi lapangan, maka sesungguhnya potensi pelanggaran maupun berbagai bentuk dinamika yang terjadi bisa ditemukan. Merujuk aturan yang ada, bila memang pihak perusahaan serius keluar, maka aset perusahaan akan dikembalikan pada pemerintah. Jadi dari sisi pengurusan (bila serius keluar) sesungguhnya juga tidak akan ada masalah.

Kedua, ”tradisi mengancam akan keluar” mengambarkan seakan Wilmar berada di atas dan atau setara dengan pemerintah daerah maupun institusi terkait lainnya. Sehingga, dengan kenyataan demikian manakala muncul persoalan terkait aspirasi memperjuangkan keadilan oleh warga yang dianggap mengancam keberadaan perusahaan, maka kalimat ”ancaman akan hengkang” sepertinya dianggap pilihan yang tepat dan strategis. Tentu ”tradisi” tersebut sangat mungkin terus dilanjutkan pihak perusahaan manakala sejumlah pihak terkait ciut dengan apa yang disampaikan. Pada situasi inilah selanjutnya kebijaksanaan dan juga keberanian pemerintah daerah berikut pihak terkait untuk melakukan tindakan tegas dan memihak kepentingan warganya yang akan terjawab kemudian.

Ketiga, melihat hal serupa (ancaman akan keluar) sebelumnya juga pernah disampaikan oleh Wilmar Group – dan kenyataannya bukan bentuk keseriusan (gertakan), maka penulis optimis bahwa pernyataan mengancam akan keluar hanyalah upaya untuk menarik simpati oknum maupun para pihak terkait untuk menaruh ”simpati” semata. Dalam bahasa sederhana, ”ancaman akan keluar” tersebut tidak sungguh-sungguh ikhlas disampaikan. Namun demikian, beranikah pejabat dan para pihak di Landak mengambil tindakan untuk memenuhi keinginan Wilmar?

Keempat, pernyataan Wilmar mengundang dan mengajak segenap komponen untuk menaruh perhatian serius dan mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi? Ibarat pepatah, tidak ada asap tanpa api. Sikap perusahaan perkebunan kelapa sawit ini secara langsung mengundang rasa penasaran publik untuk mendalami persoalan maupun kenyataan sesungguhnya yang sedang terjadi. Sekaligus menjadi ruang evaluasi dan refleksi bagi warga sekitar, pemerintah daerah, pihak terkait serta masyarakat luas untuk melakukan koreksi mendalam atas kasus tersebut. Dalam hal ini juga penting diketahui bagaimana peran pemerintah daerah beserta pihak terkait dalam memberikan kepastian (tindakan) hukum maupun upaya pencegahan atas (potensi) pelanggaran yang dilakukan perusahaan juga menarik diurai.

Uraian sejumlah poin di atas hemat penulis merupakan sinyal penting dalam memaknai niat hengkang sebagaimana disampaikan pihak Wilmar Group. Tentu penyataan tersebut akan membuahkan sejumlah konsekuensi terkait dengan komitmen keseriusan dan atau ketidakseriusan (baca; gertakan belaka) yang akan terjawab seiring dengan perjalanan waktu.

Semakin cepat warga, pemerintah daerah beserta pihak terkait meresponnya maka semakin segera ada kepastian dan sekaligus memberi jawaban pasti. Sebaliknya, respon maupun pilihan sikap warga, pemerintah maupun pihak terkait juga akan sangat menentukan apakah ”tradisi ancam hengkang” masih akan ada atau tidak ke depan. Sejauh mana komitmen keseriusan perusahaan tersebut dalam memberi kesejahteraan bagi warga sekitar dan ketaatan pada aturan legal untuk mengelola kebun secara lestari tentulah dapat menjadi pisau bedah tersendiri sebagai pijakan dalam memutuskan langkah. Harus ada evaluasi serius atas fenomena ini, terutama terkait carut marut investasi perkebunan kelapa sawit dimaksud.

Disinilah, niat baik yang didasari keberpihakan, sikap tegas dalam memberi keadilan bagi warga sebagai langkah strategis mengakhiri persoalan warga atas hadirnya perusahaan Wilmar di kabupaten Landak dipertaruhkan. Pernyataan ancaman keluar sejalan adagium; ”Awak datang kami sambut, awak jual kami beli” merefleksikan satu pertanyaannya; beranikah jualan Wilmar ”dibeli” pemangku kepentingan dan sungguhkah pernyataan yang disampaikan sebagai bentuk permisi dan atau bentuk tahu diri (Wilmar) yang sebenarnya?

Bagai buah simalakama memang situasinya. Namun demikian, sangat diperlukan keberanian dalam melakukan pilihan tindakan tegas dan aparatur maupun pihak terkait memiliki kekuatan untuk itu. Namun demikian apapun hasilnya, maka bersiaplah karena publik khususnya warga sekitar akan menilainya. Sedangkan waktu, pada akhirnya akan memberi jawaban. Semoga niat hengkang Wilmar dimaknai dengan benar dan para pihak tidak ciut dengan fenomena yang terjadi***

*) Penulis, aktif di Walhi Kalimantan Barat – Peminat isu demokrasi, sosial budaya (Masyarakat Adat), peace building, Hak asasi manusia dan lingkungan hidup


Catatan; naskah ini terbit di harian Kapuas Post edisi Minggu, 22 September 2013.