Senin, 23 Mei 2011

Nuklir, Energi Berbahaya!

By. Hendrikus Adam*

Kekhawatiran multipihak (khususnya kalangan masyarakat anti nuklir) terhadap potensi dan bahaya energi nuklir tidak berlebihan bila kemudian kita mau menoleh kebelakang, melihat berbagai bencana yang terjadi terjadi atas meledaknya sejumlah reaktor nuklir (PLTN) diberbagai belahan dunia. Bukan hanya material, tetapi juga kerugian moril dialami. Korban nyawa tak berdosa hingga harus menderita parah sepanjang usia akibat terkontaminasi radio aktif yang bukan hanya kotor, tetapi juga berbahaya!!!

Kejadian tanggal 26 April 1986 yang dikenal dengan bencana Chernobyl di Urkaina yang mengakibatkan sedikitnya sebanyak tujuh (7) juta orang harus menderita setiap hari menjalani dampak dari bencana ini. Selanjutnya bencana nuklir di Mayak, Rusia 29 September 1957 yang menyebabkan 272 ribu orang terkena radiasi tingkat tinggi. Akibatnya banyak orang yang menderita penyakit kronis, hipertensi, masalah jantung, arthritis dan asma. Setiap detik orang dewasa menderita kemandulan, 1 dari 3 bayi yang baru lahir menderita cacat, dan 1 dari 10 anak lahir secara prematur serta jumlah orang yang menderita kanker meningkat pesat.

Kejadian lainnya di Seversk (dulu Tomsk-7) Siberia pada 6 April 1993 yang menunjukkan dampak gejala serupa berupa kelainan darah dan kerusakan genetik. Hal yang sama pernah terjadi di Semipalatinsk, Astana pada tahun 1949 hingga tahun 1962. Akibatnya, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem syaraf motorik. Di Jepang, juga pernah terjadi ketika kota Herosima dan Nagasaki diserang tentara sekutu Amerika dengan Bom Atom yang menggunakan energi nuklir. Serta di Three Mile Island Amerika pada 1979 yang juga memakan banyak korban.

Musibah fatal energi nuklir fenomenal pada 11 Maret 2011 dengan meledaknya reaktor PLTN Fukushima Daiici, Jepang setelah sebelumnya dihantam gempa dan tsunami dahsyat hingga menyebabkan kerugian puluhan ribu nyawa dan material lainnya yang tak terhingga menambah deretan musibah terkait dengan bencana dari sumber energi yang dianggap aman oleh para promotor nuklir. Bencana meledaknya PLTN ini merupakan sebuah tragedi yang memiriskan. Bahkan hingga saat ini, belum ada kepastian dan jaminan pulihnya situasi dari bencana tersebut termasuk kondisi kesehatan warga yang terpapar radiasi nuklir. Bencana PLTN di Fukusihima Daiici yang tragis ini kiranya dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita khususnya para promotor nuklir di negeri kita.

Disaat begitu banyak pihak yang memuji teknologi maju dan canggih dengan memiliki standar keselamatan, kedisiplinan serta kesiap-siagaan bencana, Jepang faktanya tidak ‘berdaya’. Bahkan di Jepang (USA Today, 2007) sebelumnya pernah terjadi delapan kali kebocoran nuklir antara tahun 1997-2007.

Membicarakan energi nuklir melalui rencana pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sebagai upaya untuk mengatasi krisis energi listrik tentu cukup argumentatif, karena faktanya energi memang menjadi salah satu kebutuhan masyarakat dalam aktifitasnya. Namun demikian, hal ini menjadi tidak rasional dan terkesan dipaksakan bila kita mau jujur dan objektif. Terlebih bila melihat potensi sumber energi yang lebih ramah dan tak berbahaya. Masih terlalu banyak peluang sumber energi terbarukan yang mestinya bisa dikembangkan dan tidak berbahaya seperti sumber energi angin, air, panas bumi maupun sumber energi dari tenaga surya. Pertanyaan refleksi yang pantas kemudian adalah Sudahkan pemerintah memaksimalkan upaya untuk mengembangkan listrik melalui sumber energi terbarukan?

Niat pemerintah Indonesia yang akan membangun PLTN di kawasan Semenanjung Muria yang kemudian akan beralih ke Bangka Belitung namun mendapat penolakan massif di kalangan masyarakat sipil juga kiranya pantas menjadi refleksi bersama, bahwasanya PLTN bukanlah pilihan. Bentuk sikap tegas dari kalangan masyarakat sipil di Jawa Tengah dalam merespon rencana pembangunan PLTN ini adalah dengan lahirnya fatwa yang mengharamkan pembangunan PLTN dengan dasar pertimbangan lebih banyak dampak negatif dari dampak positif yang akan diterima kemudian.

Di Kalimantan Barat, wacana pembangunan PLTN masih cenderung “ditutupi”. Sejauh ini sikap pemerintah daerah Kalbar justeru terbuka untuk dibangunnya PLTN. Namun demikian informasi soal sikap pemerintah ini hanya bisa diakses melalui pemberitaan di media, tetapi sejauh ini belum ada penjelasan resmi atas wacana tersebut. Bahkan beberapa waktu terakir, Gubernur Kalbar era Usman Jafar hingga kepala daerah saat ini (Cornelis) memandang pentingnya mendorong dibangunnya PLTN di Kalimantan Barat dengan dasar argumentasi cenderung aman dari bencana alam dan memiliki bahan mentah Uranium. Sejauhmana upaya dan perencanaan matang mengenai pengembangan PLTN di Kalimantan Barat, masih belum disampaikan secara terbuka. Padahal pemerintah juga tentunya memiliki kepentingan besar untuk dapat memberikan pencerdasan kepara warganya melalui pemberian informasi yang utuh dan benar.

Penting menjadi pertimbangan dan pantas dipertanyakan tentunya bila pembangunan yang diarahkan untuk kepentingan publik namun masih “disembunyikan”. Asas transparansi sebagai salah satu syarat untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik harusnya dapat menjadi instrumen yang bisa diwujudnyatakan untuk menghindari berbagai asumsi yang tidak diinginkan. Terlebih hal ini sangat terkait dengan hak hidup rakyat banyak.

Wacana pembangunan PLTN di Indonesia dan konon akan dikembangkan di Kalimantan Barat adalah upaya yang terlalu nekat dan berbahaya. Akan dijadikannya daerah ini sebagai kawasan untuk pembangunan PLTN hanya karena dianggap aman dari bencana tentunya tidak begitu mendasar. Bencana nuklir yang telah terjadi di Jepang yang merupakan pengalaman miris yang layak dijadikan pelajaran betapa asumsi yang menyatakan teknologi modern bisa menjamin keselamatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat tentu tidaklah segampang yang dibayangkan. Kejadian meledaknya reactor PLTN di Jepang kiranya dapat menjadi peringatan penting atas rencana pengembangan energi nuklir di negara kita, khususnya Kalimantan Barat. Bahkan Jerman sebagai negara maju yang jauh lebih lama mengembangkan energi nuklir (PLTN) selama ini malah berencana untuk memutuskan penghentian sejumlah PLTN di negaranya. Terasa ironis bila pemerintah Indonesia (melalui para promotor nuklir) yang masih belum memiliki teknologi canggih malah terus melakukan upaya untuk mewujudkan pembangunan PLTN.

Bagaimanapun, dampak radio aktif dari energi nuklir (PLTN) terlalu kotor, berbahaya karena dampaknya dapat berlangsung ratusan tahun dan akan selalu berpotensi menimbulkan dampak yang fatal bagi kehidupan yang dapat terjadi akibat kombinasi kekhilafan maupun kesengajaan manusia, kesalahan dalam rancang bangun, serta bencana alam. Dampak jangka panjang yang dapat dituai dari bencana ini seperti terjadinya kanker, mutasi genetik, penuaan dini dan gangguan system saraf dan reproduksi. Bahkan dampak radio aktif dari bencana PLTN dapat membuat giri serta rambut manusia rontok.

Demi kepentingan masa depan lingkungan dan kemanusiaan, maka kebijakan pembangunan PLTN di Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat penting mendapat perhatian serius karena dampak negatif yang akan ditimbulkan akan jauh lebih besar. Sebaliknya, upaya untuk mengembangkan sumber energi alternatif dan terbarukan menjadi jauh lebih baik. Karenanya, peran serta semua elemen masyarakat untuk bersuara dan kritis atas rencana kebijakan pemerintah menjadi sangat penting. Tentunya, kita tidak menginginkan negeri ini menjadi Jepang kedua yang mengalami musibah karena meledaknya reaktor PLTN di Fukusima Daicii. Bagaimanapun, energi nuklir adalah energi yang kotor dan berbahaya sehingga perlu diantisipasi sejak dini.

*) Penulis, Kadiv Riset dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat