Hendrikus Adam |
By.
Hendrikus Adam*
Bila
tidak ada aral, Pemilihan umum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daeeah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan dilangsungkan 9
April 2014 mendatang. Momentum yang kerap dikenal dengan istilah “pesta
demokrasi” ini selanjutnya akan disusul dengan Pemilihan Umum pemimpin Republik
ini (Presiden dan Wakilnya). Singkatnya, warga negeri ini sedang dihadapkan
pada kenyataan bahwa Pemilu sudah di depan mata dan figur mana yang akan
dipilih tentulah sangat bergantung pada keputusan setiap pribadi pemilih.
Seberapa
besar kontribusi hasil Pemilu bagi perbaikan tatanan kehidupan segenap warga?,
kiranya hal ini penting menjadi pertanyaan mendasar atas perhelatan gawe
limatahunan tersebut. Secara sederhana, pertanyaan reflektif ini mengingatkan
pemilih untuk lebih kritis dalam menggunakan haknya sebagai warga negara dalam
menentukan “figur pemimpin” ke depan, apakah memilih untuk menggunakan hak
suara dan atau sebaliknya, tidak menggunakan hak pilih?
Harus
diakui warga kini sudah cukup kenyang atas pengalaman masa lalu dari proses
Pemilu dengan begitu banyak umbaran janji manis yang justeru berbenturan dengan
realita seiring dengan perjalanan waktu. Sebaliknya tentu tidak sedikit di
antara warga yang masih gampang “dininabobokan” oleh slogan-slogan “janji
kesejahteraan” dari para figur kandidat yang mencalonkan diri. Fakta lainnya
bahwa tentu ada di antara warga yang memutuskan menggunakan hak pilih terkait
subjektifitas, karena faktor kedekatan emosional sehingga tidak begitu menghiraukan
hal yang substantif berkenaan dengan alasan mendasar dalam penentuan pilihan.
Lantas, apa kiranya yang penting dilakukan menghadapi agenda Pemilu April
mendatang?
Bagimanapun
memilih dan dipilih merupakan hak sebagai warga negara yang dijamin konstitusi
di republik ini. Demikian sebaliknya, pilihan sikap memilih untuk tidak memilih
sebagai bagian dari hak individu warga negara yang juga dilindungi sehingga
penting untuk dihargai. Kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui
sistem demokrasi yang diterapkan telah membawa segenap warga “terbiasa”
mengikuti proses yang dikenal dengan pemilihan umum (Pemilu), yang
dimanifestasikan sebagai wujud keterlibatan diri dalam kehidupan politik.
Hasil
dari proses panjang Pemilu yang sudah pasti akan menyita waktu, tenaga maupun
biaya, seharusnya memang tidak berujung sia-sia. Seharusnya juga, tidak hanya
sebagai ajang untuk mengumbar janji semata. Tentulah menjadi tantangan bersama
untuk memastikkan bahwa apa yang akan dilakukan untuk kepentingan rakyat
seharusnya tidak hanya dilihat dengan bersandar pada “janji-janji” setiap
pribadi kandidat, melainkan sangat penting melihatnya dari aspek
kewenangan-kewenangan yang kelak dimiliki terkait dengan tupoksi ketika sudah
mendapat mandat rakyat.
Dengan
demikian, harapan terhadap figur tidak begitu berlebihan dan sebaliknya dengan
demikian, maka sebagai warga kita tidak gampang terbuai oleh karena janji-janji
yang hanya asal janji. Dalam hal inilah sikap kritis menjadi pilihan yang strategis
dalam menyikapi dinamika jelang Pemilu yang sudah di depan mata untuk tahun
2014 saat ini.
Bersih-bersih Parlemen
Sistem
demokrasi pemilihan umum yang hingga kini masih menghendaki adanya sistem
perwakilan mengharuskan adanya parlemen yang dianggap sebagai refresentasi dari
rakyat. Sekalipun kenyataannya, kita biasanya kerap mendengar keluhan warga
yang merasa tidak terwakili atas hadirnya oknum di parlemen. Karena itu menjadi
penting meletakkan orientasi kepentingan kandidat yang maju dalam Pemilu tidak
hanya sebagai ajang untuk memperoleh pekerjaan sebagai wakil rakyat semata.
Demikian juga, proses rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik untuk
meloloskan peserta pemilu yang dimandatkan sudah semestinya berbasis pada
integritas maupun kapasitas mumpuni dan bukan berdasar pada siapa yang memiliki
modal besar.
Aksi
jalanan segenap elemen masyarakat sipil di depan kantor DPR RI 12 Januari 2012
silam mendesak dibentuknya Pansus Penyelesaian Konflik Agraria di Tanah Air
yang disertai aksi sama di sejumlah daerah pada waktu bersamaan, mengisyaratkan
pentingnya langkah-langkah strategis wakil rakyat dalam merespon persoalan
bangsa khususnya terkait hak buruh, petani, perempuan, Masyarakat Adat maupun
masyarakat lokal lainnya. Sejumlah kasus lingkungan hidup berkenaan dengan
konflik agraria terkait kasus perampasan tanah dan ruang hidup warga yang kerap
disertai kriminalisasi hingga persoalan bencana ekologis harus diakui sebagai
persoalan serius yang perlu diselesaikan. Hal ini pula tentu menjadi persoalan
serius bangsa sehingga juga harusnya menjadi mandat kontestan pemilu yang kelak
terpilih.
Hadirnya
parlemen pada satu sisi memiliki peran penting terutama dalam melakukan
perumusan atas sejumlah kebijakan terkait inisiatif untuk menghasilkan produk
hukum, upaya pengawasan maupun pengalokasian anggaran bagi kepentingan
pembangunan. Kesejahteraan rakyat harusnya menjadi sasaran akhir sebagai dampak
dari niat kebijakan pembangunan ini dan parlemen memiliki peran penting untuk
mamastikan proses tersebut sungguh berjalan baik. Di balik sengkarut yang
mendera kader Parpol maupun pejabat publik tersandung sejumlah kasus korupsi
diantaranya, maka tidak mustahil akan mempengaruhi pilihan politik warga.
Atas
berbagai catatan dinamika tersebut, kalimat yang dipopulerkan WALHI yakni
“bersih-bersih parlemen dari Perusak Lingkungan” sejak Konsultasi Nasional
Lingkungan Hidup (KNLH) pada April 2013 silam tentu sangat relevan. Sebagai
organisasi lingkungan hidup, WALHI mengajak (menggugah kesadaran politik
warga) publik agar tidak lagi memberikan suara kepada mereka yang terlibat
dalam perusakan lingkungan dan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Pada
forum nasional tersebut, WALHI menyerukan agar pengurus partai politik
memperbaiki rekrutmen politik jelang pemilu 2014 dengan cara tidak memberikan
ruang bagi para perusak lingkungan untuk mengisi parlemen dan pemerintahan.
Selama ini berdasarkan catatan WALHI rekrutmen politik masih diwarnai oleh
transaksi politik uang dan hal tersebut dinilai justeru memberikan ruang bagi
para perusak lingkungan maju dalam pemilu baik di parlemen maupun eksekutif
(pemerintahan).
Selain
itu, WALHI mencatat bahwa sejak reformasi tahun 1998, proses transisi
demokrasi Indonesia belum mampu menciptakan kesejahteraan dan keadilan karena
buruknya sistem rekrumen politik. Dampak lainnya kebijakan lingkungan yang
diproduksi oleh Pemerintah dan DPR RI maupun legislatif di daerah saat ini
masih kental dengan corak eksploitatif, liberal, berorientasi pasar, mendorong
penghancuran lingkungan hidup serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Termasuk corak ekonomi-politik Indonesia yang masih setia
bersandarkan pada skema utang luar negeri.
Rakyat Memilih
Harus
diakui pula bahwa perlawanan rakyat mempertahankan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat, wilayah kelola, serta hak-hak atas tanah, hutan maupun
sumber daya alam lainnya masih dihadapkan pada tindakan kekerasan dan
kriminalisasi dari aparat negara. Karenanya, bentuk langkah strategis yang
mungkin dilakukan atas “sistem tata kelola SDA maupun pemerintahan” yang masih
menyisakan masalah bagi kepentingan hakiki warga dan lingkungannya adalah
dengan menentukan pilihan keputusan dengan tepat terkait dengan Pemilu.
Pilihan
putusan yang menempatkan rakyat memilih secara kritis, menyandarkan pilihan
dengan memperhatikan rekam jejak, dan bukan terbujuk umbaran janji maupun
iming-iming materi semata, serta tidak gampang terbuai karena faktor subjektifitas,
pastilah memiliki faedah meskipun hal ini mungkin sulit.
Dalam
hal yang sederhana, masih begitu kentara wajah demokrasi kita di perhelatan
Pemilu dihiasi sejumlah atribut media kampanye yang justeru tidak mempedulikan
aspek keindahan lingkungan sekitar. Sejumlah tanaman dan pohon kerap dijejali
dengan pemasangan iklan mengumbar janji para konsestan. Kenyataan ini
tentu penting pula dilihat sebagai indikator dalam memastikan kelayakan dalam
menentukan pilihan, disamping indikator-indikator krusial yang tentu dimiliki
masyarakat luas atas kontestan Pemilu. Indikator (mengenai rekam jejak) soal
komitmen kontestan atas kepeduliannya pada kepentingan lingkungan hidup dan
perjuangan hak rakyat, serta sejauhmana korelasi yang bersangkutan dengan
"pemilik kapital" boleh saja ditelusuri dalam menentukan pilihan ke
depan.
Disamping
itu, juga masih begitu banyak kayu cerocok dan atau kayu olahan yang digunakan
sebagai pondasi dalam memasang atribut kampanye untuk memperkenalkan diri para
kontestan pada setiap perhelatan Pemilu. Tentu hal ini penting menjadi
perhatian ke depan oleh berbagai pihak untuk memperbaiki pelaksanaan Pemilu
yang syarat dengan daya rusak terhadap lingkungan hidup.
Saatnya
rakyat memilih, berani menentukan pilihan. Memilih untuk memilih, dan atau
memilih untuk tidak memilih pastilah menjadi pilihan yang baik adanya selama
hal tersebut dilakukan lahir dari kesadaran penuh.
Tahun
2014 merupakan momentum politik penting yang sudah mulai semarak dengan berbagi
atribut berikut “umbaran janji” para kontestan Pemilu. Namun demikian, adalah
sangat penting menjadikan kesempatan tersebut sebagai momentum untuk
membersihkan parlemen dari perusak lingkungan melalui hak (memilih dan atau
tidak memilih) yang dimiliki warga negara.
*)
Penulis Aktivis WALHI Kalimantan Barat.
Naskah ini sebelumnya terbit di Harian Pontianak Post edisi 1 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar