By Hendrikus
Adam
Membaca berita berjudul “Wilmar Group Ancam Keluar” terkait
sengkarut konflik kelompok perusahaan Wilmar (PT. Putra Indotropical dan PT.
Agro Nusa Investama 2) versus warga sekitar konsesi (halaman 17 harian
Pontianak Post/Kapuas Post edisi Kamis, 5/9) beberapa waktu lalu, mengingatkan penulis pada
suatu kondisi. Kenangan mengenai persoalan maupun situasi sosial, budaya dan
lingkungan hidup kala berkunjung di sejumlah kampung sekitar konsesi perusahaan
tersebut kembali terngiang.
Berita soal “ancaman (akan) hengkang” tersebut sebelumnya juga
pernah diberitakan pada harian yang sama dalam edisi online (22/8)
dengan tajuk ”Wilmar Group Ancam Hengkang”. Dalam berita tersebut,
Bupati Landak (Adrianus Asia Sidot) dalam forum Rapat Paripurna Penyampaian
Pendapat Akhir Fraksi-fraksi di ruang sidang DPRD Landak Senin (19/8)
menyampaikan kalau dirinya ditelepon pihak Wilmar Group yang merencanakan
hengkang dari Landak karena investasi mereka terganggu.
Sejalan dengan dinamika tersebut, maka baik bila dipahami bahwa
sesungguhnya memiliki keinginan keluar (baca; ancam hengkang) sesungguhnya
telah menjadi “tradisi” sehingga hal seperti ini terkesan lumrah bagi pihak
Wilmar Group. Sekitar tahun 2008 lalu misalnya, persoalan yang melilit
perusahaan group Wilmar yakni PT. Indoresin Putra Mandiri (IPM) di Kuala Behe
sebagaimana dimuat berita online bertajuk “Bayar Adat tak Jelas, Wilmar
Ancam Hengkang” juga pernah menyatakan akan keluar. Tentu fenomena ini
menjadi bagian yang memperkuat keyakinan soal “tradisi” dimaksud. Bahkan
persoalan terkait lemahnya komitmen dan keseriusan anak perusahaan Wilmar tersebut
masih dirasakan, terutama bagi warga di kampung Engkalong (kecamatan Kuala
Behe) dan sejumlah daerah konsesi group perusahaan tersebut.
Pada sejumlah konsesi perusahaan Wilmar Group di kabupaten Landak,
dari memori yang membekas dalam ingatan penulis, bahwa sesungguhnya potensi
konflik bermuara dari rasa “ketidakadilan” tengah dialami sejumlah warga
sekitar konsesi. Bahkan di sejumlah anak perusahaan tersebut, warga sekitar
pernah melakukan “aksi protes” sebagai bentuk respon dari masalah yang dihadapi
guna menyampaikan aspirasi.
Selain itu, hal penting yang harus dilihat lebih secara objektif,
cerdas dan juga kritis di lapangan adalah adanya (potensi) pelanggaran aturan
dari sisi legal formal. Dalam kasus perusahaan Wilmar, hemat penulis hal dimaksud
(pelanggaran) terjadi. Namun demikian pada satu sisi, (sepertinya) tidak banyak
upaya penindakan yang dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dalam pelaksanaan
aturan hukum. Seberapa proaktif institusi terkait (termasuk lembaga legislatif)
menyikapinya, masih menjadi pertanyaan serius yang bukan hanya harus dijawab,
namun juga penting menjadi bahan evaluasi untuk lebih baik bagi penyelenggara
negara.
Sekalipun “tradisi ancaman (akan) keluar” dan merujuk sebagaimana
berita “Wilmar Group Ancam Keluar,” namun harus diakui bahwa hal
tersebut sangat mungkin memunculkan multi persepsi serta langkah-langkah
spekulatif – kontraproduktif. Sangat mungkin kondisi dimaksud oleh para pihak
tertentu digunakan untuk melakukan tindakan “destruktif” dalam wilayah orientasi
kepentingan jangka pendek. Karenanya, penting menempatkan serta memaknai
“ancaman keluar” tersebut dalam bingkai yang jelas dan mengena – tanpa
mengabaikan rasa keadilan bagi warga. Singkatnya, “tradisi ancaman keluar”
tersebut penting dimaknai dan ditempatkan pada posisi yang tepat.
Ada sejumlah hal yang penting dipelajari dan
dilihat secara objektif, kritis maupun cerdas dari gejala yang cenderung aneh
tersebut. Pertama, tidak tepat (tidak realistis) bila pihak Wilmar yang
malah mengancam akan hengkang dari kabupaten Landak. Bila pihak perusahaan
tersebut (telah/akan) memutuskan keluar, harusnya (mereka) tidak malah
mengunakan istilah ”mengancam” segala. Tetapi harusnya menggunakan istilah yang
lebih baik dan elegan seperti ”permisi” dan atau ”pamit” – baik kepada warga
sekitar maupun pemerintah daerah setempat.
Pada sisi lain, sesungguhnya sinyal yang berharap agar “perusahaan
hengkang” tergambar dari sikap dan reaksi “perlawanan” warga sekitar atas
tingkah - polah perusahaan selama ini. Bila pihak terkait rajin melakukan
observasi lapangan, maka sesungguhnya potensi pelanggaran maupun berbagai
bentuk dinamika yang terjadi bisa ditemukan. Merujuk aturan yang ada, bila
memang pihak perusahaan serius keluar, maka aset perusahaan akan dikembalikan pada
pemerintah. Jadi dari sisi pengurusan (bila serius keluar) sesungguhnya juga
tidak akan ada masalah.
Kedua,
”tradisi mengancam akan keluar” mengambarkan seakan Wilmar berada di atas dan
atau setara dengan pemerintah daerah maupun institusi terkait lainnya. Sehingga,
dengan kenyataan demikian manakala muncul persoalan terkait aspirasi
memperjuangkan keadilan oleh warga yang dianggap mengancam keberadaan
perusahaan, maka kalimat ”ancaman akan hengkang” sepertinya dianggap pilihan
yang tepat dan strategis. Tentu ”tradisi” tersebut sangat mungkin terus
dilanjutkan pihak perusahaan manakala sejumlah pihak terkait ciut dengan apa
yang disampaikan. Pada situasi inilah selanjutnya kebijaksanaan dan juga
keberanian pemerintah daerah berikut pihak terkait untuk melakukan tindakan
tegas dan memihak kepentingan warganya yang akan terjawab kemudian.
Ketiga,
melihat hal serupa (ancaman akan keluar) sebelumnya juga pernah disampaikan
oleh Wilmar Group – dan kenyataannya bukan bentuk keseriusan (gertakan), maka
penulis optimis bahwa pernyataan mengancam akan keluar hanyalah upaya untuk
menarik simpati oknum maupun para pihak terkait untuk menaruh ”simpati” semata.
Dalam bahasa sederhana, ”ancaman akan keluar” tersebut tidak
sungguh-sungguh ikhlas disampaikan. Namun demikian, beranikah pejabat dan para
pihak di Landak mengambil tindakan untuk memenuhi keinginan Wilmar?
Keempat, pernyataan
Wilmar mengundang dan mengajak segenap komponen untuk menaruh perhatian serius
dan mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi? Ibarat pepatah, tidak ada
asap tanpa api. Sikap perusahaan perkebunan kelapa sawit ini secara langsung
mengundang rasa penasaran publik untuk mendalami persoalan maupun kenyataan
sesungguhnya yang sedang terjadi. Sekaligus menjadi ruang evaluasi dan refleksi
bagi warga sekitar, pemerintah daerah, pihak terkait serta masyarakat luas
untuk melakukan koreksi mendalam atas kasus tersebut. Dalam hal ini juga
penting diketahui bagaimana peran pemerintah daerah beserta pihak terkait dalam
memberikan kepastian (tindakan) hukum maupun upaya pencegahan atas (potensi)
pelanggaran yang dilakukan perusahaan juga menarik diurai.
Uraian sejumlah poin di atas hemat penulis merupakan sinyal
penting dalam memaknai niat hengkang sebagaimana disampaikan pihak Wilmar
Group. Tentu penyataan tersebut akan membuahkan sejumlah konsekuensi terkait
dengan komitmen keseriusan dan atau ketidakseriusan (baca; gertakan belaka)
yang akan terjawab seiring dengan perjalanan waktu.
Semakin cepat warga, pemerintah daerah beserta pihak terkait
meresponnya maka semakin segera ada kepastian dan sekaligus memberi jawaban
pasti. Sebaliknya, respon maupun pilihan sikap warga, pemerintah maupun pihak
terkait juga akan sangat menentukan apakah ”tradisi ancam hengkang” masih akan
ada atau tidak ke depan. Sejauh mana komitmen keseriusan perusahaan tersebut
dalam memberi kesejahteraan bagi warga sekitar dan ketaatan pada aturan legal
untuk mengelola kebun secara lestari tentulah dapat menjadi pisau bedah
tersendiri sebagai pijakan dalam memutuskan langkah. Harus ada evaluasi serius
atas fenomena ini, terutama terkait carut marut investasi perkebunan kelapa
sawit dimaksud.
Disinilah, niat baik yang didasari keberpihakan, sikap tegas dalam
memberi keadilan bagi warga sebagai langkah strategis mengakhiri persoalan
warga atas hadirnya perusahaan Wilmar di kabupaten Landak dipertaruhkan. Pernyataan
ancaman keluar sejalan adagium; ”Awak datang kami sambut, awak jual kami
beli” merefleksikan satu pertanyaannya; beranikah jualan Wilmar ”dibeli”
pemangku kepentingan dan sungguhkah pernyataan yang disampaikan sebagai bentuk
permisi dan atau bentuk tahu diri (Wilmar) yang sebenarnya?
Bagai buah simalakama memang situasinya.
Namun demikian, sangat diperlukan keberanian dalam melakukan pilihan tindakan
tegas dan aparatur maupun pihak terkait memiliki kekuatan untuk itu. Namun
demikian apapun hasilnya, maka bersiaplah karena publik khususnya warga sekitar
akan menilainya. Sedangkan waktu, pada akhirnya akan memberi jawaban. Semoga
niat hengkang Wilmar dimaknai dengan benar dan para pihak tidak ciut dengan
fenomena yang terjadi***
*) Penulis,
aktif di Walhi Kalimantan Barat – Peminat isu demokrasi, sosial budaya
(Masyarakat Adat), peace building, Hak asasi manusia dan lingkungan
hidup
Catatan; naskah ini terbit di harian Kapuas Post edisi Minggu, 22 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar