By Hendrikus Adam
Musim Pemilihan Umum (Pemilu), juga kabut
asap kembali tiba. Sejak dua bulan terakhir, berbagai macam atribut peserta
Pemilu DPR, DPD, DPRD dan bahkan kandidat yang disebut-sebut bakal menjadi
calon Presiden dan wakilnya menyemarakkan berbagai ruang publik. Sejumlah
spanduk, stiker, bendera berlambang partai maupun calon hingga iklan mengumbar
asa dan janji kepada publik tampak semarak. Sejumlah ruang silaturahmi bersama
kandidat dalam berbagai topik yang seakan bakal menjawab persoalan rakyat pun
ditabuh di berbagai tempat.
Di tengah semarak upaya memperkenalkan diri
para kandidat peserta Pemilu, wajah bumi Khatulistiwa sekitar pemukiman warga di
sejumlah daerah Kalimantan Barat khususnya, sekitar empat pekan terakhir sedang
dihiasi kabut asap yang menyita perhatian. Kabut asap yang menyelimuti wilayah
kembali memamerkan kehebatannya. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
sebagai hak asasi manusia ternodai disaat persoalan tersebut kembali muncul sementara
peran negara mengakomodir hak fundamental warga masih menjadi penantian.
Kenyataan bahwa situasi masyarakat sedang
dihadapkan pada “dua musim” bersamaan hemat penulis penting dilihat lebih
kritis dalam bingkai kepentingan jangka panjang untuk memastikan terpenuhinya
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lantas apa hubungan kedua musim
dimaksud? Tentu pembaca boleh saja menghubung-hubungkannya.
Dari sisi waktu, kedua musim tersebut tentu
berbeda. Pemilu jelas dilakukan setiap lima tahun sekali, sedangkan bencana
(kabut) asap selama ini terjadi setiap tahun. Bahkan ada kesan bahwa peristiwa (kabut)
asap sudah menjadi hal yang lumrah di negeri kita. Karena dianggap lumrah,
sejauh ini belum ada tindakan intervensi yang mumpuni, tegas dan tuntas dalam
menjawab persoalan ini.
Dampak luas dari terjadinya kabut asap harus
dijawab dengan menempatkan fenomena tersebut sebagai bencana darurat yang
serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, produk Pemilu semestinya
menjadi bagian strategis untuk menjawab dan memulihkan terpenuhinya hak asasi
warga.
Menilik (Persoalan) kabut asap
Dari sisi istilah, kabut merupakan kumpulan
tetes-tetes air yang sangat kecil dan melayang-layang di udara. Dalam aspek
teoritis, kabut terbentuk ketika udara yang jenuh akan uap air didinginkan di
bawah titik bekunya. Hal ini dapat terbentuk apabila uap air masuk ke dalam
udara yang suhunya jauh lebih rendah daripada suhu sumber uapnya. Biasanya
dapat terbentuk dari uap air yang berasal dari tanah yang lembab,
tanaman-tanaman, sungai, danau, dan lautan. Uap air ini berkembang dan menjadi
dingin ketika naik ke udara. Dalam hal ini, udara dapat menahan uap air hanya
dalam jumlah tertentu pada suhu tertentu. Udara pada suhu 30º C misalnya, dapat
mengandung uap air sebangyak 30 gr uap air per m3, maka udara itu mengandung
jumlah maksimum uap air yang dapat ditahannya. Volume yang sama pada suhu 20º C
udara hanya dapat menahan 17 gr uap air. Sebanyak itulah yang dapat ditahannya
pada suhu tersebut. Ketika suhu udara turun dan jumlah uap air melewati jumlah
maksimum uap air yang dapat ditahan udara, maka sebagian uap air tersebut mulai
berubah menjadi embun. Kabut akan hilang ketika suhu udara meningkat dan
kemampuan udara menahan uap air bertambah.
Bila memperhatikan proses tersebut, kabut
memang cenderung muncul pada malam dan juga pagi hari. Setelah matahari terbit
dan memancarkan sinarnya, kabut tersebut sedikit demi sedikit akan menghilang. Bila
melihat material yang terkandung di dalamnya, maka bauran antara kabut dan asap,
selanjutnya dikenal dengan kabut asap yang kembali terjadi sejak beberapa pekan
terakhir tentu menjadi sangat riskan bagi berbagai aspek kehidupan. Satu
diantar pengaruhnya pada kesehatan.
Bukti konkrit dari sisi kesehatan sebagai
dampak kabut asap yang sedang terjadi misalnya infeksi saluran pernafasan
maupun penyakit diare yang kini marak dialami warga (Pontianak Post, 7/2/2014).
Sebagai hal yang terkesan dianggap
biasa, harus disadari bahwa kabut asap selama ini telah berkontribusi
mempengaruhi degradasi kondisi lingkungan hidup maupun tingkat kesehatan
masyarakat sebagaimana disebutkan. Selanjutnya juga berdampak pada aspek sosial
budaya, ekonomi dan jalur transportasi, bahkan situasi politik.
Inisiatif meliburkan kegiatan belajar di
sekolah oleh pemerintah kota Pontianak tentu pantas diapresiasi dengan kondisi
udara yang tidak sehat karena melebihi ambang batas sebagaimana Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU) yang dirilis pihak terkait akhir-akhir ini. Namun
demikian, memastikan agar pasien pengidap penyakit akibat fenomena kabut asap
menjadi sangat penting untuk diberi kemudahan dalam mengakses pelayanan prima (gratis)
oleh pemerintah sebagai bentuk pemenuhan kewajiban asasi negara.
Persoalan
lingkungan hidup mengenai kabut asap, sebetulnya bukan suatu hal baru. Sekitar
tahun 1990-an kabut asap hebat menjadi bencana nasional yang turut ’mengusik’
perhatian serius dunia internasional, alhasil Indonesia malah mendapat predikat
sebagai ’pengekspor’ asap. Selanjutnya sekitar tahun 2005/2006, kabut asap juga
menyita perhatian publik dimana Kementrian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia dibawah pimpinan Rachmat Witoelar pada 1 September 2006 mengumumkan
sebanyak 697 perusahaan terindikasi membakar hutan dan lahan meliputi wilayah
pulau Sumatera dan Kalimantan khususnya selama periode bulan Juni hingga
Agustus 2006. Pada Juni 2013 tahun lalu, sebanyak 117 perusahaan bidang HTI dan
Perkebunan karena terlibat kasus kebakaran lahan di Sumatera.
Fenomena di
negeri kita khususnya Kalimantan Barat terus terjadi setiap tahunnya. Saat ini,
kabut asap kembali tiba. Menariknya, seperti tahun sebelumnya (Juni 2013) di
Kalbar, pada saat ini (Januari 2014) kabut asap yang terjadi juga tidak bertepatan
dengan musim membuka lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar oleh petani
peladang. Kenyataan ini hakikatnya mejawab bahwa sumber asap bukan dari
kegiatan berladang.
Pemenuhan Hak oleh Negara
Sebagai hak dasar warga, hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat menjadi wajib hukumnya dipenuhi oleh negara melalui aparatur pemerintahan
di republik ini (Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 65 dan pasal 13 UU 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Namun demikian, bila
mencermati fenomena penyebab bencana kabut asap melalui peristiwa kebakaran hutan
dan lahan selama ini yang terjadi di wilayah konsesi perusahaan perkebunan misalnya,
tidak pernah tersentuh oleh penindakan tegas aparatur penegak hukum. Disadari
memang, dalam satu sisi, pembukaan lahan dengan cara membakar adalah cara yang
sangat murah meriah.
Kenyataan bahwa masih belum
adanya sanksi tegas atas kebakaran lahan yang menyebabkan kabut asap di
Kalimantan Barat misalnya terjadi. Kalaupun pernah di proses hukum seperti PT.
Buluh Cawang Plantition (BCP) dan PT. Wilmar Sambas Plantation (WSP) sekitar
tahun 2007 melalui Pengadilan, namun kalah dalam penetapan putusannya. Sekitar
tahun 2006, ketika sedang maraknya pemberian izin korporasi sebagian besar
konsesi perusahaan di Kalimantan mengalami kebakaran, termasuk di Kalimantan
Barat kala itu (Majalah KR; Asap dan Sengsara, 2006). Selanjutnya, sekitar
tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan kelapa sawit (PT.
Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG Internasional di Dusun Engkuning,
Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak),
tetapi juga tidak pernah ada tindakah hukum tegas. Rilis WALHI Kalbar 31 Juli
2012 lalu menyebutkan dari sekitar 61 titik api (hotspot) di Kalbar, sebanyak
34 titik di antaranya berada pada 31 konsesi perusahaan perkebunan yang
tersebar di sembilan kabupaten.
Kenyataan tersebut
mengkonfirmasi bahwa tindakan hukum sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak
asasi warga terhadap pihak yang harusnya bertanggungjawab atas kebakaran yang
menyebabkan kabut asap masih jauh panggang dari api. Pemenuhan hak asasi
sebagai kewajiban asasi negara belum tersentuh sementara dampak langsung atas
fenomena kabut asap bagi kesehatan warga terus terjadi.
Sisi lain terkait lemahnya
komitmen dalam menjawab persoalan kabut asap terlihat dari sikap ”ambigu”
pemerintah yang hingga kini belum bersedia melakukan ratifikasi atas Persetujuan
ASEAN mengenai pencemaran asap lintas batas (ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution) di mana Indonesia menjadi bagian dari forum ini.
Pernyataan Menteri Lingkungan hidup yang “berjanji” dan sudah memberi sinyal
bahwa pemerintah Indonesia akan meratifikasi persetujuan tersebut pada akhir
tahun lalu serta selambatnya awal tahun ini (2014) ternyata belum terwujud.
Padahal, peluang untuk keluar dari persoalan asap di wilayah Asia Tenggara
dengan terlibat dalam jaringan solidaritas bersama harusnya dapat dilihat
sebagai sisi strategis.
Mengakhiri Musim
Akhirnya, secara proses, ”kedua
musim” sebagaimana disebutkan (pemilu dan kabut asap) pada bagian awal tentu
berbeda. Namun demikian, menjadi penting kiranya pula untuk memastikan agar
respon atas keduanya memberi dampak positif bagi pemenuhan, perlindungan dan
penghormatan hak warga negara. Pemilu DPR, DPD dan DPRD yang akan segera
dihelat pada 9 April mendatang sedianya dibarengi dengan komitmen serius keberpihakan
kontestan menjawab persoalan rakyat. Disamping itu, sikap kritis warga dalam
menggunakan hak pilihnya melalui penentuan orang yang sungguh-sungguh memiliki
kepedulian juga penting ada.
Musim kabut asap yang
sedang terjadi, baik bila dapat membuat kita mawas diri dan lebih berhati-hati
agar terhindar dari dampak buruk (kesehatan) dari kabut asap. Mengantisipasi
dampak langsung atas kesehatan, maka upaya pencegahan dengan membatasi diri
terkontak langsung dengan kabut asap sembari menjaga daya tahan tubuh penting
dilakukan. Berkaca dari fenomena tersebut pula, sebagai warga yang memiliki hak
atas lingkungan yang baik dan sehat, maka penting memastikan agar hasil Pemilu memihak
kepentingan lingkungan hidup dan pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak
dasar warganya.
Dengan begitu, antara
Pemilu dan (kabut) Asap logikanya memiliki relasi yang erat. Ibarat dua sisi
mata uang, keduanya saling terkait. Pemilu berikut produknya yang tidak ”peka”
terhadap persoalan lingkungan (bencana kabut asap) hanya akan menjadi masalah
dimana rakyat turut menanggung beban. Sebaliknya, bila bencana kabut asap terus
terjadi hingga pelaksanaan pesta demokrasi 9 April mendatang, maka tentu rakyat
akan semakin banyak menjadi korban. Semoga (kesehatan) rakyat tidak terus
menjadi korban karena alpanya kewajiban asasi negara dalam menghormati,
memenuhi dan melindungi hak fundamental
warganya dari dampak bencana kabut asap. Rakyat tentu merindukan, kedua musim
tersebut berakhir manis. Semoga***
*Penulis aktivis WALHI Kalimantan Barat, alumni Sekolah Advokasi Penataan Ruang (SATAR)
angkatan II tahun 2013.
TERIMA KASIH. Naskah sebelumnya diterbitkan pada media Harian Kapuas Post, Minggu 2 Maret 2014. Pada saat naskah ini dalam proses penerbitan, kebakaran lahan di konsesi PT. PANP di desa Ampadi, kecamatan Meranti, kabupaten Landak terjadi sejak Kamis, 22/2/2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar