Kamis, 20 September 2012

Kabut Asap

Hendrikus Adam
By. Hendrikus Adam
[Penulis, Aktivis Walhi Kalimantan Barat]

Kabut asap menjadi istilah yang kerapkali kita dengar akhir-akhir ini. Juni 2012 lalu, sejumlah media massa kembali memberitakan hebatnya kabut asap hingga menyelimuti gedung kembar ’pencakar langit’ Petronas di Kuala Lumpur, Malaysia. Gedung tertinggi di dunia dengan 88 lantai ini menjadi fokus pemberitaan sejumlah media terkait fenomena buruknya kondisi lingkungan yang berkembang sejak sebulan terakhir karena polusi asap yang disinyalir berasal dari Indonesia. 

Persoalan lingkungan yang dikenal dengan kabut asap ini, sebetulnya bukan fenomena baru di negeri kita. Setidaknya sekitar tahun 1997/1998 kabut asap hebat menjadi bencana nasional yang turut ’mengusik’ perhatian serius dunia internasional dan buah dari kondisi ini dimana Indonesia malah mendapat penilaian sebagai negara ’pengekspor’ asap. Bahkan hingga tahun 2005/2006 kabut asap juga menyita perhatian publik. Selanjutnya akhir-akhir ini, kabut asap kembali menyelimuti wilayah kota Pontianak dan sekitarnya, bahkan hingga lintas negara. Menariknya, kabut asap yang menjadi perbincangan publik Juni lalu tidak bertepatan dengan musim membuka lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar oleh petani peladang. Fakta ini sekaligus membantah tuduhan yang selama ini menjadikan peladang sebagai biang kabut asap. Lantas, dari mana sumbernya? 

Melihat sumber kabut asap umumnya terjadi karena intervensi manusia (baik disengaja maupun tidak disengaja) melalui pembukaan maupun pembersihan lahan dengan cara membakar. Sangat kecil kemungkinan terjadi karena faktor alam. Namun demikian, siapa dalangnya dan bagaimana prosesnya seringkali menjadi debat panjang yang tak bertepi. Kesukaran dalam menentukan pelaku penyebab kabut asap secara tegas ini kemudian berimbas pada mandulnya penegakan hukum lingkungan hidup di negeri ini. 

Dalam banyak pandangan kalangan elitis, masyarakat lokal pedesaan yang membuka lahan untuk pertanian (ladang) seringkali menjadi pihak tertuduh yang cenderung ‘dikambinghitamkan’ sebagai biang kabut asap. Namun demikian tuduhan ini tidak sepenuhnya bisa diandalkan karena dibalik kedekatan emosional warga lokal secara langsung, terdapat kearifan mengelola sumber daya alam yang masih hidup dan dihidupi sebagian besar komunitas masyarakat adat.  

Di masyarakat suku Dayak dan atau komunitas masyarakat adat di Kalimantan misalnya, memiliki keyakinan bahwa sumber daya alam sebagai bagian dari hidup dan kehidupan mereka. Pengalaman dan keyakinan hidup sebagai bagian dari sistem nilai yang mengakar ini melahirkan sikap hidup untuk tetap bijak dalam memberlakukan lingkungannya demi keseimbangan, termasuk dalam hal pembukaan lahan pertanian (ladang) dengan cara membakar yang dilakukan sejak lama secara turun temurun. Berdasarkan penelitian Institut Dayakology terhadap tradisi lisan dayak, mencatat kearifan lokal masyarakat adat dalam hal pengelolaan sumber daya alam dengan tujuh prinsip meliputi; 1) berkesinambungan, 2) keragaman, 3) subsistem (untuk kebutuhan sendiri), 4) kebersamaan, 5) tunduk pada hukum adat, 6) tidak mengenal zat kimia, dan 7) selalu ditandai ritual (Majalah KR, Januari 2000).  

Pengalaman dari (hukum) adat capa molot terhadap Kadis Kehutanan Kalbar (Ir. Karsan Sukardi) ditahun 1997 karena menuduh peladang berpindah sebagai penyebab kebakaran hutan dan bencana kabut asap menarik untuk menjadi pelajaran. Dari kasus ini bisa dipetik pengalaman berharga, betapa tuduhan miring sebagai biang kabut asap yang cenderung dialamatkan pada warga pedesaan khususnya peladang masih terlalu dini dan kurang beralasan.  

Bahwa aktivitas pembakaran lahan untuk kepentingan apapun berkontribusi menyumbang emisi di atmosfer tentunya realitas ini tidak bisa dibantah. Karenanya, pastilah sumber penyebab kabut asap begitu beragam dan kompleks. Namun demikian, yang tak kalah penting dilihat adalah seberapa besar suatu aktivitas berkontribusi terhadap akumulasi polusi udara dari kabut asap?   

Hal menarik lainnya adalah fenomena kabut asap yang selama ini cenderung dianggap sebagai hal yang biasa. Oleh karena dianggap hal yang biasa, warga pada umunya seringkali menganggapnya sebagai suatu kondisi yang wajar dan terkesan tidak perlu direspon reaktif. Demikian juga negara melalui pemerintah, terkesan menilai fenomena kabut asap sebagai suatu yang biasa-biasa pula. Bila terus berlarut seperti ini, maka kondisi demikian tentu tidak akan pernah menguntungkan bagi upaya pemajuan penegakan hukum dan pemulihan lingkungan yang bebas dari kabut asap.  

Berbeda dengan negara tetangga, pemerintah setempat selalu aktif memberikan respon terutama berkenaan dengan kiriman asap yang disinyalir berasal dari Indonesia. Terlepas dari aspek politis, komplain dunia internasional melalui pemerintah negara setempat dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab sosial suatu rezim memberi perlindungan bagi warganya dari potensi situasi lingkungan yang buruk akibat polusi di atmosfer. Pada sisi aspek pemenuhan hak dasar (HAM), rasa keberatan yang dilakukan dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab kemanusiaan. Respon dunia internasional tentu tidak mesti dinilai negatif. Sebaliknya mestinya dapat direspon secara bijak, sekaligus boleh dijadikan refleksi dan pelajaran berharga untuk berbenah guna menumbuhkan komitmen maupun sinergi bersama agar negeri ini dipulihkan dari (sebagai) sumber dan bencana kabut asap.   

Sebaliknya, sikap ’diam’ warga atas fenomena kabut asap selama ini sedianya juga tidak dijadikan legitimasi negara melalui pemerintah dan multi pihak lainnya untuk tidak berbuat sesuatu demi lingkungan yang baik dan sehat. Sebagai hal yang dianggap biasa, harus disadari bahwa kabut asap telah berkontribusi mempengaruhi kondisi lingkungan dan tingkat kesehatan, sosial budaya, ekonomi dan transportasi maupun situasi politik di masyarakat.

Bila melihat sejumlah kejadian kebakaran sejak 1990an hingga kini, faktor penting yang berkontribusi menjadi penyulut kabut asap selama ini adalah pembersihan lahan yang terjadi di sejumlah areal konsesi perkebunan skala besar dengan cara membakar. Memang dalam satu sisi, pembukaan lahan dengan cara membakar bagi korporasi adalah cara yang sangat murah. Sejumlah kasus dan kejadian pembakaran lahan yang berkontribusi menyebabkan kabut asap di areal perkebunan skala besar ini nyaris tak tersentuh hukum. Pada tataran inilah kemudian benang kusut kabut asap menjadi fenomena. 

Di Kalimantan Barat misalnya, hingga saat ini belum ada sanksi tegas terhadap pelaku pembakar lahan (korporasi) dalam membuka lahan. Kalaupun pernah di proses hukum seperti PT. Buluh Cawang Plantition (BCP) dan PT. Wilmar Sambas Plantation (WSP) sekitar tahun 2007 melalui Pengadilan, namun kandas pada proses akhir perkara. Selanjutnya di sejumlah lokasi perkebunan lainnya pada tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan sawit meliputi; PT. Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG Internasional di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di Kabupaten Pontianak. Ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran di arealnya. Bahkan kebakaran lahan sawit di kampung Engkuning malah menjorok hingga ke perkebunan karet produktif warga. 

Data Walhi Kalbar per 8 April 2011 menemukan sedikitnya terdapat titik 19 titik api yang tersebar di beberapa kabupaten yang meliputi Sambas, Bengkayang, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Sintang, Landak dan Sanggau. Per 20 Juni 2012, Walhi Kalbar kembali mencatat sebanyak 36 titik api tersebar di delapan wilayah kabupaten masing-masing; Sambas (13 titik), Bengkayang (4 titik), Pontianak (4 titik), Kubu Raya (5 titik), Landak (2 titik), Kapuas Hulu (3 titik), Ketapang (3 titik), Kayong Utara (2 titik). Sebagian besar diantara titik api ini berada di sekitar konsesi perkebunan. Terbaru per 31 Juli 2012, sebanyak 61 titik api tersebar di Kalimantan Barat. Sebanyak 34 titik diantaranya berada pada 31 konsesi perusahaan perkebunan yang tersebar di sembilan kabupaten yakni Bengkayang (2 perusahaan), Landak (5 perusahaan), Sanggau (4 perusahaan), Sekadau (1 perusahaan), Sintang (9 perusahaan), Ketapang (2 perusahaan), Kubu Raya (5 perusahaan), Kapuas Hulu (2 perusahaan) dan Kayong Utara (3 perusahaan). 

Terjadinya kebakaran lahan di perkebunan menjelaskan bahwa memang hukum masih belum menjadi panglima yang dapat diandalkan untuk memberikan efek jera atas pembakar lahan penyebab kabut asap. Peran pemerintah untuk melakukan antisipasi hingga pada proses penanganan kebakaran lahan lebih bersifat reaktif. Fenomena ini juga sebagai bukti masih lemahnya komitmen pihak perusahaan mengelola managemen yang baik khususnya dalam upaya antisipasi kebakaran lahan. Lemahnya penegakan hukum atas pelaku kebakaran lahan adalah wujud dari tidak optimalnya peran negara. Hal ini pula menjadi indikasi bahwa upaya maupun komitmen proteksi untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran masih sangat lemah dalam managemen pengelolaan perusahaan.  

Sesungguhnya, landasan hukum melalui Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan Provinsi Kalimantan Barat dan Pergub Kalimantan Barat No. 103 Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (PROTAP) Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalbar telah mengatur hal tersebut. Demikian halnya dalam UU Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU Kehutanan nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Pertanian nomor: 26/permentan/ot.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Keputusan Menteri Pertanian nomor 357/kpts/hk.350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan  juga tidak membenarkan adanya pembukaan lahan dengan cara pembakaran. Ancaman sanksi 10 tahun penjara dengan denda 10 milyar sebagaimana diurai pasal 26 Undang-undang 18 tahun 2004 tentang Perkebunan menanti. 

Melihat lemahnya tindakan tegas terhadap pelaku penyebab kabut asap yang terus terjadi, barangkali aparat penegak hukum kita perlu belajar dari proses penanganan dan penegakan hukum terhadap perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan pembakaran lahan di Riau tahun 2000. Dalam hal ini, dua perusahaan perkebunan yaitu PT. Jatim Jaya Perkasa dan PT. Adei Plantation divonis bersalah oleh pengadilan.  

Kabut asap memang sering membuat sejumlah pihak kalang kabut, bahkan saling lempar tanggungjawab. Sinergisitas antar berbagai pihak memang sangat penting, demikian pula komitmen maupun upaya hukum untuk menghentikan bencana asap dengan menindak pelaku pembakaran lahan mesti menjadi perhatian bersama semua pihak. Semoga saja ke depan Indonesia tidak lagi di cap sebagai negeri pengekspor asap, namun bijak dan santun dalam mengelola lingkungannya.

*) Naskah ini terbit di Majalah Kalimantan Review (KR) edisi September 2012.

Tidak ada komentar: