By. Hendrikus Adam
(Ini naskah kedua soal Kabut Asap. Naskah sebelumnya silahkan lihat di
KABUT ASAP 1)
KABUT ASAP 1)
Peristiwa kebakaran hutan dan
lahan menjadi fenomena yang seringkali terjadi di pulau Kalimantan,
khususnya di provinsi Kalimantan Barat. Kejadian ini menyisakan banyak
persoalan karena memberi dampak pada sejumlah aspek kehidupan sosial, ekonomi,
lingkungan hidup dan juga aspek politik. Pada aspek sosial berdampak pada
sejumlah kegiatan seperti pendidikan dan tingkat kesehatan warga yang begitu
rawan terganggu oleh karena polusi asap yang menyelubungi atmosfer.. Sedangkan
pada aspek ekonomi, kabut asap memberi dampak pada terganggunya sarana
transportasi dan aktivitas ekonomi maupun kegiatan produktif masyarakat lainnya
melalui sejumlah usaha yang digeluti.
Disamping itu pada aspek
lingkungan hidup, fenomena kabut asap menjadi sumber polusi bagi udara bersih
yang seharusnya bisa dihirup setiap orang. Dampaknya dapat menyebakan gangguan
radang pernafasan yan menyebabkan penyakit ISPA. Selanjutnya pada sisi politik,
kabut asap yang kerapkali terjadi di daerah kita telah melahirkan persepsi
negatif pihak luar negeri terhadap kinerja pemerintah dalam mengendalikan
fenomena yang tidak menguntungkan ini. Dalam hal ini, posisi negara cenderung
berada pada posisi lemah.
Pada Juni 2012 lalu misalnya,
kabut asap yang disinyalir berasal dari Indonesia
menyelimuti gedung menara kembar ‘pencakar langit’ Petronas setinggi 88 tingkat
di Kuala Lumpur, Malaysia. Kejadian ini menjadi
perhatian banyak pihak khususnya melalui pemberitaan media massa
betapa buruknya kondisi udara dan Indonesia mendapat predikat kurang
menguntungkan yakni sebagai negeri penghasil asap. Kabut asap yang terjadi
sekitar Juni 2012 lalu setidaknya telah memberi dampak pada sejumlah aspek
kehidupan seperti terganggunya jalur transportasi udara, aktivitas warga maupun
gangguan kesehatan karena polusi udara. Sedikitnya sebanyak sepuluh maskapai
penerbangan di Bandara Supadio saat itu yang mengalami gangguan penerbangan
sekitar 1,5 jam dengan jarak pandang yang hanya berkisar hingga 50 meter.
Fenomena kabut asap telah
melahirkan sejumlah upaya untuk mendeteksi sejumlah kejadian yang berhubungan
dengan akar persoalan yang sedang terjadi. Stasiun Meteorologi Supadio mencatat
bahwa pada 18 Juni 2012 misalnya, titik api berdasarkan pantauan satelit NOA hingga
mencapai 90 titik. Daerah yang terpantau meliputi; Sambas 13 titik, Kubu Raya 5
titik, Bengkayang dan Kabupaten Pontianak 4 titik, Kapuas Hulu dan Ketapang 3
titik, Landak dan Kayong Utara 2 titik. Selanjutnya berdasarkan data BLHD
Kalimantan Barat per Juni 2012 sedikitnya terdapat 392 titik api yang tersebar
di 13 kabupaten/kota Kalimantan Barat minus kota Pontianak.
Masih menurut data BLHD
Kalimantan Barat, sepanjang Januari hingga Oktober 2012, titik api yang terjadi
di 14 kabupaten/kota Kalimantan Barat sebanyak 6.028 titik yakni Ketapang
(1.757 titik), Sanggau (954 titik), Sintang (819 titik), Landak (522 titik),
Kapuas Hulu (483 titik), Sekadau (405 titik), Melawi (326 titik), Sambas (269
titik), Bengkayang (171 titik), Kayong Utara (150 titik), Kabupaten Pontianak
(148 titik), Kota Singkawang (21 titik) dan Kota Pontianak (3 titik).
Walhi Kalimantan Barat per 31
Juli 2012 turut merilis titik api (hotspot) yang terjadi di Kalimantan Barat
sebanyak 61 titik. Sebanyak 34 titik api diantaranya berdasarkan analisis
terdapat di 31 konsesi usaha perkebunan besar di sembilan kabupaten yakni
Bengkayang (2 perusahaan), Landak (5 perusahaan), Sanggau (4 perusahaan),
Sekadau (1 perusahaan), Sintang (9 perusahaan), Ketapang (2 perusahaan), Kubu
Raya (5 perusahaan), Kapuas Hulu (2 perusahaan) dan Kayong Utara (3
perusahaan).
Persoalan lingkungan yang dikenal
dengan kabut asap ini, sebetulnya bukan fenomena baru. Sejak tahun 1997/1998 silam, kabut asap hebat
telah menjadi bencana nasional yang juga tidak luput dari perhatian pihak luar.
Data World Bank tahu 2001 menyebutkan bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh 34%
akibat konversi lahan (untuk perkebunan dan HTI), 25% pertanian, 17%
perkebunan, 8% transmigrasi, 14% kebakaran lainnya dan 1% akibat bencana alam.
Sekitar tahun 2005/2006, kabut
asap juga menyita perhatian publik. Kementrian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia dibawah pimpinan Rachmat Witoelar pada Jumat (1/9/2006) mengumumkan
sebanyak 697 perusahaan terindikasi membakar hutan dan lahan meliputi wilayah
pulau Sumatera dan Kalimantan khususnya selama periode bulan Juni hingga
Agustus 2006. Langkah pemblokiran oleh pihak Kementrian Lingkungan Hidup
terhadap sejumlah lahan konsesi yang terbakar saat itu merupakan terobosan
baik. “Mungkin (pemblokiran) ini kontraversial, tetapi itulah salah satu cara
menghentikan pembakaran. Cara ini digunakan untuk mencabut motif ekonomi
dibalik pembakaran hutan dan lahan,” [Rachmat Witoelar, dikutif
dalam KR edisi 2006].
Fenomena kabut asap menyelimuti
sejumlah daerah di pulau Kalimantan dan
khususnya di Kalimantan Barat memang biasa terjadi. Berdasarkan catatan WALHI
Kalimantan Barat, sepanjang tahun 2012, kabut asap setidaknya terjadi mulai
bulan Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober.
Menarik dari fenomena kabut asap
yang terjadi sekitar Juni 2012, tidak bertepatan dengan musim membuka lahan
pertanian (ladang) dengan cara membakar oleh masyarakat lokal. Kenyataan ini
menjelaskan kuat dugaan ada sebab lain yang menjadi biang kebakaran hutan dan
lahan yang menyebabkan terjadinya kabut asap. Umumnya fenomena ini terjadi ulah
manusia, baik yang dilakukan disengaja maupun tidak disengaja. Sangat kecil
kemungkinan terjadi karena faktor alam. Kenyataan bahwa pengungkapan pelaku
kabut asap selama ini belum pernah membuahkan hasil. Kondisi demikian berimbas
pada mandulnya penegakan hukum lingkungan hidup atas pelaku pembakar hutan dan
lahan.
Dalam banyak pandangan,
masyarakat lokal di pedesaan yang membuka lahan untuk pertanian gilir balik
seperti berladang, kerapkali diposisikan sebagai pihak ‘tertuduh’ biang kabut
asap. Peladang gilir balik sering mendapat sorotan negatif. Pada peristiwa
kebakaran lahan yang mengakibatkan bencana kabut asap Juni 2012 lalu misalnya,
tuduhan terhadap peladang sebagaimana diberitakan harian lokal yang disampaikan
pihak Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalimantan Barat memberatkan
peladang sebagai penyebabnya.
Dalam kutipan sebagaimana
diberitakan (Pontianak Post, 19 Juni 2012), Wuyi Bardani selaku Kabid
Pengendalian dan Konservasi BLHD Kalbar menyatakan; ”Sekarang memasuki musim
kemarau dan sudah tidak turun hujan beberapa hari belakangan. Setiap musim
kemarau biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membakar hutan untuk
membakar lahan baru”. Sementara disatu sisi, khususnya pada bagian awal berita
berjudul ”ISPU Rusak Kadar Asap Tak Menentu,” tertulis bahwa “Badan Lingkungan
Hidup Kalimantan Barat sampai saat ini belum mengetahui penyebab pelaku
pembakar lahan yang mengakibatkan kabut asap pekat. Namun kuat dugaan hal
tersebut dilakukan oleh masyarakat saat membuka ladang.” Penyataan yang
diberitakan media massa
lokal ini menyiratkan bahwa sekalipun BLHD belum mengetahui secara pasti
penyebabnya, namun tuduhan terhadap peladang sebagai penyebab kabut asap
tersirat jelas.
Bila melihat rotasi pembukaan
lahan pertanian ladang yang biasanya ada di masyarakat lokal, maka ‘tuduhan’
terhadap peladang sebagai penyebab kabut asap berpotensi kurang baik. Hal ini
dkarenakan bahwa sekitar bulan Juni biasanya bukanlah masa membersihkan lahan
dengan cara bakar bagi petani. Bulan Juni justeru biasanya dimanfaatkan untuk
memulai menyiangi dan atau menebas kawasan yang akan dibuka untuk lokasi
ladang. Tuduhan terlalu dini yang cenderung negatif bagi peladang tersebut
seharunya tidak perlu terjadi bila rotasi tahapan perladangan dapat dipahami
secara menyeluruh.
Kenyataan lain bahwa indikasi
penyebab kebakaran lahan skala luas yang selanjutnya menghasilkan bencana kabut
asap dari kegiatan pembersihan lahan oleh perusahaan perkebunan maupun
sejenisnya seringkali tidak tersentuh aparat penegakan hukum. Pelajaran dari
tuntutan hukum atas kasus kebakaran lahan perusahaan perkebunan kelapa sawit
yang terjadi sekitar tahun 2006 di PT. Buluh Cawang Plantation (BCP) dan PT.
Wilmar Sambas Plantation (WSP) berakhir kandas. Selanjutnya di sejumlah lokasi
perkebunan lainnya pada tahun 2011 terjadi kebakaran lahan di areal perkebunan
sawit meliputi; PT. Sintang Raya di Kabupaten Kubu Raya, PT. LG Internasional
di Dusun Engkuning, Kabupaten Sekadau dan di PT. Peniti Sungai Purun (PSP) di
Kabupaten Pontianak. Ketiga tempat ini telah nyata-nyata terjadi kebakaran di
arealnya. Bahkan kebakaran lahan sawit di kampung Engkuning malah menjorok
hingga merusak perkebunan karet produktif warga.
Terkait dengan pembakaran lahan
yang berakibat pada terjadinya kabut asap, kepala BLHD Kalimantan Barat, Dr.
Ir. H. Darmawan, M.Sc, pernah menyampaikan bahwa ”Pihak ketiga yang diduga melakukan
pembakaran sering berdalih, faktanya land clearing disub kontrakkan. Disamping
itu, undang-undang lingkungan hidup yang lama memang sulit menjerat pelaku,
namun dengan UU yang baru (UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup), mereka (pihak perusahaan) bisa dijerat. Kami
pernah memperkarakan PT. Wilmar Sambas Plantation atas kebakaran lahan yang
terjadi di lokasi kebunnya, tetapi kita saat itu kalah”
Menurut Darmawan, pihak BLHD
sejauh ini akan menindaklanjuti apa bila ada pengaduan dari masyarakat yang
merasa dirugikan. Karena kendalanya terkait dengan luas wilayah, rentang
kendali dan sumber daya, maka pihaknya lebih memilih untuk mengutamakan
pembinaan. Soal perizinan usaha, pihak BLHD lebih menekankan agar aturan-aturan
yang dipersyaratan ditaati pihak perusahaan.
”Kepada pihak yang dianggap
melakukan pelanggaran terhadap kaidah-kaidah aspek lingkungan dalam usahanya,
salah satu yang dilakukan BLHD melalui pembinaan terlebih dulu. Karena ada
aspek lain yang dipertimbangkan yakni iklim investasi. Kalau mau melakukan
tindakan hukum bisa saja semuanya kena, tetapi kita tidak ingin menimbulkan
iklim yang tidak baik. Karena justru dapat menimbulkan kondisi yang tidak
diharapkan. Tugas kita semua, setiap investasi yang masuk mesti bisa memastikan
ada manfaat yang didapat masyarakat dari apa yang dilakukan,” [Wawancara bersama Darmawan].
Pengalaman dari (hukum) adat capa
molot terhadap Kadis Kehutanan Kalbar (Ir. Karsan Sukardi) ditahun 1997 karena
menuduh peladang berpindah sebagai penyebab kebakaran hutan dan bencana kabut
asap menarik untuk menjadi pelajaran. Dari kasus ini bisa dipetik pengalaman
berharga, betapa tuduhan miring sebagai biang kabut asap yang cenderung
dialamatkan pada warga pedesaan khususnya peladang masih terlalu dini dan
kurang beralasan. Pada sisi lain, kegiatan petani yang membakar ladang
untuk lahan pertaniannya tidak menjadi persoalan sejak dulu. Terlebih dalam
membuka lahan mereka biasanya hanya semampu mereka dan dikelola berdasarkan
kearifan yang dimiliki. Sebaliknya, pihak perusahaan dalam membuka lahan
memerlukan hamparan yang luas dan tentu saja manakala terjadi kebakaran baik
disengaja maupun tidak (karena kelalaian misalnya) akan sulit untuk dipadamkan.
Terlepas dari aspek politis,
komplain dunia internasional melalui pemerintah negara setempat dapat dipahami
sebagai bentuk tanggungjawab sosial suatu rezim memberi perlindungan bagi
warganya dari potensi situasi lingkungan yang buruk akibat polusi yang sudah
dianggap mengganggu. Pada sisi aspek pemenuhan hak dasar (HAM), rasa keberatan
yang dilakukan dapat dipahami sebagai bentuk tanggungjawab kemanusiaan. Respon
dunia internasional tentu tidak mesti dinilai negatif. Sebaliknya mestinya
dapat direspon secara bijak, sekaligus boleh dijadikan refleksi dan pelajaran
berharga untuk berbenah guna menumbuhkan komitmen maupun sinergi bersama agar
negeri ini dipulihkan dari (sebagai) sumber dan bencana kabut asap.
Sebaliknya, sikap diam warga atas fenomena kabut asap selama ini
sedianya juga tidak dijadikan legitimasi negara melalui pemerintah dan multi
pihak lainnya untuk tidak berbuat sesuatu demi lingkungan yang baik dan sehat.
Sebagai hal yang dianggap biasa, harus disadari bahwa kabut asap telah
berkontribusi mempengaruhi kondisi lingkungan dan tingkat kesehatan, sosial
budaya, ekonomi dan transportasi maupun situasi politik di masyarakat.
Bila melihat sejumlah kejadian
kebakaran sejak 1990an hingga kini, faktor penting yang berkontribusi menjadi
penyulut kabut asap selama ini adalah pembersihan lahan yang terjadi di
sejumlah areal konsesi perkebunan skala besar dengan cara membakar. Memang
dalam satu sisi, pembukaan lahan dengan cara membakar bagi korporasi adalah
cara yang sangat murah. Sejumlah kasus dan kejadian pembakaran lahan yang
berkontribusi menyebabkan kabut asap di areal perkebunan skala besar selama ini
belum tersentuh hukum.
Di Kalimantan Barat misalnya,
hingga saat ini belum ada sanksi tegas terhadap pelaku pembakar lahan
(korporasi) dalam membuka konsesi. Terjadinya kebakaran lahan di perkebunan
menjelaskan bahwa memang hukum masih belum menjadi panglima yang dapat
diandalkan untuk memberikan efek jera atas pembakar lahan penyebab kabut asap.
Peran pemerintah untuk melakukan
antisipasi hingga pada proses penanganan kebakaran lahan lebih bersifat
reaktif. Fenomena ini juga sebagai bukti masih lemahnya komitmen pihak
perusahaan mengelola managemen yang baik khususnya dalam upaya antisipasi
kebakaran lahan. Lemahnya penegakan hukum atas pelaku kebakaran lahan adalah
wujud dari tidak optimalnya peran negara. Hal ini pula menjadi indikasi bahwa
upaya maupun komitmen proteksi untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran masih
sangat lemah dalam managemen pengelolaan perusahaan.
Sesungguhnya, landasan hukum
melalui Peraturan Daerah No. 6 Tahun 1998 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Kebakaran Hutan Provinsi Kalimantan Barat dan Pergub Kalimantan Barat No. 103
Tahun 2009 tentang Prosedur Tetap (PROTAP) Mobilisasi Sumber Daya Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Kalbar telah mengatur hal tersebut.
Demikian halnya dalam UU Perkebunan Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, UU
Kehutanan nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Menteri Pertanian
nomor: 26/permentan/ot.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,
Keputusan Menteri Pertanian nomor 357/kpts/hk.350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan
Usaha Perkebunan juga tidak membenarkan adanya pembukaan lahan dengan
cara pembakaran. Ancaman sanksi 10 tahun penjara dengan denda 10 milyar
sebagaimana diurai pasal 26 Undang-undang 18 tahun 2004 tentang Perkebunan
menanti.
Melihat lemahnya tindakan tegas
terhadap pelaku penyebab kabut asap yang terus terjadi, barangkali aparat
penegak hukum kita perlu belajar dari proses penanganan dan penegakan hukum
terhadap perusahaan perkebunan yang terbukti melakukan pembakaran lahan di Riau
tahun 2000. Dalam hal ini, dua perusahaan perkebunan yaitu PT. Jatim Jaya
Perkasa dan PT. Adei Plantation divonis bersalah oleh pengadilan.
Kabut asap kerap membuat sejumlah
pihak kalang kabut, bahkan saling lempar tanggungjawab. Upaya optimal dan
sinergisitas antar komponen memang sangat penting untuk mengatasi fenomena ini.
Demikian pula komitmen maupun upaya penegakan hukum untuk menghentikan bencana
kabut asap mesti menjadi perhatian bersama semua pihak karena akhirnya yang
menjadi korban dan dirugikan adalah khalayak ramai.
*) Penulis, aktivis Walhi Kalimantan Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar