By. Hendrikus Adam*
Empat kata (Kekerasan Aparat –
Masyarakat Sipil) yang menjadi judul dalam tulisan ini tentu tidak asing bagi
kita. kata tersebut mengemuka disejumlah media masa beberapa hari terakhir.
Tindak kekerasan oleh negara melalui aparat penegak hukum terhadap masyarakat
sipil maupun para aktivis menjadi bagian yang turut mewarnai tatanan demokrasi.
Tanggal 29 Januari 2013 lalu, kita kembali disuguhkan berita memiriskan. Sekelompok
petani bersama sejumlah rekan aktivis lingkungan hidup di Sumatera Selatan
menjadi korban ‘pembantaian’ aparat kepolisian saat melangsungkan aksi jalanan
bersama.
Kejadian ini menyisakan aib bagi
wajah demokrasi yang sekaligus berhasil menjadi dan bahkan berpotensi menambah presenden
buruk bagi aparat khususnya pihak kepolisian. Peran sebagai pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat yang termatrai dalam undang-undang kepolisian sepertinya
masih perlu mendapat perhatian serius khususnya dalam tataran implementasi. Demikian
pula dengan upaya perjuangan hak yang dirampas melalui jalur aksi jalanan oleh
masyarakat sipil tidak selalu berbuah manis. Konsekuensi pahit yang berakhir ricuh hingga korban kekerasan menjadi buah
yang harus diterima. Kasus yang baru terjadi tentu pantas menjadi rujukan untuk
menjadi bahan refleksi bersama; mau dibawa kemana sesungguhnya wajah demokrasi dan
peran aparat kita.
Kasus Mesuji di provinsi Lampung tahun 2011 lalu terkait konflik perkebunan
yang berujung pada tindakan kekerasan penembakan warga sipil dan bahkan berakibat
hilangnya nyawa. Selanjutnya kasus bernuansa tindak kekerasan oleh aparat di
Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat terkait penolakan warga atas hadirnya
perusahaan tambang PT. Sumber Mineral Nusantara yang turut memakan korban
nyawa, serta kasus di Ogan Komering Hilir (Sumsel) terkait sengketa warga
versus PT. Perkebunan Nusantara yang mengakibatkan meninggalnya Angga (12
tahun), tertembak dibagian kepala oleh peluru aparat sekitar Juli 2012. Sederet
kasus tindak kekerasan yang bermuara pada persoalan agraria yang senantiasa melibatkan
peranserta aparat ini menjadi realitas betapa negara melalui aparaturnya betah
bermain api, ’melindas’ rakyatnya sendiri.
Di Kalimantan Barat November 2011, kejadian serupa menimpa Darius warga
dusun Pakan (Desa Balai Sepuak, Sekadau)
menjadi korban ’tertembak’ pada bagian betis oleh aparat kepolisian sebagai
buntut dari kasus berkenaan hadirnya perusahaan perkebunan (PT. Grand Utama
Mandiri) di daerah tersebut. Sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan aparat
mengajarkan banyak hal kepada kita, dimana masyarakat sipil senantiasa menjadi
korban ketidakadilan bahkan hingga melepaskan nyawa. Disamping itu, kehadiran
pemodal cenderung memanfaatkan ’tangan negara’ melalui aparatur keamanan untuk berusaha
menyelamatkan usahanya. Kondisi ini membuahkan satu benang merah terpenting
untuk dipahami bahwa pendekatan keamanan dalam merespon gejala sosial terkait
hajat hidup warga banyak tidak dapat menjadi sebuah jaminan kondisi tersebut
akan aman/terkendali. Pada tataran ini, pihak kepolisian tentu perlu berbenah
diri secara institusi. Demikian pula masyarakat sipil tentunya harus lebih
sigap dalam menyikapi sejumlah kemungkinan kala melakukan aksi jalanan.
Kasus yang baru terjadi pastilah secara sadar tidak kita inginkan. Tentu
begitu banyak potensi kasus sama ibarat
api dalam sekam yang perlu diredam sekaligus dipadamkan sejak dini sebelum
menjadi bara besar yang dapat merugikan banyak pihak khususnya masyarakat
kecil. Gejala konflik pengelolaan sumber daya alam yang bermuara pada
ketidakadilan agraria hingga kini memang sedang menggurita di negeri kita.
Kebijakan alih fungsi lahan untuk kepentingan pemodal dibawah bendera izin
penguasa melalui kewenangannya dengan tidak ’cermat’ harus diakui telah
melahirkan sejumlah persoalan serius yang akhirnya berdampak pada ranah sosial
budaya, aspek lingkungan hidup dan himpitan ekonomi bagi masyarakat. Kriminalisasi
masyarakat, perampasan hak warga atas lahan, pencemaran dan perusakan
lingkungan hingga potensi praktek korupsi sektor pengelolaan sumber daya alam
mengemuka.
Sederet kasus sebagaimana disebutkan haruslah menjadi peringatan penting
bagi segenap komponen bangsa. Perebutan sumber daya alam disatu sisi harus
dipahami bukan sekedar untuk dikuras yang selanjutnya menguntungkan oknum
tertentu semata. Sebaliknya, aparatur harus menunjukkan kesungguhannya dalam menindak
tegas dugaan pelanggaran dan menyelesaikan sejumlah persoalan mengenai
sengkarut yang menjadi akar masalah yang ada. Bila melihat gejala yang
berkembang, provinsi Kalimantan Barat harus diakui sangat berpotensi menjadi
sasaran ’amuk’ berikutnya. Karena itu, upaya intervensi yang didasari itikad
baik dengan cara-cara humanis untuk menciptakan kondisi damai oleh segenap
komponen menjadi sisi prioritas. Sejumlah penyelenggara institusi penegak hukum
tentu sangat hatam dengan tupoksi yang harus mereka jalankan dalam menyikapi
fenomena sosial yang ada, karenanya harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang
elegan.
Bukan saatnya wajah arogan institusi dipertontonkan oleh sejumlah oknum aparat
melalui tindak kekerasan maupun sejenisnya. Bukan saatnya aparat kepolisian
bersama masyarakat sipil harus gontok-gontokan oleh karena kasus ketidakadilan
yang bermuara pada kepentingan investasi yang hanya berpotensi menguntungkan
segelintir pihak. Sebaliknya, aparat (utamanya pihak kepolisian) sangat
berkepentingan untuk menampilkan wajahnya yang ’sejuk’ dan sungguh-sungguh
sebagai pelindung, pengayom maupun pelayan bagi masyarakat. Demikian halnya
masyarakat pada umumnya, sangat berkepentingan dengan rasa aman yang memang
menjadi keinginan bersama ditambah kehadiran aparat yang bersahabat.
Aparat bersama masyarakat sipil harusnya dapat bersinergis, saling
mendukung dan saling mengayomi. Terpenting, aparat dalam menjalankan tugasnya
mesti tegas sikapnya untuk tetap tegak dan terjaganya kedamaian. Kalaulah ada
sikap keberpihakan pada ”yang bayar” dan atau ”yang kuasa” dengan mengulangi
cara-cara kekerasan, maka yakinlah hal yang demikian akan justeru menjadi jalan
ampuh untuk menuju kian sirnanya kepercayaan masyarakat terhadap institusi
keamanan. Bila demikian yang terus terjadi, tentu tindak kekerasan aparat layak
digugat. Stop kekerasan (aparat), pulihkan Indonesia dan utamakan keselamatan
rakyat kiranya dapat menjadi asa bersama menuju kondisi yang diinginkan.
* Penulis aktivis
WALHI Kalimantan Barat
Catatan:
Naskah ini diterbitkan dalam rubrik Opini Harian Pontianak Post edisi Selasa, 5 Februari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar