Cara Menjaga Alam dan Wilayah Kelola ala Dayak
Melahui
Ekspansi
perkebunan kelapa sawit oleh PT. Sumber Hasil Prima dan
PT. Sinar Sawit Andalan di wilayah kecamatan Serawai di kabupaten Sintang
khususnya di desa Gurung Sengiang melahirkan debat multi reaksi dan persoalan berkepanjangan
khususnya bagi wraga yang menjadi korban. Sejumlah oknum warga yang semula
memiliki sikap kuat menghendaki agar pihak perusahaan tidak melakukan konsesi
di wilayah desa mereka, kini beberapa diantaranya mulai berhasil dirangkul. Sementara,
sejumlah wilayah kelola warga beralih menjadi areal konsesi perkebunan perusahaan.
Pun demikian, tidak semua berakhir baik. Beberapa lahan warga yang digarap paksa
tanpa permisi masih menggantung tanpa penyelesaian. Di antara warga dusun
sekitar Desa, kampung Sei Garuk adalah wilayah yang masih cenderung aman untuk
saat ini. Menyadari ancaman perluasan konsesi perusahaan, warga kampung Sei
Garuk wilayah dusun Gurung Permai di desa Gurung Sengiang berkomitmen untuk
tidak tergiur dengan janji manis pemodal. Menjaga alam dan wilayah kelola
melalui ritual menjadi pilihan yang baru saja dilakukan oleh komunitas Dayak
Melahui.
Sekilas
Kampung Sei Garuk
Kampung Sei Garuk atau dikenal pula dengan dusun
Gurung Permai merupakan satu dari empat dusun yang ada di Desa Gurung Sengiang,
kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang. Batas
wilayah kampung dengan tiga dusun lainnya yakni Nanga Mentibar sebelah Selatan,
Melaku Kanan sebelah Barat dan Laman Gunung di sebelah Timur. Sebelah utara
berbatasan dengan Gobu, wilayah desa Tampang Benua. Laman Perentah adalah nama asal dari kampung ini semasa melawan
penjajah saat itu. Dinamakan Laman Perentah sebagai istilah yang lahir karena
orang yang pertama datang berdomisili dan mendirikan pondok saat itu secara
otomatis menjadi kelapa kampung. Kerakas (pendiri rumah pertama), Nyambang,
Randui dan Acong adalah sederet nama yang pernah menjadi kepala kampung di Sei
Garuk pada masa itu. Sei Garuk, terletak di perhuluan Sungai Melawi dengan
jarak tempuh sekitar 2 jam perjalanan dari ibukota kecamatan. Sedangkan dari
kota Pontianak diperlukan waktu sekitar 15 jam perjalanan untuk sampai di
daerah ini. Penduduk asli kampung Sei Garuk adalah Dayak Melahui dengan jumlah
penghuni sekitar 43 kepala keluarga (KK).
Sumber daya alam berupa hutan, tanah dan air
menjadi bagian yang tak terpisah dari hidup dan kehidupan warga Sei Garuk.
Aktivitas keseharian; berladang, menoreh karet, berburu, mencari lauk di sungai
maupun kegiatan meramu menjadi rutinitas dalam keseharian warga. Di kampung ini
juga bisa ditemui sejumlah ritus maupun situs budaya dan potensi wisata serta
sejumlah kawasan yang menarik. Disamping itu, warga sei Garuk juga memiliki
sistem nilai dan adat istiadat untuk mengatur tata hubungan dengan sang
pencipta, sesama dan alam ciptaan. Sungai Mentibar dengan puluhan anak
sungainya mengalir di sekitar pemukiman.
Kekayaan sumber daya alam yang ada di sekitar
wilayah kampung Sei Garuk menjadi sebuah kebanggaan warga sehingga pantas
mendapat perhatian. Namun demikian, apa yang dimiliki tidak lantas membuat
warga setempat tenang. Akhir-akhir ini, warga merasa resah seiring dengan
hadirnya perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah Desa Gurung
Sengiang yakni PT. Sumber Hasil Prima dan PT. Sinar
Sawit Andalan. Sejumlah wilayah kelola adat dan kebun warga setempat digusur tanpa
permisi oleh pihak perusahaan. Disamping itu ganti kerugian atas tindakan ini
belum pernah dilakukan pihak perusahaan. Bahkan sejumlah sungai dan kawasan
hutan sekitar warga rusak.
Dinamika Persoalan Warga
Disamping persoalan lingkungan, potensi dan
konflik sosial antar warga menjadi fenomena yang perlu perhatian. Upaya
penyelesain kasus penggusuran lahan warga Sei Garuk dan sekitarnya yang beralih
menjadi perkebunan kelapa sawit hingga kini belum berujung sekalipun jalur formal telah ditempuh warga seperti;
mengadu ke pemrintah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan bahkan ke tingkat
pusat. Warga juga menyampaikan persoalan mereka ke
Komnas HAM dan sejumlah lembaga sosial di Pontianak. Bahkan kedatangan warga
beberapa bulan lalu untuk menuntut penyelesaian kasus di kantor perusahaan di
Serawai, ditanggapi dingin dan tanpa dihadiri pimpinan perusahaan. Sejumlah
oknum disinyalir sengaja dipersiapkan perusahaan saat itu untuk menghadang
warga yang datang meminta pertanggungjawaban pihak perusahaan yang telah sukses
menggusur lahan kebun produktif dan ruang kelola.
Persoalan warga di desa Gurung Sengiang umumnya
hingga kini masih menggantung. Warga yang menjadi korban perampasan lahan
menanti perhatian dan penyelesaian yang berkeadilan. Namun demikian, penantian
warga atas penyelesaian kasus yang dihadapi belum terjawab sekalipun warga
telah menyampaikan dan meminta penyelesaian persoalannya kepada berbagai pihak
terkait [tampilkan data tuntutan dan kerugian warga Sei Garuk]
Warga
kampung Sei Garuk khususnya adalah komunitas warga yang ingin tetap alam dan wilayah
kelolanya terjaga dari eksploitasi perusahaan besar perkebunan. Warga sebelumnya
juga telah mengeluarkan kesepakatan bersama menolak berbagai bentuk investasi
yang dianggap akan mengancam sumber hidup dan kelangsungan kehidupan mereka.
Sejumlah poin dalam kesepakatan yang ditetapkan tanggal 25 September 2011 ini
juga mempertegas dan memperjelas sikap warga dusun Gurung Permai memiliki
keinginan agar lingkungan alamnya tetap terjaga dan lestari. Dengan sikap ini, harus dipahami bahwa bukan
berarti warga Sei Garuk anti pembangunan, namun demikian namun mereka tidak
menghendaki kebijakan pembangunan yang justeru tidak berpihak pada
keberlanjutan kehidupan.
Ritual Menjaga Alam
Menyadari keterancaman wilayah adatnya dari
eksploitasi kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit, warga Sei Garuk pada
tanggal 25 Juli 2012 lalu menyelenggarakan Ritual Adat Memasang Patok. Pada
kesempatan ini, warga melalui mantra yang disampaikan pemimpin ritual sekaligus
menyampaikan sumpah dan komitmen untuk menjaga wilayah kampungnya dari
kemungkinan terburuk yang tidak dikehendaki. Ritual Adat memasang Patok yang
disertai penyampaian sumpah tersebut diselenggarakan untuk kali pertama oleh
warga kampung Sei Garuk guna menjaga agar wilayah masyarakat tidak digusur oleh
pihak dari luar maupun dari lingkungan kampung sendiri. Hal menarik dari ritual
ini, segenap warga kampung turut ambil bagian.
Ritual Adat Memasang Patok terdiri dari empat
bagian sub ritual diantaranya; nopas
patok, nopas burung, ritual memasang patok dan ritual penutup.
Pada sub ritual nopas patok dua orang perempuan tua di halaman rumah melapalkan
mantra mendoakan agar patok yang diukir menyerupai patung manusia memiliki
kekuatan magis yang mampu menjaga wilayah kampung. Setiap patung yang akan
dipasang diolesi darah babi bercamur darah ayam. Sesekali dua perempuan
menaburkan beras kuning dan memerciki patung dengan air sirih dari mulutnya.
Setelah pemberkatan patung usai, ritual nopas
burung selanjutnya dilakukan di dalam rumah. Sejumlah warga berkumpul mengikuti
prosesi yang dipimpin sang kase (dukun) terdiri dari Meni, Randa dan seorang
perempuan tua lainnya. Di tengah bilik rumah terkumpul sejumlah kelengkapan
ritual seperti; beras sabul, pelita, peta wilayah kampung, beras tabor (beras
kuning), telur ayam kampung yang maish utuh, juga ada telur ayam kampung yang
dilubangi didalamnya dimasukkan beras kuning yang melambangkan upah bagi roh
yang akan menyelamatkan. Selanjutnya juga terdapat darah ayam bercampur darah
babi, serat akar tongan, beras samungat, parang, peralatan nyirih,
tuak. Selain itu, juga terdapat daun mentawa, daun murau, daun kelango dan daun
keluso’ sebagai peraga ritual yang dikibaskan bersamaan dengan seekor ayam.
Menurut keyakinan warga, hal ini dilakukan untuk membuang segala penyakit,
menolak bala dan memberi perlindungan kepada warga yang akan memasang patok
melindungi wilayahnya agar diberi keselamatan. Ritual ini juga ditandai dengan menandai
pipi warga yang hadir dengan darah dan memasang serat akar tongan di pergelangan tangan. Seusai ritual nopas burung, barulah
kemudian warga turun ke lapangan membawa sejumlah patok pada beberapa titik
batas wilayah kampung.
Pada ritual pasang patok, sejumlah warga dibagi
menjadi empat bagian sesuai dengan jumlah patok yang akan di pasang. Sejumlah
kelengkapan ritual seperti darah binatang kurban, ayam, patok, kelengkang
(anyaman menyerupai bakul terbuat dari bambu) dengan sejumlah bahan makanan di
dalamnya, serta seorang dukun yang ditugasi melapalkan mantra. Ritual ini
dilakukan untuk menandai batas wilayah kampung agar terjaga dan selamat dari
gangguan manusia. Warga percaya bagi pihak yang melanggar pasti akan termakan
sumpah, bahkan bisa mati seketika bila ada oknum dan atau pihak yang
mengganggunya.
”Siapa yang melanggar sumpah, itu yang menjadi
tumbal. Siapa yang berkhianat akan menanggungnya termasuk warga yang di dalam
kampung apa lagi yang dari luar. Ini lah ritual adat kami ini,” jelas Ujang
Nali, pemuda kampung Sei Garuk.
Acong (77),
sesepuh warga yang turut menjadi pemimpin ritual mengatakan bahwa ritual yang
dilakukan sebagai cara warganya mempertahankan tanah adat, tanah keramat, hutan
adat kebudayaan masyarakat. ”Itulah maka kami membuat benteng pemasangan patok”
jelasnya..
”Aku menyumpah orang
lain yang akan merusak tanah leluhur kami nanti akan mati. Kami tidak ingin
tanah leluhur kami diganggu oleh pihak perusahaan kelapa sawit,” jelas Randa
(80), seorang nenek yang turut menjadi pemimpin ritual. ”Kami mempertahankan
tempat kami beruma. Kami bersumpah siapapun yang menganggu akan dimakan sumpah.
Mulai di masa saya hingga anak cucu, kami berharap tidak ada orang yang
menggarap tanah leluhur kami,” pinta seorang ibu pemimpin ritual lainnya, Meni
(50).
Seusai pemasangan patok batas, warga kemudian
kembali ke rumah untuk santap siang bersama. Setelah makan siang bersama, satu
tahapan ritual yakni ritual penutup memanggil roh leluhur. Ritual bagian akhir
ini dimaksudkan agar roh leluhur memimpin, melindungi dan memelihara warga
beserta lingkungan alamnya berupa hutan, tanah dan air (sungai) dari berbagai
bentuk gangguan dari luar. Kegiatan ini dilakukan melalui pemasangan Ranca’, berupa panggung kecil yang
didalamnya dimasukkan nasi, sayur dan makanan lainnya serta dilengkapi miniatur
tangga dari batang kayu berdiameter kecil yang disandarkan. Juga terdapat beras
kuning, abu, cabe dan garam. Setiap kelengkapan ini memiliki makna tersendiri
sebagai bagian dari rangkaian prosesi ritual.
Pada ritual ini, tiga orang kase (dukun) terdiri
dari seorang pria dan dua orang perempuan tua menjadi pemimpin dalam ritual ini
sambil melapalkan sejumlah mantra. Di bagian pondasi ranca’, tanah dilobangi kemudian dimasukkan sejumlah makanan dan
daging untuk memberi makan roh leluhur penguasa tanah yang diyakini akan
memberikan perlindungan kepada warga kampung Sei Garuk.
Ritual mamasang patok
wilayah adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat di kampung Sei Garuk dalam
menjaga alam dan wilayah kelolanya. Cara dan upaya yang dilakukan warga
menjelaskan bahwa kepedulian pada alam maupun masa depan lingkungan, adat
maupun budaya serta keberlangsungan kehidupan masih sangat lekat dalam diri
manusia Dayak Melahui di kampung Sei Garuk. Inilah cara lain warga di perhuluan
Seungai Melawi ini dalam menjaga lingkungannya, menjaga keberlanjutan kehidupan
masa kini dan esok. Warga Sei Garuk telah membuktikan komitmennya dalam
membantu mewujudkan cita-cita negara untuk melindungi seluruh rakyat dan tumpah
darah Indonesia dengan menjaga agar alam negeri ini untuk tidak dirusak
semaunya melalui kebijakan pembangunan.
”Ritual yang
dilakukan untuk memperkuat wilayah adat yang disertai dengan sumpah. Kami tidak
mau kehilangan hutan, karena inilah sumber hidup kami. Hutan, tanah dan air
kami harus utuh dan selamat. Kesepakatan warga di sini juga bulat sesuai
komitmen awal. Kami mengangkat sumpah menancap patok disejumlah titik yang
berbatasan dengan kampung lain seperti; Laman Gunung, Nanga Mentibar dan Melaku
Kanan. Daerah ini kami rawan bersengketa, agar jangan diganggu oleh pihak
perusahaan. Tanah warga yang digusur paksa dulu belum ada penyelesaian hak
masyarakat” jelas L. Edar (48), pemuka warga Sei Garuk.
Merencanakan Golput
Pelaksanaan pesta demokrasi secara langsung yang
akan dihelat untuk ke dua kalinya pasca era reformasi di Kalbar 20 September menjadi
momentum baik bagi warga untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilihan kepala
daerah (Pilkada) Kalimantan Barat mendatang. Namun tidak demikian bagi warga
kampung Sei Garuk.
Di tengah hingar bingar gaung persiapan perhelatan
Pilkada, warga Sei Garuk justeru tidak begitu tertarik membincangkan soal
pilkada. Sebaliknya, mereka berencana tidak akan menggunakan hak pilihnya
(Golput) atau memilih untuk tidak memilih. Kalaupun memilih, maka semua
kandidat dipastikan bakal dicoblos. Memilih dan atau tidak memilih, bagi warga Sei Garuk sama
saja.
Sikap apatis ini bukan tidak beralasan. Program pembangunan dari
pemerintah selama ini tidak pernah dirasakan, selain hanya jembatan kayu yang
dibangun sekitar tahun 2004. Disamping itu, perjuangan warga untuk memperoleh
keadilan dan perhatian kemanusiaan atas kerugian sebagai dampak dari
penggusuran paksa areal kebun dan tanah warga oleh perusahaan perkebunan kelapa
sawit PT. Sumber
Hasil Prima (SHP) tak kunjung ada penyelesaian. Pemerintah dirasakan warga terkesan
diam. Warga khawatir kehadiran perusahaan justeru terus merusak sumber hidup
dan tatanan kehidupan warga. Karenanya, pilihan sikap memilih diharapkan
menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini sembari menanti kepastian keadilan
dan keberpihakan pihak terkait atas perjuangan warga menjaga alam dan ruang
kelolanya.
”Kami tidak dihiraukan oleh pemeirntah. Maka kami
di Sei Garung akan memilih kepala kampung sendiri. Bila kami dipaksa memilih,
maka kami akan memilih semuanya. Karena kalau dipilihpun kami tetap seperti ini
dan tidak akan dihiraukan pemerintah,” ujar Darius Untung (70).
Damianus Tuber (47) menyampaikan hal sama. Menurutnya
karena tidak diakui pemerintah, ia bersama warga lainnya tidak akan memilih.
Bila akhirnya harus memilih, semua pasang kandidat akan dipilih. Pemerintah
selama ini dinilai tidak memihak kepada warga, ia mencontohkan sejumlah program
seperti distribusi raskin, pembangunan sarana dan pra sarana yang tidak sampai
pada warga di Sei Garuk.
”Selama ini pemerintah tidak menghiraukan
persoalan yang ada di Sei Garuk ini. Program pemerintah pun kami rasakan tidak
ada. Penyelesaian kasus yang terjadi di daerah kamipun belum ada penyelesaian
baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi. Maka kami merasa
tertindas, tidak ada perhatian pemerintah. Kami merasa dijajah, karenanya kami
tidak akan memilih (gloput), seandainya memilih kami akan coblos semua,” jelas
L. Edar, pemuka warga.
No
|
Nama Korban
(Warga
asal Sei Garuk)
|
Kasus/Kerugian
|
Waktu
Kejadian dan Lokasi (Dusun)
|
01
|
Bapak
Tato
|
-
Penggusuran lahan 1 lembar ladang yang sudah ditanam 800 batang karet
-
Penggusuran bawas kurang lebih 1 hektar 30 April 2012
|
30
April 2012
(Sei
Garung)
|
02
|
Bapak
Semadi
|
-
Penggusuran kabun karet seluas 2 lembar ladang yang sudah ditanam
3.500 batang karet usia 6-7 tahun.
|
April
2012
(Laman
Gunung)
|
03
|
Bapak
Semiun
|
-
Penggusuran lahan seluas 5 lembar ladang yang sudah ditanam karet
15.000 batang, Tengkawang 150 batang dengan diameter 20-30 cm. Dan sisanya
tanaman durian dan rambutan.
|
17
Mei 2012
(Laman
Gunung)
|
04
|
Bapak
Ijai
|
-
Penggusuran Tanah Mali
(Tanah Adat) yang sudah ditanam karet 1.000 batang, Tengkawang 200 batang.
|
15
Mei 2012
Digusur tengah Malam. Lokasi; Sei Garung).
|
05
|
Bapak
Rabai
|
-
Penggusuran wilayah tembawang
-
Penebangan 1 batang Tengkawang dengan diameter 60 cm
|
(Laman
Gunung)
|
Catatan; Naskah ini pernah terbit di Majalah Kalimantan Review Edisi September 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar