Rabu, 05 September 2012

Manusia dan Orangutan


By. Hendrikus Adam*

Seorang bapak, peserta dalam sebuah kegiatan lokalatih beberapa waktu lalu berucap kira-kira begini; “Kalau begitu sepertinya Orangutan lebih penting diselamatkan dari pada manusia.” Pernyataan yang dilontarkan ini sesungguhnya memiliki pesan mendalam yang penting direfleksikan bersama terutama di kalangan pegiat lingkungan dan masyarakat luas. Pernyataan ini bila diterjemahkan dalam sebuah refleksi sederhana dapat membuahkan pertanyaan nakal; apa benar Orangutan lebih penting dari manusia untuk diselamatkan?

Dilihat dari aspek genetis, Orangutan menurut catatan para ahli memang memiliki tingkat kesamaan asam deoksiribonukleat atau DNA (deoxyribonucleic acid) dengan manusia yakni sekitar 96,4%. Disamping itu satwa yang hanya ada di pulau Borneo dan Sumatera ini adalah mahluk yang diidentifikasi memiliki banyak kemiripan dengan manusia dilihat dari cara berpikir, kepandaian, bentuk tubuh, reproduksi dan perilaku sosial karena memiliki kemampuan meniru. Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang diciptakan  menurut citra-Nya yang dibekali akal, budi dan pikiran sehingga cenderung melebihi makhluk lainnya di jagad raya.

Wacana pentingnya pelindungan Orangutan  selama ini memang biasa terungkap dalam berbagai ruang, baik di media massa melalui sejumlah pemberitaan maupun melalui ruang diskusi khusus multipihak. Namun demikian tidak sedikit pula berbagai pihak yang mempertanyakan advokasi perlindungan Orangutan yang dilakukan sejumlah pihak justeru dianggap mengesampingkan aspek manusia maupun hutan sebagai habitat berbagai makhluk hidup. Dalam hal ini, Orangutan seakan melebihi segalanya sehingga harus diperhatikan.

Mencermati pernyataan dan pertanyaan peserta di atas, maka tiga ideologi gerakan lingkungan menurut Prof. Dr. Ton Dietz yakni eco-facism, eco-developmentalism dan eco populism[1] sedianya baik dicermati. Eco-facism merupakan sebuah ideologi gerakan lingkungan yang memandang bahwa ekologi perlu diselamatkan untuk kepentingan lingkungan. Sedangkan eco-developmentalism, menegaskan bahwa memperjuangkan kelestarian lingkungan penting dilakukan demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemupukan modal. Model paham gerakan lingkungan ini syarat kepentingan kapitalis, dimana isu lingkungan hanya pintu masuk semata dan lebih berorientasi eksploitatif terhadap sumber daya alam. Berbeda dari keduanya, Eco-populism, yakni sebuah paham gerakan lingkungan yang mengedepankan kepentingan keselamatan rakyat (manusia) dalam aspek orientasinya. Artinya bahwa, perjuangan mengenai pentingnya penyelamatan lingkungan hidup diarahkan demi kepentingan manusia/rakyat.

Eco populism dalam hal ini berbeda arah orientasi dengan eco fasism dan eco developmentalism. Fakta bahwa trend upaya pengelolaan, pemanfaatan dan penyelamatan lingkungan lebih dominan berbasis eco fasism terlhiat melalui sejumlah program konservasi yang dilakukan pemerintah maupun sejumlah lembaga konservasi lainnya dalam penyelamatan tumbuhan maupun satwa untuk kepentingan kelangsungan ekosistem. Demikian pula program pengelolaan sumber daya alam berbasis eco developmentalism yang pada gilirannya cenderung eksploitatif selanjutnya malah mengambilalih penguasaan alat maupun sumber produksi rakyat melalui investasi modal dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan ini biasanya cenderung mengabaikan prinsif ideal (FPIC), namun menjadikan legalitas izin penguasa sebagai surat sakti dalam penggusuran lahan konsesinya. Pandangan Ton Dietz ini sejatinya dapat memberi pencerahan dan perspektif dalam memahami dinamika dan debat terkait dengan Orangutan sebagai satwa yang unik.

Bila dilihat selama ini, sejumlah kalangan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada bidang konservasi misalnya menilai bahwa populasi Orangutan sebagai satwa yang terancam punah dengan tingkat perkembangan yang lamban penting mendapat perhatian semua pihak. Bahkan karena dilindungi undang-undang mengharuskan setiap warga negara wajib terlibat dalam perlindungannya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selanjutnya ditegaskan sebagai tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat (Pasal 4, UU 5 Tahun 1990).

Pada tingkat yang lebih tinggi, Indonesia meratifikasi Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah (CITES) yakni sebuah kerjasama antar negara anggota untuk menjamin perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan perjanjian para pihak yang tergabung di dalamnya. Dalam hal ini, aktifitas menyangkut ekspor, impor, reekspor dan introduksi spesies yang terdaftar dalam apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas keilmuan CITES di negara tersebut. Orangutan termasuk dalam Apendiks I yakni daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional kecuali terkait hal luar biasa (penelitian dan penangkaran).

Bila melihat dasar pentingnya pelindungan Orangutan oleh negara, maka dapat dikategorikan menjadi dua hal yakni terkait dengan aspek legal (produk hukum) dan politis (prestise). Aspek legal yang mengacu pada sejumlah aturan hukum perundang-undangan dalam hal ini meliputi produk hukum seperti; UU 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP 07 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Keputusan Pemerintah No. 43 Tahun 1978 tentang Pengesahaan Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah atau dikenal dengan nama CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), serta sejumlah aturan lainnya.

Sejumlah aspek legal di atas sebagaimana dimaksud dalam hal menentukan kategori satwa yang dilindungi sehingga penting upaya pengawetan mengacu pada tiga kriteria yakni a). mempunyai populasi yang kecil; b). adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam; c). daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Atas dasar kriteria inilah kemudian Orangutan menjadi bagian dari satwa yang dilindungi.

Sedangkan dalam aspek politis, dengan dilakukannya ratifikasi CITES sejak 28 Desember 1978 silam, pemerintah Indonesia berharap adanya manfaat positif yakni pengakuan dunia internasional mengenai komitmen terhadap isu lingkungan hidup khususnya perlindungan satwa terncam punah; Orangutan. Hal ini misalnya terlihat dengan salah satu poin pertimbangan ratifikasi yakni ”Mendapat penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia, yang menyangkut bidang keanekaragaman hayati, dan ikut bertanggung jawab menyelamatkan kelangsungan hidup manusia pada umumnya dan bangsa Indonessia pada khususnya.”

Bila ditelaah lebih dalam kedua aspek dasar di atas, maka menjadi sangat wajar bila ada penilaian sejumlah pihak yang mempertanyakan dan bahkan mempersoalkan upaya advokasi perlindungan Orangutan selama ini yang selanjutnya dianggap mengesampingkan aspek kepentingan rakyat dan kemanusiaan. Pandangan ini sedianya patut menjadi bagian penting kajian kalangan pegiat konservasi maupun pemerintah serta berbagai pihak yang menaruh perhatian besar pada upaya perlindungan Orangutan yang tanpa memperhatikan aspek manusia dan hutan sebagai habitat.

Terlepas bahwa kehadiran populasi Orangutan di alam akan berkontribusi pada daya dukung lingkungan dan jaminan tersedianya jasa lingkungan seperti; ketersediaan sumber daya air, sumber daya hutan, udara bersih, terjaganya iklim mikro dan sebagainya, sebagai sarana deteksi dini kondisi hutan, penyebar benih bagi beberapa spesies tanaman maupun sebagai salah satu pelaku dalam rantai makanan – namun hal ini tidak berdiri sendiri. Aspek keutuhan sumber daya hutan sebagai habitat berbagai satwa maupun mahluk hidup lainnya yang menjadi bagian vital sumber hidup dan kehidupan manusia tidak dapat terpisahkan. Artinya bahwa, dalam hal perlindungan Orangutan maka aspek kepentingan dan keselamatan manusia dan sumber daya hutan penting menjadi perhatian untuk diutamakan.

Peristiwa perlawanan Orangutan yang nyaris membinasakan penoreh karet di Kalteng Januari 2010, vonis hukum 8 bulan dengan denda Rp. 20 – 30 juta terhadap manager perusahaan perkebunan beserta tiga karyawan lainnya di Kaltim tahun 2012 karena terbukti melakukan pembantaian Orangutan yang dianggap hama sekitar tahun 2009-2010, penemuan empat kerangka Orangutan (3 kerangka di tanah dan satu di atas pohon) Agustus 2011 oleh Pusat Perlindungan Orangutan pada kawasan konsesi PT. Sarana Titian Permata (anak perusahaan Wilmar Group) di Kalimantan Tengah, terperangkapnya satu individu Orangutan di sekitar konsesi PT. Kayong Agro Lestari di Ketapang dan diselamatkannya sekitar 69 individu Orangutan pada sekitar konsesi perkebunan di Ketapang menjelaskan bahwa habitat Orangutan kian rusak dan tidak nyaman dihuni. Rusaknya hutan sebagai habitat dengan sendirinya berdampak pada berkurangnya sumber makan bagi Orangutan. Karena itu, penegakan hukum perusak hutan sebagai habitat dan yang berdampak terancam hilangnya populasi Orangutan maupun makhluk hidup dilindungi lainnya perlu dijalankan secara tegas dan berkeadilan. Demikian juga semangat dalam perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa yang dilindungi harus memperhatikan aspek habitatnya yakni hutan, tanah dan air.

Pernyataan peserta lokalatih di atas hemat penulis menyiratkan sebuah peringatan, kecemasan dan realitas yang terjadi di lapangan mengenai program berbasis eco fasism maupun eco developmentalism sehingga mengusik naluri kemanusiaannya. Pernyataan warga ini justeru mengisyaratkan sebaliknya, bahwa sisi kemanusiaan harus ditempatkan pada posisi yang lebih mulia dalam bingkai penyelamatan lingkungan hidup. Perlindungan Orangutan memang menjadi mandat, terlebih sejumlah aturan hukum nasional maupun internasional mengatur hal ini. Namun demikian, mengutamakan kepentingan dan keselamatan manusia serta akses rakyat atas sumber daya hutan – tanah – air dibalik semangat perlindungan Orangutan menjadi hal yang mutlak.

*) Penulis, aktivis Walhi Kalimantan Barat.


Naskah ini pernah di muat dalam Harian Pontianak Post 7 Agustus 2012. Lihat di link Manusia dan Orangutan

[1] Lihat Eddie Riyadi Terre dkk hal 5, 2003 “Menyelamatkan Lingkungan, Menyelamatkan Kehidupan”, Jaringan TAPAL, Jakarta. Prof. Dr. Ton Dietz adalah seorang Guru Besar Geografi Lingkungan di Universitas Armsterdam, Belanda.

Tidak ada komentar: