By. Hendrikus Adam*
Seorang
bapak, peserta dalam sebuah kegiatan lokalatih beberapa waktu lalu berucap
kira-kira begini; “Kalau begitu
sepertinya Orangutan lebih penting diselamatkan dari pada manusia.” Pernyataan
yang dilontarkan ini sesungguhnya memiliki pesan mendalam yang penting
direfleksikan bersama terutama di kalangan pegiat lingkungan dan masyarakat
luas. Pernyataan ini bila diterjemahkan dalam sebuah refleksi sederhana dapat
membuahkan pertanyaan nakal; apa benar Orangutan lebih penting dari manusia
untuk diselamatkan?
Dilihat
dari aspek genetis, Orangutan menurut catatan para ahli memang memiliki tingkat
kesamaan asam deoksiribonukleat
atau DNA (deoxyribonucleic acid) dengan manusia yakni
sekitar 96,4%. Disamping itu satwa yang hanya ada di pulau Borneo
dan Sumatera ini adalah mahluk yang diidentifikasi memiliki banyak kemiripan
dengan manusia dilihat dari cara berpikir, kepandaian, bentuk
tubuh, reproduksi dan perilaku sosial karena memiliki kemampuan meniru.
Sebaliknya, manusia adalah makhluk yang diciptakan menurut citra-Nya yang dibekali akal, budi dan
pikiran sehingga cenderung melebihi makhluk lainnya di jagad raya.
Wacana
pentingnya pelindungan Orangutan selama
ini memang biasa terungkap dalam berbagai ruang, baik di media massa melalui sejumlah
pemberitaan maupun melalui ruang diskusi khusus multipihak. Namun demikian tidak
sedikit pula berbagai pihak yang mempertanyakan advokasi perlindungan Orangutan
yang dilakukan sejumlah pihak justeru dianggap mengesampingkan aspek manusia
maupun hutan sebagai habitat berbagai makhluk hidup. Dalam hal ini, Orangutan
seakan melebihi segalanya sehingga harus diperhatikan.
Mencermati pernyataan
dan pertanyaan peserta di atas, maka tiga ideologi gerakan lingkungan menurut Prof. Dr. Ton Dietz yakni eco-facism, eco-developmentalism dan eco
populism[1] sedianya baik dicermati. Eco-facism merupakan sebuah
ideologi gerakan lingkungan yang memandang bahwa ekologi perlu diselamatkan
untuk kepentingan lingkungan. Sedangkan eco-developmentalism,
menegaskan bahwa memperjuangkan kelestarian lingkungan penting
dilakukan demi keberlangsungan pertumbuhan ekonomi dan pemupukan modal. Model
paham gerakan lingkungan ini syarat kepentingan kapitalis, dimana isu
lingkungan hanya pintu masuk semata dan lebih berorientasi eksploitatif
terhadap sumber daya alam. Berbeda dari keduanya, Eco-populism, yakni sebuah paham gerakan lingkungan yang
mengedepankan kepentingan keselamatan rakyat (manusia) dalam aspek
orientasinya. Artinya bahwa, perjuangan mengenai pentingnya penyelamatan
lingkungan hidup diarahkan demi kepentingan manusia/rakyat.
Eco
populism dalam hal ini berbeda arah orientasi dengan eco fasism dan eco
developmentalism. Fakta bahwa trend upaya pengelolaan, pemanfaatan dan
penyelamatan lingkungan lebih dominan berbasis eco fasism terlhiat melalui sejumlah program konservasi yang
dilakukan pemerintah maupun sejumlah lembaga konservasi lainnya dalam
penyelamatan tumbuhan maupun satwa untuk kepentingan kelangsungan ekosistem.
Demikian pula program pengelolaan sumber daya alam berbasis eco developmentalism yang pada
gilirannya cenderung eksploitatif selanjutnya malah mengambilalih penguasaan alat
maupun sumber produksi rakyat melalui investasi modal dalam kebijakan pemerintah.
Kebijakan ini biasanya cenderung mengabaikan prinsif ideal (FPIC), namun
menjadikan legalitas izin penguasa sebagai surat sakti dalam penggusuran lahan
konsesinya. Pandangan Ton Dietz ini sejatinya dapat memberi pencerahan dan
perspektif dalam memahami dinamika dan debat terkait dengan Orangutan sebagai
satwa yang unik.
Bila dilihat selama ini, sejumlah kalangan
organisasi masyarakat sipil yang fokus pada bidang konservasi misalnya menilai
bahwa populasi Orangutan sebagai satwa yang terancam punah dengan tingkat
perkembangan yang lamban penting mendapat perhatian semua pihak. Bahkan karena
dilindungi undang-undang mengharuskan setiap warga negara wajib terlibat dalam
perlindungannya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
selanjutnya ditegaskan sebagai tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta
masyarakat (Pasal 4, UU 5 Tahun 1990).
Pada tingkat yang lebih tinggi, Indonesia
meratifikasi Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa dan Tumbuhan yang
Terancam Punah (CITES) yakni sebuah kerjasama antar negara anggota untuk
menjamin perdagangan tumbuhan dan satwa liar dilaksanakan sejalan dengan
perjanjian para pihak yang tergabung di dalamnya. Dalam hal ini, aktifitas
menyangkut ekspor, impor, reekspor dan introduksi spesies yang terdaftar dalam
apendiks CITES harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi otoritas
keilmuan CITES di negara tersebut. Orangutan termasuk dalam Apendiks I yakni
daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala
bentuk perdagangan internasional kecuali terkait hal luar biasa (penelitian dan
penangkaran).
Bila melihat dasar pentingnya pelindungan
Orangutan oleh negara, maka dapat dikategorikan menjadi dua hal yakni terkait
dengan aspek legal (produk hukum) dan politis (prestise). Aspek legal yang mengacu
pada sejumlah aturan hukum perundang-undangan dalam hal ini meliputi produk
hukum seperti; UU 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, PP 07 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Keputusan Pemerintah No.
43 Tahun 1978 tentang Pengesahaan Konvensi Perdagangan Internasional untuk Satwa dan
Tumbuhan yang Terancam Punah atau dikenal dengan nama CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora), serta sejumlah
aturan lainnya.
Sejumlah aspek legal di atas sebagaimana dimaksud
dalam hal menentukan kategori satwa yang dilindungi sehingga penting upaya
pengawetan mengacu pada tiga kriteria yakni a). mempunyai populasi yang kecil; b). adanya penurunan yang tajam pada
jumlah individu di alam; c). daerah penyebaran yang terbatas (endemik). Atas
dasar kriteria inilah kemudian Orangutan menjadi bagian dari satwa yang
dilindungi.
Sedangkan dalam aspek politis, dengan dilakukannya
ratifikasi CITES sejak 28 Desember 1978 silam, pemerintah Indonesia berharap
adanya manfaat positif yakni pengakuan dunia internasional mengenai komitmen terhadap
isu lingkungan hidup khususnya perlindungan satwa terncam punah; Orangutan. Hal
ini misalnya terlihat dengan salah satu poin pertimbangan ratifikasi yakni
”Mendapat penilaian dan pengakuan dari masyarakat internasional bahwa Indonesia
peduli terhadap masalah lingkungan hidup dunia, yang menyangkut bidang
keanekaragaman hayati, dan ikut bertanggung jawab menyelamatkan kelangsungan
hidup manusia pada umumnya dan bangsa Indonessia pada khususnya.”
Bila ditelaah lebih dalam kedua aspek dasar di
atas, maka menjadi sangat wajar bila ada penilaian sejumlah pihak yang
mempertanyakan dan bahkan mempersoalkan upaya advokasi perlindungan Orangutan
selama ini yang selanjutnya dianggap mengesampingkan aspek kepentingan rakyat
dan kemanusiaan. Pandangan ini sedianya patut menjadi bagian penting kajian
kalangan pegiat konservasi maupun pemerintah serta berbagai pihak yang menaruh
perhatian besar pada upaya perlindungan Orangutan yang tanpa memperhatikan
aspek manusia dan hutan sebagai habitat.
Terlepas bahwa kehadiran populasi Orangutan di
alam akan berkontribusi pada daya dukung lingkungan dan jaminan tersedianya
jasa lingkungan seperti; ketersediaan sumber daya air, sumber daya hutan, udara
bersih, terjaganya iklim mikro dan sebagainya, sebagai sarana deteksi dini
kondisi hutan, penyebar benih bagi beberapa spesies tanaman maupun sebagai
salah satu pelaku dalam rantai makanan – namun hal ini tidak berdiri sendiri. Aspek
keutuhan sumber daya hutan sebagai habitat berbagai satwa maupun mahluk hidup
lainnya yang menjadi bagian vital sumber hidup dan kehidupan manusia tidak
dapat terpisahkan. Artinya bahwa, dalam hal perlindungan Orangutan maka aspek
kepentingan dan keselamatan manusia dan sumber daya hutan penting menjadi
perhatian untuk diutamakan.
Peristiwa perlawanan Orangutan yang nyaris
membinasakan penoreh karet di Kalteng Januari 2010, vonis hukum 8 bulan dengan
denda Rp. 20 – 30 juta terhadap manager perusahaan perkebunan beserta tiga
karyawan lainnya di Kaltim tahun 2012 karena terbukti melakukan pembantaian
Orangutan yang dianggap hama sekitar tahun 2009-2010, penemuan empat kerangka
Orangutan (3 kerangka di tanah dan satu di atas pohon) Agustus 2011 oleh Pusat
Perlindungan Orangutan pada kawasan konsesi PT. Sarana Titian Permata (anak
perusahaan Wilmar Group) di Kalimantan Tengah, terperangkapnya satu individu
Orangutan di sekitar konsesi PT. Kayong Agro Lestari di Ketapang dan
diselamatkannya sekitar 69 individu Orangutan pada sekitar konsesi perkebunan
di Ketapang menjelaskan bahwa habitat Orangutan kian rusak dan tidak nyaman
dihuni. Rusaknya hutan sebagai habitat dengan sendirinya berdampak pada
berkurangnya sumber makan bagi Orangutan. Karena itu, penegakan hukum perusak hutan
sebagai habitat dan yang berdampak terancam hilangnya populasi Orangutan maupun
makhluk hidup dilindungi lainnya perlu dijalankan secara tegas dan berkeadilan.
Demikian juga semangat dalam perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa yang
dilindungi harus memperhatikan aspek habitatnya yakni hutan, tanah dan air.
Pernyataan peserta lokalatih di atas hemat penulis
menyiratkan sebuah peringatan, kecemasan dan realitas yang terjadi di lapangan
mengenai program berbasis eco fasism
maupun eco developmentalism sehingga
mengusik naluri kemanusiaannya. Pernyataan warga ini justeru mengisyaratkan
sebaliknya, bahwa sisi kemanusiaan harus ditempatkan pada posisi yang lebih mulia
dalam bingkai penyelamatan lingkungan hidup. Perlindungan Orangutan memang menjadi
mandat, terlebih sejumlah aturan hukum nasional maupun internasional mengatur
hal ini. Namun demikian, mengutamakan kepentingan dan keselamatan manusia serta
akses rakyat atas sumber daya hutan – tanah – air dibalik semangat perlindungan
Orangutan menjadi hal yang mutlak.
*) Penulis, aktivis Walhi Kalimantan Barat.
Naskah ini pernah di muat dalam Harian Pontianak Post 7 Agustus 2012. Lihat di link Manusia dan Orangutan
[1] Lihat Eddie Riyadi Terre dkk hal 5,
2003 “Menyelamatkan Lingkungan, Menyelamatkan Kehidupan”, Jaringan TAPAL,
Jakarta. Prof. Dr. Ton Dietz adalah seorang Guru Besar Geografi Lingkungan di
Universitas Armsterdam, Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar