Rabu, 30 Mei 2012

Pastor Samuel Oton Sidin, Bersahabat dengan Alam

Oleh Hendrikus Adam
Makin menurunya kualitas lingkungan hidup disertai tindakan eksploitasi yang marak dan cenderung tidak terarah adalah sebuah indikasi kurangnya kesadaran dan tanggungjawab manusia atas kelestarian bumi beserta isinya sebagai pemberian Sang Pencipta. Tidak banyak orang yang peduli dan berpikir untuk jangka waktu lama bagi generasi berikutnya. Disaat banyak orang berlomba-lomba ’merusak’ hutan seperti kasus illegal logging yang mencuat dipermukaan kini, maka pergulatan karya Kapusin melalui Rumah Pelangi yang dikelola sosok Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap menjadi pantas untuk ditiru dan direfleksikan sebagai upaya membangun hubungan persahabatan dengan Tuhan, Alam dan sesama. Tidak ada suara yang berkoar-koar, yang ada hanyalah tindakan ’kecil’ namun sungguh nyata dan murni bagi kelestarian lingkungan. 

Matahari di ufuk Barat Sabtu sore kala itu mulai redup saat penulis tiba untuk ke dua kalinya di kawasan konservasi jalan lintas Trans Kalimantan sekitar 60an km arah Utara dari Kota Pontianak. Tepat pukul 16.30 Wiba kala itu, wajah bumi masih tampak mendung. Setelah turun dari kendaraan angkut (Bus), penulis pun bergegas menyusuri jalan setapak masuk menuju rumah tinggal sederhana sekitar 800 meter. Perjalanan bermula persis dari samping plang nama bertuliskan; Rumah Pelangi, sebuah kawasan pelestarian dan konservasi hutan (arboretum) milik komunitas Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFM Cap). Rumah Doa berupa gereja Katolik Kalvari berdiri kokoh disebelah kanan masuk, sedikit agak ke dalam. 

 Kali ini penulis terbilang beruntung, karena akhirnya bisa bertemu dengan sosok bersahaja dan sederhana. Dialah pengelola Rumah Pelangi yakni Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap. Gelar doktor yang pernah diraih sepertinya tidak ingin ditunjukkan dari gaya dan caranya berpakaian. Demikian pula dalam pembicaraan. Kesederhanaan dan penampilannya yang apa adanya menjadi pintu masuk tersendiri bagi penulis untuk berbincang lebih jauh dengan Pastor asal Kampung Peranuk, Kecamatan Teriak ini. Disamping tuntutan spiritualitas, boleh jadi bahwa pergulatan dengan menyadari keberadaan alam dengan sifat alaminya sungguh menginspirasi sehingga menjadikan dia demikian, mencoba tampil apa adanya dan tidak mau menonjolkan kelebihan diri. Sosoknya begitu mengesankan. Ketertarikan akan upaya yang selama ini digeluti bukan karena tuntutan karena dirinya sebagai seorang biarawan semata, namun pula minatnya yang begitu besar pada kelestarian lingkungan. 

Melalui Rumah Pelangi, Pastor Samuel mewujudkan karya pelestarian lingkungan alam. Dibandingkan dengan begitu luasnya hutan yang telah dirusak, ia menyadari tidak banyak yang bisa diselamatkan. ”Yang kita lakukan di sini adalah menghimbau dengan perbuatan kongkrit, tidak dengan paksaan dan banyak kata, tetapi dengan perbuatan. Sehari-hari kita terus memelihara yang ada dan menanam, sedikit sih yang bisa kita selamatkan tetapi ini menjadi suatu himbauan/peringatan. Ini adalah suara, himbauan, tuntutan kemanusiaan, keimanan dan kefransiskanan. Seruan aktual jaman sekarang ini,” ungkap Pastor kalahiran Peranuk, 12 Desember 1954. 

Oleh warga sekitarnya, kawasan Rumah Pelangi dengan luas 90 Ha lebih yang terletak di Dusun Gunung Benuah, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sei Ambawang, Kabupaten Kubu Raya ini dikenal pula dengan sebutan Bukit Tunggal. Hal ini dikarenakan bahwa hanya ada satu-satunya bukti di tempat itu sepertinya menjadi latar belakang penamaan bukit tersebut. Ditempat ini juga terdapat sumber mata air yang kini masih dalam proses untuk dialirkan bagi kebutuhan air bersih bagi warga di sekitarnya.
 
Sejarah Rumah Pelangi 
Gagasan mengenai konservasi telah dimulai ketika ia menjabat Kepala Provinsial Orde Kapusin di Kalimantan selama dua periode kala itu. Menyadari bahwa pelestarian alam merupakan bagian dari spiritualitas, maka sebagaimana himbauan pusat di Roma, komunitas OFM Cap memandang perlu mencari tempat untuk persinggahan antara jalan Pontianak ke arah Tayan yang akhirnya disepakati mesti dipadukan dengan upaya penghijauan sebagai bentuk upaya kepedulian terhadap lingkungan. Dengan dibantu P. Bonifasius (alm), P. Benyamin dan juga Nandat umat dari Pabuisat’n, akhirnya didapatlah tanah milik lebih dari sepuluh warga di sekitarnya yang kini terletak di Kampung Teluk Bakung, Kecamatan Sei Ambawang, Kabupaten Kubu Raya (dahulu termasuk Kabupaten Pontianak) dengan luas awal 80 Ha yang kini menjadi tanah milik Keuskupan Agung Pontianak. 

Sejak 8 tahun silam (tahun 2000), tempat yang dulunya sebagian lahan di perbukitan dan rawa pernah terbakar ini mulai dirintis dengan pendirian pondok. Selang beberapa tahun kemudian luasnya kini mencapai lebih dari 90 Ha. Tujuan utamanya saat itu seperti dijelaskan Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap adalah guna melestarikan dan memelihara dengan menghijaukan lingkungan setempat. ”Saya mencoba menghijaukan lahan yang kritis ini (sempat terbakar) supaya rimbun kembali,” jelasnya. 

Dipilihnya ”Rumah Pelangi” sebagai istilah tempat yang kini sebagai kawasan penanaman/pelestarian dan konservasi (arboretum) menurut Pastor Samuel terinspirasi dari Kisah Nabi Nuh seperti dikisahkan dalam Alkitab Perjanjian Lama yang setelah keluar dari Bahtera (Perahu Besar) menyaksikan pelangi terbit di langit dan saat itu dikatakan tidak akan pernah ada lagi bencana yang menimpa manusia. Pelangi juga dikatakan menjadi simbol dari kerukunan atau perdamaian universal antara manusia dengan alam maupun manusia dengan Sang Pencipta. Dipilihnya Rumah Pelangi dengan maksud mengingatkan keinginan hidup berdampingan dengan segala sesuatu termasuk dengan alam sehingga ada kedamaian antara manusia dengan hewan, sesama dan lingkungannya. Disamping itu, hal ini juga menjadi spiritualitas Fransiskan Kapusin, karena Fransiskus dari Asisi sendiri menurut Doktor Teologi Spiritualitas Fransiskan Universitas Antonia, Roma ini adalah seorang pencinta alam yang diangkat oleh gereja menjadi santo pelindung bagi orang-orang yang berkecimpung di bidang pelestarian alam. Oleh Paus Yohanes Paulus II, St. F. Asisi diangkat sebagai Pelindung Pemeliharaan Kelestarian Lingkungan Hidup pada tanggal 29 November 1979.
 
”Ini merupakan bagian dari spiritualitas Fransiskan Kapusin, menyayangi alam sebagai tanda hormat dan bahakti kita kepada Sang Pencipta sendiri yang menciptakan segala sesuatu dan karena cinta kita kepada sesama manusia, tidak bisa lepas itu,” urai Samuel. 

Dikatakan, dirinya tidak hanya memperjuangkan pelestarian alam, tetapi pelestarian alam itu untuk apa? Bukankah itu untuk manusia? Ada korelasi yang tidak bisa disangkal yakni hubungan perjuangan bagi pelestarian alam, dengan hormat bhakti kepada Allah dan cinta kepada sesama manusia. Seperti sumber air yang ada di sekitar kawasan Bukit Tunggal yang kita jaga untuk kepentingan bersama. 

Kemudian dikatakan pula atas latar belakang kemanusiaan, bahwa menjadi pantaslah bagi manusia untuk memelihara alam sebagai rumah tempat tinggal kita (oikos). Pemahaman mengenai ekologi beserta hukum-hukumnya dipandang penting guna memperlakukan alam dengan baik. Pastor Samuel mengingatkan bahwa sebagai manusia kita harus sudah bertanggungjawab terhadap rumah tempat tinggal sendiri yakni bumi. ”Lalu sebagai orang yang menerima wahyu Kitab Suci pantaslah kita mengingat apa yang dikatakan dalam Kitab Kejadian bahwa Allah mempercayakan kepada manusia untuk mengelola secara bertanggungjawab bumi ini, bukannya malah memperlakukannya semau hati. Secara bertanggungjawab artinya memahami juga hukum-hukum yang berlaku di dalamnya dan memanfaatkan alam itu sebagaimana mestinya tanpa harus merusak. Apalagi sebagai orang yang beriman dalam Kristus kita semua dipanggil untuk ikut bersama Kristus membaharui kehidupan ciptaan-Nya ini. Karena itu kita bersama mencoba membaharui semangat mengasihi, menyayangi semua termasuk alam. Lalu sebagai Fransisikan, kami mengikuti teladan Fransisikus,” tegasnya.
 
Menghijaukan Bukit Tunggal 
Guna menjaga kelestariaan hutan di sekitar kawasan Bukit Tunggal, beragam aktivitaspun dilakukan Pastor Samuel. Disamping melakukan penanaman berbagai jenis pohon langka seperti sebut saja belian, tapang, sengon, juga ditanam berbagai jenis pohon buah asli Kalimantan seperti berbagai jenis mangga, mentawa, peluntan, pengan, ubah, tengkawang, bambu dan berbagai jenis pohon lainnya. Dipastikan ribuan pohon dengan berbagai jenisnya ditanam. Selain itu juga ditanam berbagai jenis tanaman obat-obatan tradisional. 

Kenyataan konkrit karena alam sedang dirusak dan hutan dibabat serta sungai dicemari dengan pergantian hutan dari heterogen menjadi homogen menurut Pastor Samuel sangat berdampak negatif bagi perubahan cuaca dan iklim yang turut berdampak terhadap kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Kondisi tersebut menurutnya menuntut dirinya bertindak secara nyata. Perubahan pergantian hutan heterhogen seperti dimaksudkan adalah keanekaragaman hayati yang sekarang diganti dengan hutan heterogen semisal menggantinya dengan tanaman perkebunan sawit. ”Jadi kemampuan alam ini untuk memproduksi oksigen (O2) berkurang, sementara produksi karbondioksida (CO2) meningkat dan mengakibatkan ketidakseimbangan. Pemanasan global merupakan bagian dari dampak perlakuan yang tidak wajar terhadap bumi,” bebernya. 

Di kawasan Rumah Pelangi, disamping didirikan Gereja Katolik Kalvari dan rumah (pondok; istilah pemiliknya) sederhana bertingkat dua, juga dibangun bendungan, sawah dan jalan lingkar disekitar bukit. Di tempat ini juga dipelihara binatang landak. Pastor Samuel berharap upaya menghijaukan, melestarikan alam dan melindungi yang ada disekitar hutan tetap berlanjut. ”Disamping penghijauan dan kenservasi saya membantu sedikit dalam mengembangkan karet untuk meningkatkan kesejahteraan, bagi siapa saja yang mau yakni berupa karet unggul (entris). Kita juga membuka sawah, dan kebun,” ungkapnya. 

Di sekitar kawasan lindung ini juga terdapat Penyugu, tempat melakukan ritual adat bagi warga di sekitarnya. Setiap orang yang berkunjung tidak diperkenankan mengambil tanaman apapun terkecuali bila mendapat ijin. Demikian pula burung-burung disekitarnya tidak boleh diganggu terkecuali binatang yang dianggap merusak. Kehadiran binatang-binatang yang dianggap merusakpun menurut Pastor Samuel Oton Sidin karena tidak banyak lagi hutan yang dianggap aman untuk berlindung bagi para binatang, banyak kawasan telah dirusak. 

Untuk menjaga dan merawat kawasan Rumah Pelangi, Pastor dibantu oleh para pekerja tidak tetap dan warga disekitarnya yang sewaktu-waktu diminta tenaganya. Adapun aktivitas di dalam ”Rumah Pelangi” yang dilakukan meliputi; pendampingan masyarakat sekitar hutan, penanaman lahan kering dengan jenis tanaman langka dan buah-buahan serta pelestarian hutan, lahan rawa dan hutan lahan kering. ”Ini dilakukan supaya masyarakat turutserta menyadari agar hutan jangan dibabat semaunya dan tahu menanam kembali. Disamping mengontrol, Pastor turut bekerja, juga membantu masyarakat,” jelas Petrus (62) salah seorang pekerja yang adalah abang kandung Pastor Samuel. 

Nilai Tambah Bukit Tunggal 
Lingkungan hijau yang lestari tidak lantas hanya sebagai kawasan lindung semata. Bagi kawasan Rumah Pelangi, keanekaragaman hayati dan upaya konservasi yang dilakukan mempunyai nilai tambah tersendiri. Seperti dikatakan Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap, beberapa nilai sebagaimana dimaksud yakni nilai ekologis, edukatif, rekreatif, dan nilai ekonomis serta nilai spiritual turut menyertainya. Memiliki nilai ekologis, dimana tempat tersebut sekaligus sebagai tempat tinggal beranekaragam flora dan fauna, termasuk penghuninya. Memiliki nilai edukatif bahwa wilayah konservasi tersebut dapat menjadi tempat studi ekologis dan kegiatan ilmiah lainnya mengenai keanekaragamanan hayati dan berbagai jenis pohon. 

Sedangkan nilai rekreatif, bahwasanya lebatnya pepohonan penghasil oksigen menjadi bidikan kunjungan wisata banyak orang, termasuk sebagai kawasan wisata rohani karena seringkali tempat ini digunakan sebagai media kegiatan spiritualitas seperti reatret, rekoleksi dan sebagainya. Dari sisi nilai ekonomis, apa yang diusahaka menghasilkan sesuatu. Dapat menghasilkan terpenuhinya beragam keperluan hidup seperti kebutuhan akan kayu bakar, sayur hutan dan obat-obatan. Bahkan hasil dari penanaman beragam jenis pohon dan buah-buahan di masa mendatang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Nilai spritualnya yakni bahwasanya kawasan tersebut sebagai tempat untuk berdoa, memuji Tuhan. ”Dari alam kita bisa seleksi sesuatu untuk diambil alakadarnya, dengan tetap memperhatikan ekosistem, jangan merusak,” tegas Pator Samuel. 

Sarana Belajar dari Alam 
Kawasan Rumah Pelangi sebagai tempat rekreatif, edukatif dan spiritual setidaknya terlihat dengan berbagai aktivitas yang dilakukan para pengunjung melalui berbagai kegiatannya. PMKRI Santo Thomas More Pontianak pada tanggal 5-6 April 2008 lalu misalnya, memanfaatkan kesempatan kunjungannya untuk belajar dari alam di sekitar kawasan Rumah Pelangi melalui kegiatan Kemping Rohani. Disamping berdiskusi seputar upaya pelestarian lingkungan bersama pengelola kawasan Bukit Tunggal (P. Samuel Oton Sidin), juga dirangkai dengan renungan dan pemutaran film dokumenter bernuansa edukatif (Jual Beli Perempuan dan Anak-Chico Mendes) bersama warga sekitar di Rumah Pelangi. Media ini pula sebagai upaya untuk meneguhkan komitmen dan reorientasi serta refleksi para kader PMKRI dalam menumbuhkembangkan semangat kebersamaan dan persaudaraan antar anggota dan pengurus. 

 ”Bumi ini rumah kita, itu harus disadari. Menjaga untuk keapikan lingkungan, maka kita turut menjaga bumi ini yang harus dimulai dari diri sendiri, dengan membuang sampah secara teratur. Dengan kondisi alam yang begitu di porak porandakan adalah kenyataan kongkrit yang menuntut jawaban dari kita untuk menjaganya. Bagi anggota PMKRI, agar bisa menyerukan untuk melindungi alam. Keyakinan pada pada prinsip penting untuk dipertahankan,” saran Pastor Samuel. 

Eksistensi Masyarakat Adat dan Peran Pemerintah 
Upaya pelestarian lingkungan menjadi tanggungjawab bersama. Peranserta masyarakat (adat) dimasing-masing tempat memiliki potensi yang strategis dalam turut menjaga dan merawat lingkungan alam disekitarnya. Namun demikian, eksistensi masyarakat adat dalam kondisi tertentu cenderung tidak berdaya dan ikut arus oleh karena pengaruh perkembangan masa di era modernisasi sekarang. 

Pastor Samuel Oton Sidin, OFM Cap menilai masyarakat adat sepertinya sudah kehilangan adat, tidak diikuti sebagaimana mestinya. ”Tidak lagi konsekuen berpegang pada adat, karena itu hampir tidak ada peran lagi sekarang. Masyarakat sudah kalah dengan kebutuhan masyarakat luas seperti bisnis, politik, perdagangan. Kalau mau kita bertahan dari adat sudah dari dulu,” jelasnya mengkritisi. 

Dikatakan, kalau seluruh komponen masyarakat kerjasama dan tidak tergiur dengan keuntungan-keuntungan bisnis-politik dan kembali pada adat yang sebenarnya, tentu bisa. Namun menurutnya, selama tidak ada upaya ke arah itu, maka tidak akan ada harapan. Dalam hal ini perlu ketegasan dari Masyarakat Adat dan pemimpinnya sendiri. Masyarakat sendiri harus bersatu padu menegakkan adat. Upayanya adalah menuntut pelaksanaannya dengan segala konsekuensinya tanpa mau dikalahkan oleh duit, politik dan sebagainya. 

”Hanya ini berat, karena sekarang cara melihat segala sesuatu dari manfaat ekonomisnya. Kesan saya ada juga dijadikan sarana bisnis, bukan lagi untuk menegakkan keadilan. Karena dilihat dari nilai ekonomisnya saja dan tidak lagi dilihat nilai tradisional kultural lokalnya. Terbukti seringkali Masyarakat Adat kalah berhadapan dengan tawaran-tawaran ekonomis itu mungkin juga kekuatan politik tidak berpihak pada mereka,” jelas Pastor Samuel.
 
Atas upaya pelestarian hutan, setiap anggota masyarakat punya tanggungjawab yang sama. Setiap yang berkehendak baik menurut Pastor Samuel mesti mendapat dukungan. Pemerintah yang termasuk sebagai bagian dari masyarakat dikatakan juga punya tanggungjawab terhadap warganya. Sebagai bagian dari manusia, maka pemerintah juga harus berupaya secara kongkrit untuk turut serta melestarikan alam sesuai kompetensinya. Sebagai aparatur negara, pemerintah diharapkan dapat mengatur pemanfaatan alam sedemikian melalui kebijaksanaannya memperhatikan ekosistem. Perlu ketegasan dari pemerintah untuk mengatur semuanya, baik pemanfaatan hutan maupun pemanfaatan alam berupa tambang, air dan lainnya, kalau perlu dengan membuat satu sanksi kepada yang tidak patuh. 

Bersahabat dengan alam melalui cara sederhana adalah cara terbaik untuk peduli. Pastor Samuel Oton Sidin telah membuktikannya. Demikian halnya segenap komponen, termasuk kaum muda maupun pelajar serta segenap warga bumi. Anda pun bisa melakukan hal-hal sederhana yang tentunya tidak harus sama persis dengan apa yang dilakukan Pastor Samuel. Mulailah lakukan di sekolah, di rumah maupun di masyarakat. Tindakan kecil yang bermanfaat jauh lebih mulia dari ide besar yang belum terwujud. Selamat mencoba. 

[Naskah ini pernah diterbitkan dalam rubrik Laporan Khusus Majalah Kalimantan Review Tahun 2008]

Tidak ada komentar: