Senin, 17 Agustus 2009

gema kemerdekaan RI


Spirit untuk Kemerdekaan

By. Hendrikus Adam*

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dikumandangkan para pendahulu bangsa sejak 46 tahun silam sedang dihadapkan dalam sebuah realitas paradoks kini. Peristiwa sejarah diikrarkannya kemerdekaan melalui moment 17 Agustus 1945, adalah sebuah kondisi yang menegaskan bahwa negeri ini terbebas dari belenggu penjajahan bangsa kolonial, kaum imperialis. Perjuangan tanpa pamrih para pendahulu bangsa dalam merebut cita-cita proklamasi tidak bisa dihapus begitu saja, sebaliknya mesti mendapat penghargaan bagi setiap anak negeri yang telah menikmatinya kini. Melihat kembali perjalanan sejarah perjuangan bangsa, maka yang terbayang adalah bagaimana pengorbanan dengan menumpahkan keringat dan bahkan darah hanya untuk sebuah cita-cita, yakni terbebas dari kungkungan penguasaan penjajah. Dalam sisi yang lain, kemerdekaan yang kini dinikmati mendapat penilaian tersendiri. Kemerdekaan ”semu” menjadi aspirasi yang kini turut berkumandang (terlepas suka atau tidak) oleh setiap pribadi anak anak bangsa dalam melihat perjalanan negeri ini. Pandangan ini menilai bahwa, bangsa Indonesia hari ini sesungguhnya belum merdeka. Takaran dari statement tersebut berangkat dari kondisi dan realitas yang kini dihadapi warga. Dalam kasus tertentu, kemerdekaan yang di dipandang pula sebagai ruang baru arena penjajahan dalam bentuk lain. Meminjam istilah Paulo Freire, penjahan masa kini adalah penjajahan kesadaran, sehingga butuh upaya pembebasan kesadaran. Dinamika kehidupan berbangsa dengan kondisi kekinian bila boleh dimunculkan pertanyaan, lantas mau dikemanakan bangsa ini dengan usianya yang telah cukup berumur?

Pandangan paradoks dalam memahami kemerdekaan adalah sebuah realitas yang menyiratkan bahwa belum ada kesamaan pemahaman mengenai hal yang hakiki dari sebuah arti kemerdekaan dengan asal katanya “MERDEKA.” Menyibak arti kemerdekaan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) dengan asal kata “MERDEKA” sedikitnya mengandung tiga makna. Pertama, bebas dari (penghambaan, penjajahan, dsb) atau berdiri sendiri. Kedua, tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Ketiga, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, atau leluasa. Merujuk makna dari istilah diatas, maka kemerdekaan yang selama ini dikumadangkan tersirat sebagai proses dimana bangsa Indonesia menyatakan diri terbebas dari penghambaan/penjajahan bangsa kolonial. Padahal dalam sisi lain, kemerdekaan menghendaki agar bangsa terlepas dari tuntutan dan penguasaan, sehingga dapat menentukan nasib sendiri dengan tidak gampang menggantungkan diri pada pihak lain.

Bahwa pemaknaan kemerdekaan yang ditandai dengan Proklamasi sebagai era terbebasnya bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa kolonial, masih belum dapat dipahami sebagai sebuah pengalaman sejarah panjang yang telah mengorbankan jiwa dan raga. Sejatinya, pasca diproklamasikannya kemerdekaan, rakyat Indonesia harus tetap berjuang untuk bengkit dari sisa-sisa perjuangan yang tidak kalahnya menuntut keterlibatan aktif anak negeri. Kompleksnya persoalan bangsa yang dihadapi cenderung gampang menimbulkan cara pandang yang beragam dalam pemaknaan kemerdekaan. Pemahaman yang ditransferkan selama ini seakan menegasikan bahwa kemerdekaan yang telah diraih adalah sebuah kemerdekaan hakiki yang tiada duanya. Kemerdekaan yang seolah telah menjanjikan segalanya bagi anak negeri ini sehingga tidak perlu perjuangan karena telah disediakan oleh negara. Akibat dari pemahaman ini, munculnya kecenderungan ketergantungan pada pihak lain karena dianggap apa yang menjadi kekurangan dapat dipenuhi.

Apa yang harus dilakukan anak negeri ini melihat Indonesia yang dinyatakan merdeka sejak 64 tahun silam, dapat menjadi sebuah refleksi ketika dalam satu sisi masih banyak warga dinegeri ini melihat kemerdekaan dalam berbagai cara pandangnya. Bahwasanya kemerdekaan yang dikenang setiap 17 Agustus adalah sebuah fakta sejarah yang mesti dipahami bersama sebagai tonggak perjuangan segenap komponen anak negeri yang menyatakan bangsanya keluar dan terbebas dari penjajahan kolonial. Dengan demikian, mengisi kemerdekaan tersebut segenap warga bangsa dibawah kepemimpinan kepala Negara memiliki tanggungjawab yang sama dalam menjaga dan mempertahankan kedaulatan Negara sesuai peran masing-masing. Kemerdekaan yang telah diraih menuntut warganya untuk bersama-sama bangkit dari pergolakan dan dinamika hidup yang dialami.

Adalah sebuah fakta bahwa hingga saat ini bangsa kita melalui pemerintah belum mampu untuk mensejahterakan seluruh warganya. Masih banyak diantara saudara kita yang hidup dibawah garis kemiskinan. Masih banyak warga kita yang harus berjuang mempertahankan haknya karena terancam diperlakukan semena-mena. Masih banyak persoalan lingkungan yang belum mendapat perhatian serius. Masih banyak angka pengangguran dan angka putus sekolah bagi anak-anak negeri ini. Masih banyak persoalan KKN yang belum terungkap dan masih mengakar dinegeri ini. Masih banyak warga yang belum tersentuh oleh program pemberdayaan yang muluk dari penyelenggara Negara. Masih banyak kaum perempuan dan anak di negeri yang menjadi korban perdagangan manusia. Masih banyak pula aksi-aksi yang tidak terpuji meresahkan warga dan diluar koridor kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan dengan aksi bom bunuh diri juga telah mengusik perasaan sipapun. Kondisi seperti ini adalah sebuah kenyataan yang harus diakui sebagai persoalan bersama.

Bergulirnya momentum 64 tahun silam yang kini sedang dirayakan oleh segenap komponen bangsa patutlah dijadikan sebagai era bangkitnya perjuangan warga dari persoalan-persoalan bangsa yang dihadapi. Era dimana segenap warga negeri ini menyadari bahwa perjuangan pasca kemerdekaan bangsa belum pernah selesai. Masih harus dijalani dengan perjuangan. Spirit perjuangan para pendahulu kiranya dapat mengakar dan diwujudnyatakan dalam semangat pejuangan warga negara kini yang sedang berjuang mengarungi samudera kehidupan nyata dengan dinamika persoalan yang tidak kalah rumit dan peliksnya. Karenanya, ada beberapa point yang sedianya dapat diambil dan direfleksikan dari perjuangan para pendahulu bangsa; perjuangan tanpa pamrih untuk kepentingan bangsa, semangat gotong royong dalam kebersamaan, komitmen menjaga kedaulatan bangsa, semangat mengedepankan kepentingan bersama, dan semangat menghargai perbedaan. Perjuangan untuk tetap tegaknya Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi bangsa hedaknya masih harus terus dipelihara dan dijaga eksistensinya secara konsisten. Keragaman latar belakang yang dimiliki harus diakui sebagai fondasi kuat dalam menjaga keutuhan negeri ini.

Berkaca dari fakta sejarah bahwa sebuah kemerdekaan negeri ini yang dikumandangkan sejak 64 tahun silam yang masih banyak menuntut anak negerinya berbenah diri, maka momentum kemerdekaan kali ini juga hendaknya dapat dimanfaatkan untuk terus mau berbenah, khususnya bagi segenap pribadi anak bangsa. Sebuah tantangan berat saat ini yang harus menyertakan spirit kemerdekaan adalah bagaimana setiap pribadi manusia Indonesia mau dan memiliki komitmen untuk terus berupaya membebaskan diri dari usaha-usaha yang bertentangan dengan hati nurani, membebaskan diri dari perjuangan yang cenderung merugikan sesama, bangsa dan negara. Kecintaan terhadap eksistensi negara tidak cukup hanya diwujudnyatakan dalam berbagai bentuk rangkaian acara seremonial. Menanamkan semangat tersebut tumbuh subur dalam setiap pribadi jauh lebih penting. Spirit perjuangan para pendahulu bangsa dalam membebaskan bangsa dari penjajahan harus terus berkobar dalam mengisi kemerdekaan. Pro ecclesia et patria. Merdeka!!!

*) Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak, Anggota Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat, Anggota Jaringan Rakyat untuk Keadilan dan Perdamaian.

Tidak ada komentar: