hidup itu anugerah, sedangkan gagasan adalah buah dari pada anugerah itu, yang layak diabadikan melalui ukiran kata demi kata yang sedianya dapat menjadi inspirasi.
Jumat, 14 Agustus 2009
Lingkungan
Refleksi dari Aksi Aktivis LH di Kapuas Hulu
By. Hendrikus Adam*
Beberapa waktu lalu seperti kita baca melalui media harian lokal, para aktivis lingkungan Green Peace dan WALHI Kalbar melakukan aksi damai di wilayah garapan PT. Sinar Mas di Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu. Kawasan ini merupakan daerah hulu dari Sungai Kapuas yang kini digarap dengan pembukaan lahan skala besar untuk perkebunan sawit. Namun dalam pelaksanaan aksinya, perjalanan para aktivis lingkungan yang menyertakan jurnalis dari sejumlah media tersebut tidak semulus yang dibayangkan. Karena ”miskomunikasi” warga yang bekerja diperusahaan lantas menghalau mereka saat melakukan aksi diam menyampaikan aspirasi. Akibatnya warga yang tidak terima menuntut denda adat dengan nilai rupiah yang sangat pantastis! Angka 75 juta disodorkan oknum warga meskipun akhir sebesar 4.435.000 yang disepakati atas fasilitasi pihak Polres setempat. Para aktivis lingkungan dinilai salah basa, karena dianggap tidak meminta ijin kepada warga atas aksi yang dilakukan diwilayah masyarakat tersebut. Sementara disatu sisi, pada kenyataannya aksi damai untuk lingkungan itu dilakukan dikawasan perkebunan yang secara yuridis formal bila mau jujur telah dimiliki oleh pihak perusahaan terutama dalam hal penggunaan lahan selama puluhan tahun mendatang. Ini berarti, pihak perusahaan punya hak sepenuhnya atas lahan tersebut. Mau diperlakukan seperti apa, sangat tergantung bagaimana maunya pihak perusahaan setempat atas lahan sawitnya. Kondisi ini sebenarnya yang dikhawatirkan. Dengan pembukaan areal yang saat ini saja, kita dapat membayangkan berapa besar kawasan serapan air disana yang akhirnya terberangus.
Aksi kecil untuk menyuarakan aspirasi lingkungan tersebut hanyalah bagian dari reaksi yang harusnya memiliki nilai pikat yang besar, karena sangat bersentuhan dengan kepentingan warga banyak, terutama bagi mereka yang memiliki kerinduan untuk alam-hutan-adat istiadat agar tetap terpelihara guna menghindari kemungkinan yang kurang baik lagi. Kekhawatiran bila kawasan perhuluan sungai yang berada disekitar Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) terus dibuka dan digunduli hutannya, maka kawasan serapan air akan semakin terancam keberadaannya. Sangat mungkin pula arus bencana lingkungan dalam bentuk kiriman banjir dan bencana lingkungan lainnya terus melanda bumi Khatulistiwa ini. Bukan hanya itu, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat yang sangat bergantung dengan alam juga akan menuai dampaknya karena sumber lauk, sayur, buah, obat-obatan tradisional dan keperluan adat menjadi menjadi terancam punah.
Apa yang harus dipahami dan kita jadikan refleksi dari peristiwa tersebut? Tidak bermaksud menggurui, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang penting menjadi catatan untuk berbenah. Antara hukum adat dan aksi peduli lingkungan sejumlah aktivis lingkungan tersebut sesungguhnya beriringan, ia berada pada posisi saling mendukung. Ia bukan berada pada posisi yang saling bertolak belakang. Ini yang harus dipahami bersama. Dengan diberlakukannya adat salah basa melalui nilai hukuman yang sewajarnya kemudian disambut dengan lapang dada karena menyadari kekeliruan tersebut dan untuk selanjutnya berkenan membayar adatnya, adalah sebuah sikap bahwa keberadaan masyarakat adat dengan hukumnya, mendapat penghormatan oleh mereka (para aktivis lingkungan). Bagai gayung bersambut peristiwa adat salah basa mestinya dapat membuat keduanya saling memahami dan saling menguatkan. Bagi para aktivis lingkungan misalnya, menilai bahwa adat warga setempat perlu dijaga dan dipertahankan. Keberadaan perangkat adat dalam masyarakat juga hendaknya mampu manjaga hutan yang merupakan sumber segala kehidupa warga adat. Sedangkan bagi warga, adat salah basa hanyalah sebuah pesan untuk saling mengingatkan. Eksistensi adat dan masyarakat adat tentunya akan nampak jelas manakala hutan alam disekitarnya terjaga dengan baik.
Rasanya penting diingat (meski seringkali pula tidak disadari) bahwa upaya penolakan atas perluasan perkebunan dilahan yang awalnya menjadi hak milik masyarakat setempat itu adalah bagian dari upaya yang disadari atau tidak, memiliki sisi positif untuk kepentingan eksistensi masyarakat adat setempat pula. Alam dan budaya, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan penghidupan masyarakat didaerah pedalaman termasuk warga setempat. Dengan demikian, semakin “dihancurkannya” hutan (dengan luasan skala besar) yang adalah mata rantai sumber kehidupan masyarakat adat, maka harus bukankah ini berarti bahwa keberadaan adat berikut hukumnya itu semakin di (ter) “pojok”?. Tentu, sangat pantas rasanya bangga bila adat berikut hutan di lingkungan masyarakat dapat terpelihara dengan baik, ketimbang hutan habis namun tetap merasa bangga dengan adat yang dimiliki. Tentu pengalaman ini juga kiranya dapat memberi energi positif bagi kalangan aktivis lingkungan, untuk memperhatikan hal kecil yang biasanya mudah terlupakan namun memiliki nilai strategis yang tak kalah penting. Pemberlakuan adat salah basa oleh warga, bukan berarti warga tidak mendukung upaya penyelematan lingkungan. Demikian sebaliknya, upaya yang dilakukan melalui aksi diam oleh para aktivis lingkungan tidak lantas harus dimaknai sebagai pengabaian terhadap keberadaan warga, tentunya mereka punya pertimbangan lain. Upaya komunikasi untuk saling memahami tentu menjadi penting antar warga dan para aktivis tersebut. Sebaliknya, untuk menjaga martabat (hukum) adat maka tidak salah tentunya bila warga yang memahami soal hukuman adat untuk bisa memberikan teguran dan atau masukan bila ada kemungkinan adat dimasyarakat tersebut diselewengkan. Moment tersebut dapat dijadikan median konsolidasi dan saling merangkul bagi warga untuk urung rembuk memikirkan keberadaan dan keberlangsungan kelestarian hutan adat setempat.
Nah, ketika menyadari bahwa keberadaan masyarakat adat dan hukum adat sesungguhnya beriringan atau sejalan dengan kepentingan bersama yang lebih luas kerena memandang bahwa lingkungan alam menjadi penting, maka warga masyarakat adat setempat yang ingin terus mempertahankan adat dan lingkungannya tidak salah kiranya untuk bergandengan tangan bersama mereka yang telah mengaspirasikan pentingnya menjaga hutan dari pembabatan secara besar-besaran itu. Saya percaya, pintu untuk kebaikan bersama yang lebih luas terutama untuk masa depan keberlangsungan lingkungan dan keberadaan masyarakat adat terbuka lebar untuk saling merangkul dan memikirkan TNDS yang menjadi lumbung penghidupan bagi warga banyak. Meminjam pepatah adat yang kurang lebih begini; “Ukuman adatnya kurang, bera antu. Tapi ukuman adatnya labih, bera Jubata” atau bermakna “Hukuman adatnya kurang, hantu marah. Bila hukuman adatnya lebih, Tuhan marah,” maka adabaiknya pemasangan nilai hukuman adat juga tidak mengada-ada. Harus ditentukan orang yang benar-benar paham adat dan bukan orang yang pura-pura paham adat. Pemasangan patokan harga (hukum) Adat yang mengada-ada justeru akan merusak citra mulia dari adat itu sendiri. Bila bukan orang-orang yang empunya adat memulai menghormati adatnya sendiri, apalagi orang lain? Warga setempat di Kecamatan Suhaid di Kapuas Hulu tentunya punya keinginan yang sama dengan masyarakat adat lainnya, yakni berdaulat atas tanah, hutan, budaya, adat dan lingkungan. Menjaga tanah dan hutan sumber kehidupan bersama dari eksploitasi oleh pihak luar (dalam skala besar) adalah tindakan sadar yang tidak perlu disesali. Masyarakat adat di kecamatan Suhaid juga kiranya bisa mengambil kejadian tersebut untuk direfleksikan, terutama mengenai keberadaan hutan adat yang pada kenyataannya telah digarap perusahaan. Demikian pula pihat PT. Sinar Mas dan Pemerintah Daerah, kiranya juga sungguh-sungguh memikirkan hal buruk yang bisa berdampak kepada warga banyak atas pembukaan areal kebun sawit skala besar tersebut. Jangan hanya memikirkan kepentingan sendiri. Maaf penulis sampaikan bila ada yang salah, terutama atas kesan yang mungkin terlalu menggurui. Sebuah refleksi untuk kita; masih banggakah kita dengan hutan adat atau tanah ulayat yang dulunya dimiliki, namun sekarang telah dirambah menjadi ladang sawit para investor asing?
Hendrikus Adam, Anggota Sahabat Lingkungan Kalimantan Barat (SALAK), Ketua PMKRI Santo Thomas More Pontianak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar