Kamis, 08 November 2007

Warga Nguap Mendesah


By. Hendrikus Adam BR
Sungai Belantian yang adalah sumber air utama bagi warga telah berubah warna kekuningan akibat maraknya pertambangan sejak lama. Namun demikian, warga seolah tidak menghiraukan dampak yang akan muncul kemudian. Pada kenyataannya mereka tidak pernah "dididik" untuk itu. Adakah yang mau peduli pada nasib mereka dan generasi selanjutnya?

Matahari mulai tampak terik saat saya tiba di kampung Nguap sekitar pukul 11.30 Wib waktu itu. Kehadiran saya dikampung ini secara kebetulan. Kampung yang berjarak tidak terlalu jauh dari kota Ngabang kearah Sanggau sekitar satu jam lebih perjalanan dengan kendaraan roda dua ini memang tidak begitu ramai, sekitar 35 KK. Kala sepeda motor yang ditumpangi berlabuh dan lantas menginjakkan kaki, terdengar sayub auman mesin yang terkadang kurang jelas kedengarannya. Sesekali mesin tersebut kadang terhenti bernyanyi. Menurut keterangan beberapa warga setempat, suara mesin yang terdengar berasal dari aktivitas mesin para penambang yang tidak jauh dari kampung yakni ditepi sungai Belantian. Merasa penasaran, sayapun mencoba mencari informasi dan pergi kearah sumber mesin yang rupanya tidak begitu jauh kearah tepi sungai. Di tempat itu ternyata tengah beroperasi mesin donpeng berikut tiga orang pekerja tambang Kawal (32) cs yang sedang asik mengeruk tanah diatas motor air.

Pemandangan kala itu begitu kontras. Saat Kawal cs mengeruk tanah sumber emas ditepian sungai Belantian sedikit agak menjorok kedarat kearah hulu, dibagian hilir berjarak sekitar 20 meter seorang Bapak sedang asik mandi seolah tidak mau tahu atas apa yang terjadi meskipun air yang digunakan untuk mandi tampak kuning kecoklatan akibat aktivitas pertambangan. Bapak yang belakangan diketahui bernama Ijan (41) ini mengaku tidak khawatir mandi disungai tersebut karena merasa sudah terbiasa. ”Warga juga tidak khawatir karena pada awalnya tidak diberitahu ke masyarakat, sementara hasil donpeng tidak ada gunanya,” aku warga kelahiran kampung Tebedak polos. Menurut kisah Ijan, sebelumnya air sungai didaerahnya jernih dan mudah mencari lauk, namun sejak dimulainya pertambangan disepanjang Sungai Belantian pada tahun 1992, kondisi sungai lantas berubah.

Saat ini belum ada perhatian yang lebih serius atas nasib sungai warga Nguap dan kampung sekitarnya (Nyin, Ugan, Paloh, Rangkat Pinggan, tanjung Petai, Kersik, temahar, Sebadok, Berinang, Sendaun, Tebedak) yang turut menggunakan air sungai Belantian. Pihak aparatpun dinilai tidak bisa berbuat banyak bagi warganya dan masyarakat juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara aparat desa justeru ”bermain mata” dengan pemilik donpeng. ”Bila kekurangan air, kita cari di Kampung Tubang Raeng yang cukup jauh dari kampung ini. Kedepan saya berharap ada sumur yang disediakan bagi warga,” pintanya pasrah.

Kekesalan juga disampaikan Ropinus (39). Mantan Kadus Sendaun, Desa Tebedak ini mengaku susah bila mau mandi. Keinginan warga menurutnya malah pernah diajukan kepengurus, namun tidak pernah ditanggapi. ”Malah dianjurkan kewarga agar serahkan lahan untuk digarap. Sementara kepedulian donpeng tidak ada, ikan sekarang sulit dicari” akunya.

Khusus usaha tambang di tepian sungai di kampung Nguap menurut Ropinus baru dibuka sejak 8 tahun silam (1999). Keluhan lain juga disampaikan seorang ibu rumah tangga, Ilan (33). ”Saya tidak pernah melihat air sungai ini jernih dan untuk mandi sendiri tidak lagi khawatir karena sudah terbiasa,” jelas warga asal Kampung Pipin, Batang Tarang ini.

Sungai Belantian menurut keterangan Kawal adalah anak sungai yang bermuara di Sungai Landak. Disepanjang sungai tersebut dijelaskan sedikitnya sebanyak puluhan mesin donpeng yang beroperasi yang pemiliknya sebagian besar dari Ngabang dan Sekadau. Kawal yang memulai kerja menambang sejak usia 17 tahun mengaku banyaknya emas yang didapat tidak tentu. ”Dulu malah pernah tertinggi yang didapat sampai 50 gram perhari,” jelasnya.

Tidak ada komentar: