Kamis, 08 November 2007

PT. IGP Gusur Kuburan Nek Singa Bauk


Tuntutan warga belum direspon perusahaan

Malang nian nasib warga Nahaya, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak. Alih-alih ingin mensejahterakan rakyat disekitarnya, PT. Ichtiar Gusti Pudi yang beroperasi disekitar daerah tersebut justeru membuat warga geram. Tidak puas membabat lahan yang diterima dari masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit, lokasi kuburan tua warga setempat yang konon berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) pun turut digarap. Kuburan tua tersebut adalah tempat pemakaman Nek Bauk bersama keluarganya. Nek Singa Bauk yang bernama Nyangup berdasarkan catatan sejarah warga setempat adalah putra Nek Nginsit dari Binua Sangah (Ale Keranji Mancal) yang sejak tahun 1880 membuka kampung yang kini dikenal dengan Nahaya. Sebagai orang yang pertama dan juga adalah Temanggung Binua Nahaya yang pertama, maka tidak heran bila sebagian besar warga setempat adalah keturunan Nek Singa Bauk yang hingga kini telah mencapai sekitar tujuh keturunan yang di wilayah Binua Nahaya dan sekitarnya.

Menurut data keterangan warga, dari kuburan tua sedikitnya terdapat 36 kuburan tergusur yang masih dapat diingat oleh para keturunannya. Atas kejadian tersebut, warga setempat meminta pihak perusahan bertanggungjawab dengan mengajukan sejumlah tuntutan. Namun demikian, sejak di gusur 26 Juni 2007 lalu, hingga kini belum ada respon dari pihak perusahaan untuk memenuhi tuntutan masyarakat. Tabiat perusahaan malah justeru membuat warga kecewa, karena yang telah dilakukan hanya mengganti biaya untuk mengadakan ritual doa keselamatan (tolak bala) kampung saja. Mereka kecewa, karena kuburan tua tersebut adalah kuburan nenek moyang yang semestinya tidak diperlakukan sembarangan, apalagi sampai menggusurnya. ”Kita jelas merasa kecewa dengan kejadian ini, bagaimanapun mesti diproses dan ditindaklanjuti serta harus ada yang bertanggungjawab,” urai Ajan (67), dari garis keturunan Nek Selan (putra keempat Nek Singa Bauk).

PT. IGP berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalbar memperoleh legitimasi ijin lokasi seluas 12,760 ha dengan nomor surat ijin 65 tahun 2004 tertanggal tanggal 20 Oktober 2004 dan ijin HGU dengan nomor surat 31/HGU/BPN/1997 tertanggal 26 Mei 1997 seluas 7,740 ha. Dari data tersebut terlihat memang kurang singkron. ”Siapapun yang melakukan penggusuran dan penyerahan tanah tentunya harus diproses, karena siapa lagi yang akan menghormati hukum dan adat istiadat kita bila bukan dimulai dari kita sendiri,” tambah Buset menanggapi upaya penegakan hukum atas adanya indikasi orang dalam yang terlibat.

Respon lainnya juga muncul dari garis keturunan Nek Dagar (istrinya Nek Kamu’/putra pertama Nek Bauk) yakni Syaidan Ameng (55). Menurut Syaidan, dengan penggusuran tersebut sebagai bagian dari keturunan Nek Bauk pihaknya merasa dihina, diejek dan dilecehkan. Apalagi penggusuran kuburan tersebut dilakukan tanpa kompromi. Proses penyelesaian masalah tersebut menurut Syaidan sebelumnya telah diserah kepada lembaga adat yakni Temanggung Binua Nahaya, akan tetapi masih belum ada hasil. Pada awalnya pernah diwacanakan tuntutan nominal sekitar 1 milyar lebih dari seluruh kuburan yang digusur..

Namun demikian, berdasarkan rincian tuntutan yang dikeluarkan oleh Kepala Adat Wilayah Ketimanggongan Nahaya yang ditandatangani S. Salim Aseng tertanggal 21 September 2007, tuntutan material diajukan sebesar Rp. 117.122.000 yang dikategorikan dalam tiga hal menyangkut perbaikan kuburan, adat istiadat miara simati, dan adat perusak kuburan. Disamaping itu dalam rincian tersebut juga ditegaskan permohonan kepada pihak perusahaan (PT. IGP) untuk menyerahkan lahan Kebun Kelapa Sawit 60.73 lokasi di luar HGU kepada keturunan Singa Bauk. Permohonan ini sedikit aneh, karena selain akan dijadikan Kebun Keturunan Singa Bauk, dikatakan pula bahwa pihaknya akan bersedia bersedia mengembalikan biaya pembangunan kebun yang sifatnya cicilan kredit sebesar 30% per bulan yang dipotong melalui tandan Buah segar (TBS). Saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Salim Aseng mengaku proses penyelesaiannya telah diserahkan kepada Camat Kecamatan Ngabang.

Atas gelagat tuntutan tersebut, Syaidan Ameng (55) memandang sedikit aneh. Karenanya, dia berinisiatif mempertanyakan pertanggungjawaban pihak perusahaan yang secara lebih khusus mengajukan tuntutan atas satu kuburan milik Nek Dagar sebesar Rp. 30.000.000. Biaya tersebut seperti dijelaskan dalam suratnya yang pertama (22 September 2007) akan digunakan untuk proses perbaikan dan adat istiadat. Karena belum ditanggapi, maka Syaidan kembali melayangkan surat yang kedua dan ketiga masing-masing tanggal 10 Oktober 2007 dan 25 Oktober 2007. Dari suratnya yang terakhir karena merasa belum ada respon sedikitpun dari pihak perusahaan, Syaidan melalui pernyataannya mewakili keturunan Nek Dagar akhirnya meminta/melakukan penahanan atas alat berat (Bull Dozer) milik PT. BKM yang adalah perusahaan kontraktor yang dipekerjakan pada PT. Ichtiar Gusti Pudi (IGP). Hingga naskah ini selesai ditulis, pihak PT. IGP dengan kantor pusat di Pontianak beralamat di Jalan Untung Suropati Gg. Palapa 2, Nomor 2 Pontianak belum memberi respon atas tuntutan tersebut. Sementara pada saat bersamaan saat dikonfirmasi, nomor kontak Manager Umum (Asmadee Ahmad) PT IGP belum bisa dihubungi. Bagaimanapun keadilan atas hak-hak rakyat harus tetap ditegakkkan.

Tidak ada komentar: