Selasa, 25 Oktober 2016

Dilema Berladang di Tengah Larangan Membakar

Seorang anak di kampung Lingga Dalam, Desa Lingga,
Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya
sedang menyemai benih padi di ladang
#HendrikusAdam2016


Oleh Hendrikus Adam[1]

SEKITAR tanggal 7 September 2016 lalu, peristiwa miris dialami peladang di kampung Bawas, Desa Teluk Bakung, Kecamatan Sungai Ambawang. Helikopter yang membawa kantong air kala itu tiba-tiba datang dan menjatuhkan air persis di ladang ketika api baru mulai menyala sekitar 15 menit. Hasilnya, ladang milik Enda yang baru akan dibersihkan dengan cara bakar kala itu lantas padam.

Kejadian serupa juga dialami Lina dan dua warga lainnya di kampung Lingga Dalam, Desa Lingga, Kecamatan Sungai Ambawang empat hari sebelumnya. Masih banyak peladang yang kemudian menjadi “korban” atas kebijakan yang tidak populis atas kegiatan pertanian turun temurun warga yang disertai dengan kearifan lokalnya tersebut.

Dampak langsung dari peristiwa tersebut melahirkan jejak berupa rasa kecewa, kesal, marah dan bahkan trauma. Sejumlah warga yang menjadi korban atas kejadian tersebut mengaku “manas tak berlawan” atas situasi yang dialami. Di tempat terpisah, bahkan ada di antara warga yang berani mengacungkan parang pasca lahan pertaniannya disiram air rekayasa via helikopter yang didatangkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar tersebut sebagaimana kisah Arif Munandar, Kru Helikopter beberapa waktu lalu (26/9).

Kehadiran helikopter yang lantas memadamkan api di ladang saat warga membersihkan lahan ladangnya dengan cara bakar menjadi unik dan berkesan. Berkesan dan unik sebagai suatu tindakan yang tidak memihak pada kepentingan warga yang kali ini dilakukan. Bahkan ketika helikopter patroli sedang melakukan aksinya pada Agustus hingga September 2016 lalu, muncul istilah baru di komunitas yakni “Musim Helikopter Memadamkan (paksa) Ladang Warga”.  

Salah Alamat
Rasa resah, kecewa dan bahkan marah yang dialami peladang atas ulah pemadaman serampangan melalui bom air mengisyaratkan adanya persoalan serius di lapangan. Kebijakan larangan membakar yang ditabuh pemerintah seperti Maklumat Kepolisian, Intruksi Presiden (Inpres) 11 Tahun 2015, spanduk larangan membakar oleh TNI hingga ajakan meninggalkan ladang oleh Pemda Kalbar telah memantik lahirnya tindakan meresahkan. Bahkan pada sejumlah kasus, aparatur di lapangan tidak segan untuk “menciduk” warga yang membersihkan ladangnya dengan cara dibakar.

Hal yang paling menggelitik adalah pesan papan plang berlogo Kementrian Kehutanan RI yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung Seksi Wilayah I Sukadana yang menyebutkan; “Membuka Ladang dengan Cara Membakar adalah Perbuatan tidak bijaksana”. Kalimat ini jelas mengesankan pengabaian sisi kearifan lokal dalam praktik berladang selama ini. Bila pemahaman tersebut membumi dalam benak setiap isi kepala aparatur penyelenggara negara, maka sangat berpotensi melahirkan persoalan lapangan berkepenjangan.

Usaha untuk menghentikan petaka asap akibat kebakaran meluas selama ini memang perlu langkah nyata sebagai ekspresi tanggungjawab negara. Namun demikian, tidak lantas mentolerir tindakan-tindakan serampangan yang menjurus pada tindakan refresif terhadap peladang yang mengusahakan (hak atas) pangannya sendiri.

Kebijakan bom air untuk memadamkan ladang, hemat penulis jelas tidak tepat atau salah alamat. Kebijakan salah sasaran ini justru mubajir dan terkesan menghamburkan sumberdaya untuk kepentingan jangka pendek. Selain secara etika komunitas tindakan tersebut tidak dibenarkan karena mengganggu usaha untuk keberlanjutan hidup yang menjadi bagian dari pekerjaan warga. Hal ini juga telah mengabaikan amanah undang-undang terhadap kearifan lokal dalam kegiatan berladang yang mestinya mendapat perhatian untuk mendapat perlindungan.

Praktik aparatur di lapangan yang digambarkan di atas mengkonfirmasi adanya fenomena “gagal paham” terhadap; kegiatan berladang dengan kearifan lokalnya, aturan perundang-undangan yang memberi perlindungan, hingga persoalan seputar petaka asap akibat kebakaran meluas selama ini. Akibatnya, kebijakan larangan membakar dan tindakan bom air justru berpotensi dan bahkan telah melahirkan “ketidakpercayaan” warga terhadap negara beserta aparaturnya. Karenanya, tindakan tidak populis tersebut menjadi sangat mendesak untuk dievaluasi serius pelaksanaannya dan khusus untuk bom air ladang hendaknya dihentikan.

Bukan Kejahatan
Kegiatan berladang yang disertai dengan kearifan lokal selama ini sejatinya bukan perbuatan terlarang. Bukan pula sebuah kejahatan. Hal ini misalnya telah dipertegas sebagaimana dimuat dalam Pasal 69 ayat 2 UU 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Pasal dimaksud menyebutkan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Lebih lanjut, pada bagian penjelasan dalam UU yang sama juga dengan tegas disebutkan bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Dengan demikian, konstitusi dengan tegas memberi pengecualian terhadap praktik kegiatan berladang sebagai perbuatan yang termasuk dilarang dalam hal membakar sebagai sebuah metode dalam membersihkan ladang. Pada sisi lain, sikap kehati-hatian mengelola lahan pertanian melalui kegiatan berladang sebagaimana yang dimau dalam UU tersebut sejak lama telah ada dan menyertai proses pertanian turun temurun komunitas ini. Dokumentasi yang dilakukan WALHI Kalbar terhadap kegiatan berladang pada Komunitas di Binua Sunge Samak, di Kabupaten Kubu Raya misalnya mencatat lebih dari 20 tahapan berladang sebagaimana warisan leluhur komunitas.

Merawat Pengetahuan dan Relasi 
Berladang gilir balik penting dipahami tidak ansih tentang pemenuhan pangan yang menjadi hak asasi warga semata. Namun, juga bagian dari siklus kehidupan. Dengan berladang yang masih dilakukan, warga di komunitas merawat pengetahuan tradisional dan ingatannya terkait dengan nilai, adat istiadat dan budaya. Dengan berladang, komunitas merawat relasi yang mengekspresikan adanya jalinan harmoni; baik antar sesama, dengan alam, maupun hubungan dengan Sang Pencipta itu sendiri. Karenanya, kegiatan berladang sejatinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Sangat kompleks.

Dilema yang dihadapi peladang semestinya dapat diakhiri bila ada itikad baik, terutama aparatur negara untuk mau memastikan kehadirannya dalam melindungi, mengayomi dan melayani. Pada sisi lain, masyarakat peladang penting untuk sungguh memastikan agar kegiatan pertanian turun temurun yang dilakukan mutlak sesuai pengetahuan tradisonal dan kearifan lokal yang diwariskan leluhur selama ini.

Melarang berladang berarti membiarkan warga untuk kelaparan dan tersingkir dari adat istiadat pertanian turun temurun, bahasa ibu, pengetahuan tradisional maupun tanah tumpah darahnya. Demikian pula ketidakberpihakan kebijakan pada kepentingan peladang hanya akan melahirkan deretan rasa kecewa dan sakit hati rakyat kepada pemerintahnya sendiri. Semoga badai bagi masyarakat peladang yang sekaligus warga negara segera berlalu dan tidak hadir esok dan seterusnya.



[1]Penulis aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Sosial Budaya dan Perdamaian.


ARTIKEL ini sebelumnya terbit di Harian Pontianak Post edisi cetak pada 6 Oktober 2016 halaman 2.

Tidak ada komentar: