Selasa, 25 Oktober 2016

Berladang Vs Larangan Membakar

Warga di Desa Korek, Kecamatan Sungai Ambawang,
Kabupaten Kubu Raya tampak berjaga saat membantu melakukan
pembersihan ladang warga lainnya dengan cara bakar.
#byHendrikusAdam2016
Oleh Hendrikus Adam[1]

MEMBUKA ladang dengan cara membakar adalah perbuatan tidak bijaksana. Demikian kalimat pada plang berlogo Departemen Kehutanan yang diterbitkan Balai Taman Nasional Gunung Palung Seksi Konservasi Wilayah I Sukadana yang terpasang di jalan Siduk – Nanga Tayap penulis jumpai beberapa waktu lalu. Dari bahasa yang digunakan, kalimat ini tentu sangat menggelitik. Seolah membantah tentang kearifan lokal yang selama ini diyakini menyertai kegiatan berladang oleh masyarakat. Kalimat dimaksud juga bahkan terkesan menapik pengakuan UU Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup terkait dengan pengakuan tentang kearifan lokal mengelola lahan pertanian oleh warga dengan batasan tertentu.

Bila dicermati, sejumlah pesan bernada “sinis” terhadap kegiatan berladang selama ini juga tergambar dari sejumlah respon yang dilakukan secara langsung oleh aparatur di lapangan. Upaya sosialisasi larangan membakar, tindakan refresif dengan mendatangi dan bahkan menangkap petani hingga menjatuhkan bom air dengan gagahnya untuk memadamkan api saat peladang membersihkan ladangnya.

Tentu saja, tindakan aparat dengan situasi yang terjadi bukan secara tiba-tiba. Ada sejumlah pra kondisi sebelumnya, termasuk berkenaan dengan persoalan pemahaman tentang petaka asap, proses berladang dan konstitusi yang melindungi warga pengolah lahan pertanian dengan kearifannya belum sungguh dipahami lebih baik atau sedang “gagal faham”? Ataukah sejumlah pihak itu sudah memiliki pemahaman permanen tentang kegiatan berladang dengan cara bakar sebagai perbuatan tidak bijaksana sebagaimana papan plang buatan Balai Taman Nasional Gunung Palung? 

Kronik Asap hingga Larangan
Dokumen intruksi boleh bakar lahan
di perkebunan kelapa sawit PT. Bumi
Pratama Khatulistiwa (BPK) tahun 1997.
Pandangan sinis terhadap peladang dan kegiatan berladang setidaknya telah dimulai sejak peristiwa petaka asap kali pertama terjadi tahun 1997/1998 akibat kebakaran hutan/lahan yang terjadi seiring dengan mulai maupun telah maraknya pembukaan industri ekstraktif. Pada tahun itu, pihak Kementrian Lingkungan Hidup juga merilis sejumlah perusahaan yang terindikasi melakukan pembakaran pada konsesinya. Sementara di Kalimantan Barat, peristiwa kebakaran meluas yang terjadi turut ditandai dengan sanksi adat capa molot kepada Kadis Kehutanan karena menuduh peladang sebagai penyebab kebakaran hutan dan kabut asap. Pada sisi lain, tindakan sengaja perusahaan yang membersihkan lahan konsesinya dengan cara bakar pada tahun tersebut tidak memperoleh sanksi serius. Di Kalimantan Barat beberapa waktu terakhir bahkan satu dari empat perusahaan yang diproses terkait kasus kebakaran pada konsesinya malah dihentikan proses hukumnya (di SP3kan).

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang meluas selanjutnya disusul pada tahun-tahun berikutnya. Sekitar tahun 2005/2006, petaka asap hebat juga melanda Kalimantan Barat dan Indonesia pada umumnya. Kembali, pihak Kementrian Lingkungan Hidup bahkan merilis 579 konsesi perusahaan skala besar yang terindikasi melakukan pembersihan lahannya dengan cara bakar yang meliputi wilayah Sumatera dan Kalimantan. Di Kalimantan Barat pada tahun itu, dua perusahaan perkebunan kelapa sawit group Wilmar di Sambas yang terindikasi membersihkan lahannya dengan cara bakar sempat diproses hukum namun kandas saat disidangkan di PN Singkawang.

Selanjutnya, kebakaran pada sejumlah konsesi perkebunan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Namun demikian, perkembangan terhadap sejumlah kasus tersebut nyaris tanpa kabar. Puncak dari peristiwa petaka asap dan kebakaran meluas pada sejumlah konsesi perusahaan itu terjadi pada tahun 2015 lalu yang kemudian ditandai dengan penegasan komitmen Presiden Jokowi; Indonesia Bebas Asap. Situasi ini yang menjadi cikal lahirnya larangan membakar yang selanjutnya berdampak meluas, terutama larangan terhadap cara membakar yang dilakukan dalam berladang.

Di Kalimantan Barat, pihak kepolisian kemudian menerbitkan “Maklumat Kepolisian” tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan tanggal 7 Juli 2015 yang meminta seluruh warga masyarakat dan pihak manapun di Kalimantan Barat agar tidak melakukan pembakaran lahan, hutan dan kebun atau tindakan lain dengan tujuan apapun, baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menimbulkan terjadinya bahaya asap dan rusaknya lingkungan hidup serta gangguan kesehatan dan kegiatan masyarakat lainnya. Dalam maklumat tersebut juga termuat ancaman pidana 3 hingga 10 tahun dan denda 15 milyar rupiah. Sementara sanksi terhadap perusahaan pembakar lahan hingga kini masih belum ada.

Tiga bulan kemudian, tepatnya tanggal 24 Oktober 2015, Presiden Jokowi baru menerbitkan Inpres 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang mengamanahkan untuk meningkatkan penegakan hukum dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perorangan atau badan hukum yang terlibat dengan kegiatan pembakaran hutan dan lahan. Salah satu poin dari Inpres tersebut meminta agar para Gubernur dan Bupati/Walikota untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku usaha pertanian yang tidak melaksanakan pengendalian kebakaran lahan yang menjadi tanggungjawabnya.

Bentuk usaha lainnya yakni adanya kampanye dalam bentuk pemasangan spanduk pada sejumlah titik tentang larangan melakukan pembakaran lahan dan hutan yang disertai dengan informasi ancaman pidana dan denda milyaran rupiah yang diterbitkan oleh TNI (Kodim 1207/BS). Selain itu juga adanya sosialisasi tentang Maklumat Kepolisian yang ditandatangani Kapolda Kalimantan Barat dan turut “diperbanyak” oleh sejumlah perusahaan perkebunan dengan memasangnya pada sejumlah areal konsesi juga kantor usahanya.

Ajakan untuk meninggalkan kegiatan berladang (dan menggantinya melalui pertanian modern) dengan argumentasi bahwa upaya berladang yang mulai berkurang membantu pemerintah menjaga kelestarian lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global turut ditegaskan Bapak Cornelis selaku Gubernur Kalimantan Barat saat membuka Pekan Gawai Dayak (PGD) XXXI tanggal 20 Mei 2016. Baru pada tanggal 13 Juli 2016, Maklumat Bersama tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun kemudian diterbitkan Forkompimda Kapuas Hulu. Larangan ini turut disertai dengan ancaman pidana dan denda milyaran rupiah bagi pelaku.

Sejumlah larangan yang disampaikan tentu sah saja bila hal tersebut sebagai bagian dari respon atas persoalan petaka asap meluas yang selama ini kerap terjadi. Namun demikian, sangat penting pula disertai dengan pemahaman yang baik mengenai sejarah maupun petaka asap itu sendiri, bagaimana proses berladang yang dilakukan komunitas dan perlindungan negara terhadap warganya yang mengelola pertanian dengan kearifan lokalnya. Hal ini sangat krusial agar tidak terjadi “sesat fikir” maupun tindakan salah kaprah di lapangan yang justru berpotensi merugikan masyarakat peladang sebagaimana yang terjadi belakangan ini.

Sangat penting pula mendudukkan akar persoalan petaka asap pada porsi yang benar agar semua pihak terutama aparatur negara tidak salah kaprah, baik dalam memahami, membuat maupun menerapkan aturan “larangan pembakaran” di lapangan. Menyamakan kegiatan membakar yang dilakukan dengan sadar disertai pengetahuan tradisional dan kearifan lokal oleh komunitas dengan pembakaran dan atau kebakaran pada sejumlah konsesi perusahaan (maupun sekitarnya) dengan skalanya yang luas dan itu terjadi digambut misalnya, tentu tidak relevan.

Bukan Kejahatan
Padi yang sedang tumbuh di ladang warga
Banuah, Desa Teluk Bakung, Kecamatan
Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya.
Kegiatan berladang yang disertai dengan kearifan lokal selama ini sejatinya bukan perbuatan melawan hukum. Kegiatan pertanian turun termurun warisan leluhur komunitas itu bukan sebuah kejahatan. Undang-undang pasal 69 ayat 2 dengan tegas mengecualikan praktik yang disertai kearifan lokal itu sebagai perbuatan yang termasuk dilarang dalam hal membakar sebagai sebuah metode dalam membersihkan lahan pertanian. Pada pasal ini disebutkan bahwa; “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh- sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing”. Selanjutnya pada bagian penjelasan juga dengan tegas disebutkan bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Bila memperhatikan amanah UU tentang kearifan lokal yang disebutkan, maka sesungguhnya praktik yang dimau tersebut jauh hari telah ada dan menyertai proses berladang yang selama ini dilakukan oleh masyarakat peladang. Dokumentasi yang dilakukan WALHI Kalimantan Barat terhadap kegiatan berladang pada Komunitas di Binua Sunge Samak, Kabupaten Kubu Raya misalnya mencatat lebih dari 20 tahapan berladang sebagaimana warisan leluhur komunitas yang harus dilewati. Tahapan dimaksud dimulai dengan bahaupm (musyawarah) hingga mipis banih ataugawe padi (gawai padi) sebagai ungkapan kegembiraan dan syukur komunitas atas hasil pertanian kepada Sang Pencipta.

Kegiatan berladang gilir balik yang dilakukan komunitas selama ini sejatinya juga tidak sekedar bagian dari usaha untuk mengusahakan (hak atas) pangan semata, namun juga bagian dari siklus kehidupan yang syarat dengan nilai, adat istiadat dan budaya. Melalui kegiatan berladang, tergambar adanya relasi baik yang terjalin; baik antar sesama, dengan alam, maupun relasi dengan Sang Pencipta itu sendiri. Jadi sangatlah jelas bahwa kegiatan berladang tidak sesederhana yang dibayangkan seperti mislanya; membuka lahan, bakar lalu keluar asap.

Salah Alamat
Baliho Maklumat Kepolisian tentang
Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan/Kebun
yang dipasang pada salah satu perusahaan
perkebunan kelapa sawit. 
Langkah pihak yang menjatuhkan air untuk memadamkan api saat peladang membersihkan ladangnya dengan cara bakar melalui helikopter sewaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat sangat tidak tepat sasaran. Tindakan ini hemat penulis sebuah tindakan gegabah yang justru bertentangan dengan amanah konstitusi maupun apa yang dimau Presiden sebagaimana Inpres 11 tahun 2015 yang ditebitkan. Tindakan pelarangan membakar yang tidak disertai dengan pemahaman yang mumpuni oleh aparatur atas apa yang boleh dan tidak tanpa menyandingkannya dengan kearifan lokal komunitas malah akan menambah persoalan serius bagi masyarakat. Hal ini pula secara etika komunitas sesungguhnya tidak dibenarkan.

Tindakan pemadaman ladang yang sedang dibersihkan dengan cara bakar oleh pemiliknya tersebut tidak lebih dari hanya sekedar “menghambur-hamburkan uang”. Bila sekali terbang saja misalnya menghabiskan biaya sekitar 400an juta sebagaimana pengalaman tahun 2015 lalu, maka dapat dibayangkan bila helikopter tersebut terbang berkali-kali atau hingga ratusan kali dalam beberapa waktu terakhir.

Pada sisi lain, situasi ini juga sangat ironis; disaat upaya pemerintah untuk mendorong ketahanan pangan sedang dilakukan, namun pada saat bersamaan upaya “penghentian” kegiatan berladang untuk mengusahakan pangan sendiri oleh komunitas malah terjadi. Demikian pula tindakan refresif di lapangan yang dilakukan oleh aparatur negara yang “memburu” masyarakat peladang seolah telah melakukan sebuah kejahatan sedianya tidak terus dilakukan esok dan seterusnya.

Salut untuk Komunitas
Sudah semestinya negara hadir dan memberi perlindungan di tengah situasi warganya yang sedang berjuang untuk memenuhi hak asasinya atas pangan. Sudah semestinya pula, negara melalui aparaturnya memiliki pemahaman dan pengetahuan yang baik tentang persoalan petaka asap, proses berladang oleh komunitas hingga perlindungan negara terhadap warganya dengan kearifannya sebagaimana turut diamanahkan konstitusi.

Tindakan salah alamat memadamkan ladang warga serampangan harus dipastikan tidak diulang kembali. Demikian pula pembiayaan helikopter pemadam kebakaran yang digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Barat dan atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memadamkan ladang penting diketahui, diaudit dan disampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Penting pula permohonan maaf secara terbuka oleh negara melalui pihak terkait disampaikan kepada masyarakat peladang yang telah menjadi korban hingga harus merasa trauma, sedih, marah maupun kecewa.

Tentu saja kepada masyarakat peladang, terlebih bagi mereka yang menjadi korban bom air maupun yang menjadi korban kriminalisasi karena berladang, penulis menyampaikan hormat dan salut atas kesabaran Anda semua yang tidak gegabah (seperti mereka) dalam bertindak. Tentu saja aturan (adat) di komunitas dapat saja berlaku dalam menyikapi situasi yang dihadapi warganya saat ini. Namun demikian, hal tersebut berpulang pada kemauan kuat warga sekitar dan atau komunitas yang menjadi korban untuk bertindak atas langkah serampangan pemadaman “salah alamat” itu.

Tetaplah berladang sesuai pengetahuan tradisonal dan kebijaksanaan turun temurun yang diwariskan leluhur. Berladang dengan kearifan lokal sejatinya bukan kejahatan, namun jalan kehidupan yang sedianya terus dihidupi dengan disertai semangat, keyakinan, solidaritas dan kerja keras.

Melarang berladang berarti membiarkan warga untuk kelaparan dan tersingkir dari adat, bahasa ibu, pengetahuan tradisional maupun tanah tumpah darahnya. Sedangkan daya respon warga atas larangan membakar dan bom air yang ditumpahkan saat membersihkan ladang, akan sangat menentukan persepsi publik mengenai sejauhmana kegiatan berladang sebagai suatu yang sangat penting bagi komunitas saat ini?





[1] Penulis aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu Lingkungan Hidup, Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Demokrasi, sosial budaya dan Perdamaian.


ARTIKEL ini sebelumnya telah terbit di Harian Kapuas Post pada Minggu, 16 Oktober 2016.

Tidak ada komentar: