Selasa, 17 Februari 2009

gagasan

Jangan Kutuk Golput

Oleh Hendrikus Adam*

Tanggal 9 April mendatang, sebagian besar warga Kalbar khususnya tentu telah mengetahui akan segera dilangsungkannya pesta demokrasi rutin lima tahunan yakni pemilihan umum (pemilu). Gawe ini sedianya akan memilih para wakil rakyat yang akan duduk dikursi legislatif kabupaten/kota, provinsi dan DPR RI, serta pemilihan anggota DPD RI sebagai wakil dari masing-masing daerah dengan kuota yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan yang diberlakukan.

Bagi warga kita pada umumnya, masa-masa sekarang adalah masa biasa yang juga dijalani dengan biasa. Tidak ada persiapan khusus dalam menyongsong pesta demokrasi ini. Yang menjadi suguhan setiap hari bagi warga justeru banyaknya media sosialisasi dan kampanye dalam berbagai bentuk dan ukuran yang bertebaran dimana-mana. Sebaliknya, bagi mereka yang mencalonkan diri sebagai caleg atau calon anggota DPD, sisa waktu yang relatif singkat menjadi kesempatan terakhir untuk “tebar pesona”, menggalang kekuatan untuk membangun relasi dan dukungan menuju kemenangan dalam pemilu.

Dengan perubahan ketentuan tentang pemilu beberapa waktu terakhir seperti sistem pemberian pilihan suara dengan cara yang berbeda dari sebelumnya (mencontreng vs mencoblos) dan dengan pemberlakuan sistem perolehan suara terbanyak bagi setiap caleg, tentu ini juga turut mempengaruhi sikap-cara-strategi masing-masing elits partai dan lembaga politik. Melalui sistem perolehan suara terbanyak, setidaknya telah memberikan peluang yang sama bagi setiap caleg untuk dipilih. Bukan hanya itu, kesempatan untuk berjuang “menjual diri” setiap caleg menjadi keharusan. Nomor urut bukan lagi penentu. Dalam hal ini banyaknya relasi (dikenal luas), kemampuan financial, kedekatan emosional dengan konstituen serta track record (rekam jejak) menjadi hal mendasar yang agaknya harus dimiliki oleh setiap calon yang ingin menduduki kursi empuk legislatif.

Tantangan Pemilu
Berhasil tidaknya penyelenggaraan pemilu sangat bergantung pada peranserta seluruh komponen masyarakat. Namun demikian, pihak terkait yang terlibat langsung dalam proses pelaksanaan pemilu sedianya harus sungguh-sungguh siap untuk menyukseskannya. Memastikan pemilu agar benar-benar berjalan dengan baik dan memberi ruang yang seadil-adilnya bagi peserta pemilu adalah sebuah keharusan sekaligus tantangan yang harus jawab bersama terutama oleh pihak terkait.

Sebagai pihak penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Panitia Pengawas (Panwas) harus sungguh-sungguh objektif dan konsisten menjaga kepercayaan publik sebagai lembaga yang diharapkan bebas dari campurtangan pihak luar. Bebas dari konspirasi politik tertentu. Konsistensi dan integritas institusi ini melalui personilnya untuk tetap independen sebagai penyelenggara pemilu adalah harga mati. Dalam hal ini, perundang-undangan harus selalu menjadi rambu-rambu mengikat yang perlu dipelajari.

Sementara, bagi pemerintah, pihaknya dituntut untuk benar-benar dapat memestikan agar pegawainya “tidak bermain mata” secara langsung dikancah politik. Demikian pula bagi para elits politik, energi dalam bentuk waktu-tenaga-pikiran-materi yang telah dikeluarkan harus benar-benar diikhlaskan bila suatu ketika dihadapkan pada kenyataan pahit sekalipunb, semisal tidak terpilih. Perjuangan yang dimulai dengan senyum, maka harus pula diakhiri dengan senyum. Bagi rakyat sendiri yang sejak semula memang berasal dari latar belakang beragam, maka tantangan yang dihadapi adalah banyaknya pilihan yang harus diseleksi untuk kemudian menjadi putusan masing-masing. Kesiapan untuk menghadapi kenyataan perbedaan pilihan dalam latar belakang yang berbeda-beda menjadi penting karena ini pula ahirnya menjadi modal untuk menghindari kondisi yang tidak diinginkan dari kemungkinan terjadinya provokasi yang destruktif antar warga.

Pihak keamanan pun demikian. Aparatur negara ini harus sungguh-sungguh dapat memberikan jaminan rasa aman, bertindak sigap sebagai pengayom dan pelindung warga negara. Kejadian aksi di Sumatera Utara yang merenggut nyawa kiranya pantas menjadi pelajaran berharga untuk lebih mengutamakan keselamatan setiap komponen warga negara dalam menyongsong pesta demokrasi mendatang sehingga profesionalisme setiap personil dalam menjalankan tugas menjadi keharusan .

Fatwa Haram Sebagai Media Refleksi
Tantangan lain yang dikhawatirkan banyak orang atas penyelenggaraan pemilu kedepan adalah meningkatnya angka golput. Belajar dari pengalaman pemilu dan pilkada dibeberapa daerah, prediksi berbagai kalangan tentang menguatnya perolehan suara golput dalam pemilu mendatang tentu beralasan. Fenomena ini juga menjadi kekhawatiran mendalam peserta pemilu sebagai pihak yang memiliki kepentingan atas perolehan suara rakyat, terlebih dengan sistem perolehan suara terbanyak. Masing-masing caleg baik dalam partai yang sama maupun dalam partai yang berbeda harus bersaing secara sehat guna meraih simpati rakyat. Prediksi akan menguatnya angka golput dan dengan mengacu pada perolehan suara terbanyak bagi para peserta pemilu melalui calon anggota legislatif sangat memungkinkan tidak terpenuhinya kuota dari jumlah anggota legislatif kabupaten/kota sebagaimana telah ditentukan.

Kekhawatiran terhadap golput setidaknya juga dimunculkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa haram bagi mereka yang memilih golput. Terlepas pro maupun kontra pendapat masyarakat atas fatwa tersebut, namun wacana ini telah menimbulkan perdebatan yang cukup alot antar berbagai kalangan. Apa yang dilakukan MUI juga tentu telah melalui pertimbangan yang matang dan disertai niat baik. Peristiwa ini tentu baik menjadi pelajaran dan refleksi bersama untuk bertindak maupun bersikap lebih baik lagi dalam banyak hal, termasuk dalam pelaksanaan pemilu yang berkualitas seperti diharapkan. Pun demikian, ketika banyak anak negeri yang turut mempersoalkan fatwa haram golput yang dikeluarkan, tentu selayaknya juga menjadi bahan refleksi bagi MUI sendiri.

Sebagai sebuah institusi bernafaskan keagamaan dengan berbagai aturan yang ada didalamnya, lembaga ini tentu merasa memiliki tanggungjawab moral untuk memberikan penilaian atas berbagai hal untuk kebaikan bersama, apa lagi bila ada pihak yang meminta pendapatnya mengenai haram tidaknya suatu hal. Tentu menjadi penting dipahami bersama bahwa penilaian yang dilakukan hanya bersifat parsial berdasarkan dalil keyakinan salah satu agama saja yang pemberlakuannya juga tidak se-universal seperti yang dibayangkan karena memang harus disadari bersama cara pandang setiap warga yang terdiri dari berbagai keyakinan yang ada juga berbeda.

Bahwa MUI memberikan fatwa haram atas golput tentu ini hanyalah bagian dari sebuah sikap yang pantas direfleksikan secara positif. Namun demikian, cara pandangan atas eksistensi lembaga ini untuk tidak berlebihan, seolah melebihi segalanya juga penting direfleksikan bersama. Nilai-nilai kebenaran universal tentunya dapat menjadi pekerjaan rumah bersama segenap komponen untuk terus disuarakan dialam yang penuh dinamika perbedaan ini. Kebenaran universal juga pada akhirnya dapat menjadi benang merah yang sangat mungkin diterima oleh semua kalangan. Namun demikian, pandangan berdasarkan keyakinan tertentu juga tidak salah disampaikan kepada khalayak ramai guna memberikan pemahaman agar tidak salah kaprah dalam menilai sesuatu. Disinilah pula esensi semangat perbedaan itu dapat kita temukan, bahwasanya kita perlu mengenal dan menghargai sesuatu yang berbeda dari pihak lain.

Hargai Golput
Bahwa golput sebagai bagian dari fenomena yang telah ada sejak pemilu pertama tahun 1955 adalah sebuah catatan yang tidak dapat dibantah meskipun kondisi saat itu lebih didasarkan pada minimnya pemahaman masyarakat. Namun golput intelektual yang dilakukan secara sadar baru dilakukan atas prakarsa Arif Budiman cs sebagai bentuk otokritik atas sistem yang berlaku saat itu. Sebuah sikap yang lebih mengedepankan analisa dan berfikir mendalam, bukan sekedar emosional, apalagi ketidaktahuan. Semoga, kita pun yang nanti menggunakan hal pilih kita didasarkan pada proses seperti itu, bukan sebuah sikap yang hanya didasarkan pada primordialisme. Bukankah akan lebih salah lagi bila asal memilih?

Golput sebagai sikap politik yakni memilih untuk tidak memilih harus disadari sebagai bagian dari hak sipil politik sebagai warga negara yang hendaknya dihargai. Golput sebagai sebuah sikap politis yang secara dewasa harus kita sikapi dan akui, bukannya malah dieliminir. Karena jika dia memang lahir dari sebuah proses analisa mendalam, bukankah ini lebih membanggakan, karena ini suatu indikasi bahwa masyarakat kita sudah lebih cerdas berpolitik?

Bahwa golput bukan sebagai solusi kongkrit tentu saja benar. Namun akan tidak memberi solusi lagi bila akhirnya yang terpilih justeru tidak mampu mengakomodir kepentingan warganya. Golput tentu tidak perlu dikutuk. Pilihan golput tidak perlu dilarang. Juga tidak perlu mengajak orang golput. Perdebatan tentang hak politik warga vs fatwa golput hendaknya dapat menjadi permenungan bersama mengenai; sudah lebih baikkah kita yang selama ini selalu memberikan hak suara dalam pemilu (mencoblos) dari pada mereka yang golput? Maknai fenomena golput sebagai sebuah kenyataan perbedaan antara satu dengan lainnya yang harus dihargai.

Bagaimanapun, kita tidak pernah bisa memaksakan selera orang lain untuk ikut selera kita sendiri, terlebih menyangkut hak masing-masing individu. Pilihan golput bila boleh diibaratkan seperti aneka makanan yang ternyata tidak bisa dimakan karena tidak sesuai dengan metabolisme dan selera seseorang sehingga tidak mungkin dipaksakan. Pilihan bijak yang mungkin dapat dilakukan ketika tidak sesuai selera adalah menolak memakannya. Tentunya akan lebih bijak lagi bila penyaji akhirnya memikirkan alternatif makanan yang bisa dikonsumsi, yang sesuai dengan metabolisme dan selera serta aman bagi kesehatan.

Kenyataan pilihan banyaknya orang dan partai saat ini juga ibarat aneka jenis makanan sebagaimana dimaksud. Meramu diri dan atau partai agar enak untuk “dikonsumsi” menjadi tugas pemiliknya supaya menyajikan hidangan pantastis, layak saji dan berkualitas. Pilihan akhirnya ada pada setiap warga. Jangan pernah kutuk golput, karena memilih untuk tidak memilih juga hak setiap individu yang layak dihormati. Kewajiban kita bersama hanyalah menjaga pelaksanaan pemilu agar berjalan lancar, aman, damai dan bermartabat.

*) Penulis Peserta Belajar di FISIP Universitas Tanjungpura, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak periode 2008-2009.

Tidak ada komentar: