Senin, 18 Agustus 2008

Gagasan

RUU BHP dan Ketidakkonsistenan Pembuat Kebijakan
By. Hendrikus Adam*
Hadirnya pemerintahan negera Indonesia sebagaimana amanat yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yakni “…mencerdaskan kehidupan bangsa…” Dalam UUD tersebut pula ditegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 ayat 1-2). Apa yang tersurat sebagaimana dijelaskan adalah sebuah realitas yang dipertegas oleh sebuah konstitusi di negara republik ini. Telah jelas Bahwa kesempatan untuk mengikuti pendidikan bagi setiap warga negara adalah hak dasar yang dijamin oleh negara melalui penyelenggara pemerintahan (birokrat).


Selanjutnya, disadari pula bahwa nasib pendidikan dinegeri ini adalah tanggungjawab bersama segenap komponen bangsa. Namun dalam pelaksanaannya, terutama dalam upaya pengelolaan dan bagaimana agar bisa dinikmati oleh segenap anak bangsa tanpa pilih kasih adalah sebuah kewajiban Negara untuk memenuhinya. Hal ini pula telah menjadi konsensus bersama yang diperkuat dengan ditegaskannya dalam UUD 1945.

Bagaimana nasib pendidikan dinegeri ini? Tentunya menjadi PR bersama ibarat benang kusut yang hingga kini ini tidak pernah berujung (tuntas) dan malah semakin tambah rumit. Benarkah? Lihat saja realisasi alokasi 20% dari APBD/APBN untuk sektor pendidikan yang digariskan UUD 1945 dan turut dijabarkan dalam UU Sisdiknas, belum ada titik terang. Kemudian, lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 sebagai amanah dari UUD 1945 setidaknya telah membuka diri bagi munculnya Undang-Undang baru dengan limit waktu yang ditentukan.
Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah satu produk kebijakan politis yang kini masih mewacana dan telah masuk pada ranah “uji publik.” RUU BHP muncul sebagai amanah dari pasal 53 UU Sisdiknas yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan formal oleh pemerintah dan masyarakat berbentuk BHP serta ketentuan tentang BHP diatur dengan UU tersendiri. Dalam ayat 3 pasal ini juga menyebutkan bahwa BHP akan dikelola dengan prinsip nirlaba.

Lantas bagaimana wujud dari RUU BHP yang kini tetap menuai kontraversi dikalangan khalayak ramai? Yang dimaksud dengan BHP dalam RUU ini adalah badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal. RUU ini memuat sebanyak 13 bab dan 58 pasal. Berdasarkan jenisnya, BHP dijelaskan terdiri dari; BHP Penyelenggara, BHP satuan pendidikan, serta BHP gabungan keduanya (BHP Penyelenggara dan satuan pendidikan). Sedangkan bentuknya terdiri dari; BHPP, BHPPD dan BHPM yang masing-masing dapat
Didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), Paraturan Daerah (Perda) dan berdasarkan akta notaris. Dalam rancanagan ketentuan ini, BHP pengelola memiliki batas waktu masa berlaku sebagaimana ditetapkan melalui ketentuan berupa anggaran dasar, dan jika masa berlaku habis, artinya BHP tersebut dinyatakan bubar. Kalau bubar, lantas bagaimana nasib pendidikan berikutnya?

Dalam konsideran menimbang pada point a RUU tersebut menjelaskan bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional diperlukan otonoomi dalam pengelolaan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, termasuk di perguruan tinggi (kampus). Dalam hal ini pengelolaannya dimaksudkan secara mandiri. Pasal 2 dan 3 dalam rancangan kebijakan ini menjelaskan fungsi dan tujuan dari BHP yakni memberikan pelayanan pendidikan formal kepada peserta didik dan memajukan satuan pendidikan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah dan otonomi pergutuan tinggi.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengelolaan pendidikan formal dalam RUU BHP memiliki delapan prinsip (pasal 4 ayat 2) diantaranya akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, keberkelanjutan, partisipasi atas tanggungjawab Negara, otonomi, layanan prima, akses berkeadilan, keberagaman. Dua asas terakhir misalnya layak direfleksikan. Dengan mengharapkan pengelolaan secara mandiri, ruang tanggungjawab Negara secara halus coba dilepaskan secara perlahan. Pengelola dengan sendirinya diberi kewenangan mutlak untuk menentukan berbagai kebijakan ooperasional pendidikan termasuk biaya operasional yang akan dibebankan bagi peserta didik, dan ini akan sah berdasarkan kacamata hukum.

Demikian halnya dengan keinginan memberikan pelayanan terbaik bagi warga, akan menjadi bias dengan sendirinya bila ekses dari ketentuan ini berpeluang memberikan pembatasan bagi diaksesnya pendidikan oleh rakyat yang ‘kurang mampu’. Memberikan pelayanan prima boleh saja dijadikan harapan, namun bila tidak didukung dan atau bertentangan dengan draf naskah yang ada maka tentu akan menjadi bias. Lembaga pendidikan asing (LPA) yang terakreditasi atau yang diakui negaranya sebagaimana tersurat pada pasal 12 RUU ini, dapat mendirikan BHP di Indonesia dengan bekerjasama dengan BHP di Indonesia. Bila LPA sungguh elit dengan modal besar, bagaimana dengan nasib lembaga pendidikan di dalam negeri yang tidak punya banyak modal? Tentu nasibnya akan menyedihkan. Tentunya tidak sedikit catatan yang harus dikaji terkait dengan akan diterbitkannya RUU BHP menjadi undang-undang. Ruang privatisasi dan komersialisasi pendidikan terlihat kental dalam semangat RUU ini. Meskipun dipertegas
dengan bahasa halus yang menjelaskan pengelolaannya dilakukan dengan prinsip tanpa mencari keuntungan (nirlaba), namun penting untuk dianalisis lebih dalam.

Lebih dari itu, akan lahirnya RUU BHP setidaknya juga dapat dilihat sebagai bentuk dari ketidakkonsistenan pembuat kebijakan (lebislatif dan eksekutif). Mengapa? Munculnya RUU BHP ini bila dicermati justeru menunjukkan sisi lemah komitmen dan kredibelitas dari para pembuat kebijakan yang mungkin tidak pernah diperhitungkan mereka. Dalam Bab 12 ketentuan Penutup UU Sisdiknas pasal 75 misalnya cukup mempertegas bagaimana produk politis ini terkesan “prematur” dan tidak begitu mendasar untuk dimunculkan kepermukaan. Pasal dalam UU Sisdiknas ini menyebutkan dengan rinci bahwa semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini (UU Sisdiknas), harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya undang-undang ini (UU Sisdiknas).

Seperti dikatahui, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) disahkan dan atau diundangkan tahun 2003 dan dianggap berlaku sejak tanggal diundangkan, tepatnya pada 8 Juli 2003. Maka dalam kaitannya dengan RUU BHP bila dianalisis jelas begitu paradoks. Ketidaksesuaian limit waktu yang seharusnya telah usai selama dua tahun pasca disahkannya (2005). Sebagaimana tersurat dalam pasal 75 diatas memperjelas bahwa peran pemerintah dan legislatif tidak optimal dan cenderung mengabaikan tugas dan tanggungjawabnya. Maka menjadi pantas pula bilamana pada akhirnya muncul stigma bahwa para pembuat kebijakan tidak serius menjalankan amanah dan merealisasikan produk hukum sebelumnya dalam bentuk aksi nyata khususnya kebijakan bidang pendidikan. Pada akhirnya, persoaalan ini berujung sebagai bentuk tidak seriusnya pemerintah menangani sector ini (pendidikan) sedari awal.

Dibalik kompleksnya persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan dalih “untuk kepentingan bersama” yang lebih baik, berbagai produk kebijakan seakan menjadi keharusan untuk di munculkan. Namun ironisnya, dari produk kebijakan yang telah ada saja masih melum benar-benar diwujudnyatakan dalam realisasinya di masyarakat. Konsensus sector pendidikan dengan 20% anggaran yang diamanatkan undang-undang adalah salah satu bentuk ketimpangan dari lemahnya komitmen pemerintah.

Mengkaji lebih dalam atas berbagai produk hukum yang cenderung “mandul” dan cenderung tidak memihak bagi rakyat sebaiknya menjadi prioritas yang harus dituntaskan oleh pembuat kebijakan, karena dengan munculnya kesan “tumpang tindihnya” produk kebijakan yang ada justeru semakin menambah rumit dan kompleksnya persoalan dimasyarakat. Dengan demikian, BHP bukanlah kebijakan mendesak yang harus diwujudkan dengan kondisi carut-marutnya persoalan bangsa kita saat ini. Nasib pendidikan ada ditangan segenap komponen bangsa. Quo vadis pendidikan negeriku?

*)Penulis Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI) Santo Thomas More Pontianak.

Tidak ada komentar: