By. Hendsrikus Adam
Kemajemukan sudah taken for granted, realitas yang harus diterima sebagai kenyataan yang perlu disyukuri. Walaupun kemajemukan memungkinkan potensi gampang terjadinya bentrok dan konflik, realitas merupakan anugerah yang kita perkaya dan kembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Pernyataan Jakob Utama dalam sebuah artikelnya berjudul "Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia" yang ditulis bertepatan dengan Ultah ke-45 Harian Kompas (28/6/2010) menarik disimak. Selanjutnya pada waktu bersamaan, warga Kalbar mengenang Hari Berkabung Daerah (28 Juni 2010) guna mengenang kembali Peristiwa Mandor atas pembantaian tentara Jepang terhadap warga Kalbar di era penjajahan sekitar tahun 1944.
Bertepatan dengan kedua moment diatas, dalam sebuah media online (fb), saya dikirimi tautan oleh seorang rekan soal press release dari berbagai elemen masyarakat di Kalimantan Barat mengenai sikap keberatannya terhadap stetement Pejabat Negara, Tifatul Sembiring (Menkoinfo RI) yang dinilai menciderai perasaan umat Kristiani khususnya dan seluruh warga negeri ini umumnya. Statemen Tifatul tersebut terkait dengan ungkapan beliau dalam menyikapi kasus asusila yang melibatkan oknum "mirip" tiga artis (Aril, Luna Maya dan Cut Tari) yang menurutnya harus diperjelas. Istilah "mirip" ketiga artis tersebut yang kemudian dianalogikan pula dengan perdebatan soal penyaliban mirip Nabi Isa yang dislib bagi Islam dan bagi umat Kristiani adalah Yesus sendiri yang disalibkan. Pernyataan Tifatul ini di sambut aksi damai sebagai bentuk protes oleh elemen warga Kalbar bertepatan dengan Peringatan Hari Berkabung Daerah. Pernyataan pejabat Negara yang dianggap tidak lumrah ini kemudian dikritisi karena dianggap berpotensi menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan atas kenyataan kemajemukan sebagai khasanah budaya bangsa.
Dari apa yang disampaikan oleh setiap pejabat Negara yang sedianya dapat berlaku sebagai negarawan, maka sikap elemen masyarakat sipil memang seharusnya dapat berperan melakukan kontrol melalui baik kritik maupun otokritik. Sikap penguasa yang direfresentasikan oleh pemerintah (baik pejabat negera di pusat maupun pejabat di daerah) yang berpotensi menjadi ancaman atas kondisi integrasi sosial selayaknya diawasi oleh segenap elemen bangsa.
Bahkan, bukan hanya Pejabat Negara (pejabat negara sejatinya mesti dapat berlaku sebagai negarawan), setiap masyarakat sipil juga diharapkan berhati-hati menyatakan pendapat (khususnya dimuka umum) yang berpotensi menimbulkan ketersinggungan antar sesama anak negeri di republik ini yang pada realitanya memang memiliki latar belakang yang beragam, terlebih bila menjurus pada persoalan SARA yang sangat sensitif.
Fenomena ini kiranya dapat menjadi pelajaran bagi kita semua untuk semakin menyadari bahwa Indonesia dan khususnya Kalimantan Barat adalah negeri yang plural, namun sangat rentan terhadap persoalan SARA. Keberagaman realitas yang sejak dulu menjadi warna unik sebagai perbedaan hakiki yang menuntut kita untuk dapat lebih bijak dalam membangun hidup bersama. Kondisi demikian menuntut setiap orang yang menyadari keberagaman latar belakang untuk terus hidup rukun dengan semangat egaliter, saling menghargai dan menyadari bahwa ada pihak lain yang “berbeda” dengan diri kita dalam hal identitas khususnya.
Banyak kasus fanatisme terhadap identitas tertentu (bahkan seringkali tidak kita sadari sekalipun) sering kali mengemuka di permukaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang juga justeru berpotensi menjadi bara "konflik" antar warga yang pada dasarnya mencintai kedamaian maupun perdamaian. Pengalaman masa silam terkait konflik antar etnis di Kalimantan Barat dan sejumlah konfik lainnya yang bernuansa SARA di Tanah Air sedianya cukup menjadi pelajaran untuk kita memulai menyemai damai dalam keberagaman.
Di Kalimantan Barat, dinamika kasus Singkawang dengan patung naganya dan kutipan makalah yang diperdebatkan (meskipun berujung dengan penyampaian permohonan maaf lengkap dengan ritualnya akhir-akhir ini) adalah fenomena yang masih segar, betapa
Realitas hidup dalam keberagaman masih sangat rentan “disusupi” kepentingan tertentu yang menggunakan SARA sebagai pintu masuk yang selanjutnya memunculkan multipersepsi. Dalam artian bahwa, SARA seringkali dijadikan komoditas untuk kepentingan segelintir orang. SARA juga seringkali menjadi komoditas dalam gelanggang politik di negeri ini. Di Kabupaten Sintang maupun di Kabupaten Ketapang yang dalam waktu dekat akan melangsungkan pilkada ulang, isu SARA juga kental mewarnai perhelatan demokrasi tersebut. Singkat kata, integrasi sosial yang menjadi mimpi bersama akan tetap menjadi bulan-bulanan terkebiri manakala para pihak di republik ini tetap senang “memuluskan” impiannya dengan mengkomoditi isu SARA secara pulgar.
Disintegrasi tentu saja bukan tujuan dan keinginan kita, sehingga perlulah keterlibatan segenap komponen bangsa untuk memperteguh ikatan keberagaman dalam semangat kebersamaan untuk memperkokoh komitmen dalam semangat kesatuan sebagaimana keinginan pendiri Republik ini. Melakukan kontrol terhadap statemen pejabat negara, pejabat daerah maupun pernyataan setiap warga negeri ini yang berpotensi "mengancam" keutuhan NKRI selayaknya dilakukan secara kontinyu. Aksi yang beretika dan bermartabat dengan menghindari cara-cara anarkis perlu mendapat porsi yang dominan dalam menyampaikan aspirasi. Sebaliknya, pihak penguasa sejatinya dapat merespon dengan bijak aspirasi melalui pertimbangan hati nurani, bukan melalui pertimbangan kepentingan praktis yang rapuh dan haus kekuasaan.
Melihat aksi yang dilakukan elemen masyarakat sipil terhadap pernyataan pejabat Negara (Tifatul Sembiring) akhir-akhir ini, maka sikap bijak dari yang bersangkutan menjadi penantian guna memulihkan bukan hanya kepercayaan warga kepada pemerintah, namun juga memulihkan hubungan persaudaraan antar sesama warga Negara yang menjunjung tinggi konstitusi dan landasan hidup beregara dalam bingkai NKRI. Kejadian atas statemen pejabat Negara, kontraversi patung naga, isu SARA dalam pilkada di Kalbar dan sejumlah kejadian berbasis rasis lainnya hendaknya dapat menjadi media pembelajaran dan refleksi oleh pejabat negara yang bersangkutan, pejabat di daerah di seluruh Tanah Air, dan seluruh warga Negara ini, bahwasanya KITA tidak diwajibkan (dilakukan dengan sadar atau tidak) untuk melukai dan menciderai perasaan seluruh warga negeri ini dengan pernyataan tendensius berselimutkan unsur SARA yang justeru dapat mengancam integrasi sosial.
Sikap bijak dalam menyikapi dan mengelola perbedaan sebagai realitas yang hadir ditengah-tengah masyarakat negeri ini yang multi latar belakang menjadi keharusan dan syarat mutlak atas misi kedamaian untuk kemanusiaan yang bermartabat. Kemajemukan merupakan realitas yang hadir oleh karena kebesaran Sang Pencipta yang harus terus menerus dipelihara dalam hidup bersama. Demikian pula peristiwa Mandor hendaknya dapat menjadi refleksi bersama dalam membangun semangat persaudaraan antar warga khususnya di Kalimantan Barat yang pada realitanya majemuk.
*) Peminat isu Perdamaian-lingkungan-Perempuan dan HAM, aktifis Walhi Kalbar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar