Pelajaran Dari Pesta Demokrasi Kalbar
By. Hendrikus Adam
Pilkada Gubernur Kalimantan Barat 15 November 2007 lalu baru kita lewati. Momen penting yang pertama kalinya dihelat secara langsung untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Bumi Khatulistiwa ini sedianya bisa membawa angin segar perubahan bagi masyarakat Kalbar. Namun demikian, dengan telah bergulirnya lonceng reformasi selama hampir sepuluh tahun (1998-2007) tidaklah cukup sebagai sebuah jaminan membaiknya sistem demokrasi di Indonesia umumnya dan Kalbar khususnya. Tidak sedikit ditemui ”keanehan-keanehan” yang tidak sewajarnya terjadi, khususnya bila melihat pelajaran dari Pilgub yang baru berlalu. Hak sebagai warga negara untuk terlibat memberikan hak pilih misalnya, masih terkesan ”pilih kasih” diberikan. Persoalan ini adalah hal mendasar mewarnai proses pesta demokrasi kali ini. Mungkinkah ada misi pesanan dibaliknya pendataan pemilih yang dilakukan?
Wajah demokrasi dalam kaitannya dengan partisipasi publik memang begitu asik untuk diicarakan. Disatu sisi, warga dituntut untuk berpartisipasi dalam perhelatan pesta demokrasi dengan memberikan hak suaranya saat pemilihan, disisi lain banyak diantaranya yang merasa haknya terabaikan karena tidak diberi kesempatan untuk memilih, termasuk kalangan mahasiswa asal daerah yang mengenyam pendidikan di jantung kota ini pun harus terkena getahnya karena tidak terdata oleh aparat RT. Contoh kasus ini misalnya dialami kalangan mahasiswa di lingkungan Sepakat 2, Keluragan Bangka Belitung yang notabenenya telah menjadi warga setempat justeru tidak diberi kesempatan memberikan hak suara. Tidak terdata dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) menjadi soal. Bahkan menurut keterangan aparat setempat, pihaknya memang tidak melakukan pendataan karena berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya aparat RT setempat mengkleim banyak hak suara yang tidak digunakan (terutama oleh kalangan mahasiswa) sehingga kertas suara pun banyak tersisa. Dilain pihak kita jumpai pula anak berusia belum layak (3 tahun), malah memiliki kartu pemilih. Selanjutnya, di kelurahan Sei Beliung pada TPS 51 pemilihan diulang kembali lantaran adanya 23 orang pemilih yang tidak terdata dalam DPT justeru diberi kesempatan menggunakan hak suara yang menurut ketentuan undang-undang (pengumuman edaran KPU) tidak dibolehkan.
Pengalaman berharga lainnya adalah sikap sang kandidat Gubernur Oesman Sapta Odang yang saya rasa pantas menjadi pelajaran dan direfleksi bagi penegakan demokrasi di Kaliamantan Barat ini. Mengaku menggunakan KTP Jakarta saat melamar Calon Gubernur, pengusaha sukses ini merasa selayaknya tidak terdaftar sebagai pemilih, namun pada kenyataannya malah terdaftar dengan tersedianya kartu pemilih baginya. OSO tidak mau menggunakan hak pilihnya dengan alasan tidak mau ”menciderai” demokrasi karena menurutnya bertentangan dengan ketentuan. Pilihan OSO adalah sebuah pilihan yang rasional. persoalannya memang sepele, namun syarat makna, terutama untuk proses penegakan demokrasi di Kalbar.
Sederet catatan diatas adalah bagian kecil dari fenomena Pilgub Kalbar hari ini yang mestinya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama untuk kedepan. Munculnya persoalan tersebut hemat penulis salah satunya dikarenakan validitas data tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pihak yang berkompeten, dimana nilai-nilai kejujuran (independensi) petugas yang diberi kewenangan untuk melakukan pendataan semestinya mutlak dimiliki untuk menghindari terjadinya rekayasa data.
Demikian pula untuk kasus bagi kalangan mahasiswa daerah yang tidak berkesempatan untuk memberi hak suaranya karena situasi/kondisi yang tidak memungkinkan (misal: alasan ekonomis yang bertepatan dengan masa Mid Test), semestinya pihak KPUD bersama pihak Kampus bisa memikirkan alternatif sejak jauh hari, misalnya dengan mengadakan fasilitasi pemungutan suara di tingkat Fakultas/kampus. Namun karena ini tidak dilakukan, maka jangan heran bilamana banyak diantaran rekan-rekan mahasiswa tidak memberikan hak pilihnya dan bahkan ada yang menyatakan diri menjadi bagian dari kelompok GOLPUT.
Dengan kondisi ini, harus disadari sistem pendataan pemilih yang dilakukan masih jauh panggang dari api. Aparat yang diberi mandat masih belum siap menjalankan amanah yang diberikan. Berbagai kegelisahan warga yang merasa tidak diperlakukan secara adil dengan diabaikannya hak pilih mereka telah membuktikan kegagalan petugas pendata dan aparat terkait. Oleh karenanya menjadi penting untuk pelajaran kedepan agar pengalaman Pilgub hari ini bisa petik bersama untuk pesta demokrasi berikutnya yang lebih baik.
Untuk itu, hal utama suksesnya sebuah pesta demokrasi menurut penilaian penulis harus berangkat dari data pemilih yang valid/akurat sebagai hasil dari upaya kejujuran, tanpa disertai rekayasa. Oleh karenanya, aparat RT dan lainnya yang diberi tugas melakukan pendataan semestinya pula adalah orang-orang yang terbebas dari ikatan kepentingan pihak manapun (independen), bukan orang-orang pesanan. Dengan data yang valid, maka untuk selanjutnya jiwa besar, budaya damai, saling menghargai pilihan, tidak mudah terprovokasi, dan menjunjung tinggi nilai serta ketentuan yang berlaku akan menjadikan pesta demokrasi sungguh-sungguh adil dan bermartabat seperti yang diharapkan.
Usainya pilgub kali ini semestinya pula dimaknai sebagai sebuah media untuk bersama-sama saling mengintropeksi diri. Perbedaan kepentingan saat berlangsungnya pilkada menjadi sebuah hal yang lumrah. Namun tidak dapat ditapik pula bahwa perbedaan kepentingan tersebut sesungguhnya bermuara pada satu tujuan bersama yakni untuk kepentingan bersama Kalimantan Barat (semoga saya tidak salah).
Dengan berakhirnya rangkaian pemilihan dengan suasana damai paling tidak boleh menjadi indikasi bahwa warga Kalimantan Barat yang terdiri dari beragam latar belakang telah sukses mengawal proses Pilgub walaupun disisi lain masih menyisakan kekurangpuasan dibeberapa kalangan sebagai sebuah fenomena yang normatif-rasional. Terlebih dengan belum finalnya hasil rekapitulasi yang dilakukan lembaga penyelenggara Pilgub (KPUD). Penantian bersama atas hasil Pilgub menurut jadual KPUD Kalbar akan mencapai puncaknya pada 27 November 2007 mendatang.
Sebagai sebuah sebuah konsekuensi logis dari sebuah pertarungan di Pentas Politik, para kandidat memang harus bersabar dan mau bersikap dewasa. Jiwa besar menjadi penting ditanamkan untuk menghadapi sebuah realita. Dengan jiwa besar pula akan semakin memantapkan bagaimana pelajaran Pilgub kali ini dapat membekas dan dimaknai secara positif. Tidak ada yang merasa lebih rendah karena belum berhasil, demikian sebaliknya, tidak ada yang merasa hebat sendiri lantas membusungkan dada.
Dengan dibukanya ruang bagi setiap diri (para kandidat dan timnya) untuk menyadari realita yang ada setidaknya dapat menjadi jalan untuk bagaimana kesuksesan Pilgub yang berjalan damai boleh menjadi kemenangan bersama warga Kalimantan Barat. Menang bersama bagaimana membawa Kalbar kearah yang lebih baik tanpa harus gontok-gontokan. Karena siapapun yang terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur, sejatinya adalah pemimpin bagi seluruh warga Kalbar. Biarlah pengalaman Pilgub menjadi pelajaran yang berarti bagi kita semua dan mari kita songsong Pemimpin baru didaerah ini dengan kepala dingin atas hasil demokrasi. Mulailah menjadi juru Damai. []
*) Penulis; Sekretaris Jenderal PMKRI Santo Thomas More Cabang Pontianak 06/07, anggota Jaringan Rakyat Untuk Keadilan dan Perdamaian (JRKP), Tinggal di Asrama Santo Boneventura Sepakat Pontianak, Kalimantan Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar